Kamis, 17 Juli 2008

Bisnis di Balik Selubung


Menjelang pemilu 2009 banyak tokoh-tokoh politik mulai beraksi di layar kaca. Berbagai iklan yang berisi kegiatan amal, buah pikiran dan harapan tokoh-tokoh lama dan baru bergantian muncul di sela-sela acara televisi. Demikian pula dengan para cagub atau cabub yang sedang giat berkampanye agar mereka terpilih berlomba-lomba memaparkan visi, misi dan janji-janji manis. Setelah berulang kali tertipu dengan janji-janji yang dilontarkan para pimpinan di masa lalu, masyarakat kini cenderung apatis dengan segala yang berbau pemilu. Di tengah kondisi yang serba sulit saat ini, hampir sebagian besar elit politik memanfaatkan krisis keuangan yang tengah terjadi di masyarakat. Label gratis menjadi trade mark para calon pemimpin untuk menghimpun suara. Kesehatan dan pendidikan gratis menjadi iming-iming utama yang menjanjikan. Yah, di zaman apa-apa yang serba duit, gratis bahkan diskon berapapun besarnya selalu menjadi rebutan. Apakah kelak janji gratis tersebut dapat terwujud ? Menilik dunia pendidikan saat ini rencana sekolah gratis niscaya mustahil bisa dilakukan. Beberapa waktu lalu pemerintah giat mensosialikan adanya dana BAntuan Operasional sekolah (BOS) yang diharapkan dapat membantu masyarakat kurang mampu agar tetap bisa mengenyam pendidikan sembilan tahun. Pada kenyataannya, jarang sekali sekolah baik SD maupun SMP yang sama sekali tidak menarik sumbangan pendidikan. Bahkan di beberapa sekolah tertentu justru mewajibkan iuran bulanan yang jika digabung dengan dana BOS menjadi jumlah yang cukup fantastis mengingat jenjang, lokasi dan fasilitas sekolah tersebut. Di daerahku misalnya, aku tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Aku seringkali mendengar keluh kesah orang tua yang mempunyai anak-anak usia sekolah. Untuk masuk di bangku sekolah dasar saja, mereka harus menyiapkan dana sekitar satu juta rupiah untuk mengisi beberapa pilihan sumbangan sukarela, belum ditambah biaya seragam, spp, buku dan perlengkapan sekolah lainnya. Demikian pula untu bisa duduk di bangku SMP dan SMA, setiap anak harus mengeluarkan jutaan rupiah dalam sekali bayar. SMP dan SMA zaman sekarang mulai mengikuti sistem perkuliahan yaitu membayar spp tiap semester. Tak heran jika banyak orang tua yang pusing dan harus pontang-panting mencari rupiah demi sekolah anak-anak mereka. Sekolah menarik biaya yang cukup besar dengan alasan untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar atau untuk operasional sekolah yang tidak bisa tertutup jika hanya mengandalkan BOS saja. Sekolah memungut sumbangan adalah hal yang wajar. Tetapi apa yang terjadi sekarang kukira sudah kelewat batas. SPP yang dulu biasa dibayar tiap bulan sekarang harus dibayar kontan selama satu semester (enam bulan) ditambah dengan biaya lain-lain. Kalau dulu orang tua murid bisa sedikit bernapas lega dengan mencicil setiap bulan, sekarang mereka harus berusaha memperoleh sejumlah besar uang dalam waktu yang hanya beberapa hari saja. Setelah berhasil lolos tahap awal, orang tua masih belum bisa bersantai. Biaya sekolah untuk sehari-hari bahkan lebih berat lagi. Uang transpor dan jajan anak per hari, uang untuk membeli buku-buku pegangan tambahan, biaya untuk mengerjakan tugas sekolah, biaya memanggil guru privat dan masih banyak pengeluaran lainnya. Biaya-biaya tersebut jumlahnya semakin meningkat dengan label sekolah favorit tak peduli apakah sekolah itu milik pemerintah atau swasta. Sekolah pun berubah menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Banyaknya rupiah yang masuk tak sebanding dengan fasilitas yang bisa dimanfaatkan para siswa. Beberapa sekolah bahkan cenderung berhura-hura membuang dana saking bingungnya mau dikemanakan dan harus diapakan dana yang tersimpan di rekening sekolah. Ironis sekali, sekolah yang bertujuan mencerdaskan anak bangsa justru menjadi bumerang menyebabkan lemahnya mental dan kepribadian anak. KKN yang sedang gencar-gencarnya diberantas justru semakin meluas di balik tembok sekolah. Sungguh menyedihkan bagi anak-anak yang cerdas tapi tak mampu melanjutkan pendidikan di bangku formal karena tak ada biaya. Jangan heran jika anak-anak sekolah tak begitu memusingkan belajar. Asal ada uang, apapun beres.

Tidak ada komentar: