Minggu, 27 September 2009

Minal Aidzin Wal Faidzin

Sepertinya agak terlambat untuk menulis seputar judul di atas. Namun apa boleh buat gara-gara asyik bereksperimen ucapan yang sudah terpublikasi minggu lalu raib akibat kesalahan kecil nan fatal. Beginilah tahun ini aku mengalami lebaran yang penuh warna. Meskipun sedikit 'garing' karena acara kumpul tahunan absen tahun ini karena sulitnya mengatur waktu dan berbagai hambatan lainnya, bisa dikatakan lebaran kali ini aku mendapatkan sesuatu yang baru. Bukan barang baru ( yah ada benarnya juga si ^^) melainkan pengalaman baru. Ya untuk pertama kalinya aku merasakan lebaran para pekerja. Jika dulu setiap lebaran kulalui dengan libur panjang mengikuti kalender pendidikan, kali ini aku hanya sempat mengenyam libur tiga hari. Sebuah aturan tak tertulis untuk kalangan pekerja yang berkecimpung di dunia jasa seperti aku ini. Lebaran justru merupakan momen penting untuk meraup untung sebesar mungkin, tak pelak lagi aku beserta golongan senasib harus mengatur jadwal silaturahmi dengan ketat. Untuk pertama kalinya pula aku merasakan antusiasme pekerja menunggu datangnya THR. Yeah, meskipun sempat was-was tidak kebagian jatah karena belum genap setahun aku disana, akhirnya aku tak henti-hentinya meringis ketika mendapat bagian yang jauh di luar dugaan ^^.
Lebaran, layaknya tahun-tahun sebelumnya lebaran ditandai dengan tumpah ruah orang di pusat perbelanjaan entah tradisional maupun modern. Segala isu krisis seakan tak menghalangi kegembiraan menyambut Idul Fitri yang identik dengan ketupat dan baju baru. Meskipun harus lebih cermat dalam mengatur anggaran, para pengusaha di bidang barang dan jasa tetap kebanjiran rejeki yang memang ditunggu-tunggu tiap tahun. Tak ketinggalan acara mudik menjadi agenda tersendiri di hari lebaran ini. Baik yang merayakan atau pun yang tidak semua turut andil membuat jalan macet. Sebuah rutinitas yang melelahkan dan tak jarang menelan korban namun sukar untuk dilewatkan. Maka jadilah aku menghabiskan hari dengan memandang antrian kendaraaan bermotor hingga mata pun berkunang-kunang. Asyik mengamati petugas yang sibuk mengatur arus lalu lintas di tengah terik matahari dan kepulan debu. Tak sabar ketika menyaksikan ulah usil pengendara yang menyerobot, menggerutu dalam diam ketika melihat preman kampung mengeruk nafkah dari pemudik yang lewat. Lebaran, akankah selalu demikian adanya ? Di tengah kegembiraan tewasnya gembong teroris yang membuat nafas lega, bibit kejahatan seakan tak putus-putusnya menodai kesakralan Idul Fitri. Rupanya berbagai pembenahan pendidikan moral perlu direvisi demi mengantisipasi pudarnya kesetiakawanan dan welas asih antar umat. Semoga dengan kepemimpinan yang baru mampu membawa bangsa menjadi lebih baik lagi. Selamat Idul Fitri 1430 H, Mohon maaf lahir dan batin.

Rabu, 09 September 2009

Parcel Lebaran


Dua minggu terakhir ini aku benar-benar berada di puncak kelelahan. Meskipun bersyukur di siang hari aku tak lagi bengong menghabiskan waktu menunggu jam kerja usai, sedikit banyak aku merasa berat. Baru beberapa waktu lalu aku berbincang-bincang dengan sahabatku mengenai jiwa konsumtif masyarakat Indonesia yang tak kenal resesi ekonomi. Ketika kondisi finasnsial sedang gonjang-ganjing pun tak menyurutkan hobi belanja masyarakat terutama di saat-saat istimewa seperi menjelang hari raya Idul Fitri sekarang ini. Menjelang lebaran, beberapa usaha mendapat kesempatan untuk meraup untung sebesar mungkin. Siapa sih yang tidak ingin hari istimewa umat Muslim dirayakan dengan lebih dari hari-hari biasa ? Demikianlah, imbas dari hari raya membawa efek samping kerja lembur untukku dan teman-temanku. Memang budaya pemberian parcel sudah dilarang di kalangan pejabat, namun tidak di kalangan pekerja dan majikan. Lebaran identik dengan THR beserta parcel pelengkap. Inilah yang menjadi pekerjaan tambahanku selama dua minggu ini. Tak kurang dari dua ratus bingkisan lebaran alias parcel menanti untuk ditata dengan apik. Tak ayal lagi, keluh kesah dan gerutu lirih bertebaran di antara aku dan teman-teman tim pembuat parcel. "Memang pikiran orang kaya dan tak berduit beda", kata seorang teman. Mengapa berbeda ? Ya, bagi sang bos keindahan lebih diutamakan dalam membuat parcel, sedangkan bagi golongan pekerja seperti kami-kami ini lebih memandang isinya ^^ Walau mengomel mau tak mau tangan-tangan kami bekerja cepat sembari mulut menyerocos, menggumam alangkah tak perlunya semua hiasan macam bunga ataupun keranjang hias itu.
Memang jika dipikir-pikir parcel lebih pada sekedar akal-akalan yang muncul dari ide kreatif pelaku pasar untuk menaikkan angka penjualan suatu barang. Seni dan keindahan hingga kini dianggap bernilai sehingga tatanan benda-benda yang sebenarnya biasa ditemui sehari-hari nampak unik dan menggiurkan. Tak heran jika beberapa tahun lalu, usaha parcel demikian merebak terutama pada waktu-waktu tertentu. Sayang, sejak parcel disalah gunakan oknum untuk mencari keuntungan pribadi yang cenderung negatif, menyebabkan usaha parcel mengalami kemunduran yang cukup berarti. Belum lagi ulah pelaku nakal yang mengisi parcel dengan barang-barang kadaluarsa yang tak layak saji demi meraih keuntungan besar. Kondisi demikian benar-benar menjatuhkan penggusaha parcel yang sebenar-benarnya.
Demikianlah lambat laun parcel sudah tidak menjadi tren di hari raya. Orang lebih memilih 'mentahnya' alias bingkisan berupa lembaran uang yang jelas lebih berguna untuk kebutuhan mendesak. Namun sekali lagi tidak demikian halnya dengan apa yang terjadi di tempat kerjaku. Sang bos hingga kini tetap yakin bahwa aneka makanan lebih cantik jika dibentuk dan ditata layaknya parcel komersil. Walhasil pekerja pun harus lembur menghias keranjang, membentuk mukena menjadi bunga cantik dan menata sembako dalam keranjang dengan rapi.