Selasa, 28 Januari 2014

Biasa Saja

"Bagaimana rasanya ?", akhir-akhir ini pertanyaan serupa sering mampir kepadaku. Bukan tanpa alasan sobat-sobatku menanyakan hal tersebut. Baik yang sudah berdua apalagi yang masih setia menjomblo kompak menanyakan perubahan yang terjadi pada diriku sejak hari Minggu, 29 Desember 2013 lalu. Ditanya tentang rasa, terus terang aku sendiri belum bisa menjawab secara gamblang. Pasalnya, hingga saat ini yang notabene tiga minggu berlalu sejak statusku berubah, rutinitas yang kujalani sehari-hari tak banyak berubah. Bangun pagi, berangkat ke kantor, pulang sore lalu istirahat hingga pagi kembali berulang, masih sama seperti aku yang dulu. Menyiapkan makan malam, ataupun jalan-jalan bertiga pun sudah biasa kulakukan. "Biasa saja, mungkin karena sudah terbiasa", jawabku yang diamini salah satu sahabatku yang juga mengalami hal serupa. Mungkin karena baru beberapa waktu dan belum benar-benar tinggal bersama, jadi perubahan status dari single menjadi ibu rumah tangga belum terasa nyata. Pola pikirku pun belum mengalami perubahan sebagaimana mestinya. Menyiapkan makan, seragam ataupun bersih-bersih rumah sudah biasa kujalani beberapa bulan belakangan ini. Menyandang  predikat 'bunda' pun baru sedikit mengubah aktivitas sehari-hari. Lagi-lagi karena beberapa bulan ini aku sudah terbiasa dengan semua itu.
Sebenarnya bukan perubahan aktivitas yang menggangguku, ketidaknyamanan akan status baru ini justru datang dari mereka yang tak berkepentingan.Tak dipungkiri, karakterku yang tertutup dan tak suka berinteraksi berlebihan dengan orang lain membuatku terganggu dengan celotehan nyinyir. Aku berprinsip, hidupku adalah urusanku. Apa yang kuperbuat, sudah melalui pertimbangan matang dan sepanjang tak merugikan orang lain, sah-sah saja untuk kulakukan. Pada kenyataannya, pikiran orang itu bermacam-macam. Keputusanku untuk menggelar pernikahan tertutup pun mengundang berbagai komentar mulai dari omongan 'bijak' sampai komentar miring penuh dugaan negatif. Walau emosi sering tersulut, aku berusaha untuk tetap diam. Sedikit senyum dan jawaban singkat menjadi senjataku untuk menanggapi komentar-komentar yang pada intinya sama. Doa yang tulus kuterima dengan penuh terima kasih, sebaliknya gurauan (atau suara hati sebenarnya) kuanggap angin lalu saja. Meskipun jengkel dan tersinggung selalu muncul tatkala mendengar tagihan makan-makan hingga tuduhan 'sudah isi'. Aku tahu, bahwa segala sesutau yang diam-diam itu pada akhirnya akan menimbulkan kegemparan. Hanya saja, pentingkah memohon doa restu orang-orang yang belum tentu tulus memberi restu dengan sebuah resepsi yang bagiku sebuah pemborosan ? Untukku, doa restu dari keluargalah yang utama, karena mereka yang benar-benar dekat dengangku dan mendukungku, dan pastinya mendoakan dengan tulus tanpa embel-embel "sumbangan". Berbeda dengan sebagian orang luar yang lebih dulu menodong 'syukuran' alih-alih mengucapkan selamat, disertai bisik-bisik negatif tentang hari bahagiaku yang tertutup. Pada akhirnya semua keputusanku dan pasanganku cukup tepat, dan terserah orang mau bilang apa. Yang penting, doa dari keluarga dan sahabat sejati menyertai perjalanan kami menempuh hidup yang baru.

Tidak ada komentar: