Minggu, 15 Januari 2012

Gratis, manis namun dilematis

Tahun baru, tak terasa sudah setengah bulan kembali ke sekolah setelah libur semester yang lumayan menyegarkan kembali energi yang menipis. Kembali berkutat dengan tugas lama dan siap menyambut tugas baru yang mau tidak mau harus dijalani dengan harapan memperoleh pahala (sesuai dengan kalimat wajib yang terus diulang setiap harinya ^^). Bulan di awal tahun yang selalu sibuk dan penuh ketegangan menjelang dilaksanakannya ujian akhir untuk siswa kelas terakhir. Hari hari yang diisi dengan jam-jam tambahan untuk mempersiakan materi dan mental demi hasil terbaik yang memuaskan. Oops....tunggu dulu, ternyata tidak demikian dengan sekolahku. Ada apakah gerangan ? Usut punya usut entah benar atau tidak salah satu kegiatan krusial yang nyaris dilakukan di setiap sekolah tidak bisa dilakukan disini dengan alasan tak ada dana pendukung. Mengapa bisa demikian ? Jika dirunut kekurangan dana ini dipengaruhi oleh program sekolah gratis yang notabene sekolah dilarang memungut biaya dari siswa. 
Kata gratis memang menjadi magnet bagi siapapun. Terlebih bagi para orang tua yang harus membanting tulang dengan melambungnya biaya pendidikan khususnya mereka yang memiliki putra putri usia sekolah di luar program wajib belajar 9 tahun. Dan jadilah pendidikan menjadi bagian dari strategi politik yang memang berpeluang memperoleh simpati besar bagi rakyat. Walhasil, janji pendidikan gratis pun harus ditepati. Hal yang ternyata menimbulkan polemik di kemudian hari. Sekolah gratis pada dasarnya bukan tidak membayar untuk sekolah, melainkan segala biaya yang ditimbulkan dalam proses belajar mengajar dibiayai oleh pemerintah. Sayangnya pengertian gratis dalam arti sempit alias tidak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk mengenyam pendidikan terlanjur melekat di benak wali murid. Akibatnya sekolah pun kelimpungan mengatur dana untuk memenuhi kebutuhan operasional tanpa memungut iuran baik wajib maupun sukarela dari siswa. Sekolah tak bisa mengambil resiko dengan menarik iuran dengan adanya pernyataan "pendidikan gratis" jika tak ingin dikasuskan dan di blow up di media massa. Sementara kebutuhan mendesak untuk segera dipenuhi dan dana pendidikan tidak bisa dicairkan setiap saat. 
Sekolah gratis memang meringankan beban rakyat, namun kata gratis sangatlah tidak mendidik. Gratis mempengaruhi semangat belajar sebagian siswa yang merasa tidak menjadi beban orang tua sehingga berlaku seenaknya. Bandingkan dengan mereka yang harus mengeluarkan biaya tak sedikit, siswa menjadi terpacu untuk memperoleh hasil terbaik agar tak menyia-nyiakan jerih payah orang tua. Gratis juga mempengaruhi pola pikir wali murid yang tak mau menyisihkan dana untuk menunjang pendidikan putra putri mereka. Kalaupun bersedia berpindahnya rupiah diiringi dengan gumaman hingga gerutuan yang tak jauh dari kata-kata "apanya yang gratis". Sungguh ironis mengingat sekedar membeli semangkuk bubur seharga Rp 2.500,- harus merogoh kocek untuk biaya parkir seribu rupiah dan motor numpang berhenti tak lebih dari sepuluh menit. Bandingkan dengan sekolah yang notabene menitipkan anak di sebuah institusi selama tujuh jam penuh dengan berbagai fasilitas dan yang paling penting bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang tak ternilai. Sungguh tak masuk akal jika segan untuk mengeluarkan biaya demi menunjang masa depan, sekedar untuk mengganti ongkos fotokopi materi yang nyata-nyata diperlukan. Miris hati ini melihat siswa yang lebih suka membolos, menghabiskan waktu di pojok-pojok warung atau rental-rental play station sementara di luar sana banyak mereka yang tidak beruntung harus bersusah payah demi memperoleh pendidikan. Sedih sekali melihat gemar membaca dan belajar hanya menjadi sekedar tulisan, tergantikan oleh kebiasaan mencontek di waktu ujian sekalipun. Siapa yang harus disalahkan ? Tentu tak bisa menunjuk satu pihak begitu saja. Yang perlu dilakukan adalah kesadaran dan kerjasama berbagai pihak, baik sekolah, pemerintah dan orang tua demi pendidikan bermutu bagi bibit-bibit muda sebagai generasi penerus bangsa.