Sabtu, 17 November 2012

Katanya

Sudah berhari-hari kelopak mata ini berkedut-kedut. Orang bilang itu pertanda akan bertemu orang yang tak disangka. Tapi ada juga yang bilang akan banjir air mata. Rupanya yang kedualah yang menjadi kenyataannya. Bangun dengan segar setelah bermimpi bertemu dengan ibu tercinta, pagi pun begitu cerah setelah hujan semalaman, gerimis rupanya enggan untuk berhenti dan mencari tempat lain untuk mengucurkan airnya yang tak lain adalah di mata ini. Nelangsa, adalah kata yang paling tepat untu menggambarkan betapa sedih, lara dan pilunya hati ini. 
Stigma yang terlanjur melekat memang susah untuk diubah apalagi dihilangkan. Betapapun niat baik, apapun alasan yang diyakini jawaban terbaik pada akhirnya tak lebih menjadi sebuah kesalahan di mata hati yang telah buta. Hmmm....pada dasarnya lingkungan dan cara hidup seseorang itu memang berpengaruh terhadap pola pikir seseorang. Lingkungan yang baik akan memberi pengaruh yang baik pula. Pergaulan dengan orang yang bijak dan berwawasan akan menulari seseorang untuk berbuat serupa. Hidup tak bisa hanya berkaca pada diri sendiri. Enggan belajar dari orang lain akan menyempitkan pola pikir, dan akhirnya tak bisa menggali lebih jauh makna dari sebuah perkataan atau pun kejadian. 
Perubahan menjadi lebih dewasa, apakah mereka pikir tak bisa terjadi pada diri ini ? Tak bolehkah keyakinan ini dijalankan dengan besar hati ? Salahkah jika hidup ini berusaha untuk mandiri ? Oh tidak, tidak dan tidak. Katanya, raga ini saja yang telah tua, namun jiwa laksana balita. (Itukan mereka, iya kan ?). Katanya, percayalah pada orang pintar yang bisa meramal masa depan, percayalah pada insting orang yang lebih tua (Tapi tak ada orang yang tahu rahasia ALLAH, betul kan ?) Katanya lagi, mirip benar dengannya yang selalu ingkar akan kewajiban. (Oh kau tak tahukah jika  dia pun keberatan ?) Katanya..katanya...katanya...ah tak ada satu pun di antara katanya itu yang menentramkan hati. Katanya itu selalu menimbulkan badai di jiwa yang mulai tenang. Katanya itu terlontar tanpa pikir panjang, tak ada nurani bagi yang akan tersakiti dengan katanya itu. Katanya itu adalah wujud emosi dari pikiran yang hanya berkaca pada kebenaran diri. Katanya itu sama persis dengan katanya yang memang serupa, lugas dan kejam. 
Sabar....sabar...sabar....sayang..., semua akan indah pada waktunya. Kata diri ini berusaha meredam sedu sedan hati yang teraniaya. Oh tentu, diri ini akan bersabar, menelan derita  dan terlebih kemarahan yang terlanjur membuat luka yang sejauh ini belum bisa terobati. Kata diri ini, sampai kapankah harus bersabar ? Sementara waktu terus berjalan tak kenal ampun. Oh jadi teringat lagi, katanya tidak apa-apa (Tak tahukah jika raga menua masalah kan semakin kompleks ?). Apa diri ini harus berkorban untuk membuktikan katanya yang tak masuk di akal itu ? Entahlah....kuat....kuat...dan tegar, sementara itu saja yang bisa dilakukan. Iya kan ?

Sabtu, 10 November 2012

Catatan Kemarin

"It would be a matter supposing a feeling of love can't be a passion, there for......."
Kalimat itu datang di saat yang tidak tepat, datang di saat peluh bercucuran terdorong oleh udara panas yang tak jenak, konsentrasi terpusat pada kewajiban yang menuntut segera diselesaikan, stamina yang menurun setelah energi terkuras sejak beberapa jam sebelumnya. Ledekan main-main yang dimulai ternyata berbuntut sebaris bahasa asing yang di saat itu tak bisa segera dipahami maknanya. Ketika cinta tak bisa diungkapkan terasa begitu menyesakkan, itulah pemahaman yang memang dirasakan kebenarannya. Hanya bisa terdiam, memandang dari kejauhan, melihatnya berlalu di jalannya tanpa bisa meraihnya dan berdiri di sampingnya, huft........... Cerita lama kembali dibaca, kenangan kembali ditelusur walaupun tahu itu akan membuka luka lama sekaligus menorehkan luka baru.

"I believe you have an answer honey !"

Jawaban apa yang harus diberikan untuk melengkapi kalimat itu ? Jauh di dalam hati, jawaban yang benar telah terpatri, tapi keinginan untuk mencari jawaban lain demikian menggebu. Jawaban yang walau sudah pasti tak pantas dilontarkan.

"I've no idea. Trully I can't stop this feeling but I know that all thing must end "

Bagaimana bisa berakhir jika setiap saat masih terbayang dan makin membara akibat gelora yang tertahan ? Di saat si pengganti pun tak bisa berperan seutuhnya meskipun sebenarnya belum bisa dipastikan apakah itu sejati. Hmmm....