Selasa, 22 Januari 2013

Siapa Bilang Jadi Guru Itu Gampang ?

Ketika duduk di sekolah dasar, saking berkesannya cara mendidik bapak ibu guru tak sedikit dari anak-anak bercita-cita mengikuti jejak mereka kala besar nanti. Sebuah profesi mulia yang kala itu tak banyak orang yang menginginkan pekerjaan tetap sebagai pendidik generasi muda tersebut. Bukan saja karena beban pekerjaan yang cukup berat, tapi juga minimnya penghasilan yang diperoleh. Namun demikian, belakangan ini terjadi fenomena luar biasa dengan melonjaknya animo masyarakat usia produktif untuk menjadi guru khususnya guru yang termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dikarenakan semakin diperhatikannya kesejahteraan guru oleh pemerintah, perguruan tinggi kependidikan makin banyak diburu oleh lulusan sekolah menengah atas. 
Sayangnya, pandangan sinis pada profesi guru juga semakin meningkat, tak sedikit komentar nyinyir yang muncul di koran, majalah ataupun berita negatif seputar profesi guru dan oknum guru yang kini semakin disorot. Jam kerja yang sedikit, libur panjang, gaji berlipat bagi yang sudah memegang sertifikat profesi menjadi bibit kecemburuan untuk profesi lainnya. Mungkin sebagian benar adanya, datang hanya waktu jam mengajar, gaji melimpah yang tak imbang dengan tugas menjadikan guru-guru tersebut kaya mendadak dan punya banyak waktu luang. 
Bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru, pemerintah memberlakukan Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) sebagai tolak ukur keberhasilan guru dalam menjalankan profesinya. Sebuah program penilaian yang juga berfungsi sebagai rapor yang menentukan karir seorang guru tersebut menjadi kekhawatiran kalangan guru yang masih belum memahami betul tentang PKG-PKB. Memang dengan pemberlakuan PKG ini, seorang guru biasa paling tidak membutuhkan waktu empat tahun untuk bisa naik pangkat ke golongan berikutnya. Itupun harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bagi sebagian guru menjadi hal yang memberatkan. Pengembangan diri berupa diklat, workshop dan melakukan publikasi ilmiah maupun karya inovatif menjadi hal wajib bagi guru yang ingin naik pangkat. Keduanya merupakan hal yang selama ini masih jarang dilakukan oleh para guru biasa.
 Jadi mulai tahun ini jangan harap jadi guru itu gampang, hanya sekedar datang ke sekolah, mengajar, selesai trus pulang. Mengajar hanya salah satu dari tujuh tugas pokok guru. Selain itu guru juga harus selalu mengembangkan diri agar tak ketinggalan informasi, meningkatkan ketrampilan dan profesinalisme. Guru harus pintar membagi waktu untuk murid, diri sendiri dan juga keluarga. Jangan sampai satu dari tiga tersebut terbengkalai. Guru harus berinovasi dan berkarya bak peneliti dengan melakukan penelitian tindakan kelas, merancang media pembelajaran, aktif menelurkan karya ilmiah ataupun artikel pendidikan yang dimuat dalam media nasional, dan masih banyak lagi tuntutan yang harus dipenuhi disamping juga harus tertib dalam administrasi guru. 
Nah, masih berpendapat jadi guru itu gampang ? Silakan berkecimpung di dunia pendidikan terlebih dahulu sebelum berkomentar. Jangan mencoba menjadi guru jika hanya sekedar karena tak ada pilihan lain, ataupun menginginkan pekerjaan gampang tapi menghasilkan. Guru, tak hanya berurusan dengan murid di sekolah, namun terus berkutat dengan dunia pendidikan sepanjang hayat.



Selasa, 15 Januari 2013

Dunia Kecil

Sejak meledaknya tetralogi Laskar Pelangi yang notabene novel motivasi bagi anak-anak dan remaja, akhir-akhir ini marak bermunculan novel-novel bergenre serupa dari penulis-penulis anak negeri. Salah satunya adalah Dunia kecil : Mimpi Hidup di Mata Si Kecil karya Yoyon Indra Joni. Sekilas kubaca sinopsis yang tertera di cover belakang buku ini, dan kurasa cukup menjanjikan petualangan seru, hingga aku tak segan-segan merogoh kocek untuk menambahkan buku ini sebagai koleksi baruku. 
Sederhana, satu kata ini mewakili sekian banyak kesanku ketika selesai membaca buku ini. Berlawanan dengan cerita Laskar Pelangi yang demikian heroik melalui tokoh Lintang si jenius bernasib malang, tokoh-tokoh dalam novel hidup di dunia anak-anak sebagaimana wajarnya anak-anak menghabiskan masa kecilnya. Semua tokoh yang disebutkan dengan nama panggilan seperti Ijap, Isap, Igun dan masih banyak lagi itu menjalani hari-hari di sekolah dasar dengan kenakalan-kenakalan khas anak-anak di pelosok yang jauh dari hingar bingar modernisasi perkotaan. Perkelahian yang diawali saling mengejek, mengganti angka di rapor saking inginnya mendapat angka keramat 8, membuat gaduh kelas, dan kenakalan lain yang diganjar dengan harus mengulang di kelas yang sama nyaris dialami seluruh tokoh dalam novel ini.
Aku dibuat terkikik sepanjang waktu membaca bab-bab yang menceritakan keseharian anak-anak tersebut. Persaingan di kelas yang pada akhirnya membentuk ahli bahasa, ahli IPA, ahli musik, ahli IPS, ahli gambar ini meresahkan si tokoh utama yang terjebak di tengah-tengah akibat setelah sekian lama belum juga menemukan bakatnya. Tapi jangan mengira ahli-ahli disini bak Lintang yang dengan fasih membahas dalil-dalil fisika tingkat universitas, anak-anak disini menjadi ahli di  bidangnya sebatas pengetahuan wajar anak SD. Ahli bahasa misalnya, menjadi kaya kosakata lengkap dengan kata serapan akibat kegemaran mereka akan akronim sehingga dengan rajin membaca koran, majalah, buku untuk mencari akronim baru. Ahli musik mengetahui macam-macam lagu nasional lengkap dengan pencipta dan sejarah di baliknya karena berusaha untuk mendapat pujian dari guru kelas yang tiap hari menyuruh anak menyanyikan lagu nasional di depan kelas. Ahli IPS bermula dari kegemarannya menggambar peta sehingga berlanjut dengan mempelajari daerah-daerah yang digambarnya.
Tokoh-tokoh disini menjalani keseharian dengan wajar, berpegang pada norma agama dan adat istiadat, patuh pada bapak ibu guru dan orang tua di rumah. Keseharian yang demikian berbeda dengan kondisi anak-anak sekarang. Hampir serupa dengan Laskar Pelangi, nasib anak-anak di Dunia Kecil ini terbentur dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Meskipun terkendala biaya, tokoh-tokoh di dunia kecil ini bisa beradaptasi, dan menjalani hidup dengan ceria, dan bersemangat menimba ilmu. Tak ada kejadian yang laur biasa di novel ini. Hari-hari dijalani dengan wajar, bangun sebelum subuh, sekolah, bermain, membantu orang tua, belajar, dan istirahat demikian berulang hingga semua lulus sekolah dasar. Meskipun demikian banyak pelajaran yang bisa dipetik dari novel ini. Kesederhanaan berpikir anak-anak desa, kepolosan dan ketaatan akan nasehat orang tua dan guru demikian kental sehingga novel ini menyadarkan betapa pudarnya disiplin, semangat dan sopan santun saat ini. Sebuah novel yang bukan hanya sekedar bercerita tentang masa kecil, namun juga memberikan contoh perilaku yang terpuji dan perilaku yang tidak seharusnya dilakukan