Rabu, 31 Desember 2008

Let It Flow


"Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda", demikian bunyi sebuah pepatah. Pertanyaannya bagaimana jika kegagalan terjadi berulang kali ? Kapankah, buah perjuangan bisa dipetik sementara usia semakin bertambah. Logikanya, semakin uzur, semangat semakin berkurang, ditambah dengan usaha yang berujung kekecewaan mau tidak mau niat untuk maju kembali melorot. Mengutip kalimat dari bukunya Kang Abik, "Takdir berada di ujung usaha", apakah gagal berarti kurang usaha ? Atau gagal berarti tidak ditakdirkan di jalan yang itu ?
Pada akhirnya kehampaan semakin melilit jiwa. Sekian banyak penghiburan tak mampu menepis mirisnya hati. Kata-kata manis bertujuan memberi 'follow up' kian memperburuk kegalauan. Menyepi menjadi jawaban sementara untuk mengobati luka. Benar kata orang, waktu adalah penyembuh yang tepat.
Let it flow......kalimat ini sering kali muncul dari bermacam-macam keadaan. Biarkan semua mengalir, jangan dibiarkan menumpuk menjadi penghalang lainnya. 2008, Januari hingga Desember yang senantiasa kelabu, tinggallah di belakang. Simpan dan tutup rapat semua kepedihan. Jangan sampai berhenti berharap. Tata diri bersiap menyambut tahun yang baru. Susun resolusi untuk tahun yang akan datang. Menyambut kembali Januari dengan ceria dan semangat baru. Menjadi pribadi baru yang siap untuk berubah dan mengalami perubahan. Amin.

Senin, 29 Desember 2008

Happy New Year


Tahun 2008 rupanya cukup spesial, tahun ini diakhiri oleh dua sistem penanggalan yang berbeda. Yang satu tentu saja menurut kalender Masehi, dimana angka 8 akan berubah menjadi 9 dua hari lagi. Merunut peristiwa selama setahun ini, banyak peristiwa penting yang sebagai catatan. Sesuai tradisi, berbagai macam kaleidoskop pun digelar sebagai renungan untuk menyambut datangnya tahun baru. Dominasi hal-hal buruk macam krisis global yang melanda seluruh negara di dunia, terungkapnya berbagai kasus di Senayan, isu global warming yang kiranya belum ditangani secara serius, beberapa aksi terorisme hingga demo berbuntut ricuh mengisi lembaran peristiwa. Sepertinya tahun baru 2009 belum memunculkan gambaran cerah. Walaupun harga premium dan solar akhirnya diturunkan, ada anggapan hal ini merupakan upaya mencari simpati menjelang Pemilu. Sebagian rakyat bahkan harus memulai hidup dari nol. Bagaimana tidak, gelombang PHK menyebabkan angka pengangguran meningkat, rentetan kebakaran massal dan banjir meluluhlantakan aset yang dimiliki, penggusuran pemukiman maupun lapak-lapak liar tanpa solusi ke depan semakin menambah jumlah rakyat miskin. Ironisnya, potret buram penderitaan tertutup oleh kemilau gaya hedonis. Tercatat, angka turisme ke luar negeri meningkat di liburan akhir tahun ini. Pusat-pusat perbelanjaan elit ramai diserbu konsumen yang giat memborong barang-barang mahal berlabel 'on sale'. Belakangan ini jalan-jalan utama dipenuhi dengan baliho-baliho yang menjual tampang para caleg. Bayangkan, berapa dana dkucurkan untuk memasang iklan sebesar dan sebanyak itu. Gengsi wisata luar negeri menjadikan sepinya daerah wisata lokal. Di Sumatera misalnya, liburan panjang ini tak menjadikan kawasan Danau Toba ramai pengunjung. Tak sedikit pedagang orang yang mencari nafkah di kawasan ini terancam gulung tikar. Malangnya !
Akhir tahun ini juga bertepatan dengan akhir tahun menurut penanggalan Hijriyah. Tahun baru Hijriyah dimulai hari ini, nyaris bersamaan dengan tahun baru Masehi. Seperti tahun Masehi, pembukaan tahun 1430 Hijriyah diwarnai peristiwa tragis yang menimpa Palestina. Dua negara timur tengah yang terus berkonflik, memulai tahun baru dengan ekstrim. Penyerangan jalur Gaza oleh Israel menjadi sorotan dunia saat ini. Seruan protes dan desakan perdamaian dikumandangkan sebagai wujud simpati atas rakyat sipil Palestina yang menjadi korban. Dalih pertahanan diri Israel tak cukup sebagai alasan untuk menyerang negara lain. Apalagi sasaran yang diperkirakan sebagai sarang teroris ternyata pemukiman sipil. Mungkin ada alasan lain di balik penyerangan itu ? Ataukah itu sebagai wujud arogansi Israel semata ? Begitu berani Israel menentang kecaman, mengacuhkan himbauan dari berbagai pihak untuk gencatan senjata. Bahkan semakin membabi buta hingga korban sipil semakin bertambah. Apakah keberanian itu karena sokongan sebuah negara adidaya ?
Apapun itu, tak selayaknya tahun baru dimulai dengan awal yang buruk. Mengapa kita tak bisa hidup berdampingan dengan damai ?

Jumat, 26 Desember 2008

Hemat

Beberapa waktu lalu, aku menyaksikan sebuah berita yang membuatku tergelitik. Sementara krisis global terus berlanjut dan diperkirakan akan mencapai puncak pada tahun 2009-2010, anjuran pemerintah untuk berhemat pun dicanangkan. Wapres Yusuf Kalla mengajak rakyat Indonesia untuk menghemat energi, dan menggunakan produk dalam negeri. Ironisnya, saat itu Wapres justru memakai sepatu impor alih-alih sepatu buatan dalam negeri. Tanpa malu, Wapres yang berbusana batik mengakui sepatu impornya dan berjanji akan segera membeli sepatu lokal. Liputan berita berlanjut seputar kelangkaan minyak tanah dan elpiji di berbagai daerah. Ya, tanpa disuruh pun rakyat sudah berhemat sejak dulu. Bagaimana tidak hemat jika bahan untuk dihemat pun tak ada ^^. Susahnya jadi rakyat yang hanya mengikuti arus, ketika pemerintah menggalakkan konversi minyak tanah ke elpiji rakyat semakin dibuat bingung. Jangankan menghemat, anggaran belanja bahan bakar justru semakin membengkak. Akibat subsidi minyak tanah dicabut, harga per liternya menjadi naik nyaris dua kali lipat. Suplai minyak tanah yang dikurangi menjadikan minyak sulit didapat dan sesuai hukum penawaran dan permintaan, harga berada di level mahal. Pembagian kompor dan tabung gas 3 kg gratis, tak mampu menyudat pengeluaran bahan bakar. Mengikuti jejak minyak tanah, distribusi elpji pun tersendat. Tak urung harga per tabung melonjak drastis. Nah loh, bagaimana ini ? Minyak langka, gas pun tak ada. Walhasil, sebagian rakyat yang mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Serbuk gergaji kayu, arang hingga kayu bakar menjadikan rakyat "back to the nature". Tapi bagaimana nasib mereka yang sama sekali belum pernah menggunakan bahan tradisional tersebut ? Apa mau dikata, meski harga luar biasa terpaksa berburu minyak dan gas kemana-mana. Buntutnya penghematan berubah menjadi pemborosan besar-besaran.
Untunglah, berita gembira akhirnya disampaikan oleh Dirut Pertamina. Setelah melakukan operasi pasar di beberapa tempat, sidak di tempat tertentu aliran minyak tanah dan gas kembali normal. Dengan tegas kelangkaan kedua bahan bakar tersebut akan benar-benar teratasi di bulan januari mendatang. Kenapa harus Januari ? Kenapa tidak berbulan-bulan lalu sehingga rakyat tidak harus megap-megap dengan harga BBM yang meroket ? Namanya juga manusia, ada salah tidak ada apa lagi. Seperti turunnya harga premium dan solar baru-baru ini. Meskipun bersyukur, gaung ketidakpuasan terdengar dimana-mana. Maklum turunnya harga BBM belum diikuti dengan turunnya tarif angkutan. Kecurigaan adanya maksud tersembunyi karena menjelang Pemilu tak urung mencuat. Alasan penurunan harga BBM yang mengikuti turunnya harga minyak dunia pun dirasa sangat dangkal. Pertanyaannya jika harga minyak dunia kembali merangkak naik, apakah pemerintah akan menaikkan BBM kembali ? Apapun dikata, anjuran Wapres agaknya perlu dilaksanakan. Hemat menjadi salah satu jawaban untuk bertahan di saat krisis. Tidak hanya hemat energi, budaya konsumerisme pun perlu dikurangi. Sudah saatnya, kita bangga akan produk Indonesia. Bukankah buatan sendiri tak kalah dengan produk impor ?

Kamis, 25 Desember 2008

Messiah Conspiracy

Walaupun tidak merayakan Natal, setiap tahunnya aku selalu larut dalam suasana perayaan hari kelahiran Kristus tersebut. Bagaimana tidak, semua stasiun televisi menayangkan program-program berbau Natal. Bukannya tidak suka, aku justru selalu menantikan acara-acara tersebut. Mulai dari film-film bertema Christmas yang sebagian besar enak ditonton, konser Natal hingga siaran langsung Misa dari Vatikan. Jangan heran, sejak dulu aku penggemar lagu-lagu klasik, biasanya salah satu stasiun tv memutar sejam bersama Three Tenor, sayangnya beberapa tahun terakhir kebiasaan tersebut sudah hilang. Meskipun demikian penampilan penyanyi macam Samuel, Delon, Mike cukup menghibur telinga. Natal tahun ini pun tak jauh beda dengan sebelumnya, deretan film berlatar belakang white Cristmas bahkan aku mendapat ucapan Merry Cristmas ^^ (Aku sampai kaget lho). Melengkapi suasana Natal ini, aku membaca sebuah novel bergense fiction-thriller berjudul Messiah Conspiracy. Melihat dari judulnya, sudah pasti isi buku ini menyinggung masalah agama Nasrani. Tagline "Ksatria Templar, Vatikan dan Injil Kristus:Misteri Injil Tulisan Tangan Kristus Sendiri" semakin menguatkan muatan yang terkandung dalam novel ini. Prolog buku ini menceritakan tentang pelarian ksatria Templar ketika perintah pemusnahan datang dari gereja. Berlanjut ke bab-bab berikutnya, Raymond Khoury pengarang novel ini menjalin cerita tentang perampokan museum The Met yang sedang memamerkan benda-benda bersejarah yang beberapa di antaranya berasal dari Vatikan. Perampok yang berjumlah empat tersebut menunggang kuda dan berdandan ala Ksatria Templar. Hal ini membuat Tess, arkeolog yang menjadi saksi mata tergelitik untuk menyelidiki alasan di balik perampokan tersebut. Tess berhasil menemukan fakta bahwa alat pemecah kode yang dicuri merupakan kunci untuk memecahkan rahasia harta karun Templar. Harta Templar dikabarkan hilang bersama tenggelamnya The Falcons di perairan Yunani. Seperti teori konspirasi lainnya, harta Templar diduga berkaitan dengan bukti-bukti yang bertentangan dengan konsep keilahian Kristus. Tess dan Reilly(FBI yang mengusut kasus ini) terjun dalam petualangan mendebarkan dan bertaruh nyawa untuk sebuah kebenaran yang mengejutkan.
Layaknya novel-novel bermutu lainnya, buku ini memuat beberapa testimoni dari pihak ketiga. Politiken Denmark menyatakan "khoury berhasil mengalahkan Dan Brown dengan kisah parahistorisnya yang lebih mengagumkan". Bagi yang sudah membaca karya-karya Dan Brown tentu merasa penasaran seberapa dasyat kontroversi dalam buku ini. Usai membaca keseluruhan buku ini, menurutku ada sebuah perbedaan besar antara Khoury dan Brown. Khoury lebih mengutamakan jalinan cerita antar tokoh daripada membahas fakta-fakta yang melatarbelakangi cerita. Sebaliknya dengan Brown, ia mengedepankan penemuan dan sejarah melalui tokoh ciptaannya. Jika Brown sukses menggiring pembaca untuk percaya dengan apa yang ditulisnya (tak heran sebuah karyanya meledak dengan bebagai pro dan kontra) maka Khoury mengajak pembaca untuk hanyut dalam konflik yang menimpa tokoh-tokohnya. Berbagai fakta fenomenal yang disodorkan meskipun sama dengan apa yang ditulis Brown memberikan efek yang berbeda. Ditambah dengan beberapa bab yang menceritakan perjalanan ksatria Templar selama pelarian, menjadikan buku ini murni rekaan belaka. Walaupun dokumen seperti gulungan Nag Hammadi, artefak dan sejarah Templar benar adanya, bahkan pernyataan tokoh Kardinal dalam buku ini tentang kebenaran sifat manusia dari Yesus tidak mampu meyakinkan pembaca. Khoury yang dengan berani mengusik wilayah rawan dari agama besar di dunia (Katolik dan Islam) cukup berhasil dalam menulis novel parahistoris. Namun, sepertinya beberapa testimoni tersebut agak berlebihan. Meskipun pandanganku ini sedikit bias karena sedikit banyak aku lebih menyukai gaya penulisan Dan Brown yang tidak bertele-tele, Messiah Conspiracy menjadi selingan menarik di pengujung tahun ini.

Senin, 22 Desember 2008

Warisan Budaya


Dua hari terakhir, aku menghadiri resepsi pernikahan dua orang temanku. Tak kusangka, dua pasangan yang mengadakan resepsi di dua hari yang berbeda ini memiliki sebuah persamaan. Keduanya sama-sama menggunakan baju pengantin adat jawa model "basahan" ala keraton. Apakah baju kebesaran tersebut sedang menjadi tren saat ini ? Entah mengikuti tren atau tidak, penggunaan baju tersebut beserta tata caranya menjadi nilai plus tersendiri. Di zaman serba praktis sekarang, kukira jarang orang yang melakukan upacara pernikahan secara adat yang lengkap. Padahal, meskipun kelihatan ribet setiap tahap dalam upacara pernikahan secara adat menyiratkan pesan-pesan untuk kedua mempelai. Semuanya merupakan warisan budaya luhur yang perlu dilestarikan. Salut untuk kedua temanku yang berkenan mempertahankan adat Jawa di hari bahagia mereka.
Indonesia memiliki aset budaya yang luar biasa banyaknya. Berlatar belakang bermacam-macam suku, menjadikan Indonesia sumur budaya yang tak ada habisnya. Ahli-ahli sejarah budaya Indonesia pun bermunculan tidak hanya dari dalam namun juga luar negeri. Baru-baru ini, aku menyaksikan sebuah acara bertajuk Barometer. Program penelusuran milik SCTV ini mengupas tuntas peristiwa yang terjadi di Indonesia. Pada edisi terakhir di penghujung tahun 2008, Barometer membahas sebuah peristiwa memalukan yang mencoreng nama Indonesia. Pencurian dan pemalsuan sejumlah arca dari museum Radya Pustaka beberapa waktu lalu akhirnya terbongkar. Tentu saja hal ini menggegerkan banyak kalangan, apalagi ketika diketahui pencurian benda-benda purbakala ini dilakukan oleh orang dalam dan sudah terjadi berkali-kali. Kasus pencurian dan pemalsuan ini pun menyeret nama Hasyim, kolektor Indonesia yang dituduh sebagai penadah. Barometer berhasil menghadirkan sosok Hasyim untuk meminta keterangan dari pihaknya. Hasyim menyatakan kegeramannya atas pencemaran nama baiknya sebagai kolektor ternama. Dalam keterangannya, beliau menjelaskan bahwa arca-arca yang belakangan diketahui sebagai cagar budaya diperolehnya secara legal. Beliau pun menampik tuduhan bahwa ia tidak mendaftarkan koleksi miliknya sehingga ia terancam pelanggaran atas benda cagar budaya dengan denda sekitar sepuluh juta rupiah. Beliau dengan tegas mengatakan berani membeli beberapa arca dari Museum Radya Pustaka itu karena adanya dokumen-dokumen resmi yang salah satunya berasal dari keraton Surakarta ditambah jaminan dari seorang ahli budaya asia ternama asal Belanda. Namun demikian pihak keraton membantah telah mengeluarkan dokumen tersebut. Pihak keraton yang diwakili oleh GRAy Koesmurtiyah menyatakan bahwa dokumen tersebut palsu dengan menunjukkan bukti-bukti tertentu. Hasyim , adik dari capres Prabowo ini pun meradang, merasa dijadikan kambing hitam dalam peristiwa ini. Beliaupun merasa kecewa, niatnya untuk menyelamatkan warisan leluhur agar tidak keluar dari negeri ini justru menghantarkannya ke pengadilan. Donatur tetap Museum Radya Pustaka ini justru dituduh terlibat dalam pencurian dan pemalsuan benda purbakala milik museum ini. Sungguh ironis, mungkin itulah yang terbesit dalam benak pemirsa Barometer saat itu. Tanpa memihak antara kedua pihak yang berseberangan, poin penting dari peristiwa ini adalah pudarnya nasionalisme dari pelaku pencurian yang sekarang sudah tertangkap aparat. Yang menjadi pertanyaan bagaimana mungkin pelaku justru berlatar belakang pengetahuan budaya itu sendiri, apalagi menjadi salah satu pengurus museum tersebut. Bukankah semakin mengenal maka semakin dalam rasa sayang yang timbul ? Dimana kecintaan mereka akan warisan leluhur sehingga tega menjual benda-benda peninggalan yang terdaftar sebagai cagar budaya ? Kiranya uang berdiri di atas segalanya. Demi ratusan juta hingga milyaran rupiah, pelaku tanpa segan melego benda-benda tersebut padahal negara dan lembaga-lembaga masyarakat berusaha menjaga agar warisan leluhur tetap berada di tempat yang seharusnya. Sudah kewajiban kita semua untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya Indonesia, melindungi agar peninggalan purbakala tidak keluar dari rumahnya.
Sekedar informasi yang kudapat dari sebuah komik yang kubaca saat ini, kasus pencurian dan jual beli benda-benda bersejarah di black market acapkali terjadi. Benda-benda dari berbagai museum dicuri dan diperjualbelikan melalui black broker. Sayangnya, meskipun benda tersebut curian, pihak berwenang tidak bisa menyita untuk dikembalikan ke asal. Hal ini karena pihak pembeli adalah bonafide third party. Mereka berhak menuntut haknya atas pembelian benda-benda tersebut jika menyatakan tidak mengetahui bahwa itu adalah benda curian. Untuk mengantisipasi hal tersebut diberlakukan unidroit treaty yaitu perjanjian internasional dimana saat penerimaan barang, penerima wajib memeriksa apakah itu barang curian sehingga jika terbukti benda tersebut ilegal, maka bisa dikembalikan ke asalnya.
Menyikapi kondisi tersebut, kiranya perlu diadakan perombakan terhadap pengelolaan museum Radya Pustaka. Inventarisasi perlu dilakukan mengingat banyaknya benda-benda purbakala milik museum yang belum terdaftar secara jelas kepemilikannya. Pertikaian antara kedua belah pihak pun hendaknya diselesaikan dengan semestinya dengan tujuan yang yang sama yaitu menjaga agar warisan budaya tidak hilang dari tangan kita. Kesadaran akan pentingnya menjaga budaya agar tetap lestari perlu digalakkan di setiap kalangan. Warisan budaya adalah milik kita semua, kewajiban kitalah untuk menjaganya agar tidak pudar.

Rabu, 17 Desember 2008

Perfume The Story of Murderer


Terbujuk oleh rayuanku, akhirnya sahabatku nekat membeli sebuah buku di bookfair. Dalam hati aku bersorak girang, akhirnya aku bisa membaca gratis. Wah, dipikir-pikir licik juga aku ya ^^. Sekedar membela diri, kami berdua seringkali membagi tugas dalam membeli buku kok, jadi semua puas. Sesuai dengan rekomendasi dari adikku, ketika menyimak review dari buku Perfume The Story of Murderer seketika aku tertarik untuk membaca buku ini. Dalam buku ini Patrick Suskind mengangkat kisah seorang pembunuh berdarah dingin. Buku yang sudah difilmkan ini menceritakan perjalanan hidup Jean Baptiste Grenouille, seorang anak haram yang dianugerahi penciuman luar biasa. Grenouille yang lahir di masa kacau menjelang revolusi Prancis, nyaris tak bertahan hidup karena dibuang oleh ibunya. Tumbuh di panti asuhan, Grenouille membuat takut setiap orang dengan tingkahnya yang tertutup dan aneh. Grenouille sanggup mengidentifikasi aroma setiap benda konkrit maupun abstrak, melalui indera penciumannya ia mempelajari banyak hal. Ia bisa membedakan bau tanah, udara, kulit manusia bahkan jenis pohon berdasarkan baunya , memilah-milah seluruh bau yang ada. Anehnya tubuh Grenouille tidak menebarkan bau meski bau kecut keringat. Dengan kemampuannya ini Grenouille berhasil menjadi ahli parfum berkat bantuan dari Baldini, ahli parfum terkenal yang mempekerjakannya. Naluri pembunuh muncul ketika Grenouille mencium aroma gadis perawan yang dirasakannya sangat nyaman. Grenouille berambisi menciptakan parfum dari aroma perawan yang dibunuhnya terlebih dahulu. Terhitung ada 25 perawan yang dibunuhnya dengan diambil rambut dan kulit kepalanya. perbuatan Grenouille ini sontak membuat resah penduduk Grasse dan sekitarnya. Penyelidikan pun dilakukan sampai akhirnya Grenouille tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Pada awalnya, aku mengira buku ini akan menuturkan sebuah pencarian yang menegangkan. Usai membaca keseluruhan isi buku, sedikit banyak aku merasa kecewa. Sesuai dengan judulnya, The Story of Murderer, buku ini betul-betul menceritakan kisah si pembunuh Grenouille. Aku yang terbiasa membaca buku-buku suspense yang menegangkan tentu mengharapkan liku-liku pencarian jejak yang membutuhkan konsentrasi khusus. Meskipun demikian ada sebuah pelajaran yang bisa dipetik dari buku ini. Suskind mencoba menuangkan buah pikirannya dalam wujud Grenouille, anak haram yang tak mengenal cinta dari sesama. Grenouille yang tak berbau menciptakan sebuah parfum beraroma manusia untuk dipakai olehnya sendiri. Berkat parfume ini, Grenouille yang biasanya tak dianggap kini setiap orang akan menoleh padanya. Parfume beraroma keringat membuat Grenouille yang semula tak ada menjadi sosok nyata. Ya, pada dasarnya manusia ingin dianggap oleh sesamanya. Manusia ingin diakui keberadaannya oleh yang lain. Entah itu dalam bentuk kekaguman atau penghinaan, cukuplah jika seseorang dapat menarik perhatian sehingga mata tertuju padanya. Ambisi Grenouille menciptakan parfum terhebat dari bagian tubuh korban-korbannya pun tak lepas dari keinginan Grenouille untuk dicintai sesamanya. Kekosongan batinnya berubah menjadi keinginan untuk membalas dendam, memegang kendali atas manusia dengan parfum ciptaannya. Jika membaca buku ini, dijamin akan terbengong-bengong dengan penyelesaian ala Suskind. Sungguh akhir yang tidak terduga untuk sebuah drama pembunuhan. Walaupun rasanya mustahil sebuah aroma bisa menyebabkan sebuah tragedi, buku ini lumayan sebagai referensi untuk dibaca. Pada akhirnya semirip apa pun dengan aslinya, tiruan tetaplah tiruan. Sebuah tiruan hanya memberi kepuasan sesaat, hingga akhirnya kekosongan yang berlarut-larut akibat kekecewaan yang bertumpuk.

Minggu, 14 Desember 2008

Where is Shin ?



"Perlukah alasan ? Aku tak tahu alasan orang untuk membunuh. Tapi tak ada alasan logis untuk menolong !"





Seperti biasa, hari Minggu adalah saatnya memanjakan diri dengan menonton deretan anime terbaik di televisi. Setelah minggu kemarin absen karena ada kepentingan yang menyangkut nasib, minggu ini dengan semangat aku menantikan datangnya hari Minggu. Meskipun masih mengantuk gara-gara begadang nonton bola, aku menyeret kakiku ke depan televisi. Dimulai dengan anime spesial Inuyasha, aku pun memuaskan diri menyimak jalan cerita animasi di Hari Minggu. Mendekati pukul setengah sembilan, rasa was-was menghinggapiku. Ya, biasanya setengah sembilan berarti Detective Conan, salah satu anime favoritku. Namun minggu pagi itu jarum jam sudah mendekati pukul sembilan dan anime kesayanganku belum juga dimulai ! Kutunggu dengan sabar siapa tahu jadwal molor seperti yang sudah-sudah. Mukyaaaa.....ternyata hingga tiba saatnya anime favoritku berikutnya, serial Detective Conan tak kunjung diputar ! Lagi-lagi stasiun televisi itu memutus tayangan tanpa pemberitahuan. Jengkel bercampur sedih, aku tak sabar datangnya minggu depan, berharap hanya kali ini serial Conan absen.
Mengapa aku sebegitu mirisnya ketika harus melewatkan serial ini sekali saja ? Sejak mengenal tokoh Conan dengan membaca versi komiknya, cowok fiktif ini mempunyai tempat tersendiri dalam hatiku ^^. Detektif Conan bercerita tentang perjuangan detektif SMA Shinichi Kudo membongkar organisasi hitam yang mengecilkan tubuhnya dengan obat APTX. Menyamar menjadi Conan Edogawa, anak kelas satu SD iya menjadikan detektif amatir Kogoro Mouri terkenal dengan menyelesaikan kasus di balik layar. Lambat laun kasus yang melibatkan anggota organisasi misterius itu pun bermunculan dan selangkah demi selangkah Conan mendekati titik permasalahan. Shinichi, identitas sesungguhnya Conan betul-betul menjadi gambaran cowok ideal. Pintar, baik hati, selalu ingin tahu, gentleman, setia meski tak luput dengan kekurangan yaitu sifatnya yang tidak sabaran menjadikan sosok Shin kadang hadir dalam mimpiku ^^. Melalui Shin, yang seringnya berwujud Conan aku mendapatkan sesuatu yang berharga. Tidak hanya hal-hal umum yang menambah wawasanku, tapi juga kalimat-kalimat bijak yang terucap darinya. Hingga volume 52 sekarang terhitung ada beberapa adegan yang membuatku terharu. Salah satunya ketika Shin berkunjung ke Los Angeles dan menjumpai kasus pembunuh berantai. Di tengah rintik hujan, dengan wajahnya yang sendu namun tegas Shin melontarkan kalimat yang tidak hanya membuat sang pembunuh terpana namun juga semua yang membacanya. Yah, setiap melakukan sesuatu yang buruk beribu alasan menjadi sebuah pembenaran diri. Namun untuk menolong, rasanya tidak perlu alasan untuk melakukannya. Duh, membaca kalimat ini membuatku iri pada tokoh Ran yang berada dalam dekapan Shin ^^.
Berulang kali aku membaca serial ini dari awal, berulang kali pula aku terpesona pada tokoh Shinichi Kudo. Tak heran, aku memutuskan untuk mengoleksi seri komik lengkapnya. Berhubung aku mulai berlangganan dari volume 39, bisa dibayangkan betapa beratnya perjuanganku yang masih mengandalkan anggaran dari ortu. Hari Minggu pun menjadi hari yang kutunggu untuk bertemu dengan Shin dalam bentuk anime. Sayang, dua minggu ini aku tak bisa menyaksikan kegemilangan Shin dalam memecahkan kasus. Dan mungkin saja untuk selanjutnya serial ini berhenti tayang. Hiks...where is my Shin ?

Kamis, 11 Desember 2008

Berharap Hanya Sekedar Sial

Bicara tentang sial, sepertinya hampir setiap orang pernah mengalami yang namanya ketiban sial. Entah itu kesialan yang mengundang tawa, jenggkel amarah hingga duka. Masih seputar sial, aku jadi ingat tentang seorang teman yang namanya ditambahi dengan embel-embel 'sial'. Kenapa bisa begitu ? Sepanjang yang kuingat, si R ini dijuluki sial gara-gara tak sengaja memecahkan kaca jendela kelas saat main basket. Jika ada orang bilang nama itu mengandung doa dan harapan, sedikit banyak hal itu terbukti pada temanku ini. Sejak dipanggil dengan sebutan Sial entah mengapa kejadian yang membuat ciut beruntun terjadi. Mulai dari kalah dalam permainan hingga akhirnya gagal masuk sebuah akademi yang dicita-citakannya. Saat ini, entah dimana dan apa kabar temanku ini, semoga kesialan yang dulu berbalik menjadi keberuntungan.
Seperti halnya temanku dan yang lainnya, aku pun tak luput dari kesialan. Baru-baru ini, tepatnya dimulai sejak hari Sabtu kemarin rasanya semua yang terjadi termasuk kategori sial untukku. Setelah menanti dengan tak sabar, akhirnya tibalah hari penentuan nasib alias ujian CPNSD yang diadakan serentak di seluruh Jawa Tengah (sejauh yang kutahu lho). Niat berangkat menuju lokasi pagi-pagi agar sempat beristirahat cukup plus belajar materi ujian yang belum sempat kubaca kandas. Kedatanganku ke kantor pos sia-sia gara-gara jaringan sedang offline. Kesegaran sehabis mandi pun luntur setelah mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi. Keberangkatanku semakin tertunda karena oleh-oleh yang dijanjikan ternyata harus didapat dengan susah payah. Sabar...sabar, demikian aku menenangkan diri, maklum hari itu aku meniatkan diri berpuasa menjelang hari lebaran haji. Setelah kurang lebih tiga setengah jam perjalanan melintasi wilayah perbukitan, sampai juga aku di kota Wonosobo. Hujan menyambut ketika aku turun dari minibus, padahal aku dengan 'pe-de'nya tidak membawa payung karena beberapa hari ini panas menyengat. Mengingat aku berencana tukar menukar soal-soal dengan sahabat yang kuanggap kakakku sendiri, sesudah istirahat sebentar aku bertolak menuju rumahnya. Badan lemas dan kepala pusing menahan lapar dan haus membuatku tak sabar menunggu waktu berbuka tiba. Tak disangka, aku harus berbuka seadanya. Aku maklum sih, kedatanganku tidak direncanakan jauh-jauh hari, aku juga bersalah tidak bersiap-siap dulu. Aku lupa bahwa rumah kakakku itu jauh dari keramaian kota yang serba ada. Sebetulnya sih, tidak masalah berbuka dengan sebungkus mie instant, hanya saja waktu itu aku tidak menyempatkan diri untuk sahur. Walhasil tekanan darahku pun turun dengan sukses ^^.
Setelah semalam belajar sambil diselingi nonton serial kesayanganku "Supernatural" yang sekarang pindah jam tayang mendekati tengah malam (atau sebaliknya ..? ^^) keesokan harinya aku merasa siap untuk menempuh ujian. Lagi-lagi kesialan menimpaku, baju sopan berkerah yang sudah kusiapkan tak bisa kupakai. Kakakku dan suaminya pun tersenyum-senyum mendengar ceritaku tentang baju yang berubah menjadi cucian siap jemur. Akhirnya aku berangkat menuju lokasi tes dengan atribut pinjaman mulai dari baju hingga sepatu. Tubuhku yang masih lemas karena kekurangan asupan gula, semakin kuyu ketika berbaur dengan orang-orang yang hendak bertransaksi di pasar lokal. Bau sayur, buah, asap rokok, dan parfum menyengat membuat kepalaku pening ketika menempuh perjalanan dengan menggunakan angkutan yang disebut 'ijet'. Sampai di lokasi, aku semakin puyeng melihat banyaknya saingan yang sama-sama memperebutkan posisi lowong di diknas itu. Mencoba untuk bertahan, aku menenangkan diri beristirahat di bangku di depan kelas sembari menggigil kedinginan. Udara Wonosobo yang pada dasarnya dingin itu semakin menggigit karena hujan deras mengguyur sejak pagi. Hampir dua jam aku dan yang lainnya menunggu saat dimulainya ujian. Rupanya panitia penyelenggara lupa memberitahukan jam dimulainya ujian hingga peserta bosan menunggu.
Usai mengerjakan seratus soal yang super sulit, aku pun menyerah, membatalkan niatku berpuasa hari itu. Di bawah siraman hujan, aku dan kakakku dengan semangat menuju warung mi favoritnya ^^. Semangkuk mi hangat lumayan meredakan pusing kepalaku, tak lama kemudian kami pun berpisah menuju jalan pulang yang berbeda. Sesuai rencana, hari Rabu aku pulang ke rumah. Namun sebelumnya aku mampir dulu ke suatu tempat. Apalagi kalau bukan Purwokerto, tempat di mana hampir sebulan sekali aku ke sana, memuaskan dahagaku akan komik. Lagi-lagi hujan turun dengan derasnya, sungguh sial untukku yang tidak berbekal payung yang biasanya selalu tersimpan di tas meskipun cuaca cerah. Empat jam lamanya aku berdiam di tempat favorit, larut dalam kesibukan membaca komik-komik seri terbaru yang belum kubaca. Ketika hari beranjak sore, aku pun bersiap melanjutkan perjalananku pulang ke rumah. Setelah ber-'say hai' dengan teman, berbagi informasi dan berita,aku pun menyandang ranselku yang semakin berat dengan tambahan beberapa komik pesananku, bergegas menaiki angkutan menuju pusat perbelanjaan langgananku.
Rupanya minggu ini menjadi minggu apesku, begitu sampai terminal aku ketinggalan bus yang melewati rumahku. Terpaksa aku naik minibus yang terkenal mahal. Perasaan tidak enaku menjadi kenyataan ketika aku terdampar di sebuah tempat menanti kedatangan bus malam. Yah, inilah jeleknya minibus, tidak bertanggung jawab dalam pelayanan. Seringkali terjadi penumpang diturunkan di tengah jalan dengan alasan akan berputar balik karena sepi penumpang. Menahan dingin karena gerimis turun, akhirnya aku mendapatkan bus. Bersyukur akhirnya aku sampai di rumah dengan selamat meski badan lemas, pegal dan migren yang datang tanpa diundang.
Dari sekian kesialan yang datang beruntun, membuatku berpikir apakah ini menjadi sebuah pertanda ? Yang menjadi pertanyaan tentu apakah itu pertanda baik atau buruk. Pastinya aku berharap semua yang telah terjadi layaknya judul sinetron zaman dulu "Sengsara Membawa Nikmat". Yang jelas, di balik kesialan ini aku menyadari sebuah kesalahan dalam sebuah rencana. Persiapan menjadi langkah penting untuk sebuah keberhasilan, setelah ku berpikir ulang memang ada kekurangan dalam persiapanku. Pada akhirnya aku berharap semuanya hanya sekedar sial belaka.

Rabu, 03 Desember 2008

Jangan Salah Ya




Siapa bilang kalau orang menjadi bodoh kalau sering membaca komik ? Yang membuat pernyataan demikian tentunya mereka yang pengetahuan tentang komik yang terbatas. Akhir-akhir ini tema dan genre komik begitu beragam dan tak sedikit komik-komik yang memuat informasi terkini dan ilmu pengetahuan yang diramu dalam sebuah cerita fiksi memikat. Cobalah untuk membaca komik-komik karya Motohiro Katou dijamin tidak akan rugi justru sangat bermanfaat. Komik pertama buatan Motohiro Katou yang terbit secara legal di Indonesia adalah QED (Quod Erat Demonstrandum). Meskipun banyak komik bertema detektif yang telah diterbitkan oleh pemegang lisensi komik disini, QED mempunyai daya tarik tersendiri. Jika tokoh detektif selama ini digambarkan sangat cerdik dan terlibat dalam kasus-kasus rumit yang sebagian besar pembunuhan, tidak demikian halnya dengan QED. Toma, detektif SMA dalam komik ini, diceritakan sebagai anak jenius yang sering dimintai tolong jika ada masalah pelik. Kasus tidak melulu orang yang terbunuh, tapi juga masalah pencurian, kehilangan hingga masalah penipuan biasa. Ciri khusus dalam QED adalah penyelesaian masalah tanpa menyudutkan si pelaku. Dalam penjelasannya, Toma akan memaparkan analisisnya berdasarkan bukti-bukti yang ada sehingga mencapai kesimpulan tentang si pelaku. Berbeda dengan komik detektif lain yang langsung menunjuk orang yang bersalah dengan hipotesanya. Satu lagi keistimewaan QED, meskipun kasus yang diceritakan beragam sebagian besar cerita mengandung unsur matematika. Mungkin karena Motohiro-sensei menggambarkan karakteristik Toma sebagai anak jenius matematika jebolan MIT. Walhasil setelah membaca komik ini, pembaca akan mengenal teorema matematika tingkat tinggi yang dijelaskan dengan cara praktis sehingga pembaca yang bukan ahli matematika dapat sedikit memahami teori tersebut. Motohiro-sensei rupanya sudah mencapai taraf novelis bermutu dibuktikan dengan sebuah karya lainnya yaitu C.M.B. Komik ini rupanya masih berhubungan dengan komik sebelumnya ditandai dengan munculnya tokoh Shinra yang diceritakan sebagai sepupu Toma. lain halnya dengan QED yang mengumbar matematika, C.M.B memuaskan keingintahuan pembaca akan sejarah. Shinra (lagi-lagi usia anak sekolah) diceritakan sebagai pewaris tiga cincin milik tokoh besar British Museum. Menyinggung masalah museum, pastinya komik ini mengambil latar sejarah sebagai plot. Serupa dengan QED, komik ini bertema detektif amatir dengan kasus-kasus yang berpangkal dari sejarah. Komik yang hingga kini baru mencapai volume 4 ini, menjanjikan petualangan historis di seluruh dunia. Dengan membaca C.M.B, di akhir cerita pembaca akan menambah pengetahuannya mengenai suku Aztec, perbedaan antara Colosseum dan Forum Romanum, asal mula tembok ratapan di Yerusalem dan masih banyak lagi yang lainnya. Mengingat C.M.B yang terbit baru mencapai volume awal, bisa dibayangkan sejarah apalagi yang bisa diserap dengan membaca komik ini. Nah, masih ngomong kalau komik itu merusak ?

Krisis

Biarpun harga minyak mentah menurun, krisis global tetap berlanjut. Beberapa waktu lalu pemerintah akhirnya menetapkan Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri sebagai salah satu upaya mengatasi dampak krisis dunia di Indonesia. Turunnya SKB empat menteri ini tentu sudah melalui berbagai pertimbangan matang baik resiko maupun dampak langsung demi tujuan jangka panjang. Hasilnya, demonstrasi besar-besaran menentang SKB ini digelar oleh kaum buruh di berbagai daerah. Buruh merasa dirugikan dengan ditetapkannya SKB ini terutama pada masalah finansial. Salah satu poin SKB mengenai upah minimum regional dinilai memojokkan kaum buruh. Pemerintah boleh saja berdalih bahwa turunnya nilai UMR akan memulihkan kembali roda industri yang belakangan ini tersendat. Pada kenyataannya dengan memanfaatkan SKB ini, ada perusahaan yang mulai merencanakan PHK besar-besaran. Sebuah langkah drastis untuk memangkas biaya operasional. PHK diberlakukan untuk menyisir buruh-buruh tetap dengan gaji bulanan tinggi. Untuk mengatasi kurangnya karyawan, perekrutan tenaga baru akan dilakukan. Sebuah langkah kejam namun jitu karena upah tenaga baru hanya berkisar antara UMR yang tentu saja menghemat pengeluaran untuk upah karyawan. Ya, hasil dari pemangkasan upah pekerja ini memang bisa dimanfaatkan untuk memulihkan kas perusahaan sehingga bisa berproduksi kembali. Diharapkan dengan kembali beroperasinya perusahaan baik industri maupun jasa sedikit demi sedikit krisis akan berkurang. Meskipun demikian pemerintah seharusnya memikirkan nasib pekerja yang terkena pemotongan upah dan PHK, bagaimana mereka harus membiayai hidup sehari-hari selama tujuan jangka panjang belum tercapai sementara inflasi terus menerus terjadi. Lagi-lagi kaum kecil selalu menjadi korban yang pertama jatuh untuk kebaikan yang lebih besar.

Dream A Dream

Alangkah nikmatnya jika bisa tidur dengan sempurna alias tidur nyenyak tanpa mimpi dan bangun dengan tubuh segar siap untuk beraktifitas. Orang bilang bahwa mimpi adalah bunga tidur. Seperti bunga, adakalanya mimpi tidak muncul karena masih kuncup, suatu saat mimpi mekar menjadi bunga yang indah dan harum dan tak jarang mimpi menjadi momok menakutkan layaknya bunga beracun. Walaupun mimpi hanya sekedar bunga dalam tidur, tak jarang orang yang menganggap mimpi sebagai petunjuk akan sesuatu. Profesi sebagai ahli tafsir mimpi pun banyak digeluti, demikian juga dengan buku-buku arti mimpi muncul di pasaran laris diburu orang-orang yang percaya akan mimpi. Akhir-akhir ini entah mengapa tidurku selalu dilengkapi dengan mimpi tentang seseorang yang sudah lama hilang dari ingatan. Meskipun mimpi hadir dengan plot berbeda, namun tetap dengan tokoh yang sama dan 'ending' serupa. Ada apa gerangan ? Entahlah, aku sendiri juga tak mengerti. Selama ini aku menganggap mimpi adalah wujud pikiran terdalamku terhadap sesuatu hal. Seringkali jika aku mencemaskan sesuatu, ketakutan itu akan muncul dalam bentuk sebuah mimpi. Demikian pula jika aku sedang gembira dan tak sabar menantikan sesuatu, biasanya dalam tidur aku akan memimpikannya. Terkadang aku mampu mengontrol mimpi yang kuinginkan ( ???) dengan cara tertentu yang biasanya berhasil. Namun selebihnya, mimpi menjadi ingatan samar di keesokan paginya. Betapapun indah sebuah mimpi bahkan mimpi buruk yang mampu membuatku gemetar, akan lenyap dengan meninggalkan sedikit bekas saat aku terbangun. Kembali ke mimpiku akhir-akhir ini, mimpi tentang orang itu sebegitu seringnya terjadi hingga membuatku benar-benar heran. Apakah ini sebuah pikiran bawah sadarku yang merindukannya ? Apakah ini sebuah penyesalan akan sesuatu yang terlewatkan ? Apakah ini berarti sebuah harapan yang masih tersisa ? Ataukah ini hanya sebuah kilasan memori yang bergitu berkesan ? Hmmm....yang jelas semua mimpi itu selalu membuatku tersenyum manis teringat suatu episode yang tak terlupakan. Mimpi itu juga membuatku tersenyum getir, betapa masa lalu tak mungkin terulang lagi. Mungkin aku bermimpi tentang sebuah impian yang tak bisa kuraih karena sebuah kebodohan yang termaafkan.
"Dream a dream and see through angel's eyes, a place where we can fly away"

Minggu, 30 November 2008

Book Fair

Book Fair atawa pesta buku selalu menjadi ajang yang kutunggu-tunggu kehadirannya. Berkat hobi membaca, lambat laun keinginan untuk memiliki perpustakaan pribadi semakin menguat dalam diriku. Berhubung belum mampu untuk membeli buku sebanyak yang kumau, berburu buku di pesta buku menjadi pilihan utama. Book Fair sangat diminati para pecinta buku karena di sini ditawarkan berbagai jenis buku dan yang paling penting banyak buku-buku yang dijual dengan harga super murah. Tak heran, aku selalu menyempatkan diri untuk melihat-lihat book fair di kota terdekat. Dan pastinya, aku tak kan pulang dengan tangan hampa. Seperti hari ini, aku membelanjakan sedikit uang jajanku untuk membawa pulang setumpuk buku murah bergenre cerita anak-anak. Aku pun sempat tak percaya ketika membaca spanduk yang terpasang di pertigaan jalan. Hampir tidak pernah ada bookfair di daerah tempatku tinggal ini. Bahkan toko buku pun jarang, dan kalau ada pun tidak selengkap dan seramai toko-toko buku di tempat lain. Aku pun mengakui bahwa minat baca di lingkungan sekitarku sangatlah minim, anak-anak dan remaja lebih tertarik main playstation daripada menyimak kalimat-kalimat yang mungkin terasa membosankan, orang dewasa lebih menyukai menonton televisi untuk memperoleh informasi ketimbang membaca koran. Kondisi ini lah yang membuatku merasa kecut saat harus kembali pulang, jauh dari tempat aku bisa membaca buku-buku kesukaanku dengan cara meminjam. Tak sabar menanti datangnya tanggal pelaksanaan bookfair, aku pun mengajak temanku sesama penggila buku-buku fiksi untuk berkunjung kesana. Setelah menenmpuh kurang lebih setengah jam perjalanan, aku pun tiba di tempat penyelenggaraan book fair. Seperti yang kuduga sebelumnya, meskipun hari Minggu, bookfair nampak sepi pengunjung. Lain sekali dengan book fair yang selama ini kukunjungi, di akhir pekan atau di penghujung jadwal penyelenggaraan biasanya penuh sesak dengan orang-orang yang tertarik untuk membeli maupun sekedar melihat-lihat. Kegembiraanku sedikit menguap melihat jumlah stan yang ada. Hanya sekitar limabelas stan yang memenuhi gedung Setda, beberapa di antaranya sudah kukenal dengan baik di bookfair sebelumnya. Untunglah, di kejauhan aku melihat stan milik penerbit yang menjadi langgananku selama ini. Dengan segera aku menarik temanku untuk mendekati stan terbesar itu. Hmmm...seperti yang sudah-sudah, buku-buku baru yang menarik hanya bisa kupandangi dengan tatapan kepingin. Maklum hampir tidak ada dana untuk membeli buku di luar anggaran rutin ^^. Puas melihat-lihat, aku pun menyambar enam buah buku yang banting harga, cukup lumayan untuk menambah koleksi pribadiku. Aku pun semakin 'nyengir' setelah berhasil membujuk temanku membeli buku yang ingin kubaca ^^. Yah, mungkin bookfair kali ini hanya menjadi ajang percobaan, melihat pangsa pasar di daerah sekitar tempat tinggalku. Sungguh sebuah kondisi yang patut menjadi PR bagi pihak-pihak terkait untuk meningkatkan minat baca-baca baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Pada kenyataannya, hanya beberapa gelintir orang saja yang berkunjung, itupun terbatas pada stan-stan yang menyediakan buku-buku penunjang pelajaran. Sedikit sekali orang yang melirik buku-buku non fiksi maupun fiksi yang bermutu, lebih sedikit lagi pada stan yang memajang buku-buku yang tergolong mahal. Rupanya minat baca disini benar-benar rendah, jangankan untuk membeli. Semoga saja dengan adanya book fair ini memancing orang-orang untuk lebih gemar membaca. Membaca merupakan sarana murah untuk melihat luasnya dunia. membaca juga meningkatkan pola pikir, menambah pengetahuan, menyerap kebijaksanaan orang lain. Ya, dengan membaca kita dapat menyerap hal-hal positif yang pastinya akan berguna.

Dua Hari di Jogja

Akhirnya kembali lagi ke Jogja, apalagi kalau bukan untuk ikut andil dalam perburuan masa depan terjamin. Berbekal sedikit informasi mengenai rute yang harus ditempuh, aku pun tiba dengan selamat walau sedikit dongkol dengan terjadinya hal yang di luar dugaan. Wajah Jogja yang kukenal telah berubah banyak, lebih padat, penuh dengan pemukiman dan deretan pertokoan yang menawarkan berbagai macam kebutuhan disajikan dalam tampilan menarik. Jogja, semakin mendekati kota metropolitan, pendidikan, hiburan, peluang usaha dan lapangan kerja semua bisa ditemukan di daerah istimewa ini. Layaknya kota-kota besar yang menjadi tujuan kaum urban, Jogja pun tak luput dari masalah macet. Mengikuti jejak pemerintah ibu kota yang meluncurkan program busway, armada angkutan umum serupa sekarang beroperasi di Jogja. Meskipun aku sudah lama mendengar tentang angkutan umum super murah plus nyaman, baru kali ini aku merasakan secara langsung menggunakan angkutan yang disebut Trans Jogja itu. Sedikit kikuk layaknya orang yang baru pertama kali masuk ke halte busway, aku dengan gembira menantikan kedatangan bus yang akan membawaku ke tempat tujuan. Hmmm...rupanya propaganda tentang busway tidak terlalu muluk. Begitu aku memasuki bus hijau itu udara segar dan dingin menggantikan suhu tinggi di luar ruangan. Perjalanan yang cukup lama pun kutempuh dengan nyaman dan antusias. Sepanjang jalan, aku asyik merekam dalam ingatan jalan-jalan kota Jogja yang belum pernah kulalui. Iringan musik tanah air yang disiarkan melalui radio setempat menambah rasa santai dan tak lupa kantuk yang menyerang^^. Busway menjadi satu usaha pemerintah yang patut diacungi jempol. Kenyamanan dalam berkendaraan, rasa aman, keramahan awak bus, dan tarif yang terhitung murah dapat menarik minat pemakai jalan untuk beralih menggunakan angkutan umum. Ketepatan waktu yang biasanya menjadi alasan untuk menggunakan kendaraan pribadi dapat diatasi dengan jam keberangkatan bus yang teratur. Namun demikian, berdasarkan pengamatanku selama dua hari di Jogja, keberadaan Trans Jogja belum direspon sepenuhnya oleh masyarakat. Sepanjang perjalanan, bisa dihitung dengan jari kapan dan dimana bus terisi penuh. Kondisi yang jauh berbeda dengan kendaraan umum semacam busway di Jepang yang selalu padat terutama pada jam-jam kerja. Kendaraan roda dua bermotor masih mendominasi jalan-jalan protokol di Jogja. Mungkin pemerintah perlu menambah propaganda sehingga busway bisa menjadi pilihan utama dalam berkendaraan sebagai solusi nyata dalam mengatasi masalah kemacetan.
Usai melaksanakan kegiatan yang diikuti sekitar 3000 ribu peserta, aku pun bergegas mendatangi tempat yang selalu menjadi tujuan sampingan namun wajib jika aku berada di Jogja. Shopping yang sekarang sudah direlokasi di kawasan Taman Pintar adalah pusat perbukuan yang banyak diburu. Berbagai jenis buku baik baru maupun bekas bisa didapatkan di sini dengan harga lebih rendah dari harga resmi. Wow, perasaanku meluap-luap ketika tiba di tempat ini. Tumpukan buku yang tertata rapi membuat mataku tak henti-hentinya menelusuri judul-judul yang tertera. Penuh semangat aku menyerbu sebuah stan yang menyediakan komik-komik bekas, mencari beberapa judul komik untuk melengkapi koleksiku. Sayang, waktu tak memungkinkan untukku tinggal lebih lama. Dengan berat hati namun puas setelah mendapat beberapa buku yang kucari, aku pun meninggalkan kota Jogja. Dalam hati, aku berharap semoga tak lama lagi aku bisa kembali menikmati kota yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional ini.

Sabtu, 22 November 2008

Milanisti




Jika seseorang bertanya padaku, apakah aku menyukai sepak bola, jawabannya seratus persen ya. Apakah aku penggemar fanatik cabang olahraga bola besar tersebut ? Aku mungkin akan menjawab tidak. Tak dipungkiri ketertarikanku pada sepal bola berawal dari keinginan untuk ikut larut dalam euforia piala dunia 1998. Aku tak malu untuk mengakui bahwa faktor tampang para pemain turut andil dalam kecintaanku akan dunia sepakbola. Sudah menjadi karakteristikku untuk menjadi penggemar yang selalu 'all out' alias habis-habisan. Apapun yang menarik minatku, aku tak segan-segan menghamburkan rupiah demi sepotong gambar, info maupun pernak-pernik yang berbau favoritku. Demikian pula dengan sepak bola, meskipun banyak liga bergengsi di dunia, aku menjatuhkan pilihanku pada Liga Italia Seri A. Alasan di balik pemilihan liga tersebut tentu tak lepas dari faktor pesepakbola yang menjadi favoritku selama ini. Siapa lagi kalau bukan, si ganteng Alessandro Nesta. Hmmm...aku jadi ingat komentar seseorang yang sedikit menyinggungku. Yah, aku memang tak suka jika ada komentar tak sedap pada hal yang kugemari ^^. Biarpun sekarang 'difensore' handal ini sudah semakin berumur, dan jarang tampil di laga akibat cedera yang berkepanjangan, dia tetap menjadi magnet yang menarikku untuk duduk manis di depan tv. Meskipun ditayangkan pada waktu dini hari, tak menghalangiku bangun tengah malam untuk mendukung dari jauh tim yang dibelanya. AC Milan, klub yang bermarkas di kota Milan ini, menjadi tim favorit yang kudukung sepenuhnya pada kompetisi yang memperebutkan gelar scudetto Seri A. Sejak musim 2002-2003, tepatnya semenjak Nesta hijrah ke Rossonero (RedBlacks-sebutan AC Milan yang mengacu pada kostum merah hitamnya), jarang sekali aku absen menonton duel antara AC Milan dengan lima belas klub yang ikut memperebutkan gelar juara Seri A. Yang paling menarik, AC Milan menjadi tempat berkumpulnya pemain-pemain kesayangan tidak hanya aku, tapi juga teman-temanku yang 'gibol' alias maniak sepakbola. Dengan kedatangan David Beckham di awal tahun 2009 nanti, lengkap sudah deretan pemain favorit yang menjadikan AC Milan sebagai tempat unjuk kebolehan. Ya, aku dan dua sahabatku yang semula mendukung tim yang berbeda, dan acapkali harus berhadapan di berbagai ajang kejuaraan, kini berkumpul di San Siro. Berawal dari sahabatku yang mengidolakan sosok Rui Costa, dan tambatan terbarunya 'Good Boy" Richardo Kaka, aku yang semula Lazialita bergabung ke Milan dengan dijualnya Nesta gara-gara kesulitan keuangan yang dialami Lazio, sahabat yang kini berstatus nyonya merelakan label Juventini dengan bergabungnya Pippo Inzaghi. Sungguh luar biasa bahwa empat orang berbeda, dengan favorit berbeda pada akhirnya bernaung di bawah bendera AC Milan. Grup Milanisti pun terbentuk dadakan, bersatu mendukung klub yang kini kembali menggeliat sehingga patut diperhitungkan sebagai kandidat juara musim ini. Peristiwa yang langka namun bukan berarti mustahil ini layaknya sebuah firasat akan sebuah keberhasilan perjuangan keras seorang sahabat. Benar, baru-baru ini anggota termuda Milanisti sukses membawa impian kami menginjak tanah San Siro, menyaksikan langsung pertandingan terakhir AC Milan di partai kandang. Dan pada akhirnya, mengabadikan pesan-pesan Milanisti untuk favorit masing-masing disana. sungguh buah tangan yang paling mengharukan, karena perasaanku untuk orang yang mampu menggugah imajinasiku tersampaikan di tanah yang sama, tertiup udara yang sama dengannya.
Thank's, Sis ! Aku benar-benar berharap apa yang kutulis terlaksana. Nesta, terus berjuang, jangan menyerah, karena tanpamu pesona sepak bola sedikit memudar.

Rabu, 19 November 2008

Dan Petani pun Menjerit

Setelah musim kemarau yang cukup panjang, hujan yang dinanti-nanti akhirnya datang juga. Melimpahnya air menjadikan sumber-sumber air yang telah mengering menjadi terisi kembali. Di beberapa daerah bahkan mulai terjadi banjir akibat sistem pengelolaan aliran air yang buruk ditambah dengan hilangnya daerah resapan air. Sawah-sawah tadah hujan kembali memperoleh cukup air sehingga bisa ditanami dengan tanaman yang membutuhkan cukup air untuk tumbuh. Petani pun bersiap-siap untuk mulai menggarap lahan mereka. Mencangkul dan membajak sawah, mengembalikan kondisi tanah sehingga siap untuk ditanami, membeli bibit unggulan dengan harapan memperoleh hasil yang melimpah. Malangnya, kegembiraan menyambut datangnya musim penghujan yang berarti tiga bulan ke depan lumbung padi mereka akan terisi penuh harus terusik dengan langkanya pupuk, salah satu komponen penting yang menentukan berhasil tidaknya masa panen. Kehidupan petani sebagai ujung tombak produksi pangan di Indonesia yang masih berstatus negara agraris sekarang memang jauh berbeda dengan masa sebelum reformasi dulu. Petani sekarang sudah melewati masa keemasannya. Kerja keras dan biaya operasional dalam bercocok tanam tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh. Hasil panen memang menutup biaya yang dikeluarkan untuk bibit, pestisida dan pupuk, namun sisanya tidak mencukupi untuk biaya hidup karena sebagian harus digunakan untuk masa tanam berikutnya. Akhir-akhir ini, petani dipusingkan dengan masalah pupuk yang harganya semakin lama semakin meroket. Selain itu, pupuk sulit didapat di pasaran. Petani harus puas dengan jatah kupon untuk membeli sekarung pupuk di tempat yang telah ditentukan dengan menunjukkan identitas diri. Penjatahan pupuk ini membuat petani semakin resah, karena pupuk yang diperoleh tidak mencukupi untuk kebutuhan masa tanam. Kemanakah pupuk menghilang ? Menurut Gubernur Jawa Tengah, stok pupuk cukup banyak, sehingga petani tidak perlu khawatir. Pada kenyataannya, petani harus berebut untuk mendapatkan sekantong pupuk. Sang Gubernur pun dibuat kebingungan dengan fenomena ini. Mendengar keterangan demikian, banyak pihak mulai mencurigai adanya permainan pada pihak distributor sebagai pemegang kontrol peredaran pupuk. Keadaan ini sangat mendesak untuk ditindak lanjuti, sehingga Gubernur pun berjanji akan mengadakan penyelidikan dan menindak tegas bila terjadi kecurangan. Janji yang cukup menentramkan, jika petani tidak terdesak waktu untuk segera mulai bercocok tanam ^^. Mengapa kelangkaan pupuk sanggup membuat petani kalang kabut ? Menurut petani, bibit padi tidak akan tumbuh dengan baik jika tidak diberi suplai pupuk. Akibatnya kuantitas dan kualitas bulir-bulir padi yang dihasilkan tidak sebaik padi yang diberi pupuk anorganik tersebut. Upaya pemupukan dengan pupuk organik macam kompos dan kotoran binatang pun tidak membuahkan hasil yang signifikan. Rupanya, konsep kembali ke alam sudah tak bisa diterapkan lagi. Walhasil, petani menjadi tergantung dengan pupuk kimia meskipun mahal dan dari segi lingkungan lambat laun dapat menyebabkan kerusakan pada tanah. Apakah penyebab dari ketergantungan tanaman pada pupuk buatan ini ? Mungkinkah ini dikarenakan oleh pemakaian pupuk yang terus menerus dan berlebihan sehingga merusak kesuburan tanah ? Ataukah jenis bibit hasil rekayasa ilmuwan yang menuntut pemakaian pupuk kimia sebagai syarat untuk tumbuh subur ? Mengapa tidak ada himbauan untuk menggunakan pupuk alami alih-alih berebut pupuk buatan pabrik ? Pertanyaan demi pertanyaan seakan tak ada habisnya jika kita melihat nasib para petani kini. Mereka yang memeras keringat untuk mencukupi kebutuhan pangan, namun mereka pulalah yang terus menjerit akan ketidakadilan ini.

Minggu, 16 November 2008

Masih minggu yang sibuk

"Kau lolos, ambil kartu tanggal 14, tes tanggal 15", membaca sms dari temanku, sejenak membuatku tak percaya. Aku memang tak berharap kali ini mengingat beberapa poin prosedur lamaran yang kulewatkan. Keberuntungan rupanya masih menaungiku. Sedikit bimbang karena harus membatalkan beberapa janji yang sudah jauh-jauh hari kujadwalkan, akhirnya dengan dorongan dari temanku aku memutuskan untuk berangkat, mengadu nasib sekali lagi. sekali lagi aku terjebak di dalam bus yang panas. Meskipun lelah, aku tak membiarkan diriku terlelap. Aku yang duduk di samping jendela, sibuk mengamati pemandangan sepanjang perjalanan dengan cermat, mencari perubahan yang terjadi selama satu tahun ini. Menginjak lokasi penuh kenangan saat KKN dulu, membuatku terkenang akan sosok "Bos", teman baik yang kini sudah damai di sisi-Nya. Kata orang, mereka yang baik selalu dipanggil Tuhan lebih dulu. Mungkin saja, mengingat si Bos yang dari luar tampak garang namun mempunyai hati yang lembut dan siap menolong. Beruntung aku bisa mengenal sosok Bos, dan beruntung aku bisa sekali lagi mengobrol gembira di saat-saat terakhirnya.
Daerah Margasari yang biasanya kering dan panas, bukit-bukit yang gundul, dan udara berdebu, sekarang tampak hijau dan sejuk meskipun hawa masih tetap panas. Gundukan tanah yang aku masih bingung apakah bisa disebut bukit tertutup rumput liar dan semak. Sawah yang biasanya ditanami jagung dan bawang merah, sekarang berisi padi. Pohon-pohon jati yang biasanya meranggas, tertutup dedaunan yang lebat. Rupanya pemerintah setempat menerapkan intensifikasi pertanian, terbukti dengan kawasan hutan jati kini dimanfaatkan untuk menanam jagung di sela-sela pohon jati alih-alih seperti tahun lalu yang dibiarkan ditumbuhi rumput liar.
Satu jam berikutnya, aku semakin gelisah mengingat kali ini aku pergi tanpa teman. Gelisah bukan karena aku kesepian, tapi gelisah memikirkan aku harus menginap semalam di tempat mengerikan itu sendirian. Lagi-lagi kehujanan, uuuhh semoga badanku tidak menyerah, bisa gawat nanti. Akhirnya sampai juga aku di jalan menuju SUPM. Seperti yang kuduga, banyak orang dengan menyandang tas besar berlalu lalang, dengan muka lelah namun penuh semangat. Tergesa-gesa karena waktu pengambilan kartu hampir habis, aku pun menyewa tenaga penarik becak yang hari ini dan besok tertimpa rejeki nomplok. Berharap tidak tampak kebingungan, dengan percaya diri aku menuju tempat yang dulu kudatangi. Malangnya lokasi tempat mengambil kartu berubah, mau tak mau aku pun menyapa orang yang sedang asyik melihat-lihat ruangan tempat ujian. Lega sudah memperoleh kartu, aku kembali melihat papan pengumuman mencari ruangan yang bakal menjadi tempatku mengerjakan soal besok. Baru saja aku merasa heran, karena tidak menemukan wajah yang kukenal, mendadak seseorang mencolek bahhuku. Akhirnya kutemukan juga teman satu angkatan. setelah mengobrol sejenak aku pun berpamitan, bersiap mencari tempat untuk menginap. Inilah hal yang terus membuatku gelisah, sejak aku memutuskan untuk ikut mengadu nasib di departemen milik pemerintah ini. Penasaran kenapa aku gelisah ? Setahun yang lalu, aku dengan dua orang temanku kaget melihat tempat di mana kami menginap berada. Waktu itu, kami yang baru pertama kali berkunjung ke tempat ini, merasa heran bukan main ketika menjumpai nisan ala China berdiri di sebuah pekarangan. Tak sempat berpikir lebih dalam karena ada hal yang lebih mendesak untuk dilakukan, kami pun melupakan keanehan itu hingga perbincangan dengan seorang satpam membuat kami merinding sepanjang malam. Rupanya daerah yang sekarang berisi rumah-rumah penduduk itu bekas pekuburan khusus warga keturunan. Entah bagaimana, kemudian jasad yang semula terkubur dibawah batu nisan diambil keluarganya hingga makam-makam sebagian besar menjadi kosong. Samar-samar aku mendengar penjelasan satpam, hal itu ada hubungannya dengan pemerintah yang mengambil alih lahan. Area pekuburan yang luas itu pun dimanfaatkan penduduk untuk membangun tempat tinggal. Nah, bayangkan saja, aku yang memang sangat penakut harus bermalam di atas bekas makam sendirian ! Lagi-lagi dewi fortuna mengiringiku, di tengah jalan aku menemukan seseorang yang juga sedang bingung mencari tempat menginap. Segera saja kami berdua menjadi teman baik, menempati kamar bersama di rumah yang dulu menjadi induk semangku meski hanya semalam. Berbekal pengalaman tahun lalu, aku pun memutuskan untuk berjalan-jalan ke kota sebelum gelap. Bukannya untuk bersenang-senang, namun mempersiapkan bekal terutama makanan dan minuman, maklum walaupun sudah pernah perutku tidak bisa menerima makanan dan minuman yang berasal dari lingkungan tempatku menginap. Aku jadi membayangkan yang tidak-tidak, begitu mengetahui air yang digunakan untuk sehari-hari berasal dari sumur yang digali di bekas makam itu. Sampai-sampai memakai air untuk menggosok gigi pun membuatku mual. Meskipun aku pengagum arsitektur China bahkan bangunan megah 'bong pay' sebagai tempat peristirahatan terakhir, hal itu tidak menjadikan aku dengan sukarela menjadi penghuni rumah dengan batu nisan sebagai hiasan pekarangan ^^.
Malam yang seharusnya kugunakan untuk mempersiapkan diri menempuh ujian, justru kuhabiskan dengan mengobrol dengan sahabat yang semoga saja aku segera menyusulnya. Mendengar suaranya, membuatku kembali bersemangat, kantuk yang menyerang perlahan menghilang, gelisah karena harus melewatkan malam tergantikan dengan kedamaian ketika sahabatku memperdengarkan Implora, musik instrumental karya Diego Modena. Dengan merendahkan suara takut menganggu teman sekamarku yang sudah terlelap, aku dan 'best friend-ku ' bertukar gosip yang sedang mengikuti salah satu 'adikku'. Walhasil, keesokan harinya aku nyaris tak bisa membuka mata, hingga teman baruku membangunkanku ^^. Segar setelah membasuh diri dengan air yang kualitasnya jauh dibandingkan air dari daerah asalku, aku pun bergabung dengan 1700 orang lainnya di gedung bercat biru itu. Sepuluh menit pertama kuhabiskan dengan tampang bingung yang lama-lama menjadi pucat karena khawatir ketika tak kunjung menemukan kursi yang tertera nomor ujianku. Kegembiraanku karena mengira kebagian tempat di ruangan full AC menguap, dongkol setelah menemukan kursiku yang terletak di teras aula, aku pun ber-sms ria dengan teman yang ketiban sial harus menempuh tes di Jakarta.
Setelah empat jam berkutat dengan soal-soal yang sebagian tak kumengerti, akhirnya petualanganku di kota yang terletak di jalur pantura ini selesai sudah. Tak mau berlama-lama disini, aku segera berkemas dan berpamitan dengan si empunya rumah yang menyewakan kamarnya untukku. Berbeda dengan kemarin, kali ini panas demikian menyengat, membuatku terus menerus menenggak air mineral agar tidak terkena dehidrasi. Sedikit jenuh karena lagi-lagi harus naik kendaraan umum yang kurang nyaman, aku mencoba untuk mengistirahatkan diri, memanfaatkan tiga jam ke depan untuk tidur. Sayangnya, sekali lagi dan mungkin masih berkali-kali lagi aku harus mengeluh tentang kurang nyamannya kendaraan umum di sini. Di kota Tegal ini, rupanya masih berkeliaran calo-calo yang menangguk untung dengan menarik bayaran lebih mahal. Pengamen yang sebagian besar adalah pemuda-pemuda yang tidak beruntung memperoleh pekerjaan tetap silih berganti menjual suaranya dengan lagu-lagu yang sama dan suara pas-pasan. Prolog dan epilog yang diucapkan kadang terdengan kurang sopan dan cenderung kurang ajar, membuatku dan mungkin penumpang lain merasa jengkel. Bukannya terhibur, aku justru semakin terganggu dengan suara sember yang menyanyikan lagu dengan sumbang sehingga merusak keindahan sebuah lagu. Kejengkelanku semakin memuncak, amarah yang sejak tadi menumpuk ditambah lelah tak tertahankan nyaris saja membuatku meledak. Apa lagi kalau bukan gara-gara kendaraan umum! Kali ini, aku yang sengaja mampir ke Purwokerto untuk membeli sesuatu dan mengisi perut yang sejak pagi baru kemasukkan sepotong roti tertahan hingga seperempat jam di dalam angkot pengap, penuh asap rokok, menunggu angkot terisi penuh. Rencana yang sudah kuatur untuk kulakukan di kota ini, menjadi berantakan. Aku pun hanya sempat membeli buku yang kuincar sebelum tergesa-gesa mengejar bis kloter terakhir yang melewati rumahku. Dasar sial, rasanya mantra keberuntungan yang menaungiku mulai pudar. Naluriku bahwa tidak seharusnya aku naik bus yang belum pernah kutumpangi ini benar adanya. Bukan hanya karena tarif yang lebih mahal, tapi yang paling membuatku semakin stress, bus melaju dengan sangat pelan kalau tidak bisa dibilang merayap, padahal kondisi mesin bus yang masih terbilang baru ini tergolong baik. Ulah si pengemudi yang asyik mengobrol melalui handphonenya menjadikan bus tidak tepat waktu . Bayangkan saja, jarak yang biasanya hanya ditempuh satu setengah jam, molor hingga dua jam lebih. Arrrggggghhh.....!!! Inilah kekurangan kendaraan umum di Indonesia. Tidak profesional dalam pelayanan. Pemilik, sopir dan kondektur menjalankan kewajibannya sebagai sarana untuk memperoleh uang. Tidak mempedulikan kenyamanan dan keamanan penumpang. Tak heran banyak orang berlomba membeli kendaraan pribadi yang siap pakai sewaktu-waktu. Profesionalisme memang sudah berubah arah menjadi tujuan finansial, bukan karena tanggung jawab moral yang berasal dari jiwa yang terpanggil untuk menjalankan tugasnya. Aku jadi teringat perbincangan dengan seorang sahabatku ketika berjalan-jalan. "Bapak itu benar-benar berjiwa sopir" Semula aku merasa heran apa maksudnya, setelah dijelaskan aku pun menjadi paham bahwa apapun profesinya betatapun rendahnya profesi tersebut di mata masyarakat, orang yang menjalankan haruslah mempunyai panggilan dalam jiwanya. Contoh konkrit adalah seorang guru, akhir-akhir ini banyak orang yang menjadi guru dengan alasan daripada tidak ada. Jiwa mereka tidak terpanggil untuk mendidik, tentu hasil yang diperoleh jauh berbeda dengan mereka yang benar-benar berkeinginan untuk menjadi seorang guru. Tak heran, banyak anak-anak yang cerdas dan berpengetahuan luas namun tidak dibarengi dengan tingkah laku yang normal, juga sangat wajar dengan banyaknya kasus-kasus anak usia sekolah yang melanggar peraturan. Menurut seorang seniorku dulu, seorang guru tidak hanya dituntut untuk mengajar, tapi juga mendidik pribadi anak sehingga menjadi pribadi yang berkualitas. Poin kedua inilah yang justru tidak semua guru mampu untuk melakukannya.
Menjelang pukul delapan malam, aku tiba di rumah dengan selamat. Meskipun kesibukan minggu ini sudah usai, seabrek pekerjaan menanti untuk kulakukan. Aku pun harus bersiap untuk petualangan selanjutnya, berharap semoga semua ini membuahkan hasil yang terbaik.

Minggu yang sibuk

Sebagai salah satu dari puluhan ribu warga negara Indonesia yang berlomba-lomba mengabdi pada negara, bulan-bulan ini menjadi bulan yang padat dengan aktivitas untukku. Mulai dari melengkapi berkas hingga menjadi pelanggan tetap warnet agar tidak ketinggalan informasi. Belum genap satu minggu aku pulang setelah bepergian cukup lama, dua hari kemudian aku harus kembali ke kota yang sama dengan sebelumnya namun dengan tujuan yang berbeda. Belum usai dari lelah dan penat akibat perjalanan jauh, hari Minggu sore yang biasanya kugunakan untuk menebus jatah waktu tidur yang hilang ^^ kugunakan untuk 'packing' dan kali ini ranselku penuh dengan berkas-berkas yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Rencana untuk berangkat pagi-pagi pun batal, gara-gara hal yang memang sudah kuduga sebelumnya. Walaupun aku sudah 'stand by' di kantor pos sebelum buka, tetap saja harus antre untuk mendapat pelayanan yang kubutuhkan. Mundur satu jam dari jadwal semula, akhirnya aku berangkat ke Wonosobo untuk kedua kalinya dengan menempuh rute yang berbeda. Berhubung Wonosobo terletak di daerah pegunungan, dipisahkan oleh barisan bukit dari tempat asalku, perjalanan pun memerlukan waktu yang cukup lama. Hujan deras membuatku pusing ketika kendaraan umum yang kutumpangi melaju pelan menyusuri jalan yang berkelok-kelok. Kok bisa ? Ya hujan menyebabkan kaca jendela dan pintu tertutup rapat. Pada kendaraan non AC, hal ini berarti tidak ada pertukaran udara. Kesengsaraanku akibat kepanasan di dalam bus yang penuh sesak dengan berbagai macam aroma dilengkapi dengan orang-orang yang dengan santai menghisap rokok. Rokok yang hingga kini menjadi isu dilematis, menjadi musuh terbesarku jika harus bepergian dengan kendaraan umum. Jangankan di sini, Jakarta yang sudah memberlakukan peraturan yang melarang merokok di depan umum pun masih jauh dari lingkungan bebas asap rokok. Para pecandu rokok memang seolah sudah hilang akal, "lebih baik tidak makan daripada tidak merokok", demikian pengakuan seorang pekerja yang mengeluh tak punya uang namun nekat membeli sebungkus rokok yang relatif mahal. Meskipun tahu bahaya akibat rokok, sangatlah sulit bagi mereka yang terlanjur mengenal nikmatnya rokok untuk berhenti menghisap barang yang kini dicap haram tersebut.
Setelah tersiksa kurang lebih tiga jam, sempoyongan aku turun dari bus, menggendong ransel dan tas plastik yang lumayan berat. Keinginan untuk beristirahat harus kutahan dengan pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Tanpa menunda-nunda lagi, aku pun bergegas menuju kantor pos yang lain yang bahkan lebih sesak dengan calon-calon pelamar lokal daripada di tempat asalku. Sambil menanti giliran, aku pun iseng mengirim pesan-pesan singkat ke beberapa teman dekatku. Keisengan yang sengaja kulakukan untuk menutupi maksud yang sesungguhnya ^^ Sukses dengan tujuan pertama, aku segera melanjutkan perjalananku. Perjalanan yang memang sudah lama kunantikan, maklum entah sudah berapa bulan aku tidak menginjakkan kaki ke kota pelajar itu. Untuk sampai ke Yogyakarta, aku harus menempuh jarak sekitar empat jam perjalanan. Waktu yang cukup lama mengingat aku belum sempat istirahat total. Untunglah, kepenatan berjam-jam itu terbayar dengan suguhan pemandangan spektakuler saat bus mendekati daerah Parakan. Kebun-kebun teh terhampar di kanan kiri jalan, membuatku ingat keinginan sahabat untuk mengunjungi kebun teh waktu lalu. Udara dingin berhembus, membuatku nyaman meskipun bus penuh sesak dengan orang-orang yang hendak bepergian ke tempat tujuan masing-masing. Indahnya gunung Sindoro dan gunung Sumbing yang puncaknya tertutup kabut membuatku tak henti-hentinya menengok ke kanan dan kiri. Aku nyaris tergiur untuk turun ketika melihat sebuah tempat khusus wisatawan yang ingin menikmati lembah kedua gunung tersebut. Aku hanya bisa menatap iri ke arah seorang gadis yang asyik meneropong ke arah lembah gunung Sumbing. Sepanjang jalan aku menjumpai tanah-tanah bertingkat yang ditanami sayur-sayuran yang memang cocok tumbuh di tempat dengan suhu rendah. Semuanya sangat natural berbeda jauh dengan kota yang bising dan tercemar polusi. Sayangnya, pemerintah setempat belum memanfaatkan potensi pariwisata tersebut. Hanya satu dua hotel besar yang kujumpai sepanjang perjalanan. Padahal agrowisata banyak menjadi incaran orang-orang yang sudah jenuh dengan dunia modern.
Memasuki kota Jogja, hawa panas kembali menyembur, keringat pun menitik deras meskipun belum sepuluh menit aku tiba di sana. Hujan yang kini mengguyur setiap hari menyambut kedatanganku ke sana. Bersyukur kondisi fisikku tidak 'drop' dengan perubahan suhu yang tiba-tiba, ditambah harus hujan-hujanan di saat tubuh kelelahan. Menanti selama empat jam yang kumanfaatkan untuk merebahkan diri dan tidur-tidur ayam, akhirnya seorang sahabat kental yang lama tak kujumpai datang menjemput. Begitu melihatnya mendekat, sontak aku tertegun. Olala dia betul-betuh berubah, tampak melar dalam balutan pakaian kerjanya^^. Malam itu pun kami habiskan dengan berbagi cerita dan bertukar kabar. Dari berbagai percakapan yang sebagian besar ringan, ada satu yang hingga kini selalu membuatku tersenyum. Apalagi kalau bukan soal pernikahan. Sahabatku, sebagai anak nomor satu yang tinggal di lingkungan yang masih memegang tradisi merasa sedikit tertekan dengan tuntutan yang mengharuskannya memperoleh pasangan hidup. Pada usia sekarang, memang sudah saatnya berpikir untuk berkeluarga. Melalui percakapan tersebut, aku semakin memahami sulitnya hidup di tengah masyarakat yang masih kolot, percaya pada hal-hal tertentu hanya dengan alasan 'ora ilok'. Gunjingan tak bisa dihindari bila kita melakukan hal yang di luar kebiasaan masyarakat setempat meskipun hal itu tidak melanggar norma. Aku terbelalak tak percaya mendengar pengakuan sahabatku saat ia nekat melabrak para biang kerok yang menyebabkan ibunya harus dirawat di rumah sakit gara-gara tak tahan mendengar ocehan yang tidak-tidak. Masyarakat yang masih belum tersentuh dengan hingar bingar modernisasi memiliki sisi positif dan negatif. Kelebihannya, aroma persaudaraan, senasib dan sepenanggungan masih melekat di daerah tempat tinggal mereka yang sebagian besar di wilayah pedesaan. Gotong-royong, dan saling tolong menolong layaknya saudara sedarah menjadi watak mereka. Sayangnya segala keramahan khas desa tersebut dibarengi dengan ketidaksiapan mereka untuk berubah mengikuti zaman, sukar untuk menerima hal-hal baru di luar tradisi mereka, bahkan istilah 'tabu' masih melekat pada bermacam-macam hal yang kini sudah biasa terjadi. Akibatnya muncullah pergunjingan yang biasanya semakin membesar dengan banyaknya mulut yang berbicara dan telinga yang mendengar tanpa mengecek kebenarannya. Privasi sulit dijaga di tengah masyarakat yang selalu ingin tahu. Andai kata kejujuran yang mahal harganya itu dibarengi dengan keterbukaan dan kemauan untuk menyikapi hal-hal baru dengan bijaksana, pastilah banyak orang yang sudah mengenyam perkotaan dengan segala permasalahannya dengan senang hati kembali ke desa.
"sebetulnya, aku siap menikah, hanya 'kirang kalih' (kurang dua)" mendengar ungkapan hati sahabatku membuatku bertanya-tanya apa saja dua syarat untuk menikah yang katanya belum didapat itu. "Kalih sinten....(dengan siapa?)" sambungan dari ucapannya yang terputus spontan membuatku terbahak. Rupanya syarat yang terakhir itu justru yang paling krusial. Betul juga semakin dewasa setiap orang semakin bijak sehingga tidak terlalu berlebihan dalam mengajukan persyaratan. Akhirnya mereka akan menerima apa adanya, seperti sahabatku yang lain yang akhirnya berani mengambil keputusan setelah berpikir pragmatis. "Yang penting niat dulu", demikian kata sahabatku yang kini bermukim di pulau Dewata. Semua memang harus harus diawali dengan niat, tanpa itu apa yang diinginkan tidak akan terwujud.
Tiga hari tiga malam aku di sana, belum cukup memenuhi kerinduanku yang bertumpuk selama ini. Aku bahkan tidak sempat melakukan perburuan yang menjadi tujuan utamaku setiap kali kesana. Waktu jugalah yang menjadi penghalang, hari berikutnya aku harus berpindah ke kota lain, berjuang meraih masa depan untuk kedua kalinya.

Sabtu, 08 November 2008

Cerita dari Wonosobo

"Sudah diundur tiga kali lho !", tulis sahabatku melalui pesan singkat. Dengan susah payah aku mengingat-ingat kembali. Betul juga, apa ini menunjukkan suatu pertanda ?, entahlah, namun kenyataannya hal yang tidak mengenakkan terjadi untuk yang kedua kalinya. Terkejut, jengkel, kecewa dan akhirnya aku turut larut dalam kesedihan yang sedang menimpa salah seorang sahabat. Hari yang ditunggu-tunggu dengan sukacita berbalik menjadi hari yang suram. Kesuraman menjadi sempurna dengan tibanya saat yang sebisa mungkin kuhindari dalam hidup. Begitu kelamnya sampai-sampai mengosongkan pikiranku, menghentikan kebiasaan tempat pelampiasan unek-unekku. Setelah berdiskusi singkat dengan sahabat yang mengetahui duduk permasalahannya, beban pun sedikit terangkat. Mataku sedikit terbuka dengan pandangan baru dari sahabat yang memang sejak dulu pendapatnya selalu masuk akal bagiku. Persahabatan antar lawan jenis selalu lebih rumit daripada persahabatan sesama jenis. Jika persahabatan sesama pria atau wanita bisa pecah jika terjadi persaingan atau ketidaksinkronan dalam suatu hal, persahabatan antara pria dan wanita menjadi terganggu bahkan rusak jika salah satunya mempunyai pasangan baik itu barulah sekedar pacar maupun pasangan hidup. Kecemburuan karena sahabat tidak lagi sepenuhnya bergantung atau berkurangnya waktu untuk bercengkerama menjadi salah satu faktor pudarnya sebuah persahabatan. Apakah persahabatan murni di antara pria dan wanita bisa terjadi ? Setelah mengobrol lumayan lama, aku bisa menyimpulkan bahwa persahabatan murni bisa saja terjalin antara lawan jenis. Hanya saja selama ini garis yang membatasi antara sayang terhadap sahabat dengan kasih terhadap lawan jenis begitu samar. Sebagai seorang yang gemar membaca buku, dari berbagai cerita fiksi yang kubaca hampir semua plot yang bertema sahabat berakhir dengan berubahnya persahabatan menjadi sebuah hubungan asmara. Meskipun hanya cerita rekaan, kisah-kisah tersebut merepresentasikan hal-hal yang terjadi di dunia nyata. Perasaan sayang yang berubah maknanya sangatlah wajar dalam persahabatan yang berbeda jenis, dan biasanya perasaan ini baru muncul atau disadari kemudian. Seseorang dianggap sebagai sahabat jika kita merasa nyaman untuk berbagi, tak heran jika antara dua sahabat yang berbeda jenis salah satu atau keduanya merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar teman.
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, kami pun menjalankan rencana yang sudah sekian lama tertunda. Meskipun tiga berkurang menjadi dua, dengan harapan bisa mencairkan ketegangan aku dan sahabatku bertolak menuju kediaman seorang teman yang baru saja menempuh hidup baru. Hujan lebat menyambut kedatangan kami di kota yang bersuhu rendah ini. Sedikit kebingungan karena mencari lokasi, akhirnya sampai juga kami ke rumah pasangan muda ini. Betapa herannya kami berdua dengan sambutan yang begitu ramah seolah tak terjadi apa-apa. Sambil beristirahat dan sedikit menghangatkan diri kami larut dalam cerita yang tak putus-putusnya. Kedatanganku kesana memang kurang tepat di tengah musim penghujan ini. Niat untuk menjelajah di ketinggian dataran Dieng, urung terlaksana gara-gara hujan, selain itu juga mempertimbangkan faktor kendaraan yang sulit diperoleh di tempat wisata itu. Memandang kota dari ketinggian sangatlah menyenangkan, meski langit tertutup awan kerlip lampu pemukiman di kejauhan begitu indah. Udara dingin tak menahan aku dan sahabatku menikmati suguhan pemandangan sambil berdiskusi seru mengenai persahabatan. Beruntung, keesokan paginya matahari bersinar cerah menghangatkan, saatnya untuk melakukan aktivitas di luar. Berhubung ini adalah kesempatan berkunjung yang langka, aku merelakan rutinitasku di hari Minggu di depan tv. Tiga sahabat plus pendamping seumur hidup memutuskan untuk mengunjungi alun-alun yang selalu ramai di hari Minggu. Walaupun masih dalam tahap renovasi, rupanya cukup banyak orang-orang yang ,melewatkan minggu paginya di sana. Asyik sekali mengamati lalu lalang orang yang sibuk berlari kecil, berjalan santai, duduk di bawah pohon sembari mengobrol ditemani aneka kudapan yang tersedia di sana. Rupanya hari minggu menjadi sarana penjaja makanan mengais rejeki. Terbawa suasana sehat di alun-alun, membuatku mengiyakan ajakan sahabatku untuk menjajal kemampuan kami dalam berlari. Wow, terobosan hebat buatku yang sejak dulu anti menggerakkan kaki untuk berlari. Aku memang tak berbakat olah raga, baru separo lapangan nafas sudah ngos-ngosan ^^. Aku pun menyerah, berjalan santai kemudian menggabrukan diri di bawah pohon beringin tua. Mengatur nafas sambil mengamati sahabatku mencari-cari 'best shoot' untuk diabadikan. Mengambil kesempatan saat berdua saja, kami pun mendiskusikan hasil pengamatan kami terhadap sahabat kami dan kehidupan barunya. Mencari pasangan seumur hidup memang tidak mudah. Kecocokan menjadi hal yang mutlak diperlukan agar sejalan. Aku pun paham mengapa sekian dari banyak kasus perceraian bersumber dari ketidakcocokan. Kecocokan tidak hanya dari segi fisik semata, yang terpenting justru kecocokan persepsi, cara pandang dalam berbagai hal. Untuk itulah muncul istilah 'pacaran' yang sejatinya upaya untuk saling menjajagi diri masing-masing sebagai persiapan untuk menempuh langkah selanjutnya. Hingga kini aku belum bisa menerima konsep perjodohan maupun pernikahan instant tanpa saling mengenal terlebih dulu. Usai membaca karya kang Abik yang berjudul Ayat-Ayat Cinta, meskipun aku mulai memahami pernikahan menurut Islam yang tak mengenal pacaran sebelum menikah, aku tetap tak habis pikir bagaimana dua orang yang belum saling mengenal mampu bersatu dalam sebuah ikatan. Jika sahabatku berpendapat justru lebih asyik menikah dengan orang yang belum terlalu kita kenal, karena kita bisa menemukan hal-hal baru sehingga tidak membosankan, maka bagiku sebaliknya. Pernikahan bisa diumpamakan sebagai sebuah buku menarik yang jika habis dibaca, maka akan dibaca ulang terus menerus hingga hafal setiap kata dan benar-benar memahami makna yang tersirat. Aku yang tergolong susah untuk berinteraksi dengan orang lain, cenderung lebih mempercayai seseorang yang sudah kukenal baik sehingga perumpamaan membeli kucing dalam karung sebisa mungkin kuhindari.
Cukup lama juga kami mengobrol sebelum sahabatku yang sedang berjalan-jalan tanpa alas kaki demi kesehatan jabang bayi datang bergabung. Matahari yang sudah naik cukup tinggi plus udara dingin membuat perut keroncongan kami yang hanya menyantap porsi kecil sarapan. Setelah memilih menu makan pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju warung yang menyediakan soto daging lezat ala Wonosobo. Di tengah perjalanan kami melewati sebuah tempat ibadah bagi penganut Kong Hu Cu. Melihat pintu masuk terbuka, aku yang sejak dulu mengagumi arsitektur Cina kuno beserta kebudayaannya mendesak untuk mampir, sekedar melihat-lihat dan berfoto. Wah ternyata 'klenteng' yang saat itu sepi pengunjung sangat indah. Warna merah yang khas, lampion-lampion merah, lukisan-lukisan, kaligrafi, dan lilin-lilin berbagai ukuran yang menyala terang menambah kemisteriusan patung-patung dewa dewi yang tertata rapi di ruangan sembahyang. Sayang, belum puas kami mengambil gambar baterai kamera berkedip-kedip dan akhirnya habis ! Malangnya, tapi mungkin ini pertanda bahwa kami harus kembali lagi ke sana suatu saat nanti. Sekali lagi berhubung sekarang sedang musim penghujan, begitu tiba di rumah hujan deras mengguyur menunda keberangkatan aku dan sahabatku ke tujuan masing-masing. Untunglah lewat tengah hari hujan menjadi gerimis, aku dan sahabatku pun bersiap-siap pamit. Setelah berbasa-basi dan janji akan kembali lagi, aku pun meneruskan perjalanan sementara sahabatku menempuh jalan pulang yang berbeda. Brrrr...dingin dingin dan dingin. Itulah yang menimpaku selama empat malam di Wonosobo. Aku yang terbiasa hidup di daerah yang panas luar biasa, menggigil kedinginan di tempat yang bersuhu rendah ini. Bisa-bisa aku mengalami over weight jika harus lebih lama tinggal di sana, maklum udara dingin membuat nafsu makan semakin bertambah sementara tidak ada kegiatan yang bisa membakar kalori. Akhirnya tiba juga hari untukku harus pulang. Barang bawaan yang semakin berat dengan sedikit oleh-oleh yang telah kujanjikan pada seseorang, membebani perjalananku yang cukup panjang. Sudah lama kurasakan tidak enaknya jadi orang dari golongan menengah ke bawah. Setelah satu jam menunggu, barulah bis Semarang-Purwokerto lewat. Panas dan penat karena menunggu terlalu lama, membuatku nekat naik kendaraan yang dari luar tampak penuh itu. Inilah satu alasan yang selalu membutku 'ogah' membawa barang terlalu banyak. Bus tua yang mengepulkan asap tebal saat berjalan, penuh sesak dengan penumpang, aku pun harus berdesakan untuk dapat merangsek maju mencari tempat duduk. Bersyukur masih ada satu yang tersisa meskipun kurang nyaman. Bukan rahasia lagi jika transportasi umum di negara ini kurang layak dan tidak menawarkan kenyamanan dan keamanan terutama untuk kelas ekonomi. Kendaraan yang sudah tak laik pakai, banyaknya sampah di kolong tempat duduk, asap rokok bercampur bau muntahan penumpang yang tak peka dengan lingkungan sekitar, banyaknya pengamen dan pedagang asongan yang seringkali mengganggu kenyamanan dan lamanya perjalanan gara-gara harus menanti penumpang di tempat-tempat tertentu adalah gambaran umum rakyat kecil yang tidak mempunyai kendaraan pribadi. Belum lagi ongkos yang semakin hari semakin mahal akibat naiknya harga bahan bakar dan biaya perawatan kendaraan yang semakin tinggi. Seakan belum cukup, semua ketidaknyamanan tersebut masih ditambah faktor resiko jika menemui pengemudi ugal-ugalan dengan alasan berebut penumpang. Kapankah transportasi umum di Indonesia bisa menjadi layak ? Bahkan bus Trans Jakarta dengan fasilitas bagus meski harga murah masih kurang baik dengan antrian luar biasa di halte-haltenya. Penumpang mengeluh, pemilik angkutan pun mengeluh, apalagi jika bukan karena sulitnya mencari penumpang. Pendapatan harian tidak mampu menutup pengeluaran untuk bahan bakar dan perawatan kendaraan. Aku sangat terenyuh dengan perkataan seorang supir angkot, "mau bagaimana lagi mbak..." demikian komentarnya ketika kami mengobrol menanggapi langkanya penumpang. Semoga calon-calon pemimpin dan dewan legislatif kelak tidak hanya aktif mewawancarai rakyat kecil tapi juga mencari solusi untuk lebih mengangkat taraf hidup mereka.
Akhirnya aku sampai di rumah dengan selamat, dengan badan sedikit pegal dan pening di kepala gara-gara naik bus terlalu lama ^^. Kembali ke rutinitasku setelah berlibur sebentar, dan memperoleh hal baru yang bisa menjadi masukan untuk langkah yang kuambil dalam hidup.

Rabu, 29 Oktober 2008

Memburu masa depan

Bulan di penghujung tahun selalu dinanti oleh beberapa orang, bukan hanya datangnya musim hujan yang mengisi ulang sumber-sumber air bersih, melainkan di bulan-bulan ini para pencari kerja berlomba-lomba mengais keberuntungan untuk lolos menjadi calon pegawai negeri sipil. Warung-warung yang menyediakan jasa internet diserbu pelanggan, mencari informasi dan antre untuk mendaftar secara online. Kantor-kantor pemerintah pun tak kalah sibuk melayani warga yang serentak mengurus surat-surat untuk memenuhi persyaratan. Benar-benar bulan yang sibuk, dan menebar rejeki pada beberapa orang. Beberapa tahun terakhir ini keadaan memang berbalik, satu dekade yang lalu sebagian besar memilih untuk menjadi pekerja swasta dengan alasan keterjaminan masalah finansial. Memang faktanya bertahun-tahun yang lalu pegawai negeri kurang begitu terjamin. Lain dengan pegawai swasta tampak begitu makmur dan tercukupi sehingga mereka bergitu loyal dengan tempat mereka menggantungkan hidupnya. Usai runtuhnya orde baru, pemerintah yang baru sedikit demi sedikit mulai memperbaiki nasib para pegawainya. Gaji dinaikkan, penambahan tunjangan hingga beberapa kemudahan yang diperoleh bagi seorang pegawai negeri membuat angin mulai berbalik arah. Dimulainya krisis ekonomi yang merontokkan dunia usaha, membuat tak sedikit perusahaan yang gulung tikar atau harus merampingkan diri. Walhasil mereka yang semula tak berminat mulai melirik label CPNS dengan harapan hidup lebih terjamin hingga hari tua. Siapa sih yang nggak kepingin uang mengalir tiap bulan sampai nanti usia uzur. Berubahnya taraf hidup para pegawai ke arah yang lebih baik menjadi nilai positif bagi pemerintah yang ingin mengukukuhkan eksistensinya. Hanya sayangnya, usaha pemerintah untuk memakmurkan rakyatnya tidak dibarengi dengan pemulihan ekonomi swasta. Yang menjadi masalah utama, setiap kali pemerintah menaikkan honor pegawai, diikuti dengan naiknya harga kebutuhan pokok. Sementara penghasilan rakyat kecil cenderung tetap kalau tidak malah semakin menurun. Inflasi yang terus menerus membuat rakyat semakin tercekik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akankah keadaan ini akan berlangsung lama ? tak heran jika semua tergiur untuk menjadi seorang PNS dan tak sedikit yang rela mengambil jalan pintas.

Selasa, 28 Oktober 2008

Adios

Walau jauh-jauh hari aku sudah tahu mau ada yang namanya acara 'pamitan', tetap saja detak jantungku bertambah cepat saat menerima panggilan di malam hari. Maklum sebagai orang yang lebih suka bekerja di balik layar, tampil menjadi tokoh utama membuatku 'nervous', kegugupanku semakin lengkap dengan sifat 'grogian' yang dari dulu nggak pernah bisa dihilangkan. Hari ini, sengaja aku berangkat lebih awal dari yang dijadwalkan, maksud hati sih supaya bisa ngumpet sebentar ^^. Seperti biasa sifat 'pe-de' semakin luntur jika aku sudah merasa tak berhak berada di suatu tempat. Sialnya (atau malah untung ? ...^^) begitu sampai di tempat yang nggak mungkin bisa kulupakan bertepatan dengan usainya kegiatan rutin sehari-hari. Tak pelak lagi wajah-wajah yang masih terpatri dalam pikiran bermunculan satu per satu. Wah serasa kembali ke waktu itu. Sayang waktu tak memungkinkan untuk bercengkerama lebih lama. Aku pun segera menyelesaikan alasan aku kembali hari ini. "Surprise", sampai sekarang aku masih merasa kaget dan heran. Acara pamitan yang kusangka hanya sekedar bertemu dan mengucapkan beberapa kata perpisahan ternyata menjadi acara yang lumayan formal. Tentu saja aku semakin gugup, keringat dingin mulai muncul, perasaanku nyaris seperti dulu saat harus berbicara di depan rekan-rekan sebagai salah satu syarat untuk mengantongi gelar sarjana. Rasa haru tak kuasa kutahan saat mendegarkan kata-kata sambutan beliau, nyaris saja membuat diriku yang memang sangat sentimental ini meneteskan air mata. Setengah memaksakan diri, aku pun tampil dengan sedikit terbata-bata menyampaikan rasa terimakasihku atas kesempatan yang telah diberikan padaku. Sungguh berat untuk menyusun kata demi kata yang akan kuucapkan tanpa persiapan lebih dulu, gugup dan gemetar menambah kalut pikiranku, jadi hanya maaf dan terima kasih yang sebesar-besarnya yang keluar dari mulutku, dilantunkan dalam suara yang sedikit bergetar, meski masih banyak yang belum kuungkapkan. Melalui tulisan ini, aku menumpahkan semua yang belum sempat terucap. Tiga bulan ini menjadi saat yang sangat berarti bagi diriku. Bisa kembali menapaki jalan-jalan yang dulu menjadi rumah keduaku, bertemu lagi dengan orang-orang yang telah berjasa bagiku, dan mengenal orang-orang yang kini bukan hanya menjadi sekedar wajah dan nama. Penerimaan yang penuh kehangatan, menjadi sebuah episode baru dalam hidupku, menambah wawasan dan pengalamanku dalam mengarungi kehidupan. Tiga bulan ini aku banyak belajar dari semuanya dan semoga membuatku semakin dewasa dan bijaksana. Doumo arigato gozaimasu. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan berakhir namun memulai sesuatu yang baru sesuai dengan jalan masing-masing. Semoga tali persaudaraan tetap terjaga untuk selamanya.
Akhirnya usai sudah, walau bukan berarti tak bertemu kembali. Tak sabar aku menantikan saat yang tepat untuk menuangkan hari ini dalam sebuah memori yang indah. Saat ini pun aku masih tersenyum mengingat betapa senangnya aku bertemu dengan favoritku. Daniel, keisenganmu susah dilupakan lho ^^, jangan cemberut terus, mainan hp kan memang nggak boleh. Hadiahnya sudah kamu terima kok, nggak nyadar ya ? Hmmm... bener-bener jiplakane 'papi' deh. Oki, kangen deh mbahas naruto bareng kamu, plus ndengerin South The Devil, ngomong-ngomong sudah bisa belum ? Inget nama kamu jadi inget yang lain, sama-sama pinter nggitar juga. Wah jadi kebayang waktu nyanyi Farewell To You di acara yang sama dulu. Ivan, belajar yang rajin ya. Ntar tak pinjemin ost. anime deh, tapi kapan ketemunya ya ^^. Bondan, maaf nggak kebagian senbei lagi. Ditungguin nggak muncul si, ya diembat yang lain de^^. Nico, sudah tak add tu, tapi kok masih kosong ? Jonathan, masih tetep dukung Milan kan ? Forza Milan! Albern, masih nggak berubah juga. Kapan mau jadi dewasa ? Dian, sibuk ya, cuma 'say hai' langsung kabur ^^ Semoga menang di lomba besok ya. Awas kalo nggak !! ^^. Sayonara minna-san. Encontraremos otra vez algun dia, prometo.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Panassss...!!!

Tak sabar menghitung jatuhnya hari untuk berkunjung ke rumah seorang teman, mau tak mau aku mencari kesibukan di sela-sela kegiatan membaca yang akhir-akhir ini semakin gencar kulakukan. Bersih-bersih menjadi satu pilihan yang memang harus segera dilaksanakan. Kegiatan yang melelahkan ini akhirnya berhasil kuselesaikan meski harus menerima serangan sakit kepala yang pasti terjadi jika terlalu memforsir tenaga. Puas dengan hasil yang lumayan, istirahat pun menjadi langkah selanjutnya yang kuambil. Betapa kagetnya saat aku membersihkan diri dan melihat perubahan warna kulit yang cukup signifikan. Beberapa hari ini, aku memang sering berhadapan langsung dengan sinar matahari yang terik tanpa pelindung. Beginilah hasilnya jika terpapar sinar uv cukup lama, membuatku jengkel mengingat betapa susahnya selama ini aku menjaga agar warna kulitku lebih cerah. 'Panas, panas dan panas', itulah celetukan setiap orang yang kutemui baik yang kukenal ataupun tidak. Bagi mereka yang mengerti akan menjawab bahwa panas yang demikian terik ini akibat pengaruh posisi matahari yang sedang berada di atas pulau jawa dan bali. Sebuah alasan yang masuk akal, namun menurutku ada alasan yang lebih jelas, apalagi kalau bukan 'Global Warming'. Pemanasan global yang sudah menjadi isu penting cukup lama ini seakan terlupakan untuk sementara dengan santernya berita resesi ekonomi yang cukup parah di negeri super power dan berimbas pada seluruh negara di dunia. Naiknya suhu bumi sudah diramalkan para ilmuwan dan pemerhati lingkungan sejak dulu. Pemanasan global yang membawa perubahan ke arah destruktif ini hampir seluruhnya terjadi akibat ulah tangan jail manusia. Pembakaran dan penebangan liar, pemakaian freon berlebihan, emisi karbon yang sudah mencapai ambang batas semakin memperkuat efek rumah kaca yang berakibat naiknya suhu bumi. Tak heran beberapa tahun ini banyak terjadi bencana alam seperti bermacam-macam badai yang bernama elok namun mematikan ^^, gelombang air laut yang tak menentu, suhu udara yang di Indonesia kini menyamai gurun di negeri Arab sana, dan yang paling terasa berubahnya musim yang membuat petani tidak bisa bercocok tanam dengan baik karena salah prediksi turunnya hujan. Mau jadi apa bumi ini jika kita tidak segera menyelesaikan masalah yang demikian 'urgen' ini. Mengapa mereka yang berwenang tidak segera mengambil langkah nyata untuk menghambat dan jika mungkin memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi gara-gara global warming ini ? Kukira semua harus sadar akan masa depan bumi ini, tidak melulu bercekcok hal-hal yang hingga kini tidak kunjung terselesaikan. Ayo dengarkan gembar-gembor organisasi pecinta lingkungan hidup, dan segera lakukan yang pembenahan diri dalam upaya mengatasi kerusakan bumi kita mulai saat ini.

Neighbourhood

Sudah menjadi kewajiban setiap orang yang memasuki tahap usia dewasa untuk berbaur dan menjadi anggota masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia memang hidup saling bergantung dengan sesamanya. Menjadi bagian dari komunitas masyarakat di lingkungan tertentu ternyata membutuhkan tenaga ekstra. Bagaimana tidak jika sekian banyak orang dengan sifat dan perilaku berbeda harus hidup bersama dalam kurun waktu tertentu. Jangankan dengan orang lain, antar anggota yang masih berhubungan darah pun percekcokan seringkali tak bisa dihindari. Inilah yang dapat kupetik ketika menjadi warga yang berdomisili di sebuah rukun tetangga. Sebagai anggota yang masih berdiri di belakang bayang-bayang orang tua, aku mempunyai keleluasaan untuk menjadi pengamat dalam hidup sehari-hari di kelompok masyarakat sekitar ini. Semakin lama, aku semakin memahami karakter masing-masing pribadi, membuatku takjub akan kompleksnya jiwa seorang manusia itu. Hampir di setiap daerah mempunyai sosok pemimpin, yang dituakan dan dihormati hingga kadang dianggap mempunyai derajat yang lebih tinggi dari yang lain. Sudah pasti jika orang-orang tersebut menjadi pioner dalam kelompoknya. Sebagai penyeimbangnya muncullah sosok kambing hitam yang selalu disepelekan, dihina , dikasihani hingga dibenci. Nah, sebagian besar sisanya menjadi warga kelas menengah yang biasa-biasa saja. Umumnya dalam sebuah rumah tangga, ketidakcocokan selalu ada. Disinilah peran manusia-manusia yang beken disebut dengan 'tetangga reseh'. Reseh dalam artian selalu ingin tahu dan mencampuri apa yang bukan menjadi urusannya baik dengan memberi komentar bernada sok tahu, pura-pura tak tahu hingga komentar nyinyir yang bertujuan untuk menyindir seseorang. Inilah satu alasan yang membuatku lebih menyukai menjadi bocah kecil yang bebas berkeliaran tanpa mengundang prasangka yang negatif. Menjadi dewasa harus pintar-pintar membaca karakter seseorang, memutuskan siapa yang bisa dijadikan panutan atau dijadikan teman untuk berbagi pikiran. Jangan sampai apa yang dikemukakan dengan tujuan memuntahkan unek-unek berbalik menjadi bumerang, karena ada saja orang yang bermulut manis namun menikam dari belakang. Tukang adu domba terselubung inilah yang membangkitkan kembali teknik devide et impera, jika sudah begitu bagaimana bisa masyarakat menjadi rukun dan damai ?