Rabu, 29 Mei 2013

Kisi = Prediksi, Motivasi, Atau Solusi Degenerasi ?

Tak lama lagi mereka yang menyandang status pelajar akan menempuh ulangan umum / ulangan akhir semester/ulangan kenaikan kelas. Demikian pula  dengan mereka yang saat ini memperoleh jejalan materi dariku, sejak beberapa hari lalu hampir setiap kelas yang kumasuki ribut meminta kisi-kisi soal yang akan diujikan. Apa sih kisi-kisi itu ? Gampangnya kisi-kisi semacam rambu-rambu penulisan soal yang mencakup materi, indikator yang ingin dicapai dari soal tersebut. Jadi bisa ditebak yang terjadi ketika kisi-kisi tersebut sampai ke tangan siswa, secara otomatis gambaran soal yang akan diujikan bisa dikatakan telah bocor. Lagi-lagi situasi telah jauh berbeda dengan zamanku dulu, ketika aku masih menjadi siswa tak sekalipun aku dan teman-teman meminta kisi-kisi. Alih-alih meminta, mengenal istilah kisi-kisi pun tidak. Persiapan menghadapi ujian murni belajar seluruh materi yang telah dipelajari. Tak terbesit sekalipun membuat salinan catatan pada secarik kertas kecil yang nantinya dibuka kembali saat mengerjakan soal alias mencontek ^^. Ya, zaman dulu sekedar bertanya pada teman saja rasa takut ketahuan guru sedemikian hebatnya, apalagi secara khusus mempersiapkan peralatan mencontek, wah kalau bukan mereka yang bermental baja dalam hal 'mbeling' pastilah tak akan mengambil resiko kena 'black list' guru. Sekarang, situasi telah berbalik 180 derajat, menyalin jawaban teman merupakan hal umum. Tanpa takut-takut catatan yang masih dalam bentuk aslinya dibawa ke ruang ujian, tak peduli dengan pengawas kepala sekaligus badan berputar ke kanan kiri dan ke belakang, mulut sibuk bertanya dan membacakan jawaban. Kisi-kisi yang diberikan justru disalah gunakan untuk membuat catatan kecil sebagai media kecurangan dalam ujian. Memang tak semua melakukan hal seperti itu, akan tetapi sebagai akibat perbuatan beberapa orang tersebut mengubah pandangan siswa terhadap ujian. Dulu ujian adalah persoalan serius yang menyangkut masa depan, sekarang ujian tak lebih dari sekedar formalitas untuk mendapat nilai minimal. Siapakah yang patut disalahkan ? Jawabannya semua salah mulai dari sistem yang berlaku hingga personel yang terlibat di dalamnya. Bak KKN yang menggurita, kemerosotan kualitas pendidikan sudah mencapai tahap susah untuk ditanggulangi terutama dari segi moral, akhlak, karakter dan kepribadian siswa. Lalu bagaimana dengan masa depan generasi emas bangsa ? Berbagai upaya telah dilakukan dan yang teranyar akan diberlakukannya kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter siswa. Semoga pendidikan kembali ke asalnya mendidik dan membimbing generasi emas dalam kebaikan, kemajuan nusa, bangsa dan agama.

Jumat, 24 Mei 2013

Lihat dan Alami

Pertama kali aku masuk ke ruangan ini, optimisme untuk bisa memuaskan kegemaranku berkutat dengan tumpukan buku seketika runtuh. Alih-alih menemukan koleksi beragam mengingat banyaknya program keahlian yang ada, sederet rak di hadapanku berisi buku-buku usang  berdebu. Jangankan menemukan judul baru, sekedar mencari koleksi buku teks pelajaran wajib pun tak ada. Tak perlu bertanya dimana letak buku fiksi, karena memang tak ada. Kondisi ruangan yang sempit, dengan ruang baca terbatas dan cenderung gelap menambah lengkap alasan keengganan pengunjung untuk datang dan mencari informasi yang dibutuhkan. Kulihat data koleksi yang ada, dan seketika aku tersenyum penuh kemenangan. "Wah koleksi pribadiku lebih banyak dari ini", kataku dalam hati. Kuberanikan bertanya pada yang berwenang dan jawaban yang diperoleh sangatlah klise, sehingga tak perlulah kutuliskan disini. Dua tahun berlalu, ada sedikit kemajuan yang kulihat dengan bertambahnya penghuni rak yang masih kosong dan usang. Sederet judul buku dari berbagai bidang menambah koleksi yang berujung bertambahnya minat pengunjung. Sekali lagi kuberanikan bertanya, sedikit berkomentar antara senang dan sinis mendengar jawaban yang kuterima. "Oh, gara-gara nilai minus yang diperoleh akhirnya mau menyisihkan dana untuk menambah inventaris.", gumamku. Tak disangka, minatku akan buku membawaku mengemban tugas  mengelola tempat ini. Idealisme yang masih membara membuatku bersemangat merencanakan program pengembangan terutama peningkatan koleksi perpustakaan. Proposal demi proposal yang sebelumnya aku tak pernah membuat apalagi mengajukan kusiapkan dengan cermat agar tujuan tercapai. Dan akhirnya aku bernasib sama dengan yang sebelum-sebelumnya, idealisme runtuh dengan sendirinya, usulan dimentahkan dengan alasan klasik yang menurutku lebih bermuatan politik yang penuh dengan intrik. Jika kubaca lagi peraturan yang ada, sebetulnya alasan yang mementahkan usulanku itu sama sekali tak bisa diterima. Demikian pula dengan alasan pendidikan gratis karena sebetulnya tidak benar-benar gratis melainkan dibiayai pemerintah. Aku sendiri heran, bukankah perpustakaan merupakan pusat informasi sekaligus menjadi pusat sumber belajar ? Tapi mengapa perhatian yang seharusnya tak diberikan ? Setahun melaksanakan tugas, aku bisa memperoleh kesimpulan jika tempatku ini menjadi nomor yang paling belakang dalam prioritas.Tempatku selalu mendapat informasi paling akhir, bahkan terlewatkan. Alih-alih mendapat alokasi, kebutuhan primer sehari-hari pun sulit  terpenuhi. Pada akhirnya aku memberanikan diri menempuh cara ekstrim demi pengembangan tempat yang disebut sebagai pusat sumber belajar agar tak sekedar menjadi kalimat tanpa realisasi.