Sabtu, 18 April 2015

Sama Dengan Yang Lain Saja

"Ojo dadi atimu yo Dek, sertifikasimu ora cair tahap iki", sebaris kalimat dalam pesan singkat itu sontak membuat hati gegana alias gelisah galau merana (kata si cita citata si ^_^). Bagaimana tidak tambahan rejeki yang diharapkan dan tentunya sudah ada planning tersendiri mau diapakan alih-alih tertunda malah lewat sama sekali. Alhasil, dua hari ini berlalu dengan emosi tak menentu, buliran air mata tak terbendung ketika ketidakberuntungan itu berkelebat dalam ingatan. Meskipun masih bersyukur roll cake yang kubuat dalam kondisi tak menentu berhasil dengan sempurna ^_^. Hmm...sebetulnya sih sejak saya mendengar bahkan ikut membantu mengerjakan sistem dapodikmen akan berlaku di tahun ini, saya sudah pesimistis akan keberlangsungan tunjangan profesional guru tersebut. Di awal tahun pelajaran seketika terbesit rasa kecewa melihat pembagian jam mengajar yang sudah pasti akan memblokir aliran tunjangan yang sudah menjadi hak saya. Komplain yang sempat terlontar sambil lalu dibarengi kekhawatiran yang memang akhirnya terjadi juga, tak kuasa menggugah penguasa untuk mencari solusi yang arif. Huftt...ya sudahlah memang rejeki sudah ada yang mengatur, yang penting sudah berusaha menjalankan tugas sebaik-baiknya. Dari awal proses perolehan sertifikat guru profesional pun saya sudah mengetahui kendala yang akan menghambat perolehan hak saya di masa mendatang.
Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa sebersit rasa kecewa itu ada. Rencana menempuh studi ke jenjang berikutnya sudah pasti tertunda entah untuk berapa lama. "Podo koncone wae", demikian kata suami saya setelah mengetahui berita kurang beruntung itu. Setelah dipikir panjang, benar juga nasihat ( kalau bisa disebut nasihat sih) suami saya itu. Ya, sudah lama suami saya mengingatkan (lebih tepatnya protes ^_^) akan totalitas saya di sekolah. Tugas tambahan di luar tugas pokok justru lebih menyita waktu dan stamina saya. Saya tak munafik, orang bekerja apapun profesinya pasti mengharapkan imbalan untuk menopang kebutuhan hidup. Perbedaannya hanyalah dari segi totalitas dan tanggung jawab. Demikian pula saya, bukannya menyombong tetapi saya terbiasa bekerja tidak setengah-setengah. Jadilah, tugas pokok, tugas tambahan sekaligus kewajiban personal sebagai seorang abdi negara menghabiskan pikiran dan tenaga saya. Belum lagi disiplin yang memang sudah tertanam kuat (terima kasih buat guru-guru SD-SMP ku), menjadikanku tak mau menyimpang dari aturan (baca : perintah). Nah, ketika hasil yang saya peroleh tidak sama dengan rekan-rekan lainnya mau tidak mau rasa 'dongkol' itu ada. Jika dipikir dangkal, untuk apa bersusah payah sementara menjadi biasa bahkan santai pun bisa terus melenggang tanpa hambatan berarti. 
Mungkin ini pemikiran saya yang sedang kecewa sehingga cenderung negatif. Melihat situasi di sekitar, ternyata program tunjangan profesional  itu kurang mencapai sasaran. Saya dan rekan-rekan dibebani dengan seabrek persyaratan administrasi sehingga konsentrasi ke peserta didik berkurang. Tujuan meningkatkan profesionalisme lebih banyak diabaikan, hasilnya sebagian besar adalah peningkatan gaya hidup semata. Tanpa bermaksud menjelek-jelekkan rekan, contoh kecil bisa saya ambil dari tugas tambahan saya sebagai pengelola perpustakaan. Rekan yang mau membeli buku penunjang mapel bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar mengandalkan materi yang tersedia di perpustakaan, atau kalau tidak ada sekedar berpegangan pada lembar kerja siswa. Hari 'gini' mana ada yang mau mengampu mapel di luar sertifikatnya karena tidak bisa dihitung jam. Oh itu hanya sebagian kecil penyimpangan saja. Saya justru merasa prihatin dengan nasib para honorer yang pendapatannya jauh di bawah abdi negara sementara beban mereka sama bahkan lebih. Sekali lagi ini hanya ungkapan dari 'barisan sakit hati'saja. Sudah bersusah payah belajar, mencari referensi dan inovasi untuk mengajar mapel di luar sertifikasi, plus sendirian mengelola perpustakaan sebagai salah satu solusi kekurangan jam mengajar, ditambah permintaan bantuan lainnya yang menyita waktu (walau dulu saya dengan senang hati membantu), dan urusan karir yang harus dijalani (wajib dan tambah ruwet prosesnya), datang lebih awal pulang di luar jadwal (buka pintu tutup pintu alias seharian di kantor) ternyata belum disebut profesional. Alih-alih dapat tunjangan malah distop karena jam mengajar tidak linier. Huft...kalau begini lebih baik berlaku sama saja dengan yang lain. Datang saat bel berdentang, pulang sesudah tak ada jadwal, tidak masuk saat nol jam, mengajar tanpa beban, memberi nilai tanpa melihat real dan tanpa beban tambahan (kalau pun ada dikerjakan sekenanya terutama kalau kerja ikhlas). Iya toh...berlaku seperti itu saja dapat lebih, apalagi saya yang tidak ada lebihnya mendingan bersikap sama saja yang penting kewajiban pada peserta didik terpenuhi dengan maksimal, di luar itu mulai sekarang sama dengan yang lain saja.