Minggu, 30 November 2008

Book Fair

Book Fair atawa pesta buku selalu menjadi ajang yang kutunggu-tunggu kehadirannya. Berkat hobi membaca, lambat laun keinginan untuk memiliki perpustakaan pribadi semakin menguat dalam diriku. Berhubung belum mampu untuk membeli buku sebanyak yang kumau, berburu buku di pesta buku menjadi pilihan utama. Book Fair sangat diminati para pecinta buku karena di sini ditawarkan berbagai jenis buku dan yang paling penting banyak buku-buku yang dijual dengan harga super murah. Tak heran, aku selalu menyempatkan diri untuk melihat-lihat book fair di kota terdekat. Dan pastinya, aku tak kan pulang dengan tangan hampa. Seperti hari ini, aku membelanjakan sedikit uang jajanku untuk membawa pulang setumpuk buku murah bergenre cerita anak-anak. Aku pun sempat tak percaya ketika membaca spanduk yang terpasang di pertigaan jalan. Hampir tidak pernah ada bookfair di daerah tempatku tinggal ini. Bahkan toko buku pun jarang, dan kalau ada pun tidak selengkap dan seramai toko-toko buku di tempat lain. Aku pun mengakui bahwa minat baca di lingkungan sekitarku sangatlah minim, anak-anak dan remaja lebih tertarik main playstation daripada menyimak kalimat-kalimat yang mungkin terasa membosankan, orang dewasa lebih menyukai menonton televisi untuk memperoleh informasi ketimbang membaca koran. Kondisi ini lah yang membuatku merasa kecut saat harus kembali pulang, jauh dari tempat aku bisa membaca buku-buku kesukaanku dengan cara meminjam. Tak sabar menanti datangnya tanggal pelaksanaan bookfair, aku pun mengajak temanku sesama penggila buku-buku fiksi untuk berkunjung kesana. Setelah menenmpuh kurang lebih setengah jam perjalanan, aku pun tiba di tempat penyelenggaraan book fair. Seperti yang kuduga sebelumnya, meskipun hari Minggu, bookfair nampak sepi pengunjung. Lain sekali dengan book fair yang selama ini kukunjungi, di akhir pekan atau di penghujung jadwal penyelenggaraan biasanya penuh sesak dengan orang-orang yang tertarik untuk membeli maupun sekedar melihat-lihat. Kegembiraanku sedikit menguap melihat jumlah stan yang ada. Hanya sekitar limabelas stan yang memenuhi gedung Setda, beberapa di antaranya sudah kukenal dengan baik di bookfair sebelumnya. Untunglah, di kejauhan aku melihat stan milik penerbit yang menjadi langgananku selama ini. Dengan segera aku menarik temanku untuk mendekati stan terbesar itu. Hmmm...seperti yang sudah-sudah, buku-buku baru yang menarik hanya bisa kupandangi dengan tatapan kepingin. Maklum hampir tidak ada dana untuk membeli buku di luar anggaran rutin ^^. Puas melihat-lihat, aku pun menyambar enam buah buku yang banting harga, cukup lumayan untuk menambah koleksi pribadiku. Aku pun semakin 'nyengir' setelah berhasil membujuk temanku membeli buku yang ingin kubaca ^^. Yah, mungkin bookfair kali ini hanya menjadi ajang percobaan, melihat pangsa pasar di daerah sekitar tempat tinggalku. Sungguh sebuah kondisi yang patut menjadi PR bagi pihak-pihak terkait untuk meningkatkan minat baca-baca baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Pada kenyataannya, hanya beberapa gelintir orang saja yang berkunjung, itupun terbatas pada stan-stan yang menyediakan buku-buku penunjang pelajaran. Sedikit sekali orang yang melirik buku-buku non fiksi maupun fiksi yang bermutu, lebih sedikit lagi pada stan yang memajang buku-buku yang tergolong mahal. Rupanya minat baca disini benar-benar rendah, jangankan untuk membeli. Semoga saja dengan adanya book fair ini memancing orang-orang untuk lebih gemar membaca. Membaca merupakan sarana murah untuk melihat luasnya dunia. membaca juga meningkatkan pola pikir, menambah pengetahuan, menyerap kebijaksanaan orang lain. Ya, dengan membaca kita dapat menyerap hal-hal positif yang pastinya akan berguna.

Dua Hari di Jogja

Akhirnya kembali lagi ke Jogja, apalagi kalau bukan untuk ikut andil dalam perburuan masa depan terjamin. Berbekal sedikit informasi mengenai rute yang harus ditempuh, aku pun tiba dengan selamat walau sedikit dongkol dengan terjadinya hal yang di luar dugaan. Wajah Jogja yang kukenal telah berubah banyak, lebih padat, penuh dengan pemukiman dan deretan pertokoan yang menawarkan berbagai macam kebutuhan disajikan dalam tampilan menarik. Jogja, semakin mendekati kota metropolitan, pendidikan, hiburan, peluang usaha dan lapangan kerja semua bisa ditemukan di daerah istimewa ini. Layaknya kota-kota besar yang menjadi tujuan kaum urban, Jogja pun tak luput dari masalah macet. Mengikuti jejak pemerintah ibu kota yang meluncurkan program busway, armada angkutan umum serupa sekarang beroperasi di Jogja. Meskipun aku sudah lama mendengar tentang angkutan umum super murah plus nyaman, baru kali ini aku merasakan secara langsung menggunakan angkutan yang disebut Trans Jogja itu. Sedikit kikuk layaknya orang yang baru pertama kali masuk ke halte busway, aku dengan gembira menantikan kedatangan bus yang akan membawaku ke tempat tujuan. Hmmm...rupanya propaganda tentang busway tidak terlalu muluk. Begitu aku memasuki bus hijau itu udara segar dan dingin menggantikan suhu tinggi di luar ruangan. Perjalanan yang cukup lama pun kutempuh dengan nyaman dan antusias. Sepanjang jalan, aku asyik merekam dalam ingatan jalan-jalan kota Jogja yang belum pernah kulalui. Iringan musik tanah air yang disiarkan melalui radio setempat menambah rasa santai dan tak lupa kantuk yang menyerang^^. Busway menjadi satu usaha pemerintah yang patut diacungi jempol. Kenyamanan dalam berkendaraan, rasa aman, keramahan awak bus, dan tarif yang terhitung murah dapat menarik minat pemakai jalan untuk beralih menggunakan angkutan umum. Ketepatan waktu yang biasanya menjadi alasan untuk menggunakan kendaraan pribadi dapat diatasi dengan jam keberangkatan bus yang teratur. Namun demikian, berdasarkan pengamatanku selama dua hari di Jogja, keberadaan Trans Jogja belum direspon sepenuhnya oleh masyarakat. Sepanjang perjalanan, bisa dihitung dengan jari kapan dan dimana bus terisi penuh. Kondisi yang jauh berbeda dengan kendaraan umum semacam busway di Jepang yang selalu padat terutama pada jam-jam kerja. Kendaraan roda dua bermotor masih mendominasi jalan-jalan protokol di Jogja. Mungkin pemerintah perlu menambah propaganda sehingga busway bisa menjadi pilihan utama dalam berkendaraan sebagai solusi nyata dalam mengatasi masalah kemacetan.
Usai melaksanakan kegiatan yang diikuti sekitar 3000 ribu peserta, aku pun bergegas mendatangi tempat yang selalu menjadi tujuan sampingan namun wajib jika aku berada di Jogja. Shopping yang sekarang sudah direlokasi di kawasan Taman Pintar adalah pusat perbukuan yang banyak diburu. Berbagai jenis buku baik baru maupun bekas bisa didapatkan di sini dengan harga lebih rendah dari harga resmi. Wow, perasaanku meluap-luap ketika tiba di tempat ini. Tumpukan buku yang tertata rapi membuat mataku tak henti-hentinya menelusuri judul-judul yang tertera. Penuh semangat aku menyerbu sebuah stan yang menyediakan komik-komik bekas, mencari beberapa judul komik untuk melengkapi koleksiku. Sayang, waktu tak memungkinkan untukku tinggal lebih lama. Dengan berat hati namun puas setelah mendapat beberapa buku yang kucari, aku pun meninggalkan kota Jogja. Dalam hati, aku berharap semoga tak lama lagi aku bisa kembali menikmati kota yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional ini.

Sabtu, 22 November 2008

Milanisti




Jika seseorang bertanya padaku, apakah aku menyukai sepak bola, jawabannya seratus persen ya. Apakah aku penggemar fanatik cabang olahraga bola besar tersebut ? Aku mungkin akan menjawab tidak. Tak dipungkiri ketertarikanku pada sepal bola berawal dari keinginan untuk ikut larut dalam euforia piala dunia 1998. Aku tak malu untuk mengakui bahwa faktor tampang para pemain turut andil dalam kecintaanku akan dunia sepakbola. Sudah menjadi karakteristikku untuk menjadi penggemar yang selalu 'all out' alias habis-habisan. Apapun yang menarik minatku, aku tak segan-segan menghamburkan rupiah demi sepotong gambar, info maupun pernak-pernik yang berbau favoritku. Demikian pula dengan sepak bola, meskipun banyak liga bergengsi di dunia, aku menjatuhkan pilihanku pada Liga Italia Seri A. Alasan di balik pemilihan liga tersebut tentu tak lepas dari faktor pesepakbola yang menjadi favoritku selama ini. Siapa lagi kalau bukan, si ganteng Alessandro Nesta. Hmmm...aku jadi ingat komentar seseorang yang sedikit menyinggungku. Yah, aku memang tak suka jika ada komentar tak sedap pada hal yang kugemari ^^. Biarpun sekarang 'difensore' handal ini sudah semakin berumur, dan jarang tampil di laga akibat cedera yang berkepanjangan, dia tetap menjadi magnet yang menarikku untuk duduk manis di depan tv. Meskipun ditayangkan pada waktu dini hari, tak menghalangiku bangun tengah malam untuk mendukung dari jauh tim yang dibelanya. AC Milan, klub yang bermarkas di kota Milan ini, menjadi tim favorit yang kudukung sepenuhnya pada kompetisi yang memperebutkan gelar scudetto Seri A. Sejak musim 2002-2003, tepatnya semenjak Nesta hijrah ke Rossonero (RedBlacks-sebutan AC Milan yang mengacu pada kostum merah hitamnya), jarang sekali aku absen menonton duel antara AC Milan dengan lima belas klub yang ikut memperebutkan gelar juara Seri A. Yang paling menarik, AC Milan menjadi tempat berkumpulnya pemain-pemain kesayangan tidak hanya aku, tapi juga teman-temanku yang 'gibol' alias maniak sepakbola. Dengan kedatangan David Beckham di awal tahun 2009 nanti, lengkap sudah deretan pemain favorit yang menjadikan AC Milan sebagai tempat unjuk kebolehan. Ya, aku dan dua sahabatku yang semula mendukung tim yang berbeda, dan acapkali harus berhadapan di berbagai ajang kejuaraan, kini berkumpul di San Siro. Berawal dari sahabatku yang mengidolakan sosok Rui Costa, dan tambatan terbarunya 'Good Boy" Richardo Kaka, aku yang semula Lazialita bergabung ke Milan dengan dijualnya Nesta gara-gara kesulitan keuangan yang dialami Lazio, sahabat yang kini berstatus nyonya merelakan label Juventini dengan bergabungnya Pippo Inzaghi. Sungguh luar biasa bahwa empat orang berbeda, dengan favorit berbeda pada akhirnya bernaung di bawah bendera AC Milan. Grup Milanisti pun terbentuk dadakan, bersatu mendukung klub yang kini kembali menggeliat sehingga patut diperhitungkan sebagai kandidat juara musim ini. Peristiwa yang langka namun bukan berarti mustahil ini layaknya sebuah firasat akan sebuah keberhasilan perjuangan keras seorang sahabat. Benar, baru-baru ini anggota termuda Milanisti sukses membawa impian kami menginjak tanah San Siro, menyaksikan langsung pertandingan terakhir AC Milan di partai kandang. Dan pada akhirnya, mengabadikan pesan-pesan Milanisti untuk favorit masing-masing disana. sungguh buah tangan yang paling mengharukan, karena perasaanku untuk orang yang mampu menggugah imajinasiku tersampaikan di tanah yang sama, tertiup udara yang sama dengannya.
Thank's, Sis ! Aku benar-benar berharap apa yang kutulis terlaksana. Nesta, terus berjuang, jangan menyerah, karena tanpamu pesona sepak bola sedikit memudar.

Rabu, 19 November 2008

Dan Petani pun Menjerit

Setelah musim kemarau yang cukup panjang, hujan yang dinanti-nanti akhirnya datang juga. Melimpahnya air menjadikan sumber-sumber air yang telah mengering menjadi terisi kembali. Di beberapa daerah bahkan mulai terjadi banjir akibat sistem pengelolaan aliran air yang buruk ditambah dengan hilangnya daerah resapan air. Sawah-sawah tadah hujan kembali memperoleh cukup air sehingga bisa ditanami dengan tanaman yang membutuhkan cukup air untuk tumbuh. Petani pun bersiap-siap untuk mulai menggarap lahan mereka. Mencangkul dan membajak sawah, mengembalikan kondisi tanah sehingga siap untuk ditanami, membeli bibit unggulan dengan harapan memperoleh hasil yang melimpah. Malangnya, kegembiraan menyambut datangnya musim penghujan yang berarti tiga bulan ke depan lumbung padi mereka akan terisi penuh harus terusik dengan langkanya pupuk, salah satu komponen penting yang menentukan berhasil tidaknya masa panen. Kehidupan petani sebagai ujung tombak produksi pangan di Indonesia yang masih berstatus negara agraris sekarang memang jauh berbeda dengan masa sebelum reformasi dulu. Petani sekarang sudah melewati masa keemasannya. Kerja keras dan biaya operasional dalam bercocok tanam tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh. Hasil panen memang menutup biaya yang dikeluarkan untuk bibit, pestisida dan pupuk, namun sisanya tidak mencukupi untuk biaya hidup karena sebagian harus digunakan untuk masa tanam berikutnya. Akhir-akhir ini, petani dipusingkan dengan masalah pupuk yang harganya semakin lama semakin meroket. Selain itu, pupuk sulit didapat di pasaran. Petani harus puas dengan jatah kupon untuk membeli sekarung pupuk di tempat yang telah ditentukan dengan menunjukkan identitas diri. Penjatahan pupuk ini membuat petani semakin resah, karena pupuk yang diperoleh tidak mencukupi untuk kebutuhan masa tanam. Kemanakah pupuk menghilang ? Menurut Gubernur Jawa Tengah, stok pupuk cukup banyak, sehingga petani tidak perlu khawatir. Pada kenyataannya, petani harus berebut untuk mendapatkan sekantong pupuk. Sang Gubernur pun dibuat kebingungan dengan fenomena ini. Mendengar keterangan demikian, banyak pihak mulai mencurigai adanya permainan pada pihak distributor sebagai pemegang kontrol peredaran pupuk. Keadaan ini sangat mendesak untuk ditindak lanjuti, sehingga Gubernur pun berjanji akan mengadakan penyelidikan dan menindak tegas bila terjadi kecurangan. Janji yang cukup menentramkan, jika petani tidak terdesak waktu untuk segera mulai bercocok tanam ^^. Mengapa kelangkaan pupuk sanggup membuat petani kalang kabut ? Menurut petani, bibit padi tidak akan tumbuh dengan baik jika tidak diberi suplai pupuk. Akibatnya kuantitas dan kualitas bulir-bulir padi yang dihasilkan tidak sebaik padi yang diberi pupuk anorganik tersebut. Upaya pemupukan dengan pupuk organik macam kompos dan kotoran binatang pun tidak membuahkan hasil yang signifikan. Rupanya, konsep kembali ke alam sudah tak bisa diterapkan lagi. Walhasil, petani menjadi tergantung dengan pupuk kimia meskipun mahal dan dari segi lingkungan lambat laun dapat menyebabkan kerusakan pada tanah. Apakah penyebab dari ketergantungan tanaman pada pupuk buatan ini ? Mungkinkah ini dikarenakan oleh pemakaian pupuk yang terus menerus dan berlebihan sehingga merusak kesuburan tanah ? Ataukah jenis bibit hasil rekayasa ilmuwan yang menuntut pemakaian pupuk kimia sebagai syarat untuk tumbuh subur ? Mengapa tidak ada himbauan untuk menggunakan pupuk alami alih-alih berebut pupuk buatan pabrik ? Pertanyaan demi pertanyaan seakan tak ada habisnya jika kita melihat nasib para petani kini. Mereka yang memeras keringat untuk mencukupi kebutuhan pangan, namun mereka pulalah yang terus menjerit akan ketidakadilan ini.

Minggu, 16 November 2008

Masih minggu yang sibuk

"Kau lolos, ambil kartu tanggal 14, tes tanggal 15", membaca sms dari temanku, sejenak membuatku tak percaya. Aku memang tak berharap kali ini mengingat beberapa poin prosedur lamaran yang kulewatkan. Keberuntungan rupanya masih menaungiku. Sedikit bimbang karena harus membatalkan beberapa janji yang sudah jauh-jauh hari kujadwalkan, akhirnya dengan dorongan dari temanku aku memutuskan untuk berangkat, mengadu nasib sekali lagi. sekali lagi aku terjebak di dalam bus yang panas. Meskipun lelah, aku tak membiarkan diriku terlelap. Aku yang duduk di samping jendela, sibuk mengamati pemandangan sepanjang perjalanan dengan cermat, mencari perubahan yang terjadi selama satu tahun ini. Menginjak lokasi penuh kenangan saat KKN dulu, membuatku terkenang akan sosok "Bos", teman baik yang kini sudah damai di sisi-Nya. Kata orang, mereka yang baik selalu dipanggil Tuhan lebih dulu. Mungkin saja, mengingat si Bos yang dari luar tampak garang namun mempunyai hati yang lembut dan siap menolong. Beruntung aku bisa mengenal sosok Bos, dan beruntung aku bisa sekali lagi mengobrol gembira di saat-saat terakhirnya.
Daerah Margasari yang biasanya kering dan panas, bukit-bukit yang gundul, dan udara berdebu, sekarang tampak hijau dan sejuk meskipun hawa masih tetap panas. Gundukan tanah yang aku masih bingung apakah bisa disebut bukit tertutup rumput liar dan semak. Sawah yang biasanya ditanami jagung dan bawang merah, sekarang berisi padi. Pohon-pohon jati yang biasanya meranggas, tertutup dedaunan yang lebat. Rupanya pemerintah setempat menerapkan intensifikasi pertanian, terbukti dengan kawasan hutan jati kini dimanfaatkan untuk menanam jagung di sela-sela pohon jati alih-alih seperti tahun lalu yang dibiarkan ditumbuhi rumput liar.
Satu jam berikutnya, aku semakin gelisah mengingat kali ini aku pergi tanpa teman. Gelisah bukan karena aku kesepian, tapi gelisah memikirkan aku harus menginap semalam di tempat mengerikan itu sendirian. Lagi-lagi kehujanan, uuuhh semoga badanku tidak menyerah, bisa gawat nanti. Akhirnya sampai juga aku di jalan menuju SUPM. Seperti yang kuduga, banyak orang dengan menyandang tas besar berlalu lalang, dengan muka lelah namun penuh semangat. Tergesa-gesa karena waktu pengambilan kartu hampir habis, aku pun menyewa tenaga penarik becak yang hari ini dan besok tertimpa rejeki nomplok. Berharap tidak tampak kebingungan, dengan percaya diri aku menuju tempat yang dulu kudatangi. Malangnya lokasi tempat mengambil kartu berubah, mau tak mau aku pun menyapa orang yang sedang asyik melihat-lihat ruangan tempat ujian. Lega sudah memperoleh kartu, aku kembali melihat papan pengumuman mencari ruangan yang bakal menjadi tempatku mengerjakan soal besok. Baru saja aku merasa heran, karena tidak menemukan wajah yang kukenal, mendadak seseorang mencolek bahhuku. Akhirnya kutemukan juga teman satu angkatan. setelah mengobrol sejenak aku pun berpamitan, bersiap mencari tempat untuk menginap. Inilah hal yang terus membuatku gelisah, sejak aku memutuskan untuk ikut mengadu nasib di departemen milik pemerintah ini. Penasaran kenapa aku gelisah ? Setahun yang lalu, aku dengan dua orang temanku kaget melihat tempat di mana kami menginap berada. Waktu itu, kami yang baru pertama kali berkunjung ke tempat ini, merasa heran bukan main ketika menjumpai nisan ala China berdiri di sebuah pekarangan. Tak sempat berpikir lebih dalam karena ada hal yang lebih mendesak untuk dilakukan, kami pun melupakan keanehan itu hingga perbincangan dengan seorang satpam membuat kami merinding sepanjang malam. Rupanya daerah yang sekarang berisi rumah-rumah penduduk itu bekas pekuburan khusus warga keturunan. Entah bagaimana, kemudian jasad yang semula terkubur dibawah batu nisan diambil keluarganya hingga makam-makam sebagian besar menjadi kosong. Samar-samar aku mendengar penjelasan satpam, hal itu ada hubungannya dengan pemerintah yang mengambil alih lahan. Area pekuburan yang luas itu pun dimanfaatkan penduduk untuk membangun tempat tinggal. Nah, bayangkan saja, aku yang memang sangat penakut harus bermalam di atas bekas makam sendirian ! Lagi-lagi dewi fortuna mengiringiku, di tengah jalan aku menemukan seseorang yang juga sedang bingung mencari tempat menginap. Segera saja kami berdua menjadi teman baik, menempati kamar bersama di rumah yang dulu menjadi induk semangku meski hanya semalam. Berbekal pengalaman tahun lalu, aku pun memutuskan untuk berjalan-jalan ke kota sebelum gelap. Bukannya untuk bersenang-senang, namun mempersiapkan bekal terutama makanan dan minuman, maklum walaupun sudah pernah perutku tidak bisa menerima makanan dan minuman yang berasal dari lingkungan tempatku menginap. Aku jadi membayangkan yang tidak-tidak, begitu mengetahui air yang digunakan untuk sehari-hari berasal dari sumur yang digali di bekas makam itu. Sampai-sampai memakai air untuk menggosok gigi pun membuatku mual. Meskipun aku pengagum arsitektur China bahkan bangunan megah 'bong pay' sebagai tempat peristirahatan terakhir, hal itu tidak menjadikan aku dengan sukarela menjadi penghuni rumah dengan batu nisan sebagai hiasan pekarangan ^^.
Malam yang seharusnya kugunakan untuk mempersiapkan diri menempuh ujian, justru kuhabiskan dengan mengobrol dengan sahabat yang semoga saja aku segera menyusulnya. Mendengar suaranya, membuatku kembali bersemangat, kantuk yang menyerang perlahan menghilang, gelisah karena harus melewatkan malam tergantikan dengan kedamaian ketika sahabatku memperdengarkan Implora, musik instrumental karya Diego Modena. Dengan merendahkan suara takut menganggu teman sekamarku yang sudah terlelap, aku dan 'best friend-ku ' bertukar gosip yang sedang mengikuti salah satu 'adikku'. Walhasil, keesokan harinya aku nyaris tak bisa membuka mata, hingga teman baruku membangunkanku ^^. Segar setelah membasuh diri dengan air yang kualitasnya jauh dibandingkan air dari daerah asalku, aku pun bergabung dengan 1700 orang lainnya di gedung bercat biru itu. Sepuluh menit pertama kuhabiskan dengan tampang bingung yang lama-lama menjadi pucat karena khawatir ketika tak kunjung menemukan kursi yang tertera nomor ujianku. Kegembiraanku karena mengira kebagian tempat di ruangan full AC menguap, dongkol setelah menemukan kursiku yang terletak di teras aula, aku pun ber-sms ria dengan teman yang ketiban sial harus menempuh tes di Jakarta.
Setelah empat jam berkutat dengan soal-soal yang sebagian tak kumengerti, akhirnya petualanganku di kota yang terletak di jalur pantura ini selesai sudah. Tak mau berlama-lama disini, aku segera berkemas dan berpamitan dengan si empunya rumah yang menyewakan kamarnya untukku. Berbeda dengan kemarin, kali ini panas demikian menyengat, membuatku terus menerus menenggak air mineral agar tidak terkena dehidrasi. Sedikit jenuh karena lagi-lagi harus naik kendaraan umum yang kurang nyaman, aku mencoba untuk mengistirahatkan diri, memanfaatkan tiga jam ke depan untuk tidur. Sayangnya, sekali lagi dan mungkin masih berkali-kali lagi aku harus mengeluh tentang kurang nyamannya kendaraan umum di sini. Di kota Tegal ini, rupanya masih berkeliaran calo-calo yang menangguk untung dengan menarik bayaran lebih mahal. Pengamen yang sebagian besar adalah pemuda-pemuda yang tidak beruntung memperoleh pekerjaan tetap silih berganti menjual suaranya dengan lagu-lagu yang sama dan suara pas-pasan. Prolog dan epilog yang diucapkan kadang terdengan kurang sopan dan cenderung kurang ajar, membuatku dan mungkin penumpang lain merasa jengkel. Bukannya terhibur, aku justru semakin terganggu dengan suara sember yang menyanyikan lagu dengan sumbang sehingga merusak keindahan sebuah lagu. Kejengkelanku semakin memuncak, amarah yang sejak tadi menumpuk ditambah lelah tak tertahankan nyaris saja membuatku meledak. Apa lagi kalau bukan gara-gara kendaraan umum! Kali ini, aku yang sengaja mampir ke Purwokerto untuk membeli sesuatu dan mengisi perut yang sejak pagi baru kemasukkan sepotong roti tertahan hingga seperempat jam di dalam angkot pengap, penuh asap rokok, menunggu angkot terisi penuh. Rencana yang sudah kuatur untuk kulakukan di kota ini, menjadi berantakan. Aku pun hanya sempat membeli buku yang kuincar sebelum tergesa-gesa mengejar bis kloter terakhir yang melewati rumahku. Dasar sial, rasanya mantra keberuntungan yang menaungiku mulai pudar. Naluriku bahwa tidak seharusnya aku naik bus yang belum pernah kutumpangi ini benar adanya. Bukan hanya karena tarif yang lebih mahal, tapi yang paling membuatku semakin stress, bus melaju dengan sangat pelan kalau tidak bisa dibilang merayap, padahal kondisi mesin bus yang masih terbilang baru ini tergolong baik. Ulah si pengemudi yang asyik mengobrol melalui handphonenya menjadikan bus tidak tepat waktu . Bayangkan saja, jarak yang biasanya hanya ditempuh satu setengah jam, molor hingga dua jam lebih. Arrrggggghhh.....!!! Inilah kekurangan kendaraan umum di Indonesia. Tidak profesional dalam pelayanan. Pemilik, sopir dan kondektur menjalankan kewajibannya sebagai sarana untuk memperoleh uang. Tidak mempedulikan kenyamanan dan keamanan penumpang. Tak heran banyak orang berlomba membeli kendaraan pribadi yang siap pakai sewaktu-waktu. Profesionalisme memang sudah berubah arah menjadi tujuan finansial, bukan karena tanggung jawab moral yang berasal dari jiwa yang terpanggil untuk menjalankan tugasnya. Aku jadi teringat perbincangan dengan seorang sahabatku ketika berjalan-jalan. "Bapak itu benar-benar berjiwa sopir" Semula aku merasa heran apa maksudnya, setelah dijelaskan aku pun menjadi paham bahwa apapun profesinya betatapun rendahnya profesi tersebut di mata masyarakat, orang yang menjalankan haruslah mempunyai panggilan dalam jiwanya. Contoh konkrit adalah seorang guru, akhir-akhir ini banyak orang yang menjadi guru dengan alasan daripada tidak ada. Jiwa mereka tidak terpanggil untuk mendidik, tentu hasil yang diperoleh jauh berbeda dengan mereka yang benar-benar berkeinginan untuk menjadi seorang guru. Tak heran, banyak anak-anak yang cerdas dan berpengetahuan luas namun tidak dibarengi dengan tingkah laku yang normal, juga sangat wajar dengan banyaknya kasus-kasus anak usia sekolah yang melanggar peraturan. Menurut seorang seniorku dulu, seorang guru tidak hanya dituntut untuk mengajar, tapi juga mendidik pribadi anak sehingga menjadi pribadi yang berkualitas. Poin kedua inilah yang justru tidak semua guru mampu untuk melakukannya.
Menjelang pukul delapan malam, aku tiba di rumah dengan selamat. Meskipun kesibukan minggu ini sudah usai, seabrek pekerjaan menanti untuk kulakukan. Aku pun harus bersiap untuk petualangan selanjutnya, berharap semoga semua ini membuahkan hasil yang terbaik.

Minggu yang sibuk

Sebagai salah satu dari puluhan ribu warga negara Indonesia yang berlomba-lomba mengabdi pada negara, bulan-bulan ini menjadi bulan yang padat dengan aktivitas untukku. Mulai dari melengkapi berkas hingga menjadi pelanggan tetap warnet agar tidak ketinggalan informasi. Belum genap satu minggu aku pulang setelah bepergian cukup lama, dua hari kemudian aku harus kembali ke kota yang sama dengan sebelumnya namun dengan tujuan yang berbeda. Belum usai dari lelah dan penat akibat perjalanan jauh, hari Minggu sore yang biasanya kugunakan untuk menebus jatah waktu tidur yang hilang ^^ kugunakan untuk 'packing' dan kali ini ranselku penuh dengan berkas-berkas yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Rencana untuk berangkat pagi-pagi pun batal, gara-gara hal yang memang sudah kuduga sebelumnya. Walaupun aku sudah 'stand by' di kantor pos sebelum buka, tetap saja harus antre untuk mendapat pelayanan yang kubutuhkan. Mundur satu jam dari jadwal semula, akhirnya aku berangkat ke Wonosobo untuk kedua kalinya dengan menempuh rute yang berbeda. Berhubung Wonosobo terletak di daerah pegunungan, dipisahkan oleh barisan bukit dari tempat asalku, perjalanan pun memerlukan waktu yang cukup lama. Hujan deras membuatku pusing ketika kendaraan umum yang kutumpangi melaju pelan menyusuri jalan yang berkelok-kelok. Kok bisa ? Ya hujan menyebabkan kaca jendela dan pintu tertutup rapat. Pada kendaraan non AC, hal ini berarti tidak ada pertukaran udara. Kesengsaraanku akibat kepanasan di dalam bus yang penuh sesak dengan berbagai macam aroma dilengkapi dengan orang-orang yang dengan santai menghisap rokok. Rokok yang hingga kini menjadi isu dilematis, menjadi musuh terbesarku jika harus bepergian dengan kendaraan umum. Jangankan di sini, Jakarta yang sudah memberlakukan peraturan yang melarang merokok di depan umum pun masih jauh dari lingkungan bebas asap rokok. Para pecandu rokok memang seolah sudah hilang akal, "lebih baik tidak makan daripada tidak merokok", demikian pengakuan seorang pekerja yang mengeluh tak punya uang namun nekat membeli sebungkus rokok yang relatif mahal. Meskipun tahu bahaya akibat rokok, sangatlah sulit bagi mereka yang terlanjur mengenal nikmatnya rokok untuk berhenti menghisap barang yang kini dicap haram tersebut.
Setelah tersiksa kurang lebih tiga jam, sempoyongan aku turun dari bus, menggendong ransel dan tas plastik yang lumayan berat. Keinginan untuk beristirahat harus kutahan dengan pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Tanpa menunda-nunda lagi, aku pun bergegas menuju kantor pos yang lain yang bahkan lebih sesak dengan calon-calon pelamar lokal daripada di tempat asalku. Sambil menanti giliran, aku pun iseng mengirim pesan-pesan singkat ke beberapa teman dekatku. Keisengan yang sengaja kulakukan untuk menutupi maksud yang sesungguhnya ^^ Sukses dengan tujuan pertama, aku segera melanjutkan perjalananku. Perjalanan yang memang sudah lama kunantikan, maklum entah sudah berapa bulan aku tidak menginjakkan kaki ke kota pelajar itu. Untuk sampai ke Yogyakarta, aku harus menempuh jarak sekitar empat jam perjalanan. Waktu yang cukup lama mengingat aku belum sempat istirahat total. Untunglah, kepenatan berjam-jam itu terbayar dengan suguhan pemandangan spektakuler saat bus mendekati daerah Parakan. Kebun-kebun teh terhampar di kanan kiri jalan, membuatku ingat keinginan sahabat untuk mengunjungi kebun teh waktu lalu. Udara dingin berhembus, membuatku nyaman meskipun bus penuh sesak dengan orang-orang yang hendak bepergian ke tempat tujuan masing-masing. Indahnya gunung Sindoro dan gunung Sumbing yang puncaknya tertutup kabut membuatku tak henti-hentinya menengok ke kanan dan kiri. Aku nyaris tergiur untuk turun ketika melihat sebuah tempat khusus wisatawan yang ingin menikmati lembah kedua gunung tersebut. Aku hanya bisa menatap iri ke arah seorang gadis yang asyik meneropong ke arah lembah gunung Sumbing. Sepanjang jalan aku menjumpai tanah-tanah bertingkat yang ditanami sayur-sayuran yang memang cocok tumbuh di tempat dengan suhu rendah. Semuanya sangat natural berbeda jauh dengan kota yang bising dan tercemar polusi. Sayangnya, pemerintah setempat belum memanfaatkan potensi pariwisata tersebut. Hanya satu dua hotel besar yang kujumpai sepanjang perjalanan. Padahal agrowisata banyak menjadi incaran orang-orang yang sudah jenuh dengan dunia modern.
Memasuki kota Jogja, hawa panas kembali menyembur, keringat pun menitik deras meskipun belum sepuluh menit aku tiba di sana. Hujan yang kini mengguyur setiap hari menyambut kedatanganku ke sana. Bersyukur kondisi fisikku tidak 'drop' dengan perubahan suhu yang tiba-tiba, ditambah harus hujan-hujanan di saat tubuh kelelahan. Menanti selama empat jam yang kumanfaatkan untuk merebahkan diri dan tidur-tidur ayam, akhirnya seorang sahabat kental yang lama tak kujumpai datang menjemput. Begitu melihatnya mendekat, sontak aku tertegun. Olala dia betul-betuh berubah, tampak melar dalam balutan pakaian kerjanya^^. Malam itu pun kami habiskan dengan berbagi cerita dan bertukar kabar. Dari berbagai percakapan yang sebagian besar ringan, ada satu yang hingga kini selalu membuatku tersenyum. Apalagi kalau bukan soal pernikahan. Sahabatku, sebagai anak nomor satu yang tinggal di lingkungan yang masih memegang tradisi merasa sedikit tertekan dengan tuntutan yang mengharuskannya memperoleh pasangan hidup. Pada usia sekarang, memang sudah saatnya berpikir untuk berkeluarga. Melalui percakapan tersebut, aku semakin memahami sulitnya hidup di tengah masyarakat yang masih kolot, percaya pada hal-hal tertentu hanya dengan alasan 'ora ilok'. Gunjingan tak bisa dihindari bila kita melakukan hal yang di luar kebiasaan masyarakat setempat meskipun hal itu tidak melanggar norma. Aku terbelalak tak percaya mendengar pengakuan sahabatku saat ia nekat melabrak para biang kerok yang menyebabkan ibunya harus dirawat di rumah sakit gara-gara tak tahan mendengar ocehan yang tidak-tidak. Masyarakat yang masih belum tersentuh dengan hingar bingar modernisasi memiliki sisi positif dan negatif. Kelebihannya, aroma persaudaraan, senasib dan sepenanggungan masih melekat di daerah tempat tinggal mereka yang sebagian besar di wilayah pedesaan. Gotong-royong, dan saling tolong menolong layaknya saudara sedarah menjadi watak mereka. Sayangnya segala keramahan khas desa tersebut dibarengi dengan ketidaksiapan mereka untuk berubah mengikuti zaman, sukar untuk menerima hal-hal baru di luar tradisi mereka, bahkan istilah 'tabu' masih melekat pada bermacam-macam hal yang kini sudah biasa terjadi. Akibatnya muncullah pergunjingan yang biasanya semakin membesar dengan banyaknya mulut yang berbicara dan telinga yang mendengar tanpa mengecek kebenarannya. Privasi sulit dijaga di tengah masyarakat yang selalu ingin tahu. Andai kata kejujuran yang mahal harganya itu dibarengi dengan keterbukaan dan kemauan untuk menyikapi hal-hal baru dengan bijaksana, pastilah banyak orang yang sudah mengenyam perkotaan dengan segala permasalahannya dengan senang hati kembali ke desa.
"sebetulnya, aku siap menikah, hanya 'kirang kalih' (kurang dua)" mendengar ungkapan hati sahabatku membuatku bertanya-tanya apa saja dua syarat untuk menikah yang katanya belum didapat itu. "Kalih sinten....(dengan siapa?)" sambungan dari ucapannya yang terputus spontan membuatku terbahak. Rupanya syarat yang terakhir itu justru yang paling krusial. Betul juga semakin dewasa setiap orang semakin bijak sehingga tidak terlalu berlebihan dalam mengajukan persyaratan. Akhirnya mereka akan menerima apa adanya, seperti sahabatku yang lain yang akhirnya berani mengambil keputusan setelah berpikir pragmatis. "Yang penting niat dulu", demikian kata sahabatku yang kini bermukim di pulau Dewata. Semua memang harus harus diawali dengan niat, tanpa itu apa yang diinginkan tidak akan terwujud.
Tiga hari tiga malam aku di sana, belum cukup memenuhi kerinduanku yang bertumpuk selama ini. Aku bahkan tidak sempat melakukan perburuan yang menjadi tujuan utamaku setiap kali kesana. Waktu jugalah yang menjadi penghalang, hari berikutnya aku harus berpindah ke kota lain, berjuang meraih masa depan untuk kedua kalinya.

Sabtu, 08 November 2008

Cerita dari Wonosobo

"Sudah diundur tiga kali lho !", tulis sahabatku melalui pesan singkat. Dengan susah payah aku mengingat-ingat kembali. Betul juga, apa ini menunjukkan suatu pertanda ?, entahlah, namun kenyataannya hal yang tidak mengenakkan terjadi untuk yang kedua kalinya. Terkejut, jengkel, kecewa dan akhirnya aku turut larut dalam kesedihan yang sedang menimpa salah seorang sahabat. Hari yang ditunggu-tunggu dengan sukacita berbalik menjadi hari yang suram. Kesuraman menjadi sempurna dengan tibanya saat yang sebisa mungkin kuhindari dalam hidup. Begitu kelamnya sampai-sampai mengosongkan pikiranku, menghentikan kebiasaan tempat pelampiasan unek-unekku. Setelah berdiskusi singkat dengan sahabat yang mengetahui duduk permasalahannya, beban pun sedikit terangkat. Mataku sedikit terbuka dengan pandangan baru dari sahabat yang memang sejak dulu pendapatnya selalu masuk akal bagiku. Persahabatan antar lawan jenis selalu lebih rumit daripada persahabatan sesama jenis. Jika persahabatan sesama pria atau wanita bisa pecah jika terjadi persaingan atau ketidaksinkronan dalam suatu hal, persahabatan antara pria dan wanita menjadi terganggu bahkan rusak jika salah satunya mempunyai pasangan baik itu barulah sekedar pacar maupun pasangan hidup. Kecemburuan karena sahabat tidak lagi sepenuhnya bergantung atau berkurangnya waktu untuk bercengkerama menjadi salah satu faktor pudarnya sebuah persahabatan. Apakah persahabatan murni di antara pria dan wanita bisa terjadi ? Setelah mengobrol lumayan lama, aku bisa menyimpulkan bahwa persahabatan murni bisa saja terjalin antara lawan jenis. Hanya saja selama ini garis yang membatasi antara sayang terhadap sahabat dengan kasih terhadap lawan jenis begitu samar. Sebagai seorang yang gemar membaca buku, dari berbagai cerita fiksi yang kubaca hampir semua plot yang bertema sahabat berakhir dengan berubahnya persahabatan menjadi sebuah hubungan asmara. Meskipun hanya cerita rekaan, kisah-kisah tersebut merepresentasikan hal-hal yang terjadi di dunia nyata. Perasaan sayang yang berubah maknanya sangatlah wajar dalam persahabatan yang berbeda jenis, dan biasanya perasaan ini baru muncul atau disadari kemudian. Seseorang dianggap sebagai sahabat jika kita merasa nyaman untuk berbagi, tak heran jika antara dua sahabat yang berbeda jenis salah satu atau keduanya merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar teman.
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, kami pun menjalankan rencana yang sudah sekian lama tertunda. Meskipun tiga berkurang menjadi dua, dengan harapan bisa mencairkan ketegangan aku dan sahabatku bertolak menuju kediaman seorang teman yang baru saja menempuh hidup baru. Hujan lebat menyambut kedatangan kami di kota yang bersuhu rendah ini. Sedikit kebingungan karena mencari lokasi, akhirnya sampai juga kami ke rumah pasangan muda ini. Betapa herannya kami berdua dengan sambutan yang begitu ramah seolah tak terjadi apa-apa. Sambil beristirahat dan sedikit menghangatkan diri kami larut dalam cerita yang tak putus-putusnya. Kedatanganku kesana memang kurang tepat di tengah musim penghujan ini. Niat untuk menjelajah di ketinggian dataran Dieng, urung terlaksana gara-gara hujan, selain itu juga mempertimbangkan faktor kendaraan yang sulit diperoleh di tempat wisata itu. Memandang kota dari ketinggian sangatlah menyenangkan, meski langit tertutup awan kerlip lampu pemukiman di kejauhan begitu indah. Udara dingin tak menahan aku dan sahabatku menikmati suguhan pemandangan sambil berdiskusi seru mengenai persahabatan. Beruntung, keesokan paginya matahari bersinar cerah menghangatkan, saatnya untuk melakukan aktivitas di luar. Berhubung ini adalah kesempatan berkunjung yang langka, aku merelakan rutinitasku di hari Minggu di depan tv. Tiga sahabat plus pendamping seumur hidup memutuskan untuk mengunjungi alun-alun yang selalu ramai di hari Minggu. Walaupun masih dalam tahap renovasi, rupanya cukup banyak orang-orang yang ,melewatkan minggu paginya di sana. Asyik sekali mengamati lalu lalang orang yang sibuk berlari kecil, berjalan santai, duduk di bawah pohon sembari mengobrol ditemani aneka kudapan yang tersedia di sana. Rupanya hari minggu menjadi sarana penjaja makanan mengais rejeki. Terbawa suasana sehat di alun-alun, membuatku mengiyakan ajakan sahabatku untuk menjajal kemampuan kami dalam berlari. Wow, terobosan hebat buatku yang sejak dulu anti menggerakkan kaki untuk berlari. Aku memang tak berbakat olah raga, baru separo lapangan nafas sudah ngos-ngosan ^^. Aku pun menyerah, berjalan santai kemudian menggabrukan diri di bawah pohon beringin tua. Mengatur nafas sambil mengamati sahabatku mencari-cari 'best shoot' untuk diabadikan. Mengambil kesempatan saat berdua saja, kami pun mendiskusikan hasil pengamatan kami terhadap sahabat kami dan kehidupan barunya. Mencari pasangan seumur hidup memang tidak mudah. Kecocokan menjadi hal yang mutlak diperlukan agar sejalan. Aku pun paham mengapa sekian dari banyak kasus perceraian bersumber dari ketidakcocokan. Kecocokan tidak hanya dari segi fisik semata, yang terpenting justru kecocokan persepsi, cara pandang dalam berbagai hal. Untuk itulah muncul istilah 'pacaran' yang sejatinya upaya untuk saling menjajagi diri masing-masing sebagai persiapan untuk menempuh langkah selanjutnya. Hingga kini aku belum bisa menerima konsep perjodohan maupun pernikahan instant tanpa saling mengenal terlebih dulu. Usai membaca karya kang Abik yang berjudul Ayat-Ayat Cinta, meskipun aku mulai memahami pernikahan menurut Islam yang tak mengenal pacaran sebelum menikah, aku tetap tak habis pikir bagaimana dua orang yang belum saling mengenal mampu bersatu dalam sebuah ikatan. Jika sahabatku berpendapat justru lebih asyik menikah dengan orang yang belum terlalu kita kenal, karena kita bisa menemukan hal-hal baru sehingga tidak membosankan, maka bagiku sebaliknya. Pernikahan bisa diumpamakan sebagai sebuah buku menarik yang jika habis dibaca, maka akan dibaca ulang terus menerus hingga hafal setiap kata dan benar-benar memahami makna yang tersirat. Aku yang tergolong susah untuk berinteraksi dengan orang lain, cenderung lebih mempercayai seseorang yang sudah kukenal baik sehingga perumpamaan membeli kucing dalam karung sebisa mungkin kuhindari.
Cukup lama juga kami mengobrol sebelum sahabatku yang sedang berjalan-jalan tanpa alas kaki demi kesehatan jabang bayi datang bergabung. Matahari yang sudah naik cukup tinggi plus udara dingin membuat perut keroncongan kami yang hanya menyantap porsi kecil sarapan. Setelah memilih menu makan pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju warung yang menyediakan soto daging lezat ala Wonosobo. Di tengah perjalanan kami melewati sebuah tempat ibadah bagi penganut Kong Hu Cu. Melihat pintu masuk terbuka, aku yang sejak dulu mengagumi arsitektur Cina kuno beserta kebudayaannya mendesak untuk mampir, sekedar melihat-lihat dan berfoto. Wah ternyata 'klenteng' yang saat itu sepi pengunjung sangat indah. Warna merah yang khas, lampion-lampion merah, lukisan-lukisan, kaligrafi, dan lilin-lilin berbagai ukuran yang menyala terang menambah kemisteriusan patung-patung dewa dewi yang tertata rapi di ruangan sembahyang. Sayang, belum puas kami mengambil gambar baterai kamera berkedip-kedip dan akhirnya habis ! Malangnya, tapi mungkin ini pertanda bahwa kami harus kembali lagi ke sana suatu saat nanti. Sekali lagi berhubung sekarang sedang musim penghujan, begitu tiba di rumah hujan deras mengguyur menunda keberangkatan aku dan sahabatku ke tujuan masing-masing. Untunglah lewat tengah hari hujan menjadi gerimis, aku dan sahabatku pun bersiap-siap pamit. Setelah berbasa-basi dan janji akan kembali lagi, aku pun meneruskan perjalanan sementara sahabatku menempuh jalan pulang yang berbeda. Brrrr...dingin dingin dan dingin. Itulah yang menimpaku selama empat malam di Wonosobo. Aku yang terbiasa hidup di daerah yang panas luar biasa, menggigil kedinginan di tempat yang bersuhu rendah ini. Bisa-bisa aku mengalami over weight jika harus lebih lama tinggal di sana, maklum udara dingin membuat nafsu makan semakin bertambah sementara tidak ada kegiatan yang bisa membakar kalori. Akhirnya tiba juga hari untukku harus pulang. Barang bawaan yang semakin berat dengan sedikit oleh-oleh yang telah kujanjikan pada seseorang, membebani perjalananku yang cukup panjang. Sudah lama kurasakan tidak enaknya jadi orang dari golongan menengah ke bawah. Setelah satu jam menunggu, barulah bis Semarang-Purwokerto lewat. Panas dan penat karena menunggu terlalu lama, membuatku nekat naik kendaraan yang dari luar tampak penuh itu. Inilah satu alasan yang selalu membutku 'ogah' membawa barang terlalu banyak. Bus tua yang mengepulkan asap tebal saat berjalan, penuh sesak dengan penumpang, aku pun harus berdesakan untuk dapat merangsek maju mencari tempat duduk. Bersyukur masih ada satu yang tersisa meskipun kurang nyaman. Bukan rahasia lagi jika transportasi umum di negara ini kurang layak dan tidak menawarkan kenyamanan dan keamanan terutama untuk kelas ekonomi. Kendaraan yang sudah tak laik pakai, banyaknya sampah di kolong tempat duduk, asap rokok bercampur bau muntahan penumpang yang tak peka dengan lingkungan sekitar, banyaknya pengamen dan pedagang asongan yang seringkali mengganggu kenyamanan dan lamanya perjalanan gara-gara harus menanti penumpang di tempat-tempat tertentu adalah gambaran umum rakyat kecil yang tidak mempunyai kendaraan pribadi. Belum lagi ongkos yang semakin hari semakin mahal akibat naiknya harga bahan bakar dan biaya perawatan kendaraan yang semakin tinggi. Seakan belum cukup, semua ketidaknyamanan tersebut masih ditambah faktor resiko jika menemui pengemudi ugal-ugalan dengan alasan berebut penumpang. Kapankah transportasi umum di Indonesia bisa menjadi layak ? Bahkan bus Trans Jakarta dengan fasilitas bagus meski harga murah masih kurang baik dengan antrian luar biasa di halte-haltenya. Penumpang mengeluh, pemilik angkutan pun mengeluh, apalagi jika bukan karena sulitnya mencari penumpang. Pendapatan harian tidak mampu menutup pengeluaran untuk bahan bakar dan perawatan kendaraan. Aku sangat terenyuh dengan perkataan seorang supir angkot, "mau bagaimana lagi mbak..." demikian komentarnya ketika kami mengobrol menanggapi langkanya penumpang. Semoga calon-calon pemimpin dan dewan legislatif kelak tidak hanya aktif mewawancarai rakyat kecil tapi juga mencari solusi untuk lebih mengangkat taraf hidup mereka.
Akhirnya aku sampai di rumah dengan selamat, dengan badan sedikit pegal dan pening di kepala gara-gara naik bus terlalu lama ^^. Kembali ke rutinitasku setelah berlibur sebentar, dan memperoleh hal baru yang bisa menjadi masukan untuk langkah yang kuambil dalam hidup.