Minggu, 16 November 2008

Masih minggu yang sibuk

"Kau lolos, ambil kartu tanggal 14, tes tanggal 15", membaca sms dari temanku, sejenak membuatku tak percaya. Aku memang tak berharap kali ini mengingat beberapa poin prosedur lamaran yang kulewatkan. Keberuntungan rupanya masih menaungiku. Sedikit bimbang karena harus membatalkan beberapa janji yang sudah jauh-jauh hari kujadwalkan, akhirnya dengan dorongan dari temanku aku memutuskan untuk berangkat, mengadu nasib sekali lagi. sekali lagi aku terjebak di dalam bus yang panas. Meskipun lelah, aku tak membiarkan diriku terlelap. Aku yang duduk di samping jendela, sibuk mengamati pemandangan sepanjang perjalanan dengan cermat, mencari perubahan yang terjadi selama satu tahun ini. Menginjak lokasi penuh kenangan saat KKN dulu, membuatku terkenang akan sosok "Bos", teman baik yang kini sudah damai di sisi-Nya. Kata orang, mereka yang baik selalu dipanggil Tuhan lebih dulu. Mungkin saja, mengingat si Bos yang dari luar tampak garang namun mempunyai hati yang lembut dan siap menolong. Beruntung aku bisa mengenal sosok Bos, dan beruntung aku bisa sekali lagi mengobrol gembira di saat-saat terakhirnya.
Daerah Margasari yang biasanya kering dan panas, bukit-bukit yang gundul, dan udara berdebu, sekarang tampak hijau dan sejuk meskipun hawa masih tetap panas. Gundukan tanah yang aku masih bingung apakah bisa disebut bukit tertutup rumput liar dan semak. Sawah yang biasanya ditanami jagung dan bawang merah, sekarang berisi padi. Pohon-pohon jati yang biasanya meranggas, tertutup dedaunan yang lebat. Rupanya pemerintah setempat menerapkan intensifikasi pertanian, terbukti dengan kawasan hutan jati kini dimanfaatkan untuk menanam jagung di sela-sela pohon jati alih-alih seperti tahun lalu yang dibiarkan ditumbuhi rumput liar.
Satu jam berikutnya, aku semakin gelisah mengingat kali ini aku pergi tanpa teman. Gelisah bukan karena aku kesepian, tapi gelisah memikirkan aku harus menginap semalam di tempat mengerikan itu sendirian. Lagi-lagi kehujanan, uuuhh semoga badanku tidak menyerah, bisa gawat nanti. Akhirnya sampai juga aku di jalan menuju SUPM. Seperti yang kuduga, banyak orang dengan menyandang tas besar berlalu lalang, dengan muka lelah namun penuh semangat. Tergesa-gesa karena waktu pengambilan kartu hampir habis, aku pun menyewa tenaga penarik becak yang hari ini dan besok tertimpa rejeki nomplok. Berharap tidak tampak kebingungan, dengan percaya diri aku menuju tempat yang dulu kudatangi. Malangnya lokasi tempat mengambil kartu berubah, mau tak mau aku pun menyapa orang yang sedang asyik melihat-lihat ruangan tempat ujian. Lega sudah memperoleh kartu, aku kembali melihat papan pengumuman mencari ruangan yang bakal menjadi tempatku mengerjakan soal besok. Baru saja aku merasa heran, karena tidak menemukan wajah yang kukenal, mendadak seseorang mencolek bahhuku. Akhirnya kutemukan juga teman satu angkatan. setelah mengobrol sejenak aku pun berpamitan, bersiap mencari tempat untuk menginap. Inilah hal yang terus membuatku gelisah, sejak aku memutuskan untuk ikut mengadu nasib di departemen milik pemerintah ini. Penasaran kenapa aku gelisah ? Setahun yang lalu, aku dengan dua orang temanku kaget melihat tempat di mana kami menginap berada. Waktu itu, kami yang baru pertama kali berkunjung ke tempat ini, merasa heran bukan main ketika menjumpai nisan ala China berdiri di sebuah pekarangan. Tak sempat berpikir lebih dalam karena ada hal yang lebih mendesak untuk dilakukan, kami pun melupakan keanehan itu hingga perbincangan dengan seorang satpam membuat kami merinding sepanjang malam. Rupanya daerah yang sekarang berisi rumah-rumah penduduk itu bekas pekuburan khusus warga keturunan. Entah bagaimana, kemudian jasad yang semula terkubur dibawah batu nisan diambil keluarganya hingga makam-makam sebagian besar menjadi kosong. Samar-samar aku mendengar penjelasan satpam, hal itu ada hubungannya dengan pemerintah yang mengambil alih lahan. Area pekuburan yang luas itu pun dimanfaatkan penduduk untuk membangun tempat tinggal. Nah, bayangkan saja, aku yang memang sangat penakut harus bermalam di atas bekas makam sendirian ! Lagi-lagi dewi fortuna mengiringiku, di tengah jalan aku menemukan seseorang yang juga sedang bingung mencari tempat menginap. Segera saja kami berdua menjadi teman baik, menempati kamar bersama di rumah yang dulu menjadi induk semangku meski hanya semalam. Berbekal pengalaman tahun lalu, aku pun memutuskan untuk berjalan-jalan ke kota sebelum gelap. Bukannya untuk bersenang-senang, namun mempersiapkan bekal terutama makanan dan minuman, maklum walaupun sudah pernah perutku tidak bisa menerima makanan dan minuman yang berasal dari lingkungan tempatku menginap. Aku jadi membayangkan yang tidak-tidak, begitu mengetahui air yang digunakan untuk sehari-hari berasal dari sumur yang digali di bekas makam itu. Sampai-sampai memakai air untuk menggosok gigi pun membuatku mual. Meskipun aku pengagum arsitektur China bahkan bangunan megah 'bong pay' sebagai tempat peristirahatan terakhir, hal itu tidak menjadikan aku dengan sukarela menjadi penghuni rumah dengan batu nisan sebagai hiasan pekarangan ^^.
Malam yang seharusnya kugunakan untuk mempersiapkan diri menempuh ujian, justru kuhabiskan dengan mengobrol dengan sahabat yang semoga saja aku segera menyusulnya. Mendengar suaranya, membuatku kembali bersemangat, kantuk yang menyerang perlahan menghilang, gelisah karena harus melewatkan malam tergantikan dengan kedamaian ketika sahabatku memperdengarkan Implora, musik instrumental karya Diego Modena. Dengan merendahkan suara takut menganggu teman sekamarku yang sudah terlelap, aku dan 'best friend-ku ' bertukar gosip yang sedang mengikuti salah satu 'adikku'. Walhasil, keesokan harinya aku nyaris tak bisa membuka mata, hingga teman baruku membangunkanku ^^. Segar setelah membasuh diri dengan air yang kualitasnya jauh dibandingkan air dari daerah asalku, aku pun bergabung dengan 1700 orang lainnya di gedung bercat biru itu. Sepuluh menit pertama kuhabiskan dengan tampang bingung yang lama-lama menjadi pucat karena khawatir ketika tak kunjung menemukan kursi yang tertera nomor ujianku. Kegembiraanku karena mengira kebagian tempat di ruangan full AC menguap, dongkol setelah menemukan kursiku yang terletak di teras aula, aku pun ber-sms ria dengan teman yang ketiban sial harus menempuh tes di Jakarta.
Setelah empat jam berkutat dengan soal-soal yang sebagian tak kumengerti, akhirnya petualanganku di kota yang terletak di jalur pantura ini selesai sudah. Tak mau berlama-lama disini, aku segera berkemas dan berpamitan dengan si empunya rumah yang menyewakan kamarnya untukku. Berbeda dengan kemarin, kali ini panas demikian menyengat, membuatku terus menerus menenggak air mineral agar tidak terkena dehidrasi. Sedikit jenuh karena lagi-lagi harus naik kendaraan umum yang kurang nyaman, aku mencoba untuk mengistirahatkan diri, memanfaatkan tiga jam ke depan untuk tidur. Sayangnya, sekali lagi dan mungkin masih berkali-kali lagi aku harus mengeluh tentang kurang nyamannya kendaraan umum di sini. Di kota Tegal ini, rupanya masih berkeliaran calo-calo yang menangguk untung dengan menarik bayaran lebih mahal. Pengamen yang sebagian besar adalah pemuda-pemuda yang tidak beruntung memperoleh pekerjaan tetap silih berganti menjual suaranya dengan lagu-lagu yang sama dan suara pas-pasan. Prolog dan epilog yang diucapkan kadang terdengan kurang sopan dan cenderung kurang ajar, membuatku dan mungkin penumpang lain merasa jengkel. Bukannya terhibur, aku justru semakin terganggu dengan suara sember yang menyanyikan lagu dengan sumbang sehingga merusak keindahan sebuah lagu. Kejengkelanku semakin memuncak, amarah yang sejak tadi menumpuk ditambah lelah tak tertahankan nyaris saja membuatku meledak. Apa lagi kalau bukan gara-gara kendaraan umum! Kali ini, aku yang sengaja mampir ke Purwokerto untuk membeli sesuatu dan mengisi perut yang sejak pagi baru kemasukkan sepotong roti tertahan hingga seperempat jam di dalam angkot pengap, penuh asap rokok, menunggu angkot terisi penuh. Rencana yang sudah kuatur untuk kulakukan di kota ini, menjadi berantakan. Aku pun hanya sempat membeli buku yang kuincar sebelum tergesa-gesa mengejar bis kloter terakhir yang melewati rumahku. Dasar sial, rasanya mantra keberuntungan yang menaungiku mulai pudar. Naluriku bahwa tidak seharusnya aku naik bus yang belum pernah kutumpangi ini benar adanya. Bukan hanya karena tarif yang lebih mahal, tapi yang paling membuatku semakin stress, bus melaju dengan sangat pelan kalau tidak bisa dibilang merayap, padahal kondisi mesin bus yang masih terbilang baru ini tergolong baik. Ulah si pengemudi yang asyik mengobrol melalui handphonenya menjadikan bus tidak tepat waktu . Bayangkan saja, jarak yang biasanya hanya ditempuh satu setengah jam, molor hingga dua jam lebih. Arrrggggghhh.....!!! Inilah kekurangan kendaraan umum di Indonesia. Tidak profesional dalam pelayanan. Pemilik, sopir dan kondektur menjalankan kewajibannya sebagai sarana untuk memperoleh uang. Tidak mempedulikan kenyamanan dan keamanan penumpang. Tak heran banyak orang berlomba membeli kendaraan pribadi yang siap pakai sewaktu-waktu. Profesionalisme memang sudah berubah arah menjadi tujuan finansial, bukan karena tanggung jawab moral yang berasal dari jiwa yang terpanggil untuk menjalankan tugasnya. Aku jadi teringat perbincangan dengan seorang sahabatku ketika berjalan-jalan. "Bapak itu benar-benar berjiwa sopir" Semula aku merasa heran apa maksudnya, setelah dijelaskan aku pun menjadi paham bahwa apapun profesinya betatapun rendahnya profesi tersebut di mata masyarakat, orang yang menjalankan haruslah mempunyai panggilan dalam jiwanya. Contoh konkrit adalah seorang guru, akhir-akhir ini banyak orang yang menjadi guru dengan alasan daripada tidak ada. Jiwa mereka tidak terpanggil untuk mendidik, tentu hasil yang diperoleh jauh berbeda dengan mereka yang benar-benar berkeinginan untuk menjadi seorang guru. Tak heran, banyak anak-anak yang cerdas dan berpengetahuan luas namun tidak dibarengi dengan tingkah laku yang normal, juga sangat wajar dengan banyaknya kasus-kasus anak usia sekolah yang melanggar peraturan. Menurut seorang seniorku dulu, seorang guru tidak hanya dituntut untuk mengajar, tapi juga mendidik pribadi anak sehingga menjadi pribadi yang berkualitas. Poin kedua inilah yang justru tidak semua guru mampu untuk melakukannya.
Menjelang pukul delapan malam, aku tiba di rumah dengan selamat. Meskipun kesibukan minggu ini sudah usai, seabrek pekerjaan menanti untuk kulakukan. Aku pun harus bersiap untuk petualangan selanjutnya, berharap semoga semua ini membuahkan hasil yang terbaik.

Tidak ada komentar: