Minggu, 16 November 2008

Minggu yang sibuk

Sebagai salah satu dari puluhan ribu warga negara Indonesia yang berlomba-lomba mengabdi pada negara, bulan-bulan ini menjadi bulan yang padat dengan aktivitas untukku. Mulai dari melengkapi berkas hingga menjadi pelanggan tetap warnet agar tidak ketinggalan informasi. Belum genap satu minggu aku pulang setelah bepergian cukup lama, dua hari kemudian aku harus kembali ke kota yang sama dengan sebelumnya namun dengan tujuan yang berbeda. Belum usai dari lelah dan penat akibat perjalanan jauh, hari Minggu sore yang biasanya kugunakan untuk menebus jatah waktu tidur yang hilang ^^ kugunakan untuk 'packing' dan kali ini ranselku penuh dengan berkas-berkas yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Rencana untuk berangkat pagi-pagi pun batal, gara-gara hal yang memang sudah kuduga sebelumnya. Walaupun aku sudah 'stand by' di kantor pos sebelum buka, tetap saja harus antre untuk mendapat pelayanan yang kubutuhkan. Mundur satu jam dari jadwal semula, akhirnya aku berangkat ke Wonosobo untuk kedua kalinya dengan menempuh rute yang berbeda. Berhubung Wonosobo terletak di daerah pegunungan, dipisahkan oleh barisan bukit dari tempat asalku, perjalanan pun memerlukan waktu yang cukup lama. Hujan deras membuatku pusing ketika kendaraan umum yang kutumpangi melaju pelan menyusuri jalan yang berkelok-kelok. Kok bisa ? Ya hujan menyebabkan kaca jendela dan pintu tertutup rapat. Pada kendaraan non AC, hal ini berarti tidak ada pertukaran udara. Kesengsaraanku akibat kepanasan di dalam bus yang penuh sesak dengan berbagai macam aroma dilengkapi dengan orang-orang yang dengan santai menghisap rokok. Rokok yang hingga kini menjadi isu dilematis, menjadi musuh terbesarku jika harus bepergian dengan kendaraan umum. Jangankan di sini, Jakarta yang sudah memberlakukan peraturan yang melarang merokok di depan umum pun masih jauh dari lingkungan bebas asap rokok. Para pecandu rokok memang seolah sudah hilang akal, "lebih baik tidak makan daripada tidak merokok", demikian pengakuan seorang pekerja yang mengeluh tak punya uang namun nekat membeli sebungkus rokok yang relatif mahal. Meskipun tahu bahaya akibat rokok, sangatlah sulit bagi mereka yang terlanjur mengenal nikmatnya rokok untuk berhenti menghisap barang yang kini dicap haram tersebut.
Setelah tersiksa kurang lebih tiga jam, sempoyongan aku turun dari bus, menggendong ransel dan tas plastik yang lumayan berat. Keinginan untuk beristirahat harus kutahan dengan pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Tanpa menunda-nunda lagi, aku pun bergegas menuju kantor pos yang lain yang bahkan lebih sesak dengan calon-calon pelamar lokal daripada di tempat asalku. Sambil menanti giliran, aku pun iseng mengirim pesan-pesan singkat ke beberapa teman dekatku. Keisengan yang sengaja kulakukan untuk menutupi maksud yang sesungguhnya ^^ Sukses dengan tujuan pertama, aku segera melanjutkan perjalananku. Perjalanan yang memang sudah lama kunantikan, maklum entah sudah berapa bulan aku tidak menginjakkan kaki ke kota pelajar itu. Untuk sampai ke Yogyakarta, aku harus menempuh jarak sekitar empat jam perjalanan. Waktu yang cukup lama mengingat aku belum sempat istirahat total. Untunglah, kepenatan berjam-jam itu terbayar dengan suguhan pemandangan spektakuler saat bus mendekati daerah Parakan. Kebun-kebun teh terhampar di kanan kiri jalan, membuatku ingat keinginan sahabat untuk mengunjungi kebun teh waktu lalu. Udara dingin berhembus, membuatku nyaman meskipun bus penuh sesak dengan orang-orang yang hendak bepergian ke tempat tujuan masing-masing. Indahnya gunung Sindoro dan gunung Sumbing yang puncaknya tertutup kabut membuatku tak henti-hentinya menengok ke kanan dan kiri. Aku nyaris tergiur untuk turun ketika melihat sebuah tempat khusus wisatawan yang ingin menikmati lembah kedua gunung tersebut. Aku hanya bisa menatap iri ke arah seorang gadis yang asyik meneropong ke arah lembah gunung Sumbing. Sepanjang jalan aku menjumpai tanah-tanah bertingkat yang ditanami sayur-sayuran yang memang cocok tumbuh di tempat dengan suhu rendah. Semuanya sangat natural berbeda jauh dengan kota yang bising dan tercemar polusi. Sayangnya, pemerintah setempat belum memanfaatkan potensi pariwisata tersebut. Hanya satu dua hotel besar yang kujumpai sepanjang perjalanan. Padahal agrowisata banyak menjadi incaran orang-orang yang sudah jenuh dengan dunia modern.
Memasuki kota Jogja, hawa panas kembali menyembur, keringat pun menitik deras meskipun belum sepuluh menit aku tiba di sana. Hujan yang kini mengguyur setiap hari menyambut kedatanganku ke sana. Bersyukur kondisi fisikku tidak 'drop' dengan perubahan suhu yang tiba-tiba, ditambah harus hujan-hujanan di saat tubuh kelelahan. Menanti selama empat jam yang kumanfaatkan untuk merebahkan diri dan tidur-tidur ayam, akhirnya seorang sahabat kental yang lama tak kujumpai datang menjemput. Begitu melihatnya mendekat, sontak aku tertegun. Olala dia betul-betuh berubah, tampak melar dalam balutan pakaian kerjanya^^. Malam itu pun kami habiskan dengan berbagi cerita dan bertukar kabar. Dari berbagai percakapan yang sebagian besar ringan, ada satu yang hingga kini selalu membuatku tersenyum. Apalagi kalau bukan soal pernikahan. Sahabatku, sebagai anak nomor satu yang tinggal di lingkungan yang masih memegang tradisi merasa sedikit tertekan dengan tuntutan yang mengharuskannya memperoleh pasangan hidup. Pada usia sekarang, memang sudah saatnya berpikir untuk berkeluarga. Melalui percakapan tersebut, aku semakin memahami sulitnya hidup di tengah masyarakat yang masih kolot, percaya pada hal-hal tertentu hanya dengan alasan 'ora ilok'. Gunjingan tak bisa dihindari bila kita melakukan hal yang di luar kebiasaan masyarakat setempat meskipun hal itu tidak melanggar norma. Aku terbelalak tak percaya mendengar pengakuan sahabatku saat ia nekat melabrak para biang kerok yang menyebabkan ibunya harus dirawat di rumah sakit gara-gara tak tahan mendengar ocehan yang tidak-tidak. Masyarakat yang masih belum tersentuh dengan hingar bingar modernisasi memiliki sisi positif dan negatif. Kelebihannya, aroma persaudaraan, senasib dan sepenanggungan masih melekat di daerah tempat tinggal mereka yang sebagian besar di wilayah pedesaan. Gotong-royong, dan saling tolong menolong layaknya saudara sedarah menjadi watak mereka. Sayangnya segala keramahan khas desa tersebut dibarengi dengan ketidaksiapan mereka untuk berubah mengikuti zaman, sukar untuk menerima hal-hal baru di luar tradisi mereka, bahkan istilah 'tabu' masih melekat pada bermacam-macam hal yang kini sudah biasa terjadi. Akibatnya muncullah pergunjingan yang biasanya semakin membesar dengan banyaknya mulut yang berbicara dan telinga yang mendengar tanpa mengecek kebenarannya. Privasi sulit dijaga di tengah masyarakat yang selalu ingin tahu. Andai kata kejujuran yang mahal harganya itu dibarengi dengan keterbukaan dan kemauan untuk menyikapi hal-hal baru dengan bijaksana, pastilah banyak orang yang sudah mengenyam perkotaan dengan segala permasalahannya dengan senang hati kembali ke desa.
"sebetulnya, aku siap menikah, hanya 'kirang kalih' (kurang dua)" mendengar ungkapan hati sahabatku membuatku bertanya-tanya apa saja dua syarat untuk menikah yang katanya belum didapat itu. "Kalih sinten....(dengan siapa?)" sambungan dari ucapannya yang terputus spontan membuatku terbahak. Rupanya syarat yang terakhir itu justru yang paling krusial. Betul juga semakin dewasa setiap orang semakin bijak sehingga tidak terlalu berlebihan dalam mengajukan persyaratan. Akhirnya mereka akan menerima apa adanya, seperti sahabatku yang lain yang akhirnya berani mengambil keputusan setelah berpikir pragmatis. "Yang penting niat dulu", demikian kata sahabatku yang kini bermukim di pulau Dewata. Semua memang harus harus diawali dengan niat, tanpa itu apa yang diinginkan tidak akan terwujud.
Tiga hari tiga malam aku di sana, belum cukup memenuhi kerinduanku yang bertumpuk selama ini. Aku bahkan tidak sempat melakukan perburuan yang menjadi tujuan utamaku setiap kali kesana. Waktu jugalah yang menjadi penghalang, hari berikutnya aku harus berpindah ke kota lain, berjuang meraih masa depan untuk kedua kalinya.

Tidak ada komentar: