Jumat, 25 Desember 2009

Lagi Be Te

Di penghujung tahun ini, rasanya belum ada kemajuan berarti yang kucapai dalam hidupku yang semakin bertambah usia. Entah apa penyebabnya setiap resolusi yang kubuat di awal tahun lalu berakhir dalam kebuntuan. Mungkin karena tiap hari kujalani dengan monoton, berkubang dalam kondisi yang sama, berinteraksi dengan orang yang sama, berkutat dengan hal yang sama menjadikan aku terhenti di titik itu. Atau mungkin lebih karena diriku yang tidak ingin berubah, ketakutan akan sebuah masa depan yang hingga kini belum siap untuk kuraih. Ahhh berkali-kali menghela nafas pun tidak mampu mengenyahkan kegundahan dalam dada ini. Kegelisahan akan hari esok terus menerus menggegerogoti pikiranku. Meskipun sebuah pengalih perhatian selalu tersedia, namun di kala mata terpejam menjelang tidur kegelapan senantiasa datang menjadikan lelap menjauh dari tidurku. Arrghh kekesalan sepertinya selalu menghampiriku, tidak hanya sedari dulu namun hingga kini pun kata damai seolah menjauh. Ada saja situasi yang membuatku terpancing emosi, meradang hingga berbesar hati dan bersabar pun sulit untuk kulakukan. Ujian demi ujian meskipun tidak semuanya terlewati dengan baik, setidaknya sudah terlewati. Sekarang aku harus memandang ke depan, belajar untuk menentukan langkah selanjutnya. Meski berat jalan yang harus kulewati nanti, setidaknya setitik harapan masih terbuka. Saat untuk berubah sebenarnya sudah datang semenjak lalu, namun beban untuk ke sana selalu membuatku berat hingga akhirnya terhambat untuk mencapai tujuan. Berubah menjadi lebih tabah kini menjadi prioritasku mengingat tugas berat yang akan datang sebentar lagi. Hahhhhh.......pertanyaan yang sama selalu datang di benakku, kapankah akan tiba waktu untukku ?

Be Te !!!!

Ajaran yang besar yang harus mengalah sepertinya sudah tertanam di sebagian besar kelompok masyarakat. Namun ajaran yang baik ini mempunyai kelemahan yang cukup berakibat fatal. Ya petuah agar si besar mengalah ini menjadikan si kecil melihat kesempatan untuk sebuah pembenaran jika terjadi kesalahan dari pihaknya. Demikianlah jika salah asuhan, kebijakan agar si besar harus lebih dewasa dan memahami si kecil sehingga menjadi contoh yang baik justru menjadi senjata bagi si kecil. Dan pada akhirnya ketidakadilan pun dengan mudah terjadi di antara kedua pihak dengan keuntungan lebih condong ke pihak si kecil. Sebuah realita yang wajar terjadi jika sang adik lebih diperhatikan dan selalu dibenarkan sehingga timbul kecemburuan dalam diri si kakak yang notabene sebagai si besar yang harus mengalah. Tentu ini menjadi kesalahan pihak orangtua yang kurang tepat dalam melaksanakan prinsip 'yang besar harus mengalah'. Kesalahkaprahan ini rupanya juga meluas tidak hanya dalam hubungan antar saudara dalam keluarga, contoh kekeliruan dalam penerapan prinsip tersebut terjadi juga dalam konteks lalu lintas. Sudah menjadi rahasia umum jika terjadi kecelakaan di jalan raya, maka kendaraan yang lebih besarlah yang harus bertanggung jawab. Meskipun kesalahan berasal dari kendaraan yang lebih kecil, tetap saja pengemudi kendaraan besar yang harus menanggung akibatnya. Contoh kecil terjadi ketika sebuah mobil box berhenti di depan palang pintu kereta api karena ada kereta yang lewat, tak dinyana dari arah belakang mobil tersebut dihantam begitu saja oleh kendaraan roda dua yang melaju cepat sehingga panik ketika deretan kendaraan di depannya berhenti karena jalan tertutup untuk sementara. Jika dilihat dari kejadiannya, berdasarkan bukti dan saksi yang ada secara logis mobil boks tersebut tidak bersalah. Adalah keteledoran pengendara motor yang menyebabkan dirinya celaka. Namun tidak demikian urusannya, justru si pengemudi mobil boks yang diharuskan membiayai pengobatan si pengendara ! Contoh lain, sebuah mobil sedang melaju dengan pelan di wilayah yang ramai dengan lalu lalang pengguna jalan lain. Demikian berhati-hati sehingga sepeda ontel pun bisa dengan mudah mendahului mobil tersebut. Tak diduga dari arah depan seorang pengayuh yang mabuk di siang bolong dengan seenaknya menabrak mobil tersebut. Kecelakaan yang menyebabkan si pengemudi becak yang sudah sempoyongan tersebut semakin jauh dari sadar. Seperti yang sudah diduga, pengemudi mobillah yang harus menanggung biaya pengobatan orang mabuk tersebut ! Ada lagi yang lebih menunjukkan betapa tidak adilnya etika lalin, sebuah mobil sedang melaju dengan kecepatan kurang dari sedang, berhubung sedang ada operasi tertib berkendaraan bagi pengguna sepeda motor tiba-tiba dari belakang terdengar deruman sepeda motor yang berlari kencang. Rupanya si pengendara yang masih anak SMA tersebut sedang berusaha melarikan diri dari petugas lalu lintas yang mengejarnya. Namanya sedang panik tak terhindarkan lagi si bocah pun menabrak mobil yang sedang berjalan pelan tersebut. Di tengah sedemikian banyak saksi termasuk si petugas lalu lintas lagi-lagi si mobil yang tidak bersalah justru ditilang dan diwajibkan mengganti rugi bagi si bocah nakal tersebut. Olala dimanakan letak keadilan ? Apakah ini kelanjutan dari kekeliruan penerapan yang besar harus mengalah tersebut ? Huh rupanya masih banyak ketidakberesan di sini. Dalam lingkup tertentu ketika si besar tidak bersalah justru menjadi pihak yang dirugikan, di sisi lain si besar yang benar-benar bersalah justru dengan kebesarannya menginjak-nginjak si kecil. Jika dipikir lebih lanjut, setiap kekeliruan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi pihak tertentu. Jika hal demikian terus terjadi, siapa dan atau apakah yang bisa menjadi penengah ? Di saat hukum sedang terbalik-balik, ketika kebijakan sedang menghilang untuk sementara, saat nurani telah mati, sementara logika menjadi kacau, satu-satunya jalan hanyalah mawas diri, berusaha untuk menghindar dari masalah.

Senin, 21 Desember 2009

Bingung

Beberapa waktu lalu aku membaca status seorang teman di akun Facebooknya yang menuliskan tentang anjuran untuk waspada terhadap UU ITE. Aku yang tergolong awam di bidang hukum ataupun perundang-undangan pun terusik ketika membaca status tersebut. Pengetahuanku yang terbatas mengenai seputar undang-undang hanya mendeskripsikan bahwa UU ITE adalah undang-undang yang mengatur mengenai penggunaan teknologi yang mencakup dunia maya. Jika menyimak berita pidana dan perdata beberapa waktu ini, rupanya mulai ada beberapa orang yang terjerat undang-undang tersebut hingga harus menghadapi tuntutan yang tidak main-main. Perkara pidana terbesar sekaligus tersohor tentu adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari akibat keluhannya tersebar melalui mailing list sehingga beliau dilaporkan pihak yang merasa nama baiknya tercemar kepada yang berwajib. Prita yang semula hidup layaknya seorang pekerja merangkap ibu rumah tangga dalam waktu singkat berubah drastis menjadi pesohor yang dibela oleh rakyat sebagai simbol dari golongan lemah yang ditindas oleh kekuasaan. Kasus Prita yang tercium media pun menjadi pembicaraan besar di khalayak, bersamaan dengan masa dilangsungkannya Pemilu terakhir ikut menjadikan kasus Prita semakin menonjol dengan masukya tokoh-tokoh politik yang berlomba-lomba meraih simpati melalui Prita. Belum tuntas masalah Prita yang sekarang masih menjalani sidang pidana dan sedang mengajukan kasasi perdata melawan sebuah rumah sakit swasta tersebut, muncul Prita Prita lain di berbagai daerah yang menghadapi kasus serupa dengan Prita. Yang terbaru tentu dengan dilaporkannya artis beken Luna Maya oleh sekelompok wartawan sehubungan dengan status Luna yang dituding melecehkan infotainment.
Mencermati hal tersebut, sebenarnya seperti apakah UU ITE itu sebenarnya ? Atau yang lebih dipertanyakan dimanakah batas tentang pencemaran nama baik ? Rasanya akhir-akhir ini banyak perkara yang berlatar belakang pencemaran nama baik bergulir di meja hijau. Ketika era digital yang semakin maju ini, mengapa justru kebebasan untuk berpendapat semakin terkekang ? Lihat saja Prita yang harus mendekam di penjara dan masih harus menghadapi sidang pidana dan perdata hanya karena mengungkapkan fakta akan ketidakpuasannya sebagai customer di sebuah instansi yang menyediakan jasa layanan kesehatan, Luna Maya yang kini berkonfrontasi dengan sejumlah pekerja infotainment akibat menumpahkan kekesalannya akan tingkah laku pemburu berita di situs jejaring sosial, dan entah siapa lagi yang belum terekspos harus menanggung konsekuensi bersinggungan dengan UU ITE ini. Jika keadaan ini terus berlanjut, rasanya kondisi paranoid akan menghinggapi bangsa ini. Ketakutan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat akan terulang kembali seperti masa pemerintahan terdahulu yang dengan tegas mengatur masalah pencemaran, penghinaan ataupun pelecehan terhadap orang yang berkuasa. Yah, pada dasarnya harus diperjelas definisi pencemaran nama baik tersebut sehingga tidak menjadi rancu antara menceritakan sebuah fakta yang menyangkut keburukan orang lain dengan pencemaran nama baik yang notabene mengandung unsur fitnah. Semoga apa yang menimpa Prita ini menjadi pelajaran untuk semua khususnya untuk pemerintah maupun dewan legislatif untuk meninjau kembali undang-undang yang mereka buat. Bagaimanapun dari sudut pandangku yang awam hukum, Prita adalah pihak yang menjadi korban maka wajar jika rakyat dari berbagai kalangan bersatu padu menggalang dukungan melalui berbagai media. Prita adalah simbol dari rakyat kecil yang buta tentang hukum, tak mengerti mengapa sebuah keluhan yang benar adanya justru membuatnya mengalami prahara. Simbol dari kebutuhan untuk beropini, tanpa bermaksud menjelekkan suatu pihak namun lebih kepada perubahan ke arah yang lebih baik.

Senin, 14 Desember 2009

My Best Friend Wedding


"Jo, nek golet bojo aja adoh-adoh, men dewek bisa kondangan ", kata Wiwi dalam bahasa Jawa medok khas Kebumen di sela-sela obrolan sepanjang jalan menuju kos. "Nek Cilacap ?", jawab The Pooh, panggilan ala geng si berat untuk Pujo yang memang perawakannya rada mirip tokoh Winnie The Pooh. "Yah, bisa diterima", sahutku menjawab pertanyaan balik Pooh.
Sekelumit percakapan santai setengah bercanda tersebut kembali melintas di benakku ketika membaca sebuah undangan pernikahan yang datang pertama kali melalui situs Facebook. Bulusari, Gandrungmangu, Cilacap, demikian lokasi walimahan sahabatku semasa kuliah dulu. "Oh ternyata beneran tah ", pikirku teringat kembali percakapan waktu itu yang kukira hanya gurauan semata. Maklumlah meskipun kami menjadi teman karib sejak pertama kali menginjak bangku kuliah, beberapa waktu terakhir nyaris tidak ada kontak lagi di antara kami. Di tengah kesibukan kuliah yang mulai berbeda jurusan, aktivitas yang berbeda hingga berbagai situasi yang semakin tidak memungkinkan untuk menghabiskan waktu bersama menjadikan komunikasi semakin jarang terjadi bahkan Pooh sempat menghilang untuk sekian lama. Maka dari itu, beruntung ada situs jejaring sosial semacam Facebook ini yang membantuku menemukan kembali sahabat yang hilang.
Berniat menepati janji yang meskipun terdengar main-main dulu, jauh-jauh hari aku mengontak sahabat-sahabat yang memungkinkan untuk datang di acara bahagia tersebut. Akhirnya tibalah hari yang sudah direncanakan. Berbekal sebuah denah yang ada di dalam undangan aku dan tiga orang sahabat lainnya memulai sebuah perjalanan menuju lokasi yang belum pernah kami datangi sebelumnya. Jadilah kami berempat menyusuri jalan sempit berliku yang tak ketinggalan penuh lubang di sana-sini. Panas menyengat membuatku lelah buka main, perjalanan yang begitu jauh dan memakan waktu hingga tiga jam membuatku tampak lusuh ketika sampai di tujuan. Dandanan rapi dan polesan rias sederhana tak berbentuk lagi hilang diterpa angin dan butiran keringat yang menetes di sepanjang jalan. Walhasil sesampainya di lokasi resepsi kami langsung menghempaskan diri, mengatur nafas kelelahan, syok mengingat betapa jauhnya jarak yang sudah ditempuh demi menyaksikan hari bahagia seorang sahabat.
Namun melihat wajah sumringah Pooh yang lama tidak kujumpai meringankan penat yang kurasakan. Puas rasanya bisa menepati sebuah janji, bisa melihat Pooh yang ceria dan penuh tawa, bukan lagi Pooh yang kulihat ketika terakhir kali kami bertemu di jalan itu.
Begitulah hari itu menjadi hari yang menyenangkan sekaligus sangat melelahkan. Ketika matahari mulai bergeser ke barat, kami pun berpamitan untuk pulang. Tak terkira jemu yang aku rasakan mengingat aku harus melewati jalan itu lagi, melewati deretan pohon-pohon pinus yang rindang,melewati tanjakan turunan dan kelokan jalan sempit yang penuh lubang. Namun penat sedikit terobati ketika kami menyempatkan untuk menjalankan rencana semula sepulang menghadiri pesta pernikahan. Ya, mumpung melewati kota Cilacap apa salahnya jika mampir sebentar ke pantai. Ini untuk pertama kalinaya aku menginjakkan kaki ke pasir di Teluk Penyu. Sebuah ironi jika mengingat dimana aku tinggal selama ini ^_^. Menghabiskan sore di tepi pantai, memuaskan sifat narsis yang selalu muncul jika bertandang ke sebuah tempat, menyantap hidangan lezat khas tepi pantai, hmmm sedikit penyegaran di tengah kesibukan selama ini yang dengan sukses membuatku jatuh sakit.
Ketika matahari terbenam barulah kami beranjak meninggalkan pantai yang penuh dengan pelancong tersebut. Perjalanan masih panjang untuk kami sampai di rumah masing-masing. Bersyukur mesti malam telah larut, meski seluruh tubuh terasa lelahkami tiba di rumah dengan selamat. Hah sebuah perjalanan di hari Minggu yang begitu berkesan ( amat sangat lelah sekali), namun jika lelah ini membuat seorang sahabat senang, rasanya tak apalah. Sekali lagi selamat buat Pooh, semoga bahagia selalu.

Qishi wo you ie ke li u wei le ni. Jiu shi pu neng kei ni qing tien. Wo hao pheng you cai wo jia li yihou, wo kei ni chang ke ie ke ai yin yue chuan sin chuan yi.....wo xi wang ni te sin fu..........che she ni...."ni wen wo ai ni you tuo sen, wo ai ni you ci fen. Wo ti ching pu ie, wo ti ai pu pien , ye liang tai piau wo te sin........." Pooh, xin fu kuai le !!

Rabu, 02 Desember 2009

Sakit

"Kasarnya, saat ini sedang 'sakit' In ", demikian jawaban dari seseorang yang selalu kupanggil dengan Bapak baik dulu maupun sekarang. Begitulah pendapat si Bapak ternyata sama saja dengan pikiranku saat ini. Miris nian diri ini jika mencermati situasi dalam negeri tercinta saat ini. Pemerintah diguncang isu, rakyat pun ikut ricuh. Malu benar ketika melihat kerumunan orang berdesak-desakan hingga ada yang terluka demi mendapat bagian daging kurban. Mengapa sih mereka tidak bisa bersabar, mengantri dengan tertib hingga tiba gilirannya memperoleh jatah. Omong-omong tentang antri, budaya rasanya susah sekali untuk diterapkan. Berdasarkan pengalaman, berulang kali aku menjumpai situasi di luar kendali akibat orang-orang tidak mau disiplin dalam mengantre. Beberapa waktu lalu aku nyaris meledak ketika sekelompok orang berdesakan di pintu masuk menghalangi mereka yang mendapat giliran. Sebuah kondisi yang justru memperlambat pelayanan ! Apakah mereka tidak berpikir lebih baik duduk santai menghindar dari terik matahari, dan panas akibat berdesakan sementara menunggu nama mereka dipanggil melalui pengeras suara ? Apa untungnya dengan berkerumun di depan pintu padahal giliran masih lama tibanya ? Rupanya ketidaksabaran dalam menunggu giliran telah mendarah daging. Apalagi jika diembel-embeli dengan kata-kata gratis. Berbondong-bondong masyarakat untuk berebut jatah, saling dorong, saling sikut takpeduli ada anak-anak dan orang tua. Entah karena takut tidak kebagian jatah atau ada alasan lainnya. Sebegitu miskinkah rakyat negeri ini hingga rela meregang nyawa demi sesuap nasi gratis ? Kalimat bijak lebih baik memberi daripada meminta rupanya sudah lepas dari ingatan. Urusan perut menjadi nomor satu sehingga malu disingkirkan jauh-jauh. Alhasil jadilah situasi seperti sekarang ini. Di berbagai daerah terjadi ricuh akibat perebutan barang-barang gratis. Muncul pencuri kelas teri hingga koruptor nomor wahid yang dengan leluasa mengambil apa yang bukan haknya. Ketika hukum sedang diuji, ketika uang berbicara lagi-lagi mereka yang dibawah lah yang semakin terpuruk. Sungguh ironis melihat seorang nenek divonis penjara gara-gara tiga butir biji kakao, malang nian orang yang didakwa karena sebutir semangka sedangkan mereka yang membawa lari sekian milyar hingga triliun rupiah bebas melenggang dan hidup enak di negeri orang. Jika mereka berdalih bahwa hukum harus ditegakkan, bahwa meskipun hanya sebutir biji mencuri adalah mencuri lalu kemanakah hukum ketika 'tikus-tikus' besar tertangkap ? Dengan mudahnya atau bisa dibilang hukuman yang diterima tidak sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan. Mereka bilang si nenek dijadikan contoh hingga timbul efek jera, namun kemanakah slogan efek jera ketika pencuri uang rakyat terbukti bersalah ? Tak sedikitpun rasa malu atau bersalah terpampang di wajah-wajah mereka yang digiring ke bui di bawah sorotan kamera. Yang ada justru cengiran sinis, pembelaan diri bahwa mereka tak bersalah, difitnah atau berbagai dalih lainnya demi menjaga nama baik yang sudah cemar namun sudah tak berarti lagi. Sakit, negeri ini memang benar-benar sakit. Kapankah negeri ini akan sembuh ? Dan yang terpenting adakah obat yang mampu menyembuhkan negeri ini ?