Jumat, 25 Desember 2009

Be Te !!!!

Ajaran yang besar yang harus mengalah sepertinya sudah tertanam di sebagian besar kelompok masyarakat. Namun ajaran yang baik ini mempunyai kelemahan yang cukup berakibat fatal. Ya petuah agar si besar mengalah ini menjadikan si kecil melihat kesempatan untuk sebuah pembenaran jika terjadi kesalahan dari pihaknya. Demikianlah jika salah asuhan, kebijakan agar si besar harus lebih dewasa dan memahami si kecil sehingga menjadi contoh yang baik justru menjadi senjata bagi si kecil. Dan pada akhirnya ketidakadilan pun dengan mudah terjadi di antara kedua pihak dengan keuntungan lebih condong ke pihak si kecil. Sebuah realita yang wajar terjadi jika sang adik lebih diperhatikan dan selalu dibenarkan sehingga timbul kecemburuan dalam diri si kakak yang notabene sebagai si besar yang harus mengalah. Tentu ini menjadi kesalahan pihak orangtua yang kurang tepat dalam melaksanakan prinsip 'yang besar harus mengalah'. Kesalahkaprahan ini rupanya juga meluas tidak hanya dalam hubungan antar saudara dalam keluarga, contoh kekeliruan dalam penerapan prinsip tersebut terjadi juga dalam konteks lalu lintas. Sudah menjadi rahasia umum jika terjadi kecelakaan di jalan raya, maka kendaraan yang lebih besarlah yang harus bertanggung jawab. Meskipun kesalahan berasal dari kendaraan yang lebih kecil, tetap saja pengemudi kendaraan besar yang harus menanggung akibatnya. Contoh kecil terjadi ketika sebuah mobil box berhenti di depan palang pintu kereta api karena ada kereta yang lewat, tak dinyana dari arah belakang mobil tersebut dihantam begitu saja oleh kendaraan roda dua yang melaju cepat sehingga panik ketika deretan kendaraan di depannya berhenti karena jalan tertutup untuk sementara. Jika dilihat dari kejadiannya, berdasarkan bukti dan saksi yang ada secara logis mobil boks tersebut tidak bersalah. Adalah keteledoran pengendara motor yang menyebabkan dirinya celaka. Namun tidak demikian urusannya, justru si pengemudi mobil boks yang diharuskan membiayai pengobatan si pengendara ! Contoh lain, sebuah mobil sedang melaju dengan pelan di wilayah yang ramai dengan lalu lalang pengguna jalan lain. Demikian berhati-hati sehingga sepeda ontel pun bisa dengan mudah mendahului mobil tersebut. Tak diduga dari arah depan seorang pengayuh yang mabuk di siang bolong dengan seenaknya menabrak mobil tersebut. Kecelakaan yang menyebabkan si pengemudi becak yang sudah sempoyongan tersebut semakin jauh dari sadar. Seperti yang sudah diduga, pengemudi mobillah yang harus menanggung biaya pengobatan orang mabuk tersebut ! Ada lagi yang lebih menunjukkan betapa tidak adilnya etika lalin, sebuah mobil sedang melaju dengan kecepatan kurang dari sedang, berhubung sedang ada operasi tertib berkendaraan bagi pengguna sepeda motor tiba-tiba dari belakang terdengar deruman sepeda motor yang berlari kencang. Rupanya si pengendara yang masih anak SMA tersebut sedang berusaha melarikan diri dari petugas lalu lintas yang mengejarnya. Namanya sedang panik tak terhindarkan lagi si bocah pun menabrak mobil yang sedang berjalan pelan tersebut. Di tengah sedemikian banyak saksi termasuk si petugas lalu lintas lagi-lagi si mobil yang tidak bersalah justru ditilang dan diwajibkan mengganti rugi bagi si bocah nakal tersebut. Olala dimanakan letak keadilan ? Apakah ini kelanjutan dari kekeliruan penerapan yang besar harus mengalah tersebut ? Huh rupanya masih banyak ketidakberesan di sini. Dalam lingkup tertentu ketika si besar tidak bersalah justru menjadi pihak yang dirugikan, di sisi lain si besar yang benar-benar bersalah justru dengan kebesarannya menginjak-nginjak si kecil. Jika dipikir lebih lanjut, setiap kekeliruan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi pihak tertentu. Jika hal demikian terus terjadi, siapa dan atau apakah yang bisa menjadi penengah ? Di saat hukum sedang terbalik-balik, ketika kebijakan sedang menghilang untuk sementara, saat nurani telah mati, sementara logika menjadi kacau, satu-satunya jalan hanyalah mawas diri, berusaha untuk menghindar dari masalah.

Tidak ada komentar: