Jumat, 30 Oktober 2009

Perjalanan


Dua minggu terakhir ini lelah begitu mendera diri ini. Bukan hanya raga namun penat lebih menggelayuti pikiran hingga terasa menyesakkan. Tak terasa setahun telah terlewati sejak perjalanan penuh perjuangan terakhir. Kini saatnya aku memulai perjalanan baru untuk meraih cita-cita sebelum kandas dimakan usia. Namun perjalanan kali ini lebih berat terasa. Di tengah sulitnya mengatur waktu hingga kondisi yang kurang kondusif untuk total dalam perjuangan ini membuatku mengambil kesempatan dengan sekedarnya. Dan dimulailah sebuah perjalanan untuk masa depan yang hingga saat ini belum sampai di penghujung tujuan.
Bermula dari sebuah kota yang akhirnya menjadi salah satu tempat penuh kenangan hingga kota di ujung seberang yang selalu menjadi tempat favoritku untuk berjalan-jalan. Demikianlah dengan beberapa sahabat, bersama-sama kami melintasi kota demi kota untuk mengadu nasib. Tempat pertama berada di tepi pantai utara. Udara panas nan membakar kulit menyapa ketika aku dan teman-temanku memasuki wilayah Tegal. Beruntung di tengah hawa panas menggigit, segala urusan untuk mengikuti seleksi di keesokan harinya bisa diselesaikan dengan cepat. Dan dimulailah malam yang mengingatkankanku akan malam yang sama di tahun sebelumnya. Bermalam di tempat yang sama, merasakan kengerian dan keterpanaan yang sama dan tak lupa bergelut dengan logika yang sama. Namun kali ini separuh malam terlewati dengan canda di tengah-tengah sahabat. Duduk santai sembari menikmati sajian khas kota Tegal di tengah keramaian lengang alun-alun kota Tegal, bertemu dengan kawan lama yang menetap disana, untuk sesaat melupakan kewajiban belajar yang seharusnya menjadi fokus kami malam itu. Yah, malam pun berlalu tanpa mengalami lelap, pagi hari pun menjelang mendorong kami untuk bersiap menghadapi ujian hidup. Usai memeras otak sembari bersimbah peluh akibat bernaung di bawah kanopi di tengah terik mentari, kami pun melanjutkan perjalanan untuk kembali pulang. Betapa lelahnya aku saat itu, meskipun belum puas mengistirahatkan tubuh yang terlanjur pegal-pegal aku tetap harus menjalankan kewajibanku pada keesokan harinya. Dan perjalanan pun berhenti untuk sementara.
Sehari pun berlalu, dan tiba saatnya aku untuk bersiap kembali menempuh perjalanan berikutnya. Kali ini aku bersiap dengan semangat, menata keperluan untuk 3 hari, menyiapkan oleh-oleh untuk saudara tua, dan tak lupa membawa bekal lebih dari perjalanan sebelumnya. Maklumlah tujuan berikutnya mempunyai efek samping yang sangat menggiurkan setelah lama tidak kujejakkan kaki kesana. Betapa gembiranya aku sesampainya di sana. Bertemu dengan sahabat yang kurindukan, sahabat yang selama ini hanya bertukar kata lewat dunia maya. Kebutuhan untuk bercerita sembari bertatap muka pun terlaksana. Larut dalam canda di tengah keramaian warung tenda. Bersama memasang radar di tempat asing nan megah. Bersama diguyur hujan demi segepok buah tangan. Demikianlah meskipun satu dua kejadian yang patut disesali tiga hari di Jogja berlalu dengan cepat. Ah betapa ingin aku kembali kesana dalam waktu dekat, memuaskan keinginan yang belum sempat tercapai saat itu. Ingin kususuri kembali sepanjang jalan yang oenuh dengan panorama menarik. Ingin ku lewati tangga sempit menuju tumpukan buku-buku lama yang selalu membangkitkan kegairahanku. Ingin kucecap aneka rasa kelezatan makanan favoritku yang sulit kutemukan disini. Ingin ku berkubang di tengah karakter-karakter favoritku. Begitulah di tengah perjalanan kembali, di tengah dentingan dawai gitar nan mempesona dari seniman jalanan, di tengah hawa dingin menusuk, aku berharap untuk kembali suatu saat nanti. Dan perjalanan pun kembali berhenti untuk sementara.

Selasa, 13 Oktober 2009

Shotakon


"Shotakon ?!! Itukan.....", celetukan tersebut spontan terlontar dari pikiran seseorang ketika mendengar pengakuanku. Tentu saja aku tertawa geli mendengar komentar tersebut. Istilah shotakon mungkin masih asing di telinga, namun bagi penggemar manga istilah-istilah tersebut akrab dijumpai beserta beberapa istilah khas manga lainnya. Shotakon merupakan akronim dari kata shota dan complex yang berarti menyukai bocah kecil. Jika lolicon lebih ke arah menyukai anak perempuan, maka shotakon cenderung menyukai bocah laki-laki. Jika ditanggapi selintas kilas, pernyataanku bahwa saat ini aku seorang shotakon mungkin terdengar negatif. Tak heran jika temanku itu merasa kaget ^^. Eh tunggu dulu, silakan simak penjelasan lebih lanjut sebelum berkomentar.
Berhubung sejak kecil aku tergila-gila dengan membaca komik, kebiasaan tersebut terus melekat bahkan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Perkembangan manga yang demikian pesat tidak hanya dari sisi gambar namun juga kompleksitas cerita, membuatku semakin lengket dengan judul-judul komik Jepang tersebut. Tak sedikit serial manga yang kini menjadi koleksi istimewaku. Sesuai dengan sifatku yang mudah larut dalam sebuah cerita entah itu film atau buku, setiap kali aku menemukan manga yang menarik aku pun dengan segera jatuh cinta pada tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Tak cukup dengan hanya mengoleksi serial komiknya, aku melengkapi kekagumanku dengan memburu pernak-pernik dan tak ketinggalan keping-keping cd yang merupakan versi anime dari manga tersebut. Karakter-karakter seperti Tezuka, Shinichi Kudo, Kyo Soma, Sanji, Kenshin dan masih banyak deretan nama karakter lainnya seolah hidup dalam dunia fantasiku. Kelebihan dan kekurangan masing-masing karakter tanpa disadari membentuk sosok impian dalam hidupku. Inilah yang kusebut dengan shotakon versiku. Mengapa harus shotakon ? Yah jika dicermati sebagian karakter favoritku tersebut tergolong muda. Yang paling muda tentu saja si bocah pintar Conan Edogawa yang masih duduk di kelas 1 SD ^^. Demikianlah aku dan teman-teman yang sama-sama bergelut di dunia manga tanpa malu menyebut diri dengan shotakon. Bukan karena menderita penyakit kejiwaan, namun karena kecintaan kami (ku) akan manga. Meskipun ada yang menganggap aneh jika mengingat usiaku sekarang, bagaimanapun kegemaran yang sudah mendarah daging ini tidak bisa kusingkirkan. Sebab di situlah aku mampu mengembangkan seluruh imajinasiku, sejenak melupakan masalah di dunia nyata, ikut berkelanan dalam berbagai petualangan.
"Oh....begitu", demikian akhirnya sebuah pemahaman muncul dari teman yang juga penggemar manga dan anime. Yah memang begitu. Sekarang ini pun waktu-waktu yang seharusnya untuk beristirahat kugunakan untuk berjuang dalam turnamen nasional bersama pangeran-pangeran tenis di Seigakku, berkelana menebarkan kebaikan untuk menebus dosa di masa lalu bersama Sang Battosai, melewatkan masa sekolah yang penuh kenangan dalam Extra Kobayashi, berpetualang demi menjadi raja bajak laut dipimpin oleh kapten Luffy, menebar kengerian yang berawal dari niat baik Light Yagami, dan tentu memecahkan kasus-kasus dengan bantuan Conan alias Shinichi Kudo. Meskipun ada saatnya aku merasa bosan namun pada akhirnya kepada mereka aku selalu kembali untuk menyegarkan diri.

Rabu, 07 Oktober 2009

Pahit

Seperti hari-hari sebelumnya hari ini diawali dengan tanpa semangat. Tubuh terasa lesu akibat kurang tidur, bukan karena maraton nonton dorama , melainkan mata sulit terpejam terganggu batuk-batuk selama dua jam penuh di tengah malam. Tak pelak lagi aku menunaikan kewajiban dengan setengah hati, bagaimana tidak jika badan terasa penat di bagian tertentu akibat tekanan ketika menahan batuk, hidung mampet dan pusing kepala akibat kurangnya jatah tidur. Untunglah hari berlangsung dengan santai tanpa kesibukan dan kesulitan berarti. Ditemani musik penenang dan obrolan singkat di siang hari dengan teman di kejauhan sana, akhirnya sore pun menjelang. Namun kejadian pahit yang selama ini berusaha kuhindari terjadi juga. Di saat tubuh dan pikiran telah mencapai batas ketegaran, tak disangka pukulan yang lebih menohok ke batin datang juga. Ingin rasanya aku memaki-maki, melempar sesuatu ke wajah seseorang saat itu juga, namun dengan menahan marah aku tetap harus menampilkan wajah tersenyum.
"Pembeli adalah raja ", demikian ucap seseorang yang telah lama berkecimpung di bidang ini. Namun jika seorang raja menjadi raja lalim alias keterlaluan apa iya bawahan harus tetap tunduk dan melaksanakan perintah ? Bukankah banyak contoh pemimpin-pemimpin lalim yang tumbang oleh pemberontakan rakyat ? Ops, jangan disamakan antara raja yang ini dengan raja sesungguhnya. Aku tentu menyadari kelangsungan hidupku juga tergantung pada konsumen sebagai salah satu faktornya. Apalagi di tengah persaingan yang kian memanas, segala manuver mulai dari banting harga hingga servis habis-habisan diutamakan. Namun jika harus mendengar nada-nada menggurui sekaligus merendahkan itu lagi, mana mungkin aku bisa menahan diri seperti hari ini untuk kesekian kalinya. Dengan pribadiku yang cenderung emosional dan sensitif ini situasi demikian sungguh tak tertahankan !
Salahkah jika orang bertanya jika tidak tahu ? Haruskah seseorang menjadi segala tahu di waktu yang demikian singkat ? Memang benar jika seseorang memberitahu pada mereka yang tidak mengerti. Tapi apakah penjelasan itu harus dengan cara yang demikian kasarnya ? Itulah dalam hati aku benar-benar marah. "Baka, kuso, damn, sgarbato, pfuit..." seribu umpatan kukeluarkan dalam pikiran. Memangnya aku ini tuli, dungu sehingga harus diberitahu dengan suara lantang berkali-kali ? Kemarahanku pun merambat hingga titik tertinggi, sampai-sampi tak kuasa menahan air mata akibat emosi yang mencapai puncak. Radius kemasygulanku pun bertambah lebar menciprati mereka-mereka yang tidak bersalah. Akibatnya nada-nada ketus dan raut muka sangar pun menjadi pertanda emosiku sore ini. Ah, kenapa sih mereka tidak mau membantu ? Kenapa mereka tidak segera mengambil alih, meskipun tahu aku ini belum mengenal segalanya dengan baik ? Puih, beginilah rasanya mencari rejeki di bawah seorang juragan.
Rupanya sampai saat ini aku belum bisa beradaptasi dengan lingkunganku sekarang. Jika mengingat pekerjaanku dulu, ditambah kejadian hari ini aku semakin menyadari ini bukanlah tempatku. Jiwaku lebih tertarik untuk menyalurkan pengetahuanku kepada mereka yang membutuhkan bimbinganku. Di tengah kerumunan anak, dikelilingi dengan lembaran soal-soal terasa menyegarkan untukku. Mungkin karena aku terbiasa berada di posisi yang lebih tinggi, terbiasa dengan kata 'mengajar' menjadikanku sangat sulit untuk menerima semua ini. Kebiasaan menjadi yang lebih tua dan dihargai membuatku sulit menerima situasi yang penuh dengan suara lantang dan kalimat-kalimat kasar. Ah semoga kepahitan yang kutahan selama ini menjadi awal dari kehidupan yang lebih baik.

Sabtu, 03 Oktober 2009

Batik, Gempa dan Wakil Rakyat

Jumat tanggal 2 Oktober lalu status yang tertera pada jejaring sosial facebook hampir semua berkomentar tentang batik. Sehari sebelumnya aku pun sempat membaca sebuah ajakan untuk berpartisipasi mengenakan batik pada hari tersebut. Tak ketinggalan, program televisi apapun jenisnya juga secara eksklusif menayangkan berita seputar batik. Meskipun di tempat aku berada tidak terlihat antusiasme tentang batik dari tayangan televisi dan komentar teman-teman di facebook aku bisa menyimpulkan betapa hari itu Indonesia berubah warna menjadi batik. Sebagian besar orang terutama pekerja kantoran dengan sukacita mengenakan batik. Ada apa gerangan ? Rupanya pesta kostum dengan tema batik itu merupakan bentuk kegembiraan warga negara Indonesia atas dikukuhkannya batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Pengakuan ini menjadi penting untuk Indonesia tak lain karena beberapa waktu belakangan ini banyak budaya maupun hasil karya anak negeri yang diakui kepemilikannya oleh negara lain. Sebut saja peristiwa lepasnya beberapa pulau yang seharusnya tergabung dalam NKRI, pengakuan akan hak paten tempe, pengakuan kepemilikan akan lagu dan tarian daerah. Semua pasti mahfum siapa (baca: negara mana) yang dengan seenaknya dan bersikeras menjiplak kalau tidak bisa dibilang mencuri akan produk. dalam negeri tersebut. Nah, penetapan batik Indonesia oleh UNESCO yang notabene badan dunia di bawah naungan PBB tersebut merupakan kemenangan atas perjuangan Indonesia atas klaim batik oleh negara tertentu. Wajar jika pada hari itu warga Indonesia tanpa harus dikomando memakai batik yang menyatakan "Inilah batik Indonesia". Yah, batik meskipun sempat diklaim oleh bagsa lain memang benar-benar Indonesia. Batik tersebar di berbagai daerah dengan ciri khas masing-masing. Motif pun beraneka ragam dan terus bertambah dengan lestarinya pengrajin batik. Batik tidak sekedar coretan di sehelai kain, namun dibalik lekuk leku gambar dan warna batik mempunyai arti yang diyakini kebenarannya oleh rakyat setempat. Jadi jika batik sampai diakui kepemilikannya oleh negara lain, sungguh sebuah hal yang mencoreng muka Indonesia.
Pengakuan dunia akan batik Indonesia merupakan sebuah hiburan tersendiri ketika tanah air sedang dilanda kedukaan beruntun. Belum hilang trauma akan gempa Jawa Barat, gempa dasyat yang memang sudah diramalkan sebelumnya kembali mengguncang bumi pertiwi. Aku tak berani membayangkan seperti apa yang dirasakan saudara-saudara kita di Padang sana. Yah, guncangan kecil beberapa waktu lalu yang terasa di tempatku sekarang pun sudah membuat panik warga setempat, tak terbayang kengerian yang dirasakan mereka yang berada di pusat gempa. Memang Indonesia yang terletak di antara dua lempeng benua menjadi rawan akan bencana alam. Namun pengertian akan kondisi alam tersebut tidak mengurangi ketakutan akan bencana yang sewaktu-waktu terjadi dan sulit untuk diprediksi. Lihat saja gempa sebesar lebih dari 7 skala Ritcher yang berpusat di Padang ini. Betapa banyak rakyat yang menjadi korban, betapa banyak kerugian yang ditimbulkan. Disaat para wakil rakyat baru dilantik, disaat pemerintah mengucurkan dana milyaran rupiah demi suksesnya acara, gempa dasyat menjadi kado pertama untuk didedah pemerintahan baru nantinya. Ah, semoga gempa kali ini tidak lebih buruk adanya dengan penanganan yang tidak efektif. Jangan sampai sudah jatuh tertimpa tangga pula. Namun naga-naganya kemalangan beruntun tetap terjadi seperti bencana-bencana sebelumnya. Jika apa yang diberitakan itu benar, kemana solidaritas itu pergi ? Harga tiket yang melonjak, bantuan yang tak kunjung didistribusikan, dan entah apa lagi kesalahan serupa yang semakin memperburuk keadaan. Untunglah ada itikad baik dari wakil rakyat terpilih dengan menyumbangkan gaji pertama mereka untuk membantu korban gempa. Semoga niat baik ini tidak hanya terjadi di awal saja, namun tetap dipertahankan sampai kemudianhari ketika rampung masa jabatan mereka. Tunjukkan bahwa apa yang disebut wakil rakyat benar-benar menyuarakan aspirasi rakyat. Buktikan bahwa kali ini lebih baik dari sebelumnya, bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa mengharapkan apa yang disebut dengan balik modal.

Kamis, 01 Oktober 2009

Melodi Nan Pelik


" Lagu apaan sih ? Seriosa ya ? Kok, senenge musik kayak gini ?", itu dan masih ada sederet komentar serupa dari orang-orang di sekitarku ketika mendengar daftar file music di perangkat baruku. Kadang aku tak kuasa menahan jengkel ketika mendengar nada meremehkan dari mereka yang notabene tidak tahu namun sok tahu sehingga merasa cukup valid untuk menentukan bagus tidaknya sebuah pilihan. "Selera orang kan berbeda !", ucapku setengah geram ketika untuk kesekian kalinya aku menerima kata-kata nyinyir seseorang. Hmmph...di zaman reformasi alias bebas berpendapat begini masih ada saja personal yang tidak menghargai pikiran (baca : kesukaan) orang lain.
Pepatah lain 'ladang ladang lain belalang' memang benar. Jika komunitasku dulu cenderung menerima bahkan ikut menikmati apa yang menjadi kegemaranku, lingkunganku sekarang amat sangat berbeda. Meskipun wajar jika ada perbedaan apalagi ketika menyangkut hobby dan seputarnya, namun ketika timbul pendiskreditan mau tak mau emosi pun ikut bicara. Berhubung aku tidak suka ribut-ribut karena masalah sepele, walhasil satu dua sahabat dan terutama wahana blog inilah yang menjadi tempat sampah alias penampungan unek-unek atau lebih tepatnya caci maki yang menumpuk di batin. Namanya juga sahabat, usai berkeluh kesah hati menjadi ringan dengan guyuran simpati atau pun dukungan moril alias ikut naik darah ketika mendengar ceritaku ^^.
Apa sih masalahnya ? Ya, penyebab naik turunnya emosiku kali ini berkisar soal musik, lagu , irama, tembang atau apalah istilahnya untuk menyebut nada-nada apik yang dirangkai menjadi jalinan melodi indah. Aku sendiri pun maklum jika ada orang yang menyebut seleraku terhadap musik aneh. Dengan situasi tempat aku berada dari dulu hingga kini memang kurang pada tempatnya jika mempunyai selera musik demikian. Entah sejak kapan aku mulai menggemari musik instrumental, lagu-lagu seriosa hingga musik yang disebut musik klasik. Meskipun aku sama sekali buta tentang musik klasik (boro-boro memainkan alat musik ^^), telingaku merasa nyaman dengan nada-nada genre tersebut. Sempat vakum beberapa lama akibat kesibukan dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk enjoy dalam kehangatan sebuah lagu seperti dulu, akhir-akhir ini kecintaanku akan musik barat dari abad 18 hingga abad 19 tersebut kembali bangkit. Ada apa gerangan ? Rupanya hobbyku yang satu dengan yang lain berhubungan. Bermula dari sebuah manga (komik Jepang) berjudul Nodame Cantabile yang berlatar belakang pianis, musik klasik, concerto, dan sebagainya inilah ketertarikanku terhadap musik yang menggunakan peralihan dinamik dari lembut sampai keras kembali tergugah. Kekagumanku akan musik dengan akor 3 nada ini semakin bertambah ketika secara nonstop aku menyaksikan versi dorama dari komik tersebut. Kepiawaian akting si pemeran utama membuatku semakin larut dalam sonata karya Mozart, Brahms, Beethoven maupun Rachmaninoff. Gara-gara kesengsem berat dengan si konduktor yang jago memainkan piano dan violin, beberapa hari belakangan ini aku menyempatkan diri untuk berburu karya-karya jenius musik klasik tersebut. Jadilah file musikku penuh dengan gubahan orkestra ataupun solo piano yang memainkan sonata, symphony terkenal. Inilah yang menjadi sumber percekcokan diam-diamku. Namun demikian, apapun yang terjadi kecintaanku akan musik ini tidaklah surut. Di tengah heningnya malam, di saat jiwa tidak tenang, tatkala mata sulit untuk terpejam, alunan piano dan lantunan dawai violin meluruhkan gundah dan sedikit demi sedikit lilitan depresi mulai mengendur. Dan pada akhirnya kantuk yang tak kunjung tiba pun mulai menyapa. Inilah sekelumit cerita di balik berjuta puji syukurku akan karunia panca indera yang demikian sempurna. Bagaimanapun peliknya aku setuju saja dengan idiom "emang gue pikirin !!!"