Sabtu, 17 November 2012

Katanya

Sudah berhari-hari kelopak mata ini berkedut-kedut. Orang bilang itu pertanda akan bertemu orang yang tak disangka. Tapi ada juga yang bilang akan banjir air mata. Rupanya yang kedualah yang menjadi kenyataannya. Bangun dengan segar setelah bermimpi bertemu dengan ibu tercinta, pagi pun begitu cerah setelah hujan semalaman, gerimis rupanya enggan untuk berhenti dan mencari tempat lain untuk mengucurkan airnya yang tak lain adalah di mata ini. Nelangsa, adalah kata yang paling tepat untu menggambarkan betapa sedih, lara dan pilunya hati ini. 
Stigma yang terlanjur melekat memang susah untuk diubah apalagi dihilangkan. Betapapun niat baik, apapun alasan yang diyakini jawaban terbaik pada akhirnya tak lebih menjadi sebuah kesalahan di mata hati yang telah buta. Hmmm....pada dasarnya lingkungan dan cara hidup seseorang itu memang berpengaruh terhadap pola pikir seseorang. Lingkungan yang baik akan memberi pengaruh yang baik pula. Pergaulan dengan orang yang bijak dan berwawasan akan menulari seseorang untuk berbuat serupa. Hidup tak bisa hanya berkaca pada diri sendiri. Enggan belajar dari orang lain akan menyempitkan pola pikir, dan akhirnya tak bisa menggali lebih jauh makna dari sebuah perkataan atau pun kejadian. 
Perubahan menjadi lebih dewasa, apakah mereka pikir tak bisa terjadi pada diri ini ? Tak bolehkah keyakinan ini dijalankan dengan besar hati ? Salahkah jika hidup ini berusaha untuk mandiri ? Oh tidak, tidak dan tidak. Katanya, raga ini saja yang telah tua, namun jiwa laksana balita. (Itukan mereka, iya kan ?). Katanya, percayalah pada orang pintar yang bisa meramal masa depan, percayalah pada insting orang yang lebih tua (Tapi tak ada orang yang tahu rahasia ALLAH, betul kan ?) Katanya lagi, mirip benar dengannya yang selalu ingkar akan kewajiban. (Oh kau tak tahukah jika  dia pun keberatan ?) Katanya..katanya...katanya...ah tak ada satu pun di antara katanya itu yang menentramkan hati. Katanya itu selalu menimbulkan badai di jiwa yang mulai tenang. Katanya itu terlontar tanpa pikir panjang, tak ada nurani bagi yang akan tersakiti dengan katanya itu. Katanya itu adalah wujud emosi dari pikiran yang hanya berkaca pada kebenaran diri. Katanya itu sama persis dengan katanya yang memang serupa, lugas dan kejam. 
Sabar....sabar...sabar....sayang..., semua akan indah pada waktunya. Kata diri ini berusaha meredam sedu sedan hati yang teraniaya. Oh tentu, diri ini akan bersabar, menelan derita  dan terlebih kemarahan yang terlanjur membuat luka yang sejauh ini belum bisa terobati. Kata diri ini, sampai kapankah harus bersabar ? Sementara waktu terus berjalan tak kenal ampun. Oh jadi teringat lagi, katanya tidak apa-apa (Tak tahukah jika raga menua masalah kan semakin kompleks ?). Apa diri ini harus berkorban untuk membuktikan katanya yang tak masuk di akal itu ? Entahlah....kuat....kuat...dan tegar, sementara itu saja yang bisa dilakukan. Iya kan ?

Sabtu, 10 November 2012

Catatan Kemarin

"It would be a matter supposing a feeling of love can't be a passion, there for......."
Kalimat itu datang di saat yang tidak tepat, datang di saat peluh bercucuran terdorong oleh udara panas yang tak jenak, konsentrasi terpusat pada kewajiban yang menuntut segera diselesaikan, stamina yang menurun setelah energi terkuras sejak beberapa jam sebelumnya. Ledekan main-main yang dimulai ternyata berbuntut sebaris bahasa asing yang di saat itu tak bisa segera dipahami maknanya. Ketika cinta tak bisa diungkapkan terasa begitu menyesakkan, itulah pemahaman yang memang dirasakan kebenarannya. Hanya bisa terdiam, memandang dari kejauhan, melihatnya berlalu di jalannya tanpa bisa meraihnya dan berdiri di sampingnya, huft........... Cerita lama kembali dibaca, kenangan kembali ditelusur walaupun tahu itu akan membuka luka lama sekaligus menorehkan luka baru.

"I believe you have an answer honey !"

Jawaban apa yang harus diberikan untuk melengkapi kalimat itu ? Jauh di dalam hati, jawaban yang benar telah terpatri, tapi keinginan untuk mencari jawaban lain demikian menggebu. Jawaban yang walau sudah pasti tak pantas dilontarkan.

"I've no idea. Trully I can't stop this feeling but I know that all thing must end "

Bagaimana bisa berakhir jika setiap saat masih terbayang dan makin membara akibat gelora yang tertahan ? Di saat si pengganti pun tak bisa berperan seutuhnya meskipun sebenarnya belum bisa dipastikan apakah itu sejati. Hmmm....

Selasa, 23 Oktober 2012

Menjadi Lebih Berani

"Keberanian bukanlah tak ada rasa takut, tapi bagaimana mengatasi rasa takut itu" 
Akhir-akhir ini aku sering membaca-baca kata-kata bijak dari sebuah situs wisdom. Ahaha...sebuah kemajuan untukku yang biasanya hanya tertarik pada cerita fiksi bergambar dan novel-novel petualangan. Apakah ini satu bentuk perubahanku ? Bisa jadi begitu, perubahan genre bacaan adalah hal yang umum terjadi seiring dengan bertambahnya usia dan perubahan lingkungan. Tapi lebih tepat jika kebiasaan baru ini disebabkan oleh tuntutan pekerjaan. Sebagai anggota sebuah institusi pendidikan mau tak mau aku kebagian jatah untuk memberi motivasi anak didik sebelum aktivitas belajar mengajar dimulai.
Jika mau jujur, tugas yang satu ini yang paling tidak kusukai. Memang sebuah kontradiksi mengingat sebagian besar waktu bekerjaku dihabiskan dengan berbicara di depan kelas. Kusadari aku memang belum berkapasitas untuk memberi nasehat, motivasi ataupun membimbing murid yang notabene memerlukan pengarahan dari orang yang lebih tua. Memalukan memang, setelah kurang lebih empat tahun mengajar, aku masih saja diserang demam panggung jika harus berbicara di depan publik walaupun mereka masih rekan sendiri bahkan murid-murid sendiri. 
Perbedaan antara mengajar dengan berbicara di hadapan orang banyak masih jelas kurasakan meskipun pada dasarnya kedua hal itu sama-sama berdiri dan berbicara di depan orang. Saat mengajar aku tidak merasakan kegugupan yang amat sangat, apalagi jika sebelumnya aku telah mempersiapkan dengan sungguh-sungguh materi  yang akan kusampaikan. Begitu pula ketika aku harus menyanyi, membaca puisi  di hadapan orang banyak, kegugupanku akan hilang seketika bersamaan dengan penghayatanku akan keindahan sebuah karya seni. Berbeda dengan pengalamanku pagi ini, didapuk untuk menjadi pengisi apel pagi serta merta aku merasakan kegugupan yang luar biasa. Materi apel yang telah kupersiapkan sehari sebelumnya sontak buyar beriringan dengan lamanya persiapan anak-anak bandel agar berbaris rapi. Begitulah, aku tipe orang yang tidak bisa berpanjang lebar secara verbal, dalam mengajar pun aku langsung menyampaikan materi sesuai tujuan tanpa harus mengambil alur memutar sebelum sampai ke inti pelajaran. Aku adalah seorang pendengar yang baik, dan aku bukanlah penasehat mumpuni sehingga aku mengalami kesulitan jika harus memberikan pengarahan apalagi di hadapan orang banyak.
Menyadari bahwa kelemahanku ini merupakan hal yang seharusnya tidak ada pada seorang dengan profesi sama sepertiku, aku pun berusaha untuk mengatasinya. Rasa gugup bukannya tidak bisa diatasi meskipun gugup adalah hal yang wajar untuk seorang pemula. Persiapan matang menjadi kunci utama untuk berhasil dalam sebuah rencana. Aku pun mulai memperluas materi bacaan, mengambil kata-kata mutiara dari para tokoh, filsuf maupun orang-orang bijak, berusaha memahami dan menelaah sesuai dengan pemahamanku, sehingga aku bisa membaginya kepada orang lain dengan harapan tak hanya bisa menjadi motivasi bagiku melainkan juga motivasi untuk murid-muridku khususnya agar mereka selalu semangat untuk terus belajar, belajar dan belajar demi masa depan. Aku belajar untuk menjadi lebih berani, mampu mengalahkan rasa takut dan gugup  yang selama ini menjadi musuh utamaku.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Ingin Kuraih Kembali Yang Telah Hilang

Udara panas sedikit menyurutkan kelancaran menyusun kalimat di laptopku, tapi entah kenapa aku terus berusaha menyelesaikan naskah yang sejak kemarin baru terisi dua paragraf. Sembari bernostalgia dengan lagu-lagu klasik yang dipikir-pikir sudah begitu lama aku absen memberi nutrisi otak sekaligus memuaskan hobiku bersenandung ^_^. Akhirnya setelah kurang lebih satu jam, naskah berita yang menjadi tugas terbaruku terselesaikan. Kubaca ulang sekilas, kurapikan lagi kalimat-kalimat agar lebih enak dibaca, kubetulkan data-data yang masih salah ketik, kutambahkan dua buah foto, dan jadilah sebuah tulisan promosi produk unggulan instansi tempatku mengabdi saat ini.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam, malam-malam yang lalu biasanya aku sudah merebahkan diri, bersiap menebus kehilangan energi yang telah terforsir dari pagi hingga siang hari di sekolah. Tapi kali ini, aku masih enggan untuk mengistirahatkan laptopku. Kututup layar m.word-ku dan aku beralih menelusuri daftar judul lagu koleksi Sarah Brightmanku. Memanfaatkan kondisi rumah tinggal bersama yang sepi karena penghuni lain sedang pulang kampung, tak segan-segan aku menaikkan volume speaker. Kupilih lagu yang syairnya masih kuhafal walau tak sempurna, dan aku pun mencoba mengikuti liukan suara khas penyanyi opera favoritku itu. Ah....betapa terkejut dan jengkelnya aku ketika mendapati aku telah kehilangan kemampuanku dalam olah vokal. Jangkauan nada yang dulu bisa kuraih saat ini tak bisa kucapai, vibrasi suara khas lagu-lagu klasik pun tak bisa muncul dari pita suaraku."Upss....gawat", pikirku sedikit bingung bercampur sedih. 
Yah, dipikir-pikir memang lama sekali aku tak menikmati jenis musik klasik ini. Bahkan akhir-akhir ini aku lebih sering mendedangkan lagu-lagu pop maupun nostalgia lokal. Maka, tak heran jika vibraku pun berubah menjadi pop, bahkan nyaris hilang menyusul nafas yang tersendat dan makin pendek-pendek. 
Hmmm.....perubahan memang terjadi setiap saat, entah disadari atau tidak oleh mereka yang telah berubah. Sesuatu yang tak bisa dihindari melainkan harus disikapi dengan bijak. Ditelaah apakah perubahan itu membawa diri ke arah yang positif atau justru menjadi langkah mundur yang merugikan. Direnungkan apakah perubahan itu mendukung kualitas diri, menjadi satu langkah yang mungkin saat perubahan itu terjadi belum diketahui manfaatnya melainkan membutuhkan waktu bertahun-tahun ke depan untuk menyadari arti dari sebuah perubahan. Dipilah apakah perubahan itu disebabkan oleh hal yang mewajibkan untuk berubah jika tak mau tertinggal dan tergilas situasi. 
Demikian pula yang terjadi dengan diriku. Satu, dua, tiga hingga banyak perubahan yang pada akhirnya kusadari juga. Perubahan yang menurutku terjadi karena aku sudah lebih dewasa, pengaruh dari pergaulan dengan orang-orang yang lebih bijaksana dan lebih berpengalaman. Sayang, tak semua bisa menerima perubahan yang terjadi pada diriku, bahkan berpikir bahwa perubahanku ini akibat sesuatu yang di luar nalar. Ah, biarlah, semoga mereka pada akhirnya terbuka hati dan pikirannya hingga menerima bahwa aku pun seperti yang lain bisa berubah dan menjadi dewasa. 
Tapi, untuk perubahan yang kusebutkan di awal tulisan ini, aku akan dengan tegas mengatakan "No Way !". Musik sejak dulu adalah salah satu penyemangatku, penyegar kepenatanku. Bernyanyi adalah luapan energiku, yang tak hanya membuatku puas dan lega juga sebagai relaksasiku. So, aku harus berlatih lagi, membiasakan telingaku lagi dengan lengkingan penyanyi-penyanyi opera dan pelan tapi pasti menemukan kembali kemampuanku yang dulu. Ganbatte !!!!!!!!




Senin, 15 Oktober 2012

Inheritance : Warisan terakhir

Trilogi yang berubah menjadi tetralogi ini sebenarnya sudah lama diterbitkan dan terjemahannya pun sudah lama beredar di toko buku terbesar yang cabangnya tersebar di seluruh Indonesia. Meskipun demikian baru sebulan lalu aku sempat merampungkan membaca sekuel terakhir petualangan Eragon tersebut. Keterlambatan yang disebabkan lebih karena faktor dana, maklumlah harga buku-buku best seller tak bisa dikatakan murah, ditambah peredaran buku yang agak di luar biasanya.
Tak butuh waktu lama, segera setelah aku mendapat hibah buku ini dari seorang teman, buku yang sudah agak lecek tersebut mulai kuserbu halaman dei halaman. Meskipun di tengah-tengah tak jarang aku meloncat ke lembar-lembar terakhir, saking penasarannya akan akhir cerita^_^. Tak bisa dipungkiri, antusiasmeku akan buku ini sedikit berkurang gara-gara membaca spoiler yang banyak ditemukan di media internet. 
Seperti cerita berseri yang pernah kubaca, tetralogi Inheritance pun tak lepas dari akhir cerita yang kurang menggigit jika mengingat jejak petualangan tokoh utama yang demikian seru dan mendebarkan, mengundang penasaran akan peristiwa selanjutnya. Maka alih-alih membaca dengan cepat agar segera mengetahui ending cerita, aku lebih memfokuskan perhatian pada bab-bab awal hingga menengah. Berlama-lama menekuri perjuangan Eragon, Arya dan Roran dalam membantu kaum Varden menumbangkan kekuasaan Galbatorix. Penaklukan kota-kota demi kota, dan kebenaran dari rahasia kekuatan galbatorix, dan jawaban dari teka-teki Werecat menjawab semua pertanyaan yang belum terjawab di tiga buku sebelumnya. Sayangnya, geliat perjuangan yang demikian seru dan melelahkan tidak tereksekusi dengan baik oleh Paolini. Akhir cerita seolah dipaksakan agar sesuai dengan ramalan penyihir Angela yang muncul di buku pertama. Duel Eragon dan Galbatorix kurang menggigit, mengingatkanku akan duel Harry Potter melawan Voldemort. Keduanya sama-sama mengalahkan musuh dengan kekuatan hati kalau tak bisa dikatakan kekuatan cinta ^_^. Yah, selama ini aku memang merasa tetralogi Inheritance ini merupakan perpaduan antara Harry Potter dan Lord of The Ring. Kepergian Eragon dan Saphira meninggalkan Alaegesia untuk selamanya demi menjaga eldunari dan telur-telur naga yang selamat, menimbulkan sedikit kekecewaan akan kisah asmara Eragon dan Arya yang berakhir tak bahagia (kalau yang ini mungkin subyektif dariku sebagai pribadi yang melankolis ^_^). Memang jika harus mengikuti keinginan pembaca yang umumnya menuntut akhir cerita yang indah, cerita-cerita yang ada akan menjadi monoton. So, Christopher Paolini patut diacungi jempol, di usianya yang demikian muda mampu membuat sebuah petualangan dengan begitu detail dan mengesankan di saat remaja lain seusianya masih berkutat dengan kegelisahan khas masa puber masing-masing.

Senin, 08 Oktober 2012

Tiga Minggu

Tiga minggu terbebas dari tugas rutin cukup membuat segar suasana dengan berada di lingkungan baru dan rutinitas baru. Meskipun satu dua hal terasa mengganggu, secara keseluruhan pengalaman selama tiga minggu di asrama cukup berkesan dan setidaknya menambah ilmu yang entah bisa diterapkan dalam tugas pokok sehari-hari atau tidak. Berkenalan dengan orang-orang baru dari berbagai latar belakang yang pada akhirnya menjadi saudara menjadi awal dari bagian jaring koneksi yang mungkin suatu saat dibutuhkan keahliannya. Belajar menumbuhkan disiplin diri sebagai modal keprofesionalan di dunia kerja. Mempelajari materi-materi yang disajikan dengan apik sehingga mengusir kebosanan maupun rasa kantuk yang selalu menyerang ditengah-tengah padatnya jadwal nan menguras energi. Gembira, sedih, marah semua rasa bercampur membentuk pemahaman baru akan karakter seseorang, membuat lebih bijak dalam mengambil keputusan, lebih jauh dalam memandang suatu hal sehingga bisa mempertimbangkan dari berbagai sudut. Berbagi pengalaman dengan teman-teman semakin menambah wawasan yang pasti suatu saat akan berguna. 
Tiga minggu demikian berkesan, bukan hanya karena mendapat pengalaman pertama diinfus ^^, tapi lebih karena disitulah keberanian untuk berpartisipasi bisa muncul, pengakuan akan kemampuan yang selama ini dianggap tak ada, kemauan untuk bersosialisasi, semua itu menjadi awal yang baru dan semoga tak kembali sirna ketika kembali ke habitat asal. Maklumlah situasi lingkungan kerja selama ini tak mendukung untuk perkembangan personal baik dari segi profesional maupun entertainment. Yang ada hanyalah kedisiplinan semu berlandaskan prinsip "ABS", suatu kondisi yang tidak pas untuk pengembangan diri.
Tiga minggu, serasa lama dan berat di awal, tapi cepat dan menyenangkan di akhir. Perjuangan tiga minggu yang sebagian besar bertujuan untuk membuang huruf 'c', meraih 100% dengan tujuan sampingan utama mewujudkan komitmen yang telah dibuat. Tiga minggu, semoga menjadi awal dari kesuksesan. Sukses mengubah kelemahan diri menjadi kekuatan untuk maju mencapai tujuan. Berani dan siap tampil ke depan, mengeksplor kemampuan diri.

Kamis, 08 Maret 2012

Pop Corn

Akhir-akhir ini Elex Media Komputindo selaku satu dari penerbit cerita bergambar di Indonesia getol menerbitkan ulang komik-komik Jepang lama yang dulu lumayan terkenal. Cetak ulang ini agak berbeda dari biasanya karena komik-komik populer tersebut dikemas dalam bentuk deluxe yang setelah diperhatikan satu buku deluxe mencakup satu setengah hingga dua komik reguler yang dijadikan satu. Hingga kini terhitung lebih dari tiga judul komik lawas yang telah muncul edisi deluxenya, sebut saja serial Topeng Kaca, Natane, Kungfu Boy Premium, Slam Dunk, semuanya merupakan komik populer pada masanya dan ketika diterbit ulang masih juga diburu penggemar komik-komik tersebut.
Pop Corn karya Yoko Shoji menjadi produk deluxe terbaru dari Elex Media. Apa keunggulan komik ini hingga layak dibuat deluxe ? Pop Corn merupakan komik yang tenar di tahun 90-an. Tak heran jika gambarnya pun masih sederhana baik dari karakter, fashion maupun background. Anak-anak sekarang mungkin asing dengan komik ini, dan mereka yang terbiasa dengan artwork yang cantik mungkin sedikit enggan untuk membaca komik ini. Kekuatan komik ini terletak pada jalinan cerita yang kompleks dan sarat makna hidup. Adalah Naoko Kitashiro yang akrab dengan sebtan Nakki menjadi tokoh utama komik ini. Dimulai dari kedatangan Nakki ke Tokyo yang serba mengejutkan hingga persahabatannya dengan Iwasaki, Mai, Tamura, Hatsune dan Okita yang menjadi legenda anak badung SMP Tokyo. Komik ini menceritakan kisah Nakki beserta sahabat-sahabatnya dari kecil hingga dewasa lengkap dengan konflik personal sesuai latar belakang keluarganya dan bumbu percintaan masing-masing personal. Nakki yang ternyata dipisahkan dengan saudara kembarnya sejak kecil harus megalami pergolakan batin akan keputusan orang tuanya yang dirasa telah membuangnya. Ia juga harus merasakan pahitnya cinta pertama yang lebih memilih saudara kembarnya, kehilangan cinta keduanya akibat kematian sampai akhirnya Nakki menemukan pilihan hidup yang terbaik baginya. Iwasaki yang harus bergelut dengan cedera yang membuatnya harus melepas impiannya menjadi atlet dan juga kisah cinta segibanyaknya dengan sahabat. Okita mungkin tokoh favorit pembaca yang harus berakhir tragis dijemput maut di puncak gunung. Mai dan Tamura yang harus melewati jalan berliku dan membutuhkan waktu lama sebelum akhirnya bersatu. Dan Hatsune yang harus mengalami kegetiran wanita sebelum memperoleh kebahagiaan. 
Yah mungkin permasalahan pun terlihat sederhana, namun masalah-masalah itu yang justru ada di kehidupan nyata. Pembaca dibuat terhanyut dengan semangat grup Nakki dalam menghadapi masalah dan selalu memikirkan cara agar hidup selalu berwarna dan layak untuk dikenang.

Sepanjang Jalan

Satu bulan ini acara pulang kampung kembali ke jadwal semula yaitu seminggu sekali. Kebiasaan yang cukup menguras tenaga setiap minggunya terlebih dalam kondisi cuaca yang tak bersahabat. Menempuh kurang lebih lima jam perjalanan di bawah guyuran hujan dan terpaan angin kencang sudah menjadi resiko yang harus kuhadapi dengan tenang, karena cuaca adalah faktor alam yang mustahil diubah. Dari perjalanan antar kota antar propinsi ini, kutemukan berbagai hal yang patut untuk dikritisi. Satu yang paling krusial adalah buruknya infrastruktur jalan utama penghubung kota yang lebih dikenal dengan jalur selatan pulau Jawa. Jalan raya yang setiap harinya selalu dipadati oleh bermacam-macam jenis kendaraan itu mengalami kerusakan yang parah  di beberapa titik. Jalan semakin membahayakan ketika kondisi hujan lebat. Lubang-lubang menganga dari yang kecil hingga besar tertutup air hujan sehingga tak sedikit kendaraan khususnya roda dua yang tergelincir ketika menemui lubang yang lokasinya tersebar. Kucoba mencari jalan alternatif yang konon bisa mempersingkat jarak tempuh, ternyata kondisinya sama saja bahkan di satu titik lebih parah dari jalan utama. Sebuah realita yang menimbulkan pertanyaan tak terjawab akan kerja pihak yang bertanggung jawab terhadap kelayakan fasilitas umum. Mengapa jalan yang sudah hancur tidak segera diperbaiki? Jika tidak memungkinkan rombak total setidaknya lubang-lubang menganga ditutup sementara agar tidak berbahaya. Ataukah harus menunggu  jatuhnya korban sebelum dilakukan perbaikan ? Yang membuatku heran kondisi serupa jarang terjadi di wilayah DIY. Jalan-jalan yang melintas daerah dibawah kepemimpinan Sultan ini demikian mulus, sangat nyaman untuk dilalui. Bahkan beberapa kali aku menyaksikan perbaikan pada jalan-jalan yang menurutku masih bagus digunakan. Yang membuatku bertanya-tanya mengapa wilayah lain tak bisa meniru ? Meskipun dalam hati aku mempunyai beberapa jawaban klise seputar  PAD, tetap saja aku bertanya-tanya apakah sekedar menambal lubang dan meratakan jalan yang bergelombang tak bisa dilakukan ? Apapun jawaban beserta alasannya, sungguh aku berharap adanya perbaikan infrastruktur alih-alih ribut-ribut kenaikan gaji, kenaikan BBM maupun pengusutan kasus-kasus korupsi yang tak berujung.

Minggu, 15 Januari 2012

Gratis, manis namun dilematis

Tahun baru, tak terasa sudah setengah bulan kembali ke sekolah setelah libur semester yang lumayan menyegarkan kembali energi yang menipis. Kembali berkutat dengan tugas lama dan siap menyambut tugas baru yang mau tidak mau harus dijalani dengan harapan memperoleh pahala (sesuai dengan kalimat wajib yang terus diulang setiap harinya ^^). Bulan di awal tahun yang selalu sibuk dan penuh ketegangan menjelang dilaksanakannya ujian akhir untuk siswa kelas terakhir. Hari hari yang diisi dengan jam-jam tambahan untuk mempersiakan materi dan mental demi hasil terbaik yang memuaskan. Oops....tunggu dulu, ternyata tidak demikian dengan sekolahku. Ada apakah gerangan ? Usut punya usut entah benar atau tidak salah satu kegiatan krusial yang nyaris dilakukan di setiap sekolah tidak bisa dilakukan disini dengan alasan tak ada dana pendukung. Mengapa bisa demikian ? Jika dirunut kekurangan dana ini dipengaruhi oleh program sekolah gratis yang notabene sekolah dilarang memungut biaya dari siswa. 
Kata gratis memang menjadi magnet bagi siapapun. Terlebih bagi para orang tua yang harus membanting tulang dengan melambungnya biaya pendidikan khususnya mereka yang memiliki putra putri usia sekolah di luar program wajib belajar 9 tahun. Dan jadilah pendidikan menjadi bagian dari strategi politik yang memang berpeluang memperoleh simpati besar bagi rakyat. Walhasil, janji pendidikan gratis pun harus ditepati. Hal yang ternyata menimbulkan polemik di kemudian hari. Sekolah gratis pada dasarnya bukan tidak membayar untuk sekolah, melainkan segala biaya yang ditimbulkan dalam proses belajar mengajar dibiayai oleh pemerintah. Sayangnya pengertian gratis dalam arti sempit alias tidak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk mengenyam pendidikan terlanjur melekat di benak wali murid. Akibatnya sekolah pun kelimpungan mengatur dana untuk memenuhi kebutuhan operasional tanpa memungut iuran baik wajib maupun sukarela dari siswa. Sekolah tak bisa mengambil resiko dengan menarik iuran dengan adanya pernyataan "pendidikan gratis" jika tak ingin dikasuskan dan di blow up di media massa. Sementara kebutuhan mendesak untuk segera dipenuhi dan dana pendidikan tidak bisa dicairkan setiap saat. 
Sekolah gratis memang meringankan beban rakyat, namun kata gratis sangatlah tidak mendidik. Gratis mempengaruhi semangat belajar sebagian siswa yang merasa tidak menjadi beban orang tua sehingga berlaku seenaknya. Bandingkan dengan mereka yang harus mengeluarkan biaya tak sedikit, siswa menjadi terpacu untuk memperoleh hasil terbaik agar tak menyia-nyiakan jerih payah orang tua. Gratis juga mempengaruhi pola pikir wali murid yang tak mau menyisihkan dana untuk menunjang pendidikan putra putri mereka. Kalaupun bersedia berpindahnya rupiah diiringi dengan gumaman hingga gerutuan yang tak jauh dari kata-kata "apanya yang gratis". Sungguh ironis mengingat sekedar membeli semangkuk bubur seharga Rp 2.500,- harus merogoh kocek untuk biaya parkir seribu rupiah dan motor numpang berhenti tak lebih dari sepuluh menit. Bandingkan dengan sekolah yang notabene menitipkan anak di sebuah institusi selama tujuh jam penuh dengan berbagai fasilitas dan yang paling penting bekal ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang tak ternilai. Sungguh tak masuk akal jika segan untuk mengeluarkan biaya demi menunjang masa depan, sekedar untuk mengganti ongkos fotokopi materi yang nyata-nyata diperlukan. Miris hati ini melihat siswa yang lebih suka membolos, menghabiskan waktu di pojok-pojok warung atau rental-rental play station sementara di luar sana banyak mereka yang tidak beruntung harus bersusah payah demi memperoleh pendidikan. Sedih sekali melihat gemar membaca dan belajar hanya menjadi sekedar tulisan, tergantikan oleh kebiasaan mencontek di waktu ujian sekalipun. Siapa yang harus disalahkan ? Tentu tak bisa menunjuk satu pihak begitu saja. Yang perlu dilakukan adalah kesadaran dan kerjasama berbagai pihak, baik sekolah, pemerintah dan orang tua demi pendidikan bermutu bagi bibit-bibit muda sebagai generasi penerus bangsa.