Sabtu, 02 Maret 2013

Secuil Pengalaman

"Ambil sampah di sekitarmu !!!!", seruku dengan nada tinggi, kedua tangan mengepal dengan erat. Perlahan kutarik nafas panjang, mengontrol amarah yang siap meluap. Indonesia menjadi negara yang terburuk pendidikannya ? Artikel yang kubaca di mesia online tersebut tak menyulut pembelaanku meski aku berkecimpung di dunia tersebut. Dua tahun terakhir ini, kuperhatikan memang kualitas pendidikan melorot drastis. Bukan soal ilmu yang dipelajari namun sikap dan mental anak-anak didik. Anak didik sekarang terlalu dimanja oleh sistem, target kurikulum, atau program tertentu yang notabene bermuatan politis. Bandingkanlah sikap dan perilaku anak didik sekarang yang jauh berbeda dengan perilaku orang tua, kakek nenek kita pada saat mengenyam pendidikan dasar dan menengah dulu. Belajar ketika mau ulangan apalagi belajar setiap hari makin jarang dilakukan. Tak ada ketakutan ketika tidak mengerjakan PR. Alih-alih malu, mereka justru tertawa keras ketika nilai di bawah standar terpampang di papan pengumuman. "Halah formalitas doang kok !", respon anak didik (ku) usai tak bisa mengerjakan soal-soal ulangan umum sembari berteriak mengajak teman yang masih berada dalam ruangan tes untuk keluar saja. Anggapan semua prosedur penilaian tersebut hanyalah formalitas itu berdampak pada perilaku negatif lainnya seperti datang terlambat yang menjadi agenda rutin tiap hari, membolos jam pelajaran terakhir, membolos seharian dengan menitipkan surat izin sakit palsu, bertingkah seenakya di tengah kegiatan pembelajaran, mencontek tanpa sungkan ketika sedang dilakukan penilaian, dan perilaku tak sesuai aturan umum sekolah lainnya. "Yang salah itu gurunya", komentar sinis demikian acapkali terlontar jika menyangkut kenakalan siswa. Memang ada benarnya, pasti banyak timbul pertanyaan seputar pola pendidikan seperti apa yang diterapkan sampai-sampai menghasilkan kenakalan ringan hingga berat seperti itu. Sebenarnya, di sisi pendidik pun timbul perasaan serba salah. Ketika akan mengambil tindakan keras di dalam batas kewajaran bagi anak yang lalai, sebuah ketakutan akan sorotan lembaga swadaya masyarakat maupun media yang memojokkan dengan memberi vonis bersalah pada si pendidik. Padahal tindakan berupa peringatan berlanjut hukuman itu tak lain untuk mendidik karakter anak agar tak melenceng dari norma yang ada. Akibatnya anak didik semakin menjadi ketika perbuatannya tak dihiraukan dan menganggap bahwa apa  yang mereka perbuat itu wajar. Standar pendidikan menuntut anak didik mendapat nilai baik dengan kriteria minimal yang telah ditetapkan. Sebuah sekolah dengan nilai standar yang tinggi menjadi tolak ukur kualitas sekolah tersebut di mata umum. Akibatnya pihak sekolah berlomba-lomba mencari muka dengan meningkatkan nilai standar tanpa memperhatikan kualitas anak didik sebenarnya. Ini yang menjadikan guru kehilangan antusias dalam memberi penilaian kepada anak didik. Memang jika kriteria kelulusan minimal dilaksanakan dengan benar, hal itu menghasilkan keluaran yang bermutu. Tapi pada kenyataannya justru berbalik, keluaran menjadi kurang bermutu tak sesuai dengan angka yang dituliskan dalam buku penilaian. Hal ini semakin diperkuat oleh anak didik yang salah dalam memahami nilai standar minimal. Sebagian dari mereka menganggap bahwa belajar atau tidak, rajin atau tidak, sudah mendapat nilai minimal dan itu sudah cukup bagi mereka. Nah, terjadi kesenjangan yang cukup lebar antara anak yang rajin dan pintar dengan anak yang malas dan kurang tanggap. Keberhasilan sekolah juga diukur dengan persentase anak lulus sekolah. Jika prinsip ini dibarengi dengan prosedur yang benar tentu kualitas pendidikan tak perlu diragukan lagi. Sayangnya stigma tersebut justru menimbulkan kecurangan dengan segala upaya meluluskan anak 100 %. Hasilnya rentang antara nilai sekolah dengan nilai murni ujian nasional menjadi terlalu mencolok, mengindikasikan adanya kecurangan entah di pihak mana. Iyalah, kemungkinan kecil seorang anak mendapat nilai 9 pada pelajaran matematika di sekolah, sedangkan nilai unasnya hanya mencapai angka 6. Hmmmm....jika hal seperti ini diteruskan bukan tidak mungkin mutu pendidikan menjadi anjlok sesuai artikel yang kubaca. Belum lagi program pendidikan gratis yang sarat muatan politis, memang program ini sangat membantu untuk mereka yang kurang mampu sehingga bisa mengenyam pendidikan sesuai haknya. Sayangnya, kondisi gratis memanjakan anak didik dam wali murid mereka. Gratis, tak  membuat mereka bersyukur dengan belajar sebaik-baiknya, namun gratis menjadikan mereka berbuat seenaknya. Bahkan untuk membeli lks pun enggan, hal yang ironis melihat yang enggan itu datang ke sekolah dengan kendaraan roda dua tipe berkelas. Ckckkckk....mau jadi apa ya negeri ini jika mental penerusnya seperti itu ? Sekali lagi, apa yang tertuang itu tak semuanya berlaku di setiap wilayah. Aku yakin masih banyak di luar sana yang benar-benar menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Buktinya tak sedikit anak didik yang menorehkan namanya di kancah internasional. Perilaku negatif yang terselip ini tentu memerlukan perhatian khusus agar tak meluas, dan dibina agar mutu pendidikan tak lagi menempati rangking bawah di mata dunia.