Jumat, 25 Desember 2009

Lagi Be Te

Di penghujung tahun ini, rasanya belum ada kemajuan berarti yang kucapai dalam hidupku yang semakin bertambah usia. Entah apa penyebabnya setiap resolusi yang kubuat di awal tahun lalu berakhir dalam kebuntuan. Mungkin karena tiap hari kujalani dengan monoton, berkubang dalam kondisi yang sama, berinteraksi dengan orang yang sama, berkutat dengan hal yang sama menjadikan aku terhenti di titik itu. Atau mungkin lebih karena diriku yang tidak ingin berubah, ketakutan akan sebuah masa depan yang hingga kini belum siap untuk kuraih. Ahhh berkali-kali menghela nafas pun tidak mampu mengenyahkan kegundahan dalam dada ini. Kegelisahan akan hari esok terus menerus menggegerogoti pikiranku. Meskipun sebuah pengalih perhatian selalu tersedia, namun di kala mata terpejam menjelang tidur kegelapan senantiasa datang menjadikan lelap menjauh dari tidurku. Arrghh kekesalan sepertinya selalu menghampiriku, tidak hanya sedari dulu namun hingga kini pun kata damai seolah menjauh. Ada saja situasi yang membuatku terpancing emosi, meradang hingga berbesar hati dan bersabar pun sulit untuk kulakukan. Ujian demi ujian meskipun tidak semuanya terlewati dengan baik, setidaknya sudah terlewati. Sekarang aku harus memandang ke depan, belajar untuk menentukan langkah selanjutnya. Meski berat jalan yang harus kulewati nanti, setidaknya setitik harapan masih terbuka. Saat untuk berubah sebenarnya sudah datang semenjak lalu, namun beban untuk ke sana selalu membuatku berat hingga akhirnya terhambat untuk mencapai tujuan. Berubah menjadi lebih tabah kini menjadi prioritasku mengingat tugas berat yang akan datang sebentar lagi. Hahhhhh.......pertanyaan yang sama selalu datang di benakku, kapankah akan tiba waktu untukku ?

Be Te !!!!

Ajaran yang besar yang harus mengalah sepertinya sudah tertanam di sebagian besar kelompok masyarakat. Namun ajaran yang baik ini mempunyai kelemahan yang cukup berakibat fatal. Ya petuah agar si besar mengalah ini menjadikan si kecil melihat kesempatan untuk sebuah pembenaran jika terjadi kesalahan dari pihaknya. Demikianlah jika salah asuhan, kebijakan agar si besar harus lebih dewasa dan memahami si kecil sehingga menjadi contoh yang baik justru menjadi senjata bagi si kecil. Dan pada akhirnya ketidakadilan pun dengan mudah terjadi di antara kedua pihak dengan keuntungan lebih condong ke pihak si kecil. Sebuah realita yang wajar terjadi jika sang adik lebih diperhatikan dan selalu dibenarkan sehingga timbul kecemburuan dalam diri si kakak yang notabene sebagai si besar yang harus mengalah. Tentu ini menjadi kesalahan pihak orangtua yang kurang tepat dalam melaksanakan prinsip 'yang besar harus mengalah'. Kesalahkaprahan ini rupanya juga meluas tidak hanya dalam hubungan antar saudara dalam keluarga, contoh kekeliruan dalam penerapan prinsip tersebut terjadi juga dalam konteks lalu lintas. Sudah menjadi rahasia umum jika terjadi kecelakaan di jalan raya, maka kendaraan yang lebih besarlah yang harus bertanggung jawab. Meskipun kesalahan berasal dari kendaraan yang lebih kecil, tetap saja pengemudi kendaraan besar yang harus menanggung akibatnya. Contoh kecil terjadi ketika sebuah mobil box berhenti di depan palang pintu kereta api karena ada kereta yang lewat, tak dinyana dari arah belakang mobil tersebut dihantam begitu saja oleh kendaraan roda dua yang melaju cepat sehingga panik ketika deretan kendaraan di depannya berhenti karena jalan tertutup untuk sementara. Jika dilihat dari kejadiannya, berdasarkan bukti dan saksi yang ada secara logis mobil boks tersebut tidak bersalah. Adalah keteledoran pengendara motor yang menyebabkan dirinya celaka. Namun tidak demikian urusannya, justru si pengemudi mobil boks yang diharuskan membiayai pengobatan si pengendara ! Contoh lain, sebuah mobil sedang melaju dengan pelan di wilayah yang ramai dengan lalu lalang pengguna jalan lain. Demikian berhati-hati sehingga sepeda ontel pun bisa dengan mudah mendahului mobil tersebut. Tak diduga dari arah depan seorang pengayuh yang mabuk di siang bolong dengan seenaknya menabrak mobil tersebut. Kecelakaan yang menyebabkan si pengemudi becak yang sudah sempoyongan tersebut semakin jauh dari sadar. Seperti yang sudah diduga, pengemudi mobillah yang harus menanggung biaya pengobatan orang mabuk tersebut ! Ada lagi yang lebih menunjukkan betapa tidak adilnya etika lalin, sebuah mobil sedang melaju dengan kecepatan kurang dari sedang, berhubung sedang ada operasi tertib berkendaraan bagi pengguna sepeda motor tiba-tiba dari belakang terdengar deruman sepeda motor yang berlari kencang. Rupanya si pengendara yang masih anak SMA tersebut sedang berusaha melarikan diri dari petugas lalu lintas yang mengejarnya. Namanya sedang panik tak terhindarkan lagi si bocah pun menabrak mobil yang sedang berjalan pelan tersebut. Di tengah sedemikian banyak saksi termasuk si petugas lalu lintas lagi-lagi si mobil yang tidak bersalah justru ditilang dan diwajibkan mengganti rugi bagi si bocah nakal tersebut. Olala dimanakan letak keadilan ? Apakah ini kelanjutan dari kekeliruan penerapan yang besar harus mengalah tersebut ? Huh rupanya masih banyak ketidakberesan di sini. Dalam lingkup tertentu ketika si besar tidak bersalah justru menjadi pihak yang dirugikan, di sisi lain si besar yang benar-benar bersalah justru dengan kebesarannya menginjak-nginjak si kecil. Jika dipikir lebih lanjut, setiap kekeliruan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi pihak tertentu. Jika hal demikian terus terjadi, siapa dan atau apakah yang bisa menjadi penengah ? Di saat hukum sedang terbalik-balik, ketika kebijakan sedang menghilang untuk sementara, saat nurani telah mati, sementara logika menjadi kacau, satu-satunya jalan hanyalah mawas diri, berusaha untuk menghindar dari masalah.

Senin, 21 Desember 2009

Bingung

Beberapa waktu lalu aku membaca status seorang teman di akun Facebooknya yang menuliskan tentang anjuran untuk waspada terhadap UU ITE. Aku yang tergolong awam di bidang hukum ataupun perundang-undangan pun terusik ketika membaca status tersebut. Pengetahuanku yang terbatas mengenai seputar undang-undang hanya mendeskripsikan bahwa UU ITE adalah undang-undang yang mengatur mengenai penggunaan teknologi yang mencakup dunia maya. Jika menyimak berita pidana dan perdata beberapa waktu ini, rupanya mulai ada beberapa orang yang terjerat undang-undang tersebut hingga harus menghadapi tuntutan yang tidak main-main. Perkara pidana terbesar sekaligus tersohor tentu adalah kasus yang menimpa Prita Mulyasari akibat keluhannya tersebar melalui mailing list sehingga beliau dilaporkan pihak yang merasa nama baiknya tercemar kepada yang berwajib. Prita yang semula hidup layaknya seorang pekerja merangkap ibu rumah tangga dalam waktu singkat berubah drastis menjadi pesohor yang dibela oleh rakyat sebagai simbol dari golongan lemah yang ditindas oleh kekuasaan. Kasus Prita yang tercium media pun menjadi pembicaraan besar di khalayak, bersamaan dengan masa dilangsungkannya Pemilu terakhir ikut menjadikan kasus Prita semakin menonjol dengan masukya tokoh-tokoh politik yang berlomba-lomba meraih simpati melalui Prita. Belum tuntas masalah Prita yang sekarang masih menjalani sidang pidana dan sedang mengajukan kasasi perdata melawan sebuah rumah sakit swasta tersebut, muncul Prita Prita lain di berbagai daerah yang menghadapi kasus serupa dengan Prita. Yang terbaru tentu dengan dilaporkannya artis beken Luna Maya oleh sekelompok wartawan sehubungan dengan status Luna yang dituding melecehkan infotainment.
Mencermati hal tersebut, sebenarnya seperti apakah UU ITE itu sebenarnya ? Atau yang lebih dipertanyakan dimanakah batas tentang pencemaran nama baik ? Rasanya akhir-akhir ini banyak perkara yang berlatar belakang pencemaran nama baik bergulir di meja hijau. Ketika era digital yang semakin maju ini, mengapa justru kebebasan untuk berpendapat semakin terkekang ? Lihat saja Prita yang harus mendekam di penjara dan masih harus menghadapi sidang pidana dan perdata hanya karena mengungkapkan fakta akan ketidakpuasannya sebagai customer di sebuah instansi yang menyediakan jasa layanan kesehatan, Luna Maya yang kini berkonfrontasi dengan sejumlah pekerja infotainment akibat menumpahkan kekesalannya akan tingkah laku pemburu berita di situs jejaring sosial, dan entah siapa lagi yang belum terekspos harus menanggung konsekuensi bersinggungan dengan UU ITE ini. Jika keadaan ini terus berlanjut, rasanya kondisi paranoid akan menghinggapi bangsa ini. Ketakutan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat akan terulang kembali seperti masa pemerintahan terdahulu yang dengan tegas mengatur masalah pencemaran, penghinaan ataupun pelecehan terhadap orang yang berkuasa. Yah, pada dasarnya harus diperjelas definisi pencemaran nama baik tersebut sehingga tidak menjadi rancu antara menceritakan sebuah fakta yang menyangkut keburukan orang lain dengan pencemaran nama baik yang notabene mengandung unsur fitnah. Semoga apa yang menimpa Prita ini menjadi pelajaran untuk semua khususnya untuk pemerintah maupun dewan legislatif untuk meninjau kembali undang-undang yang mereka buat. Bagaimanapun dari sudut pandangku yang awam hukum, Prita adalah pihak yang menjadi korban maka wajar jika rakyat dari berbagai kalangan bersatu padu menggalang dukungan melalui berbagai media. Prita adalah simbol dari rakyat kecil yang buta tentang hukum, tak mengerti mengapa sebuah keluhan yang benar adanya justru membuatnya mengalami prahara. Simbol dari kebutuhan untuk beropini, tanpa bermaksud menjelekkan suatu pihak namun lebih kepada perubahan ke arah yang lebih baik.

Senin, 14 Desember 2009

My Best Friend Wedding


"Jo, nek golet bojo aja adoh-adoh, men dewek bisa kondangan ", kata Wiwi dalam bahasa Jawa medok khas Kebumen di sela-sela obrolan sepanjang jalan menuju kos. "Nek Cilacap ?", jawab The Pooh, panggilan ala geng si berat untuk Pujo yang memang perawakannya rada mirip tokoh Winnie The Pooh. "Yah, bisa diterima", sahutku menjawab pertanyaan balik Pooh.
Sekelumit percakapan santai setengah bercanda tersebut kembali melintas di benakku ketika membaca sebuah undangan pernikahan yang datang pertama kali melalui situs Facebook. Bulusari, Gandrungmangu, Cilacap, demikian lokasi walimahan sahabatku semasa kuliah dulu. "Oh ternyata beneran tah ", pikirku teringat kembali percakapan waktu itu yang kukira hanya gurauan semata. Maklumlah meskipun kami menjadi teman karib sejak pertama kali menginjak bangku kuliah, beberapa waktu terakhir nyaris tidak ada kontak lagi di antara kami. Di tengah kesibukan kuliah yang mulai berbeda jurusan, aktivitas yang berbeda hingga berbagai situasi yang semakin tidak memungkinkan untuk menghabiskan waktu bersama menjadikan komunikasi semakin jarang terjadi bahkan Pooh sempat menghilang untuk sekian lama. Maka dari itu, beruntung ada situs jejaring sosial semacam Facebook ini yang membantuku menemukan kembali sahabat yang hilang.
Berniat menepati janji yang meskipun terdengar main-main dulu, jauh-jauh hari aku mengontak sahabat-sahabat yang memungkinkan untuk datang di acara bahagia tersebut. Akhirnya tibalah hari yang sudah direncanakan. Berbekal sebuah denah yang ada di dalam undangan aku dan tiga orang sahabat lainnya memulai sebuah perjalanan menuju lokasi yang belum pernah kami datangi sebelumnya. Jadilah kami berempat menyusuri jalan sempit berliku yang tak ketinggalan penuh lubang di sana-sini. Panas menyengat membuatku lelah buka main, perjalanan yang begitu jauh dan memakan waktu hingga tiga jam membuatku tampak lusuh ketika sampai di tujuan. Dandanan rapi dan polesan rias sederhana tak berbentuk lagi hilang diterpa angin dan butiran keringat yang menetes di sepanjang jalan. Walhasil sesampainya di lokasi resepsi kami langsung menghempaskan diri, mengatur nafas kelelahan, syok mengingat betapa jauhnya jarak yang sudah ditempuh demi menyaksikan hari bahagia seorang sahabat.
Namun melihat wajah sumringah Pooh yang lama tidak kujumpai meringankan penat yang kurasakan. Puas rasanya bisa menepati sebuah janji, bisa melihat Pooh yang ceria dan penuh tawa, bukan lagi Pooh yang kulihat ketika terakhir kali kami bertemu di jalan itu.
Begitulah hari itu menjadi hari yang menyenangkan sekaligus sangat melelahkan. Ketika matahari mulai bergeser ke barat, kami pun berpamitan untuk pulang. Tak terkira jemu yang aku rasakan mengingat aku harus melewati jalan itu lagi, melewati deretan pohon-pohon pinus yang rindang,melewati tanjakan turunan dan kelokan jalan sempit yang penuh lubang. Namun penat sedikit terobati ketika kami menyempatkan untuk menjalankan rencana semula sepulang menghadiri pesta pernikahan. Ya, mumpung melewati kota Cilacap apa salahnya jika mampir sebentar ke pantai. Ini untuk pertama kalinaya aku menginjakkan kaki ke pasir di Teluk Penyu. Sebuah ironi jika mengingat dimana aku tinggal selama ini ^_^. Menghabiskan sore di tepi pantai, memuaskan sifat narsis yang selalu muncul jika bertandang ke sebuah tempat, menyantap hidangan lezat khas tepi pantai, hmmm sedikit penyegaran di tengah kesibukan selama ini yang dengan sukses membuatku jatuh sakit.
Ketika matahari terbenam barulah kami beranjak meninggalkan pantai yang penuh dengan pelancong tersebut. Perjalanan masih panjang untuk kami sampai di rumah masing-masing. Bersyukur mesti malam telah larut, meski seluruh tubuh terasa lelahkami tiba di rumah dengan selamat. Hah sebuah perjalanan di hari Minggu yang begitu berkesan ( amat sangat lelah sekali), namun jika lelah ini membuat seorang sahabat senang, rasanya tak apalah. Sekali lagi selamat buat Pooh, semoga bahagia selalu.

Qishi wo you ie ke li u wei le ni. Jiu shi pu neng kei ni qing tien. Wo hao pheng you cai wo jia li yihou, wo kei ni chang ke ie ke ai yin yue chuan sin chuan yi.....wo xi wang ni te sin fu..........che she ni...."ni wen wo ai ni you tuo sen, wo ai ni you ci fen. Wo ti ching pu ie, wo ti ai pu pien , ye liang tai piau wo te sin........." Pooh, xin fu kuai le !!

Rabu, 02 Desember 2009

Sakit

"Kasarnya, saat ini sedang 'sakit' In ", demikian jawaban dari seseorang yang selalu kupanggil dengan Bapak baik dulu maupun sekarang. Begitulah pendapat si Bapak ternyata sama saja dengan pikiranku saat ini. Miris nian diri ini jika mencermati situasi dalam negeri tercinta saat ini. Pemerintah diguncang isu, rakyat pun ikut ricuh. Malu benar ketika melihat kerumunan orang berdesak-desakan hingga ada yang terluka demi mendapat bagian daging kurban. Mengapa sih mereka tidak bisa bersabar, mengantri dengan tertib hingga tiba gilirannya memperoleh jatah. Omong-omong tentang antri, budaya rasanya susah sekali untuk diterapkan. Berdasarkan pengalaman, berulang kali aku menjumpai situasi di luar kendali akibat orang-orang tidak mau disiplin dalam mengantre. Beberapa waktu lalu aku nyaris meledak ketika sekelompok orang berdesakan di pintu masuk menghalangi mereka yang mendapat giliran. Sebuah kondisi yang justru memperlambat pelayanan ! Apakah mereka tidak berpikir lebih baik duduk santai menghindar dari terik matahari, dan panas akibat berdesakan sementara menunggu nama mereka dipanggil melalui pengeras suara ? Apa untungnya dengan berkerumun di depan pintu padahal giliran masih lama tibanya ? Rupanya ketidaksabaran dalam menunggu giliran telah mendarah daging. Apalagi jika diembel-embeli dengan kata-kata gratis. Berbondong-bondong masyarakat untuk berebut jatah, saling dorong, saling sikut takpeduli ada anak-anak dan orang tua. Entah karena takut tidak kebagian jatah atau ada alasan lainnya. Sebegitu miskinkah rakyat negeri ini hingga rela meregang nyawa demi sesuap nasi gratis ? Kalimat bijak lebih baik memberi daripada meminta rupanya sudah lepas dari ingatan. Urusan perut menjadi nomor satu sehingga malu disingkirkan jauh-jauh. Alhasil jadilah situasi seperti sekarang ini. Di berbagai daerah terjadi ricuh akibat perebutan barang-barang gratis. Muncul pencuri kelas teri hingga koruptor nomor wahid yang dengan leluasa mengambil apa yang bukan haknya. Ketika hukum sedang diuji, ketika uang berbicara lagi-lagi mereka yang dibawah lah yang semakin terpuruk. Sungguh ironis melihat seorang nenek divonis penjara gara-gara tiga butir biji kakao, malang nian orang yang didakwa karena sebutir semangka sedangkan mereka yang membawa lari sekian milyar hingga triliun rupiah bebas melenggang dan hidup enak di negeri orang. Jika mereka berdalih bahwa hukum harus ditegakkan, bahwa meskipun hanya sebutir biji mencuri adalah mencuri lalu kemanakah hukum ketika 'tikus-tikus' besar tertangkap ? Dengan mudahnya atau bisa dibilang hukuman yang diterima tidak sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan. Mereka bilang si nenek dijadikan contoh hingga timbul efek jera, namun kemanakah slogan efek jera ketika pencuri uang rakyat terbukti bersalah ? Tak sedikitpun rasa malu atau bersalah terpampang di wajah-wajah mereka yang digiring ke bui di bawah sorotan kamera. Yang ada justru cengiran sinis, pembelaan diri bahwa mereka tak bersalah, difitnah atau berbagai dalih lainnya demi menjaga nama baik yang sudah cemar namun sudah tak berarti lagi. Sakit, negeri ini memang benar-benar sakit. Kapankah negeri ini akan sembuh ? Dan yang terpenting adakah obat yang mampu menyembuhkan negeri ini ?

Senin, 23 November 2009

100 Hari

Berat nian tugas presiden SBY yang terpilih untuk kedua kalinya dalam pilpres kalo ini. Seratus hari pertama mengemban tugas sebagai kepala negara, presiden dipusingkan dengan ketidakharmonisan lembaga dan institusi yang sama-sama memegang peranan penting dalam menegakkan hukum di tanah air. Nama presiden sendiri pun ikut terseret berkat 'ocehan' sosok kontroversial yang terekam dan sudah beredar luas di media. Dengan kondisi yang semakin memanas, ditambah rakyat pun ikut menggalang persatuan yang pada akhirnya terpecah menjadi dua kubu pendukung, presiden pun harus dengan segera mengambil sikap untuk meredam permasalahan yang bisa berbuntut fatal ini. Suatu kewajiban yang amat sangat berat bagi presiden, berhubung langkah apapun yang diambil akan menjadi sorotan publik dan berpotensi mengundang pro dan kontra. Beliau harus memikirkan masak-masak sebelum membuat keputusan agar tidak terlihat memihak maupun terkesan cuci tangan yang justru menambah ketegangan. Belum tuntas masalah kriminalisasi KPK dan segudang masalah yang berkaitan dengan bank Century, muncul lagi masalah dari departemen yang menjadi bawahannya. Jabatan Menkes yang sejak semula dipertanyakan memulai awal yang buruk dalam kinerjanya. Sembilan nyawa melayang akibat pemberian vaksin filariasis di daerah Jawa bagian barat sana. Mengapa ini bisa terjadi ? sungguh sebuah kelalaian fatal yang merenggut hak hidup seseorang. Seakan tak mau kalah bagian transportasi ikut andil dalam kemalangan dengan tenggelamnya kapal komersial di perairan Riau. PLN pun ikut andil dalam munculnya demonstrasi dengan adanya pemadaman bergilir yang menimbulkan kerugian finansial cukup besar. Seakan turut berduka, cuaca yang memang sudah waktunya tiba di musim penghujan, menambah penderitaan dengan air yang meluap meskipun hujan hanya turun sebentar. Bencana demi bencana datang seiring tuanya tempat yang disebut bumi ini akibat kerusakan oleh manusia juga. Hmm..negeri ini memang memerlukan pembenahan di segala bidang. Meskipun yang paling krusial adalah pembenahan pada kepribadian warga negara. Pendidikan di bidang akhlak perlu dibenahi agar tidak melulu terpancang pada kecerdasan dalam pengetahuan. Dengan penanaman pribadi yang berkeTuhanan yang baik, diharapkan di masa mendatang tidak terdengar lagi berita tawuran antar mahasiswa, tidak ada lagi kengerian akan kriminal pembunuhan dengan alasan tak masuk akal, tidak ada lagi penjarahan apa yang bukan haknya karena harga diri dan rasa malu terutama pada sang Pencipta melekat erat sehingga mencegah tangan jahil meraih yang tidak halal. Demikianlah kepada Pak Presiden, dengan terpilihnya beliau untuk memerintah selama lima tahun mendatang semoga mampu membalik keadaan menjadi lebih baik. Bukan hanya meneruskan program pemberantasan KKN, membangun perekonomian yang lebih baik, namun yang lebih penting mewujudkan stabilitas nasional yang berarti perubahan yang lebih baik di segala bidang. kami rakyat yang memilihmu menantikan langkah nyata yang memihak kepada rakyat sebagai pilar utama negeri ini. Jangan sampai rakyat dikecewakan dengan ketidakadilan yang makin merajalela.

Rabu, 18 November 2009

Sembilan ( 9 )

Sejak memastikan kemenangan The Doctor menjadi juara dunia untuk kesembilan kalinya, aku menantikan ditayangkannya acara penobatan gelar tersebut di televisi. Dan setelah tiga pekan menanti akhirnya muncullah jadwal tayang acara penyerahan medali tersebut. Meskipun hanya siaran ulang, aku tetap bersemangat menyaksikan The Doctor yang biasanya tampil unik lain dari yang lain. Akhirnya tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Berhubung aku perlu mengecek sesuatu, tiga jam sebelum jam tayang dimulai aku bergegas menuju tempat biasa. Setelah dirasa cukup, aku pun menyudahi aktivitasku dengan gembira menanti tayangan puncak setelah dirampungkannya race di Valencia. Tak dinyana, begitu aku keluar dari ruangan hujan deras turun, disertai angin dan kilat beruntun. Waduh, ini benar-benar kondisi yang membuatku takut untuk menempuh perjalanan pulang. Walhasil aku menanti hujan reda di rumah sahabat sembari menghangatkan diri yang basah kuyup dengan segelas teh hangat. Harap-harap cemas aku menanti hujan sedikit reda sambil mengobrol penuh semangat dengan sahabat lamaku itu. Bukan hanya menanti kesempatan untuk pulang, namun berharap bisa menyaksikan acara yang telah kutunggu tepat waktu. Untunglah tak sampai sejam kemudian hujan pun reda. Dengan kecepatan penuh aku kembali ke rumah, gara-gara televisi sahabatku ngadat akibat hujan angin. Setibanya di rumah, tanpa membuang waktu aku menyalakan televisi. Menyiapkan perangkat yang kubutuhkan untuk mengabadikan peristiwa yang mungkin tahun depan tidak terjadi lagi. Mengapa bisa begitu ? Tahun ini untuk kesembilan kalinya The Doctor meraih gelar World Champion. Tahun ini pula Vale menginjak usia ke -30 tahun yang artinya sudah tidak muda lagi. Gelar juara kali ini pun diraih dengan kerja keras di tengah persaingan ketat dengan rekan setimnya yang lebih muda dan sangat berpotensi sebagai the next Valentino Rossi. Jika tahun ini The Doctor harus bersusah payah meraih gelar juara, bisa dibayangkan bagaimana ketatnya kompetisi musim depan. Dengan pembalap-pembalap muda potensial yang naik kelas, pembalap lama moto gp yang tak kalah hebat ditambah pembalap baru yang memulai uji cobanya di sirkuit Valencia yang menunjukkan hasil lumayan. Namun bagaimanapun Vale adalah The Doctor, sebutan yang bukan sekedar nama. Satu-satunya pembalap yang belum bisa disamai kebesarannya. Dengan kemampuannya dilengkapi dengan semangat untuk menampilkan sebuah race yang apik untuk ditonton menjamin kesengitan perebutan gelar musim depan. Malam itu, aku tidak saja merasa girang melihat adegan ketika The Doctor memasang plat bertuliskan namanya. Aku ikut bertepuk ketika medali dikalungkan ke para pemenang. Dan aku turut senang ketika kunci sebuah mobil mewah berpindah tangan. Sebuah akhir musim yang sekali lagi menggembirakanku yang tergolong telat dalam berpartisipasi mendukung The Doctor. Sebuah kemenangan yang menjawab doaku tahun lalu di tempat yang sama. Semoga sembilan bukan menjadi angka terakhir untuk The Doctor. Sampai jumpa musim depan , Vale ! Aku tak sabar menantikan aksimu dalam meraih gelar ke 10. Terima kasih untuk trans7 yang dengan setia menayangkan ajang balap motor bergengsi dari tahun ke tahun.


Minggu, 15 November 2009

Greatest Poem From Mattie, Music Through Heartsongs

About Things That Matter

It matters that the world knows
We must celebrate the gift of life
Everyday in some way
We must always remember to play after every storm
All children are truly blessed
With the innocent gifts of gentleness, trust and compassion
To guide the wisdom of the grown-ups
We all have a song in our heart that inspires us in good times and in hard times
If we take the time to listen

It matters, it matters, oh, it matters that the world knows
Our senses help discover the hidden and non-hidden
Enchantment in life, if we use them

We must carefully choose our words and wants
Or we could forever hurt others with these dangerous weapons
Strength and value of all things created
Must be measures by character and commitment
Rathe than by might and by wealth

It matters, it matters, oh, it matters that the world knows
Our senses help discover the hidden and non-hidden
Enchantment in life, if we use them

We must heed the lessons of everday life
Through the celebration of children and heartsongs,
senses and words
Or we could lose in our journey to the future

It matters

A person by my name and being existed
With a strong spirit and an eternal mindset
To become a peacemaker for all
By Sharing the things that really matter.

I AM / SHADES OF LIFE

I am black, I am white
I am all skins in between
I am young, I am old
I am each age that has been
I am scrawny, I am fed
I am starving for attention
I am famous, I am cryptic
I am hardly worth a mention
I am short, I am height
I am any frame or stature
I am smart, I am challenged
I am striving for a future

The colour of sky
Is blues and grays
The colour of earth
Is greens and browns
The colour of hope
Is rainbows and purple
And the colour peace
Is people together
Shades of life
People together
Shades of life

I am

I am able, I am weak
I am some strength, I am none
I am being, I am thought
I am all things, said and done
I am born, I am died
I am dust of humble roots
I am grace, I am pain
I am labor of willed fruits
I am slave, I am free
I am bonded to my life
I am rich, I am poor

The colour of sky
Is blues and grays
The colour of earth
Is greens and browns
The colour of hope
Is rainbows and purple
And the colour peace
Is people together
Shades of life
People together
Shades of life

I am

I am shadow, I am glory
I am hiding from my shame
I am hero, I am loser
I am rearning for a name
I am empty, I am proud
I am seeking my tomorrow
I am growing, I am fading
I am hope amid the sorrow
I am certain, I am doubtful
I am desperate for solutions
I am leader, I am student
I am fate and evolutions

I am spirit, I am voice
I am memory, not recalled
I am chance, I am cause
I am effort, blocked and walled
I am hymn, I am heard
I am reasoned without rhymes
I am past, I am nearing
I am present in all times
I am many, I am no one
I am seasoned by each being
I am me, I am you
I am all-souls now decreeing

The colour of sky
Is blues and grays
The colour of earth
Is greens and browns
The colour of hope
Is rainbows and purple
And the colour peace
Is people together
Shades of life
People together
Shades of life

I am


2012

Heboh pemutaran perdana film 2012 yang merupakan visualisasi dari ramalan kiamat suku Maya di tahun 2012 bukannya tanpa sebab. Kiamat yang juga bisa dikatakan sebagai akhir dunia bukan hanya sekedar ramalan namun diyakini kebenarannya oleh umat Muslim di dunia karena telah tertuang dalam kitab suci Al Qur'an dan sabda Rasulullah Muhammad, SAW. Kepastian akan datangnya hari akhir kehidupan alam semesta ini menimbulkan bermacam-macam perkiraan akan tanggal pasti terjadinya kiamat oleh mereka yang berprofesi sebagai peramal, mereka yang mengaku memperoleh penglihatan dan tak ketinggalam mereka yang ingin populer dengan menimbulkan kabar yang pastinya akan menggegerkan. Kalangan bisnis perfilman pun melihat peluang besar dengan kabar seputar kiamat yang diramalkan akan segera terjadi dalam waktu dekat ini. Dan jadilah film 2012 yang mengusung peristiwa kiamat di tahun 2012 ini berpeluang menjadi box office. Kontroversi seputar film ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Sebuah film pada dasarnya adalah sebuah sarana hiburan yang bisa kita ambil hikmahnya. Dengan melihat film 2012 ini kita tidak hanya sekedar turut larut dalam kengerian namun lebih disadarkan akan kebesaran Sang Pencipta. Kita diingatkan kembali kewajiban kita sebagai manusia tidak hanya terhadap Tuhannya juga kepada manusia lain dan alam sekitar sebagai tempat tinggal kita. Lihat saja kondisi sekarang, begitu banyak bencana alam akibat ulah manusia, begitu banyak kemaksiatan terjadi menunjukkan betapa menurunnya iman dan kepercayaan manusia terhadap Yang Maha Kuasa. Perilaku manusia sudah melebihi batas, tak peduli mereka itu siapa, apa yang mereka lakukan akan mencelakai siapa. Negeri ini sedang sakit, bumi terus bergolak. Manusia menggila dengan tingkah amoral mereka. Saling berkelahi, saling menjatuhkan, saling menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang lain. Berebut kekuasaan, berebut harta, menginjak mereka yang tak mau terseret arus kemunafikan. Jika banyak ramalan menyebutkan bahwa kiamat akan terjadi pada waktu sekian, semua itu sah-sah saja. Jika kita mau membuka mata akan sekitar kita, sudah banyak kerusakan alam yang terjadi hingga terus-menerus menimbulkan bencana yang tak sedikit menelan korban. Bukankah yang demikian itu adalah kiamat kecil ? Kapankah manusia sadar akan perbuatannya yang cenderung merusak ? Tidakkah mereka kasihan akan anak cucu yang kelak menanggung akibatnya ? Manusia berlomba-lomba menjarah alam, tanpa memikirkan kelestariannya. Lihatlah hutan-hutan gundul, terumbu karang rusak, sungai-sungai tak lagi mengalirkan air jernih. Hewan-hewan mulai punah akibat rusaknya habitat mereka, suhu semakin tinggi akibat pemanasan global yang lagi-lagi adalah efek dari ulah manusia yang sembrono, cuaca berubah-ubah tak menentu menyulitkan mereka yang mencari nafkah dengan bergantung pada cuaca. Tanah, air, laut bahkan lumpur seolah mengamuk dengan aksinya yang selalu membawa kesengsaraan. Jika terus begini tanpa diramal pun lambat laun kiamat akan terjadi. Meskipun demikian jelas tertulis tak ada yang tahu kapan datangnya kiamat. Tak peduli segala ramalan, lebih bijaksana jika masing-masing melakukan introspeksi bersiap-soap menghadapi hari akhir yang pasti akan datang.

Rabu, 11 November 2009

Semakin Tidak Jelas

"Ayo gabung dengan Facebooker dukung Candra & Bibit ", demikian sebuah kalimat ajakan dari sahabatku. Wah ada apa ini ? Yah akhir-akhir ini aku memang tak berkesempatan mencermati berita terhangat seputar tanah air. Akibat sulitnya mengatur waktu di sela-sela kesibukan monoton yang terjadi nyaris setiap harinya membuatku buta akan peristiwa yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri. Nah mumpung beberapa hari ini aku mendapat kesempatan untuk sedikit bersantai, tanpa membuang-buang waktu dengan cermat aku melahap informasi yang kini sedang ramai diberitakan di media massa. Hari pertama ku lewati dengan menyimak tayangan berbau demonstrasi yang marak digelar di seluruh tanah air dengan tujuan mendukung KPK. Hari kedua kebingungan melingkupi pikiranku ketika mendengar dan menyaksikan perseteruan yang digambarkan demikian sengit oleh sejumlah media antara pihak KPK dan Polri beserta pendukung masing-masing. Pertarungan yang disebut sebagai 'Cicak vs Buaya' semakin memanas dengan berbagai klarifikasi yang diajukan masing-masing pihak.
Wah rupanya apa yang disebut dengan pelemahan KPK oleh para mahasiswa ini merupakan buntut dari penangkapan mantan pemimpin KPK Antasari yang dituduh sebagai dalang pembunuhan pengusaha Nasrudin. Jika aku tidak salah menangkap, semua kekisruhan yang membuat pusing presiden terpilih ini berawal dari munculnya testimoni Antasari yang berisi tentang suap yang terjadi di dalam tubuh KPK. Testimoni yang menggegerkan ini meskipun segera mendapat bantahan dari pelaku tertuduh, mau tak mau menggerakkan pihak berwajib untuk menyelidiki secara tuntas. Bagaikan memancing di air keruh, rupanya ada pihak yang memanfaatkan upaya usut-mengusut ini untuk melemahkan sekaligus meruntuhkan KPK yang notabene sebagai pilar pemberantasan korupsi di tanah air. Penyelidikan Polri yang berujung penonaktifan pimpinan KPK Bibit dan Candra ini oleh sebagian pihak dianggap sebagai usaha untuk melemahkan KPK. Anggapan ini semakin diperkuat dengan munculnya bukti rekaman rekayasa kronologis untuk mendiskreditkan dua pemimpin KPK tersebut. Inilah yang menjadi pangkal permasalahan yang hingga kini semakin berlarut-larut tersebut. Adalah Anggodo sebagai pihak yang dituduh menjadi otak pelaku rekayasa kronologis dengan segera menuju puncak popularitas pemberitaan. Perang klarifikasi dan pernyataan pun dimulai. Situasi semakin panas dengan adanya massa pendukung dari kedua pihak yaitu KPK dan POLRI. Presiden yang namanya ikut tersangkut dalam rekaman pun akhirnya turun tangan dengan membentuk Tim Pencari Fakta untuk menyelidiki benar tidaknya rekayasa pada kasus Bibit dan Candra ini. Pembentukan TPF membuktikan betapa krusialnya masalah seteru antar reptil ini. DPR pun ikut beraksi dengan memanggil satu persatu pihak yang terkait dalam masalah ini. Terhitung dua hari berturut-turut aku layaknya seorang pemerhati situasi tanah air ^^ mengikuti jalannya acara tanya jawab DPR dengan POLRI dan Kejaksaan.
Meskipun sebisa mungkin aku mencermati kemajuan masalah KPK, POLRI, Kejagung dan si fenomenal Anggodo pada akhirnya tidak menemukan kesimpulan apa pun. Harapan untuk menentukan sikap kemana harus memihak nyaris tidak ada. Mendengarkan uraian dari masing-masing pihak justru membuatku semakin bingung untuk memilih. Disini mengatakan begini, disana berargumen demikian, sementara yang lain dengan berapi-api menyatakan diri sebagai korban. Beberapa nama berseliweran berganti-ganti menjadi tertuduh dan korban seolah-olah bunglon yang berubah warna menyesuaikan dengan lingkungannya. Demikianlah apa yang terjadi dengan diriku. Manggut-manggut membenarkan ketika Kapolri menjelaskan alasan mengapa si adik yang sayang kakak belum juga ditangkap. Mengernyit ketika Kejagung curhat masalah makelar peradilan di Indonesia. Membelalak ketika mendengar Anggodo demikian berapi-api menuntut perlindungan dan keadilan akan dirinya dan kakaknya yang memposisikan diri sebagai korban.
Meskipun TPF pada akhirnya menemukan kejanggalan yang sedikit membuktikan kebenaran akan rekayasa kasus Bibit- Candra dan memberi lampu hijau untuk pemeriksaan lebih lanjut terhadap orang-orang yang terlibat, hal itu tidak menjadikan kasus selesai begitu saja. Pertarungan justru semakin sengit dengan munculnya reaksi pembubaran terhadap TPF. Nah loh, ada apa lagi ini ? Pada akhirnya aku sebagai orang awan dalam dunia politik hukum dan HAM ini hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak mengerti. Satu yang jelas kupahami bahwa orang-orang semakin pintar dalam berbicara dan berakting sehingga tidak kelihatan mana yang berkata jujur dan mana yang tidak. Andaikan rekayasa tersebut benar adanya tentu hal ini merupakan langkah mundur bagi semua yang mengharapkan negara bersih dari tangan-tangan jail penjarah kekayaan rakyat. Pelemahan KPK menjadi bukti bahwa orang-orang tidak siap untuk mengabdi dengan jujur kepada negara, untuk menjawab kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat. Praktek-praktek berbau egois yang jelas-jelas merugikan negara demikian mengakar hingga ketakutan akan sebuah institusi bernama KPK berbuah menjadi jalinan kronologis kotor demi membungkam dan menutupi jejak hitam mereka. Misalkan kasus suap benar-benar terjadi dalam diri KPK, tentu ini menjadi hal yang sangat memalukan. Namun yang harus diadili bukanlah institusinya namun oknum-oknum yang terlibat di dalamnya. Bagaimanapun KPK adalah sebuah lembaga yang menjadi ujung tombak pemulihan kebobrokan moral 'tikus-tikus' yang menggerogoti negara. Dan tidak pada tempatnya jika karena segelintir penyelewengan meruntuhkan pilar utama.
Di tengah ketidakjelasan yang membingungkan ini, mau tak mau aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Menanti kebenaran terungkap dan berharap bahwa kebenaran itu bukanlah sesuatu yang direkayasa. Yah sebagai penggemar dunia manga, melihat situasi demikian sambil menyeringai aku berpikir andai sosok Shinichi Kudo, Hajime Kindaichi, Kengo Akechi, Heiji Hattori benar-benar ada, gabungan dari detektif hebat macam mereka niscaya bisa membongkar kenyataan yang sebenarnya ^_^

Jumat, 30 Oktober 2009

Perjalanan


Dua minggu terakhir ini lelah begitu mendera diri ini. Bukan hanya raga namun penat lebih menggelayuti pikiran hingga terasa menyesakkan. Tak terasa setahun telah terlewati sejak perjalanan penuh perjuangan terakhir. Kini saatnya aku memulai perjalanan baru untuk meraih cita-cita sebelum kandas dimakan usia. Namun perjalanan kali ini lebih berat terasa. Di tengah sulitnya mengatur waktu hingga kondisi yang kurang kondusif untuk total dalam perjuangan ini membuatku mengambil kesempatan dengan sekedarnya. Dan dimulailah sebuah perjalanan untuk masa depan yang hingga saat ini belum sampai di penghujung tujuan.
Bermula dari sebuah kota yang akhirnya menjadi salah satu tempat penuh kenangan hingga kota di ujung seberang yang selalu menjadi tempat favoritku untuk berjalan-jalan. Demikianlah dengan beberapa sahabat, bersama-sama kami melintasi kota demi kota untuk mengadu nasib. Tempat pertama berada di tepi pantai utara. Udara panas nan membakar kulit menyapa ketika aku dan teman-temanku memasuki wilayah Tegal. Beruntung di tengah hawa panas menggigit, segala urusan untuk mengikuti seleksi di keesokan harinya bisa diselesaikan dengan cepat. Dan dimulailah malam yang mengingatkankanku akan malam yang sama di tahun sebelumnya. Bermalam di tempat yang sama, merasakan kengerian dan keterpanaan yang sama dan tak lupa bergelut dengan logika yang sama. Namun kali ini separuh malam terlewati dengan canda di tengah-tengah sahabat. Duduk santai sembari menikmati sajian khas kota Tegal di tengah keramaian lengang alun-alun kota Tegal, bertemu dengan kawan lama yang menetap disana, untuk sesaat melupakan kewajiban belajar yang seharusnya menjadi fokus kami malam itu. Yah, malam pun berlalu tanpa mengalami lelap, pagi hari pun menjelang mendorong kami untuk bersiap menghadapi ujian hidup. Usai memeras otak sembari bersimbah peluh akibat bernaung di bawah kanopi di tengah terik mentari, kami pun melanjutkan perjalanan untuk kembali pulang. Betapa lelahnya aku saat itu, meskipun belum puas mengistirahatkan tubuh yang terlanjur pegal-pegal aku tetap harus menjalankan kewajibanku pada keesokan harinya. Dan perjalanan pun berhenti untuk sementara.
Sehari pun berlalu, dan tiba saatnya aku untuk bersiap kembali menempuh perjalanan berikutnya. Kali ini aku bersiap dengan semangat, menata keperluan untuk 3 hari, menyiapkan oleh-oleh untuk saudara tua, dan tak lupa membawa bekal lebih dari perjalanan sebelumnya. Maklumlah tujuan berikutnya mempunyai efek samping yang sangat menggiurkan setelah lama tidak kujejakkan kaki kesana. Betapa gembiranya aku sesampainya di sana. Bertemu dengan sahabat yang kurindukan, sahabat yang selama ini hanya bertukar kata lewat dunia maya. Kebutuhan untuk bercerita sembari bertatap muka pun terlaksana. Larut dalam canda di tengah keramaian warung tenda. Bersama memasang radar di tempat asing nan megah. Bersama diguyur hujan demi segepok buah tangan. Demikianlah meskipun satu dua kejadian yang patut disesali tiga hari di Jogja berlalu dengan cepat. Ah betapa ingin aku kembali kesana dalam waktu dekat, memuaskan keinginan yang belum sempat tercapai saat itu. Ingin kususuri kembali sepanjang jalan yang oenuh dengan panorama menarik. Ingin ku lewati tangga sempit menuju tumpukan buku-buku lama yang selalu membangkitkan kegairahanku. Ingin kucecap aneka rasa kelezatan makanan favoritku yang sulit kutemukan disini. Ingin ku berkubang di tengah karakter-karakter favoritku. Begitulah di tengah perjalanan kembali, di tengah dentingan dawai gitar nan mempesona dari seniman jalanan, di tengah hawa dingin menusuk, aku berharap untuk kembali suatu saat nanti. Dan perjalanan pun kembali berhenti untuk sementara.

Selasa, 13 Oktober 2009

Shotakon


"Shotakon ?!! Itukan.....", celetukan tersebut spontan terlontar dari pikiran seseorang ketika mendengar pengakuanku. Tentu saja aku tertawa geli mendengar komentar tersebut. Istilah shotakon mungkin masih asing di telinga, namun bagi penggemar manga istilah-istilah tersebut akrab dijumpai beserta beberapa istilah khas manga lainnya. Shotakon merupakan akronim dari kata shota dan complex yang berarti menyukai bocah kecil. Jika lolicon lebih ke arah menyukai anak perempuan, maka shotakon cenderung menyukai bocah laki-laki. Jika ditanggapi selintas kilas, pernyataanku bahwa saat ini aku seorang shotakon mungkin terdengar negatif. Tak heran jika temanku itu merasa kaget ^^. Eh tunggu dulu, silakan simak penjelasan lebih lanjut sebelum berkomentar.
Berhubung sejak kecil aku tergila-gila dengan membaca komik, kebiasaan tersebut terus melekat bahkan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Perkembangan manga yang demikian pesat tidak hanya dari sisi gambar namun juga kompleksitas cerita, membuatku semakin lengket dengan judul-judul komik Jepang tersebut. Tak sedikit serial manga yang kini menjadi koleksi istimewaku. Sesuai dengan sifatku yang mudah larut dalam sebuah cerita entah itu film atau buku, setiap kali aku menemukan manga yang menarik aku pun dengan segera jatuh cinta pada tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Tak cukup dengan hanya mengoleksi serial komiknya, aku melengkapi kekagumanku dengan memburu pernak-pernik dan tak ketinggalan keping-keping cd yang merupakan versi anime dari manga tersebut. Karakter-karakter seperti Tezuka, Shinichi Kudo, Kyo Soma, Sanji, Kenshin dan masih banyak deretan nama karakter lainnya seolah hidup dalam dunia fantasiku. Kelebihan dan kekurangan masing-masing karakter tanpa disadari membentuk sosok impian dalam hidupku. Inilah yang kusebut dengan shotakon versiku. Mengapa harus shotakon ? Yah jika dicermati sebagian karakter favoritku tersebut tergolong muda. Yang paling muda tentu saja si bocah pintar Conan Edogawa yang masih duduk di kelas 1 SD ^^. Demikianlah aku dan teman-teman yang sama-sama bergelut di dunia manga tanpa malu menyebut diri dengan shotakon. Bukan karena menderita penyakit kejiwaan, namun karena kecintaan kami (ku) akan manga. Meskipun ada yang menganggap aneh jika mengingat usiaku sekarang, bagaimanapun kegemaran yang sudah mendarah daging ini tidak bisa kusingkirkan. Sebab di situlah aku mampu mengembangkan seluruh imajinasiku, sejenak melupakan masalah di dunia nyata, ikut berkelanan dalam berbagai petualangan.
"Oh....begitu", demikian akhirnya sebuah pemahaman muncul dari teman yang juga penggemar manga dan anime. Yah memang begitu. Sekarang ini pun waktu-waktu yang seharusnya untuk beristirahat kugunakan untuk berjuang dalam turnamen nasional bersama pangeran-pangeran tenis di Seigakku, berkelana menebarkan kebaikan untuk menebus dosa di masa lalu bersama Sang Battosai, melewatkan masa sekolah yang penuh kenangan dalam Extra Kobayashi, berpetualang demi menjadi raja bajak laut dipimpin oleh kapten Luffy, menebar kengerian yang berawal dari niat baik Light Yagami, dan tentu memecahkan kasus-kasus dengan bantuan Conan alias Shinichi Kudo. Meskipun ada saatnya aku merasa bosan namun pada akhirnya kepada mereka aku selalu kembali untuk menyegarkan diri.

Rabu, 07 Oktober 2009

Pahit

Seperti hari-hari sebelumnya hari ini diawali dengan tanpa semangat. Tubuh terasa lesu akibat kurang tidur, bukan karena maraton nonton dorama , melainkan mata sulit terpejam terganggu batuk-batuk selama dua jam penuh di tengah malam. Tak pelak lagi aku menunaikan kewajiban dengan setengah hati, bagaimana tidak jika badan terasa penat di bagian tertentu akibat tekanan ketika menahan batuk, hidung mampet dan pusing kepala akibat kurangnya jatah tidur. Untunglah hari berlangsung dengan santai tanpa kesibukan dan kesulitan berarti. Ditemani musik penenang dan obrolan singkat di siang hari dengan teman di kejauhan sana, akhirnya sore pun menjelang. Namun kejadian pahit yang selama ini berusaha kuhindari terjadi juga. Di saat tubuh dan pikiran telah mencapai batas ketegaran, tak disangka pukulan yang lebih menohok ke batin datang juga. Ingin rasanya aku memaki-maki, melempar sesuatu ke wajah seseorang saat itu juga, namun dengan menahan marah aku tetap harus menampilkan wajah tersenyum.
"Pembeli adalah raja ", demikian ucap seseorang yang telah lama berkecimpung di bidang ini. Namun jika seorang raja menjadi raja lalim alias keterlaluan apa iya bawahan harus tetap tunduk dan melaksanakan perintah ? Bukankah banyak contoh pemimpin-pemimpin lalim yang tumbang oleh pemberontakan rakyat ? Ops, jangan disamakan antara raja yang ini dengan raja sesungguhnya. Aku tentu menyadari kelangsungan hidupku juga tergantung pada konsumen sebagai salah satu faktornya. Apalagi di tengah persaingan yang kian memanas, segala manuver mulai dari banting harga hingga servis habis-habisan diutamakan. Namun jika harus mendengar nada-nada menggurui sekaligus merendahkan itu lagi, mana mungkin aku bisa menahan diri seperti hari ini untuk kesekian kalinya. Dengan pribadiku yang cenderung emosional dan sensitif ini situasi demikian sungguh tak tertahankan !
Salahkah jika orang bertanya jika tidak tahu ? Haruskah seseorang menjadi segala tahu di waktu yang demikian singkat ? Memang benar jika seseorang memberitahu pada mereka yang tidak mengerti. Tapi apakah penjelasan itu harus dengan cara yang demikian kasarnya ? Itulah dalam hati aku benar-benar marah. "Baka, kuso, damn, sgarbato, pfuit..." seribu umpatan kukeluarkan dalam pikiran. Memangnya aku ini tuli, dungu sehingga harus diberitahu dengan suara lantang berkali-kali ? Kemarahanku pun merambat hingga titik tertinggi, sampai-sampi tak kuasa menahan air mata akibat emosi yang mencapai puncak. Radius kemasygulanku pun bertambah lebar menciprati mereka-mereka yang tidak bersalah. Akibatnya nada-nada ketus dan raut muka sangar pun menjadi pertanda emosiku sore ini. Ah, kenapa sih mereka tidak mau membantu ? Kenapa mereka tidak segera mengambil alih, meskipun tahu aku ini belum mengenal segalanya dengan baik ? Puih, beginilah rasanya mencari rejeki di bawah seorang juragan.
Rupanya sampai saat ini aku belum bisa beradaptasi dengan lingkunganku sekarang. Jika mengingat pekerjaanku dulu, ditambah kejadian hari ini aku semakin menyadari ini bukanlah tempatku. Jiwaku lebih tertarik untuk menyalurkan pengetahuanku kepada mereka yang membutuhkan bimbinganku. Di tengah kerumunan anak, dikelilingi dengan lembaran soal-soal terasa menyegarkan untukku. Mungkin karena aku terbiasa berada di posisi yang lebih tinggi, terbiasa dengan kata 'mengajar' menjadikanku sangat sulit untuk menerima semua ini. Kebiasaan menjadi yang lebih tua dan dihargai membuatku sulit menerima situasi yang penuh dengan suara lantang dan kalimat-kalimat kasar. Ah semoga kepahitan yang kutahan selama ini menjadi awal dari kehidupan yang lebih baik.

Sabtu, 03 Oktober 2009

Batik, Gempa dan Wakil Rakyat

Jumat tanggal 2 Oktober lalu status yang tertera pada jejaring sosial facebook hampir semua berkomentar tentang batik. Sehari sebelumnya aku pun sempat membaca sebuah ajakan untuk berpartisipasi mengenakan batik pada hari tersebut. Tak ketinggalan, program televisi apapun jenisnya juga secara eksklusif menayangkan berita seputar batik. Meskipun di tempat aku berada tidak terlihat antusiasme tentang batik dari tayangan televisi dan komentar teman-teman di facebook aku bisa menyimpulkan betapa hari itu Indonesia berubah warna menjadi batik. Sebagian besar orang terutama pekerja kantoran dengan sukacita mengenakan batik. Ada apa gerangan ? Rupanya pesta kostum dengan tema batik itu merupakan bentuk kegembiraan warga negara Indonesia atas dikukuhkannya batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Pengakuan ini menjadi penting untuk Indonesia tak lain karena beberapa waktu belakangan ini banyak budaya maupun hasil karya anak negeri yang diakui kepemilikannya oleh negara lain. Sebut saja peristiwa lepasnya beberapa pulau yang seharusnya tergabung dalam NKRI, pengakuan akan hak paten tempe, pengakuan kepemilikan akan lagu dan tarian daerah. Semua pasti mahfum siapa (baca: negara mana) yang dengan seenaknya dan bersikeras menjiplak kalau tidak bisa dibilang mencuri akan produk. dalam negeri tersebut. Nah, penetapan batik Indonesia oleh UNESCO yang notabene badan dunia di bawah naungan PBB tersebut merupakan kemenangan atas perjuangan Indonesia atas klaim batik oleh negara tertentu. Wajar jika pada hari itu warga Indonesia tanpa harus dikomando memakai batik yang menyatakan "Inilah batik Indonesia". Yah, batik meskipun sempat diklaim oleh bagsa lain memang benar-benar Indonesia. Batik tersebar di berbagai daerah dengan ciri khas masing-masing. Motif pun beraneka ragam dan terus bertambah dengan lestarinya pengrajin batik. Batik tidak sekedar coretan di sehelai kain, namun dibalik lekuk leku gambar dan warna batik mempunyai arti yang diyakini kebenarannya oleh rakyat setempat. Jadi jika batik sampai diakui kepemilikannya oleh negara lain, sungguh sebuah hal yang mencoreng muka Indonesia.
Pengakuan dunia akan batik Indonesia merupakan sebuah hiburan tersendiri ketika tanah air sedang dilanda kedukaan beruntun. Belum hilang trauma akan gempa Jawa Barat, gempa dasyat yang memang sudah diramalkan sebelumnya kembali mengguncang bumi pertiwi. Aku tak berani membayangkan seperti apa yang dirasakan saudara-saudara kita di Padang sana. Yah, guncangan kecil beberapa waktu lalu yang terasa di tempatku sekarang pun sudah membuat panik warga setempat, tak terbayang kengerian yang dirasakan mereka yang berada di pusat gempa. Memang Indonesia yang terletak di antara dua lempeng benua menjadi rawan akan bencana alam. Namun pengertian akan kondisi alam tersebut tidak mengurangi ketakutan akan bencana yang sewaktu-waktu terjadi dan sulit untuk diprediksi. Lihat saja gempa sebesar lebih dari 7 skala Ritcher yang berpusat di Padang ini. Betapa banyak rakyat yang menjadi korban, betapa banyak kerugian yang ditimbulkan. Disaat para wakil rakyat baru dilantik, disaat pemerintah mengucurkan dana milyaran rupiah demi suksesnya acara, gempa dasyat menjadi kado pertama untuk didedah pemerintahan baru nantinya. Ah, semoga gempa kali ini tidak lebih buruk adanya dengan penanganan yang tidak efektif. Jangan sampai sudah jatuh tertimpa tangga pula. Namun naga-naganya kemalangan beruntun tetap terjadi seperti bencana-bencana sebelumnya. Jika apa yang diberitakan itu benar, kemana solidaritas itu pergi ? Harga tiket yang melonjak, bantuan yang tak kunjung didistribusikan, dan entah apa lagi kesalahan serupa yang semakin memperburuk keadaan. Untunglah ada itikad baik dari wakil rakyat terpilih dengan menyumbangkan gaji pertama mereka untuk membantu korban gempa. Semoga niat baik ini tidak hanya terjadi di awal saja, namun tetap dipertahankan sampai kemudianhari ketika rampung masa jabatan mereka. Tunjukkan bahwa apa yang disebut wakil rakyat benar-benar menyuarakan aspirasi rakyat. Buktikan bahwa kali ini lebih baik dari sebelumnya, bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa mengharapkan apa yang disebut dengan balik modal.

Kamis, 01 Oktober 2009

Melodi Nan Pelik


" Lagu apaan sih ? Seriosa ya ? Kok, senenge musik kayak gini ?", itu dan masih ada sederet komentar serupa dari orang-orang di sekitarku ketika mendengar daftar file music di perangkat baruku. Kadang aku tak kuasa menahan jengkel ketika mendengar nada meremehkan dari mereka yang notabene tidak tahu namun sok tahu sehingga merasa cukup valid untuk menentukan bagus tidaknya sebuah pilihan. "Selera orang kan berbeda !", ucapku setengah geram ketika untuk kesekian kalinya aku menerima kata-kata nyinyir seseorang. Hmmph...di zaman reformasi alias bebas berpendapat begini masih ada saja personal yang tidak menghargai pikiran (baca : kesukaan) orang lain.
Pepatah lain 'ladang ladang lain belalang' memang benar. Jika komunitasku dulu cenderung menerima bahkan ikut menikmati apa yang menjadi kegemaranku, lingkunganku sekarang amat sangat berbeda. Meskipun wajar jika ada perbedaan apalagi ketika menyangkut hobby dan seputarnya, namun ketika timbul pendiskreditan mau tak mau emosi pun ikut bicara. Berhubung aku tidak suka ribut-ribut karena masalah sepele, walhasil satu dua sahabat dan terutama wahana blog inilah yang menjadi tempat sampah alias penampungan unek-unek atau lebih tepatnya caci maki yang menumpuk di batin. Namanya juga sahabat, usai berkeluh kesah hati menjadi ringan dengan guyuran simpati atau pun dukungan moril alias ikut naik darah ketika mendengar ceritaku ^^.
Apa sih masalahnya ? Ya, penyebab naik turunnya emosiku kali ini berkisar soal musik, lagu , irama, tembang atau apalah istilahnya untuk menyebut nada-nada apik yang dirangkai menjadi jalinan melodi indah. Aku sendiri pun maklum jika ada orang yang menyebut seleraku terhadap musik aneh. Dengan situasi tempat aku berada dari dulu hingga kini memang kurang pada tempatnya jika mempunyai selera musik demikian. Entah sejak kapan aku mulai menggemari musik instrumental, lagu-lagu seriosa hingga musik yang disebut musik klasik. Meskipun aku sama sekali buta tentang musik klasik (boro-boro memainkan alat musik ^^), telingaku merasa nyaman dengan nada-nada genre tersebut. Sempat vakum beberapa lama akibat kesibukan dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk enjoy dalam kehangatan sebuah lagu seperti dulu, akhir-akhir ini kecintaanku akan musik barat dari abad 18 hingga abad 19 tersebut kembali bangkit. Ada apa gerangan ? Rupanya hobbyku yang satu dengan yang lain berhubungan. Bermula dari sebuah manga (komik Jepang) berjudul Nodame Cantabile yang berlatar belakang pianis, musik klasik, concerto, dan sebagainya inilah ketertarikanku terhadap musik yang menggunakan peralihan dinamik dari lembut sampai keras kembali tergugah. Kekagumanku akan musik dengan akor 3 nada ini semakin bertambah ketika secara nonstop aku menyaksikan versi dorama dari komik tersebut. Kepiawaian akting si pemeran utama membuatku semakin larut dalam sonata karya Mozart, Brahms, Beethoven maupun Rachmaninoff. Gara-gara kesengsem berat dengan si konduktor yang jago memainkan piano dan violin, beberapa hari belakangan ini aku menyempatkan diri untuk berburu karya-karya jenius musik klasik tersebut. Jadilah file musikku penuh dengan gubahan orkestra ataupun solo piano yang memainkan sonata, symphony terkenal. Inilah yang menjadi sumber percekcokan diam-diamku. Namun demikian, apapun yang terjadi kecintaanku akan musik ini tidaklah surut. Di tengah heningnya malam, di saat jiwa tidak tenang, tatkala mata sulit untuk terpejam, alunan piano dan lantunan dawai violin meluruhkan gundah dan sedikit demi sedikit lilitan depresi mulai mengendur. Dan pada akhirnya kantuk yang tak kunjung tiba pun mulai menyapa. Inilah sekelumit cerita di balik berjuta puji syukurku akan karunia panca indera yang demikian sempurna. Bagaimanapun peliknya aku setuju saja dengan idiom "emang gue pikirin !!!"

Minggu, 27 September 2009

Minal Aidzin Wal Faidzin

Sepertinya agak terlambat untuk menulis seputar judul di atas. Namun apa boleh buat gara-gara asyik bereksperimen ucapan yang sudah terpublikasi minggu lalu raib akibat kesalahan kecil nan fatal. Beginilah tahun ini aku mengalami lebaran yang penuh warna. Meskipun sedikit 'garing' karena acara kumpul tahunan absen tahun ini karena sulitnya mengatur waktu dan berbagai hambatan lainnya, bisa dikatakan lebaran kali ini aku mendapatkan sesuatu yang baru. Bukan barang baru ( yah ada benarnya juga si ^^) melainkan pengalaman baru. Ya untuk pertama kalinya aku merasakan lebaran para pekerja. Jika dulu setiap lebaran kulalui dengan libur panjang mengikuti kalender pendidikan, kali ini aku hanya sempat mengenyam libur tiga hari. Sebuah aturan tak tertulis untuk kalangan pekerja yang berkecimpung di dunia jasa seperti aku ini. Lebaran justru merupakan momen penting untuk meraup untung sebesar mungkin, tak pelak lagi aku beserta golongan senasib harus mengatur jadwal silaturahmi dengan ketat. Untuk pertama kalinya pula aku merasakan antusiasme pekerja menunggu datangnya THR. Yeah, meskipun sempat was-was tidak kebagian jatah karena belum genap setahun aku disana, akhirnya aku tak henti-hentinya meringis ketika mendapat bagian yang jauh di luar dugaan ^^.
Lebaran, layaknya tahun-tahun sebelumnya lebaran ditandai dengan tumpah ruah orang di pusat perbelanjaan entah tradisional maupun modern. Segala isu krisis seakan tak menghalangi kegembiraan menyambut Idul Fitri yang identik dengan ketupat dan baju baru. Meskipun harus lebih cermat dalam mengatur anggaran, para pengusaha di bidang barang dan jasa tetap kebanjiran rejeki yang memang ditunggu-tunggu tiap tahun. Tak ketinggalan acara mudik menjadi agenda tersendiri di hari lebaran ini. Baik yang merayakan atau pun yang tidak semua turut andil membuat jalan macet. Sebuah rutinitas yang melelahkan dan tak jarang menelan korban namun sukar untuk dilewatkan. Maka jadilah aku menghabiskan hari dengan memandang antrian kendaraaan bermotor hingga mata pun berkunang-kunang. Asyik mengamati petugas yang sibuk mengatur arus lalu lintas di tengah terik matahari dan kepulan debu. Tak sabar ketika menyaksikan ulah usil pengendara yang menyerobot, menggerutu dalam diam ketika melihat preman kampung mengeruk nafkah dari pemudik yang lewat. Lebaran, akankah selalu demikian adanya ? Di tengah kegembiraan tewasnya gembong teroris yang membuat nafas lega, bibit kejahatan seakan tak putus-putusnya menodai kesakralan Idul Fitri. Rupanya berbagai pembenahan pendidikan moral perlu direvisi demi mengantisipasi pudarnya kesetiakawanan dan welas asih antar umat. Semoga dengan kepemimpinan yang baru mampu membawa bangsa menjadi lebih baik lagi. Selamat Idul Fitri 1430 H, Mohon maaf lahir dan batin.

Rabu, 09 September 2009

Parcel Lebaran


Dua minggu terakhir ini aku benar-benar berada di puncak kelelahan. Meskipun bersyukur di siang hari aku tak lagi bengong menghabiskan waktu menunggu jam kerja usai, sedikit banyak aku merasa berat. Baru beberapa waktu lalu aku berbincang-bincang dengan sahabatku mengenai jiwa konsumtif masyarakat Indonesia yang tak kenal resesi ekonomi. Ketika kondisi finasnsial sedang gonjang-ganjing pun tak menyurutkan hobi belanja masyarakat terutama di saat-saat istimewa seperi menjelang hari raya Idul Fitri sekarang ini. Menjelang lebaran, beberapa usaha mendapat kesempatan untuk meraup untung sebesar mungkin. Siapa sih yang tidak ingin hari istimewa umat Muslim dirayakan dengan lebih dari hari-hari biasa ? Demikianlah, imbas dari hari raya membawa efek samping kerja lembur untukku dan teman-temanku. Memang budaya pemberian parcel sudah dilarang di kalangan pejabat, namun tidak di kalangan pekerja dan majikan. Lebaran identik dengan THR beserta parcel pelengkap. Inilah yang menjadi pekerjaan tambahanku selama dua minggu ini. Tak kurang dari dua ratus bingkisan lebaran alias parcel menanti untuk ditata dengan apik. Tak ayal lagi, keluh kesah dan gerutu lirih bertebaran di antara aku dan teman-teman tim pembuat parcel. "Memang pikiran orang kaya dan tak berduit beda", kata seorang teman. Mengapa berbeda ? Ya, bagi sang bos keindahan lebih diutamakan dalam membuat parcel, sedangkan bagi golongan pekerja seperti kami-kami ini lebih memandang isinya ^^ Walau mengomel mau tak mau tangan-tangan kami bekerja cepat sembari mulut menyerocos, menggumam alangkah tak perlunya semua hiasan macam bunga ataupun keranjang hias itu.
Memang jika dipikir-pikir parcel lebih pada sekedar akal-akalan yang muncul dari ide kreatif pelaku pasar untuk menaikkan angka penjualan suatu barang. Seni dan keindahan hingga kini dianggap bernilai sehingga tatanan benda-benda yang sebenarnya biasa ditemui sehari-hari nampak unik dan menggiurkan. Tak heran jika beberapa tahun lalu, usaha parcel demikian merebak terutama pada waktu-waktu tertentu. Sayang, sejak parcel disalah gunakan oknum untuk mencari keuntungan pribadi yang cenderung negatif, menyebabkan usaha parcel mengalami kemunduran yang cukup berarti. Belum lagi ulah pelaku nakal yang mengisi parcel dengan barang-barang kadaluarsa yang tak layak saji demi meraih keuntungan besar. Kondisi demikian benar-benar menjatuhkan penggusaha parcel yang sebenar-benarnya.
Demikianlah lambat laun parcel sudah tidak menjadi tren di hari raya. Orang lebih memilih 'mentahnya' alias bingkisan berupa lembaran uang yang jelas lebih berguna untuk kebutuhan mendesak. Namun sekali lagi tidak demikian halnya dengan apa yang terjadi di tempat kerjaku. Sang bos hingga kini tetap yakin bahwa aneka makanan lebih cantik jika dibentuk dan ditata layaknya parcel komersil. Walhasil pekerja pun harus lembur menghias keranjang, membentuk mukena menjadi bunga cantik dan menata sembako dalam keranjang dengan rapi.

Selasa, 25 Agustus 2009

Rendevouz

Tak terasa bulan Ramadhan telah tiba. Tak terasa pula sudah lewat enam bulan aku menjalani kehidupan baruku. Tak terasa setahun sudah masa ketika terakhir kali aku berperan menjadi seseorang yang kuimpikan dan selalu kuinginkan hingga kini. Ah, rasanya baru kemarin aku bersendau gurau dengan mereka. Enam bulan nan penat pun berhasil kulewati dengan baik, meskipun ada sedikit ganjalan disana-sini, setidaknya saat ini aku masih bisa bertahan. Omong-omong tentang penat, akhirnya hari yang kutunggu-tunggu tiba ! Saatnya untuk bersantai sejenak, melepas rindu dengan hingar bingar kota Satria. Meskipun rencana sedikit berantakan karena hal-hal yang sudah kuduga namun tetap membuatku jengkel ^^, jadi juga aku berkumpul dengan sobat-sobatku tersayang. Sehari dua malam aku menghabiskan waktu dengan bercengkerama dan menuntaskan keinginanku untuk kembali mencecap aneka masakan nan lezat, khas kota tempat aku menyelesaikan studi dulu. Saking banyaknya macam penganan yang jauh-jauh hari sudah kurancang untuk kunikmati, tak pelak jarum timbangan bergerak naik ^^. "Masa bodohlah ", pikirku. Ya, kesempatan untuk bertandang rutin ke kesana seperti tahun lalu memang telah jarang. Wajar jika libur sehari bertepatan dengan perayaan hari kemederkaan bangsa ini kugunakan dengan sebaik mungkin. Aku bahkan merelakan rencana B-ku di hari itu. Hasilnya sungguh bahagia tak terkira ! Layaknya baterai yang telah berkedip-kedip, dua hari itu kugunakan untuk 'mengecas' penuh-penuh semangatku. Ditemani adik dan sahabat tercinta, aku memuaskan diri untuk kembali menyusuri rute-rute yang dulu biasa kutempuh ketika ingin refreshing sejenak. Kaki pegal, tenggorokan sakit akibat batuk yang tak kunjung sembuh tak mengurangi kegembiraanku akan wisata hari itu. Udara subuh nan segar mengingatkanku akan keberadaan sahabat (Sasuke-kun) yang sayangnya tidak bisa turut dalam temu kangen waktu itu. Walau mata berat akibat kurang tidur, badan lesu karena kelelahan berjalan-jalan tak mengurangi keceriaanku akan hari itu. Thank you very much Kyon, Signora Kaka !
Bulan Agustus menjadi bulan favoritku tahun ini. Bulan dimana akhirnya aku bisa berkunjung kembali ke tempat favoritku. Bulan dimana aku bisa puas mencubit pipi chubby Kyon ^^. Bulan dimana dia ada di dunia ini (meskipun nyaris aku melupakannya kalau saja aku tidak memimpikannya ^^). Bulan dimana aku menghabiskan malam dengan memelototi karakter favoritku. Bulan dimana aku bisa membaur dengan lingkungan dengan lebih baik lagi. teristimewa di penghujung bulan, tibalah saat untuk meraih pahala sebesar-besarnya. Marhaban ya Ramadhan, selamat menunaikan ibadah puasa !

Kamis, 13 Agustus 2009

Fresh


Terkungkung dalam rutinitas pada akhirnya selalu membuatku jenuh. Layaknya seorang Gemini yang pembosan, aku tidak betah mengerjakan suatu hal dalam waktu lama. Sayangnya sesuatu itu kali ini mau tak mau harus kujalani dan entah sampai kapan akan berakhir alias berganti ke hal yang baru. Setiap hari berangkat pagi, pulang sore waktu pun dengan cepat berubah ke malam dan kembali lagi pagi menjelang. Begitulah yang kurasakan, waktu seakan bergulir demikian cepatnya meskipun dari dulu jumlah detik dalam satu hari tetap sama.
Untuk sekedar menekan jenuh malam hari pun kuisi dengan berbagai macam aktivitas favoritku. Jika tidak sedang kelelahan, dalam posisi santai aku tenggelam dalam petualangan vampir keren yang buku dan filmnya sedang laris manis di pasaran. Usai terpesona berat dengan vampir vegetarian aku pun beralih menghibur diri dengan maraton serial klasik hasil rampokan dari seorang teman ^^. Menilik gambar sampulnya dan membaca review di cover belakang aku sempat sangsi akan keapikan serial ini plus aku sama sekali tidak mengenal para pemain utamanya. Iseng-iseng aku pun memutar seri perdananya, dan tak perlu menunggu ke seri-seri berikutnya aku sudah sepenuhnya tertarik dengan jalinan cerita serial berjudul Four Warrior ini. Ya, aku yang keranjingan dengan detektif Conan bisa dipastikan akan menyukai kisah-kisah bergenre serupa. Apalagi latar belakang cerita yang mengambil tempo zaman dinasti Sung yang sudah tentu atribut macam pakaian, rumah, dan pemandangan disesuaikan dengan masa itu. Aku pun bernostalgia dengan hamparan pegunungan batu yang khas negeri tirai bambu, kibasan kipas kertas, gemulainya perempuan cantik dalam balutan tradisional China kuno dan kewibawaan tokoh utama pria dalam berbicara dan bertindak. Dalam sekejap aku pun larut dalam ketegangan ketika menguak kasus demi kasus. Saking seriusnya aku menikmati kepiawaian detektif jadul dalam menelusuri kasus tak terasa tiga hari berturut-turut aku tidur teramat sangat larut. Meskipun pagi harinya aku terkantuk-kantuk, hati terasa puas dan stress sedikit menipis. Demam serial ini pun berlanjut akan kegemaranku mendengarkan musik dan lagu oriental. Beberapa hari berikutnya aku ayik berburu lagu-lagu dengan musik oriental yang kental. Ah, damai rasanya mendengarkan melodi mellow diiringi dentingan kecapi dengan lirik yang dinyanyikan dengan indah dalam bahasa yang sangat kusukai. Jadilah hari demi hari kulewati dengan senandung musik oriental, mengenang kembali kegemaranku di masa lalu. Waktu luang di siang hari pun tak lagi kuhabiskan dalam kantuk melainkan terisi dengan adegan-adegan dramatis dan kelebatan sosok rupawan detektif era dinasti Sung.

Senin, 03 Agustus 2009

Manusia

Perbedaan pandangan dalam menyikapi suatu hal memang lumrah terjadi. Yang menjadi masalah adalah ketika perbedaan itu menjadi bibit perselisihan tanpa adanya usaha untuk mengambil solusi terbaik. Perbedaan semakin meruncing ketika ego masing-masing lebih dominan dari akal sehat untuk lebih bijaksana dan mencoba memahami pemikiran orang lain. Baru-baru ini aku mengalami pengalaman berharga meskipun sedikit menjengkelkan. Kurang lebih lima bulan aku menghabiskan hari dengan duduk manis, mengamati hiruk pikuk kendaraan yang semakin hari makin memenuhi jalan bergelombang akibat tak kuat menahan beban berton-ton tiap menitnya. Lokasi tempatku mencari penghasilan terletak di sebuah perempatan. Meskipun pasar tradisional sudah direlokasi rupaya kepadatan di daerah tersebut masih parah. Hilir mudik kendaraan seakan tak pernah berhenti dengan kecepatan yang berbeda dan pada umumnya melaju cukup kencang. Tak urung kecelakaan acapkali terjadi terutama dari kendaraan yang melaju dari arah timur-barat dengan kendaraan yang hendak menyeberang ke utara-selatan. Aku pun sering menjadi saksi keteledoran pengendara yang tak jarang berbuah kecelakaan maut. Demikianlah kondisi jalan yang menikung, dan bergelombang tanpa adanya traffic light yang mengatur laju kendaraan ditambah pengendara yang kadang sembrono menjadi penyebab kecelakaan terjadi di sekitar perempatan tersebut. Sehubungan dengan hal itu, aku pun berpikir alangkah baiknya jika traffic light diadakan untuk mengurangi kecelakaan akibat proses menyeberang sembarangan. Rupanya tidak hanya aku yang berpikir demikian, teman-teman yang sama-sama menjadi saksi setiap terjadi kecelakaan pun berpendapat serupa. Aku pun memutuskan untuk mengirimkan sms saran ke rubrik Piye Jal di sebuah harian yang memang diadakan untuk menampung saran, kritik dan unek-unek pembaca. SMS yang berisi sebuah pendapat sehubungan dengan respon adanya traffic light baru yang justru menyebabkan macet dan keefektifan traffic light jika dipasang di perempatan lokasi tempat kerjaku sekarang. Tiga hari kemudian smsku pun terpampang di harian tersebut, "wah, semoga pihak terkait mau menanggapi dengan segera dan mengambik tindakan terbaik", demikian pikirku. Nah, tak lama kemudian hpku berdering, pertanda ada pesan masuk. Waktu kulihat pesan berasal dari nomor tak dikenal. Betapa kagetnya aku ketika aku membaca pesan tersebut. Rupanya pesan tersebut merupakan respon dari smsku ke rubrik Piye Jal. Serta merta aku merasa jengkel bukan main. Aku pun mencoba untuk bersabar dan lebih arif, kutekan keinginanku untuk balas memaki-maki pengirim sms tersebut. Bukannya mendapat respon positif, kalimat bernada marah dan cenderung tidak sopan alias menghina terpampang di layar hpku. Dalam hati aku bertanya-tanya siapa dan apa posisi si pengirim sms sampai mengeluarkan kata-kata tersebut. Bukannya ikut mendukung pengadaan traffic light, si pengirim justru mempertanyakan pola pikirku. " Apa gunanya rumah sakit, apa gunanya traffic light", demikian sedikit isi sms tersebut. Waduh, ada apa nih ? Bukankah dengan adanya traffic light justru menambah keamanan penyeberang jalan sehingga memperkecil angka kecelakaan ? Apakah si pengirim berkepentingan dalam artian mendapat keuntungan jika terjadi kecelakaan ? Mau tak mau berbagai pertanyaan pun muncul di benakku. Akhirnya dengan hati-hati aku membalas sms tersebut, dengan merendah aku menjelaskan alasan mengapa aku berpendapat bahwa traffic light lebih efektif jika ditempatkan di perempatan. Sayangnya harapanku untuk mengenal lebih jauh si pengirim tidak terwujud. Hingga kini tidak ada respon dari sms balasanku yang lumayan panjang itu. Padahal aku ingin mengetahui apa alasan si pengirim hingga bereaksi demikian keras.
Ya, pikiran dan hati setiap orang memang berbeda. Namun tidak semestinya emosi dan ego masing-masing dikedepankan tanpa mendengar alasan seseorang dalam berbuat dan berucap. Sayangnya inilah kelemahan bagi sebagian orang. Tanpa memahami duduk perkara langsung saja menuding yang tidak-tidak. Saran dan pendapat yang tidak sejalan dengan pikirannya langsung divonis sebagai bentuk penentangan. Hmmm....agaknya manusia harus lebih giat belajar untuk mengontrol emosi. Hal yang amat susah untuk dilakukan. Lihat saja wakil rakyat kita yang berulang kali nyaris baku hantam di ruang sidang. Cermin buruk emosi yang kurang terkontrol sehingga adu mulut dan fisik menjadi solusi dalam sebuah permasalahan.

Sabtu, 25 Juli 2009

Tamu Dari Bali

Penat yang melanda sekujur tubuh setelah seharian beraktivitas membuatku jatuh tertidur di tengah kebimbangan akan kepastian kedatangan seorang sahabat. Begitu terbangun waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lewat, dengan heran aku menyambar handphoneku siapa tahu ada kabar terbaru. Ternyata tidak ada, akhirnya aku pun menekuri baris-baris kalimat dalam novel New Moon yang tengah kubaca. Saking asyiknya mengikuti petualangan Bella Swan bersama werewolf membuatku tak menyadari kedatangan sosok yang telah ditunggu sejak tadi. Terganggu bayangan yang membuat tulisan dalam novel menjadi buram membuatku mendongak dan olala ternyata si tamu dari Bali sudah sampai.
Setelah berbasa-basi sebentar alias menodong oleh-oleh ^^ kami pun memutuskan untuk berjalan-jalan. Maklum kondisi tidak memungkinkan untuk mengobrol di rumah sementara bahan obrolan sudah tidak bisa ditahan dan menyerempet ke hal-hal krusial yang akhir-akhir ini selalu diperbincangkan lewat telepon. Kebetulan aku belum menyantap jatah makan malam, tak lama kemudian kami pun berjalan pelan menyusuri satu-satunya jalan utama yang membelah melintasi kota. Meskipun tergolong kecil dan belum bisa dikategorikan sebagai kota, jalan-jalan di malam hari menjadi kesenangan tersendiri. Sinar lampu jalan menerangi lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Harum aneka masakan dari warung-warung tenda yang berderet di sepanjang jalan menggugah selera, membuatku sulit menentukan pilihan untuk menyambangi salah satunya.
Perjalanan pun tiba di penghujung deretan kaki lima, akhirnya aku mantap untuk mencicipi lezatnya mie rebus yang terkenal enak dengan harga terjangkau di sini. Sahabat yang semula enggan pun tergoda untuk ikut bergoyang lidah, tak tahan mencium aroma yang menguar dari penggorengan ^^. Perbincangan pun terus mengalir di sela-sela nikmatnya sajian serba hangat nan menggoda.
Ah, lega rasanya ketika berhadapan langsung, saling membagi cerita dan meminta pendapat. Keraguan dan kekhawatiran akan suatu hal sedikit berkurang setelah saling berkomentar tentang perjalanan hidup. "Tidak ada kata terlambat", katanya. Yah, waktu memang terus berjalan, namun suatu saat pasti akan tiba masa seseorang menemukan jalan hidupnya. Tak terasa malam pun semakin larut. Malam pun berakhir dalam gelak tawa ketika berbagi cerita lucu diriku yang ketiban sial ^^, menjajal oleh-oleh khas Bali yang membuatku kecanduan dan waktu menunjukkan pukul duabelas malam ketika aku sudah tak bisa menahan kantuk yang menyerang.

Selasa, 21 Juli 2009

Indonesia Berduka Lagi

"Teroris harus dihukum mati dua kali. Pertama sudah membunuh orang tak berdosa. Kedua MU jadi batal ke Jakarta !!!!!!"
Sebaris pesan singkat dari seorang sahabat membuatku semakin miris. Ketenangan selama beberapa waktu sejak teror bom terakhir terusik dengan meledaknya bom bunuh diri di dua tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. Di tengah kegelisahan menantikan laga antara MU dengan timnas Indonesia All Star, di antara hiruk pikuk hasil Pilpres yang penuh masalah tak dinyana guncangan teror bom kembali terjadi. Kaget dan tak percaya kurasakan ketika seorang teman memberi kabar berita duka tersebut. Benar saja, hingga hari ini headline di berbagai media menampilkan kronologis, imbas dan perkiraan motif di balik pengebomam tersebut. Kutukan yang pernah terlontar ketika teror serupa terjadi di Bali kembali mencuat dari kubuk hatiku. Empati akan banyaknya korban yang berjatuhan membuat kemarahanku akan si pelaku semakin berkobar.
Ya aku tak pernah mengerti mengapa seseorang demikian tega untuk melakukan perbuatan terkutuk itu. Menorehkan luka di hati orang-orang tak berdosa, memperkeruh dan merusak ketenangan di tengah kondisi damai. Menyimak sekelumit keterangan mengenai pelaku yang diduga terlibat dalam jaringan JI, mengingatkanku akan tiga gembong teroris yang telah dieksekusi. Muak selalu kurasakan jika teringat kalimat-kalimat nyinyir yang keluar dari mulut tiga terdakwa mati tersebut. Ya, menurutku tidak pada tempatnya mereka mengatasnamakan Tuhan ketika membantai orang-orang yang tak bersalah. Sungguh, aku tak mengerti jalan pikiran pelaku ketika mereka membenarkan diri dalam keyakinan untuk mati syahid. Aku semakin tak mengerti ketika mengetahui pelaku bom bunuh diri justru berasal dari kalangan yang dikenal beriman oleh masyarakat sekitar. Mungkin aku belum bisa berada di posisi menilai dari sudut religi, namun jika menyimak pernyataan-pernyataan pemuka-pemuka agama aku merasa lega karena pada dasarnya pendapat mereka sama, mengutuk dan tidak ada pembenaran atas keyakinan pelaku yang mengharapkan surga. Bukankah membunuh diri sendiri adalah dosa yang tak termaafkan ? Ditambah menghilangkan nyawa orang lain yang tak berkaitan, meninggalkan penderitaan bagi keluarga yang bergantung pada mereka, apanya dari semua itu yang dinilai benar di mata Tuhan ?
Ah, mengapa harus terjadi di tanah air tercinta ini ? Di tengah kemerosotan dan upaya untuk mengembalikan citra bangsa di mata dunia justru terjadi hal yang kembali mencoreng nama Indonesia. Jangan heran jika peringatan untuk tidak berkunjung ke Indonesia digalakkan kembali. Amatlah wajar jika tim sebesar Manchester United mengurungkan niat untuk bertandang ke Senayan, apalagi mengingat hotel yang sedianya menjadi tempat mereka menginap menjadi sasaran bom. Inikah yang diinginkan para pelaku ? Menghancurkan kepercayaan dunia terhadap stabilitas Indonesia ? Tidakkah mereka berpikir jauh ke depan imbas perbuatan mereka yang lebih merugikan rakyat biasa ? Lihatlah kekecewaan penggemar MU yang jauh-jauh hari memimpikan melihat tim kesayangannya secara langsung. Lihatlah tampang kalah pedagang souvernir yang tak jadi menangguk untung di tengah sulitnya mengais rupiah. Dan yang paling menyakitkan, lihatlah tangis dan pandangan khawatir akan masa depan para korban baik yang selamat atau yang ditinggalkan anggota keluarga. Semoga tidak pernah ada lagi kejadian tragis ini. Semoga tidak ada lagi korban yang tertipu kalimat indah kelompok makar yang bertujuan merusak kedamaian. Ingatlah akan keluarga, ingatlah akan sesama dan ingatlah akan keyakinan yang tak mungkin menyesatkan jika dijalankan dengan benar.

Sabtu, 18 Juli 2009

Eksotisme Vampir


Sebetulnya sudah sedari tahun lalu seorang teman merekomendasikanku untuk membaca novel roman berjudul Twilight. Namun berhubung keuangan masih terbatas, waktu itu aku tidak serta merta mengiyakan untuk menambah koleksi dengan novel bergenre roman tersebut. Apalagi setelah bertanya kepada 'master' novel yang selalu menjadi acuanku untuk membaca ataupun mengoleksi sebuah buku, semakin mantap pula aku memutuskan untuk menempatkan Twilight ke nomor buntut dari sekian daftar tunggu bacaan yang bakal menjadi penghuni rak bukuku. Sejujurnya waktu itu aku sempat merasakan dorongan kuat untuk segera membawa buku itu ke meja kasir. Ya, aku yang saat itu sedang gemar dengan fiksi tentang vampir berkat serial Darren Shan, tertarik ketika membaca ringkasan yang tertera di cover belakang buku terjemahan Twilight tersebut. Namun akhirnya aku urung membeli ketika sang master menggambarkan tipe novel tersebut. Maklum, akhir-akhir ini aku sedang bosan menambah koleksi buku-buku love strory yang termasuk kategori ringan. Tentu itu akibat pengaruh master yang doyan fiksi dengan tema cerita yang di luar kebiasaan namun pada kenyataannya banyak disukai pembaca buku di mana pun.
Pada akhirnya aku berhasil membujuk temanku yang keranjingan novel ala Harlequin untuk membeli seri lengkap buku karangan Stephany Meyer tersebut. Tersenyum puas akhirnya keinginanku untuk membaca karya asli yang telah difilmkan ini terkabul dengan gratis pula ^^. Bab-bab pembuka kulalui dengan cepat, dan dengan cepat pula aku kesengsem dengan figur Edward Cullen, tokoh utama buku ini yang diceritakan adalah seorang Vampir. Baru kali ini aku benar-benar memahami kekaguman sahabatku akan tokoh vampir. Tak dipungkiri jika keterpesonaaanku akan sosok Edward dipengaruhi oleh versi film yang diperankan dengan baik oleh aktor ganteng jebolan Harry Potter ^^. Ketika membayangkan sosok Edward yang dideskripsikan sebagai cowok nan sempurna otomatis di benakku terbayang wajah Robert Pattinson. Semakin jauh membaca aku semakin tepesona dengan karakter Edward (baca : vampir) yang demikian elegan, kuat dan misterius. Aku jadi ingat ucapan sahabat yang mengatakan bahwa vampir itu seksi ^^. Ya, kini aku paham akan jalan pikiriannya. Kemisteriusan vampir yang telah melegenda dengan mitos-mitosnya memak menarik untuk disimak. Sebuah fiksi yang terasa benar menghidupkan karakter penghisap darah itu menarik utnutk diolah dalam berbagai versi. Uniknya sosok vampir yang pada kenyataanya adalah makhluk malam yang hidup di gua tersebut digambarkan nyaris serupa dalam berbagai kisah. Perbedaan mengenai vampir hanya berkisar seputar sifat dan karakter tentang vampir. Sedangkan mengenai penggambaran fisik vampir nyaris sama. Vampir dikatakan sebagai sosok manusia yang kuat, berkulit pucat, dengan lingkaran gelap di mata dan kehausan akan darah sebagai menu santapan utama. Hampir di setiap kisah tentang vampir yang kubaca, tokoh yang tergolong dalam kategori makhluk penghisap darah ini selalu menjadi pusat perhatian dengan penampilannya yang misterius. Hanya saja di buku tetralogi milik Meyer ini tokoh vampir digambarkan dengan berlebihan. Luar biasa tampan dan cantik dengan tubuh sempurna semakin mengukuhkan daya tarik vampir yang sebenarnya berbahaya bagi manusia tersebut. Tak heran jika Twilight begitu 'booming' baik buku maupun filmnya meskipun jalan cerita tergolong datar dan biasa-biasa saja. Bagaimanapun saat ini aku layaknya Bella Swan, mabuk dengan pesona Edward Cullen sang vampir baik. Dan beberapa hari ini pun kulalui dengan menyimak kata demi kata dari novel yang berakhir pada buku keempat Breaking Dawn.

Selasa, 14 Juli 2009

Back To School

Liburan sekolah akhirnya usai. Anak-anak sekolah dari berbagai tingkatan terlebih orang tua mereka sibuk mencari perlengkapan dan mendaftarkan putra-putri mereka di sekolah-sekolah terbaik. Program pemerintah yang mencanangkan sekolah gratis hingga tingkat SMP menjadi isu paling santer di dunia pendidikan. Orang tua yang mempunyai anak-anak usia SD-SMP pun bersuka cita dengan keputusan tersebut. Beban pendidikan akhirnya bisa berkurang dengan bentuk realisasi 20% anggaran pendidikan tersebut. Namun lagi-lagi indikasi terjadinya pelanggaran mengenai aturan gratis tersebut mulai tercium. Satu persatu laporan mengenai pelanggaran biaya pendidikan masuk ke tangan dinas. Mulai dari ditolaknya seorang anak di daerah Jatim karena tidak sanggup membayar uang masuk hingga sistem 'sogok' agar bisa masuk ke sekolah unggulan.
Tanpa bermaksud membela salah satu pihak sebagai seseorang yang pernah berkecimpung di dunia pendidikan kiranya cukup pada tempatnya jika aku mencoba membedah program sekolah gratis ini. Jika dipikir lebih jauh guna merealisasikan sekolah yang benar-benar gratis itu sangatlah sulit. Terlebih bagi sekolah swasta, masih jauh dari harapan untuk menggratiskan biaya pendidikan. Pemerintah memang mengucurkan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) namun jika dihitung secara rinci dana yang hanya sekian puluh ribu per kepala tersebut tidak cukup untuk biaya operasional bulanan sekolah. Meski dihitung secara hemat dan cermat BOS tida mencukupi untuk kebutuhan harian macam alat tulis, buku pelajaran, alat peraga biaya perawatan komputer, bahan-bahan laboratorium, honor guru tidak tetap dan biaya pelatihan baik untuk guru maupun siswa. Belum lagi pencairan dana BOS yang harus menunggu setiap tiga bulan sekali. Maka tak heran jika sekolah menarik pungutan yang acapkali disamarkan sebagai sumbangan ini itu. Tanpa berpikir negatif terlebih dulu, berdasarkan pengalamanku dulu sumbangan tersebut digunakan untuk menutup kekurangan biaya yang mau tidak mau harus dilakukan. Meskipun kadang terasa berat mengingat kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan, langkah tersebut tetap diambil tentu dengan pertimbangan dan memberi keringanan pada mereka yang benar-benar tidak mampu. Pada sekolah yang multi latar belakang ekonomi, masih bisa dilakukan sistem subsidi silang sehingga bisa meringankan beban ekonomi lemah. Namun bagi sekolah yang sebagian muridnya berasal dari menengah ke bawah, perangkat sekolah harus putar otak agar kegiatan belajar mengajar tetap berlangsung dan mampu menghasilkan siswa-siswa berprestasi. Kadang guru honorer pun harus menerima gaji di bawah standar dan tidak dibayarkan tepat pada waktunya.
Demikianlah situasi pendidikan di tanah air. Di satu pihak banyak sekolah yang sekarat karena kekurangan murid. Di lain pihak sekolah kebanjiran peminat hingga rela melakukan suap demi mendapatkan satu kursi di sekolah tersebut. Terlebih dengan dilakukannya UU BHP yang seolah melegalkan institusi pendidikan menarik sumbangan dengan dalih demi kelangsungan sekolah. Rasanya anggaran 20% tidak menjamin semua anak Indonesia bisa mengenyam bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Lihat saja kondisi sekarang, meskipun ada embel-embel sekolah gratis tetap saja mereka yang tidak mampu sulit untuk bisa menjadi siswa. Biaya pendidikan terutama di perguruan tinggi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari kurikulum yang selalu berganti yang berimbas pada bergantinya buku-buku materi pelajaran, hingga dana khusus yang tak sedikit jika ingin bersekolah di tempat bonafid dan bertaraf nasional hingga internasional. Bagaimana mungkin mutu pendidikan kita bisa lebih baik jika bibit-bibit unggul di daerah terhalang oleh biaya ketika ingin menimba ilmu. Agaknya pendidikan perlu dibenahi lagi bagi pemerintahan yang baru kelak. Bukan hanya sekedar gratis, namun memastikan bahwa semua anak bisa menuntaskan wajib belajar dengan layak dan memuaskan demi meningkatkan kualitas SDM kita.

Sabtu, 11 Juli 2009

Satu Putaran

Akhirnya tiba juga saatnya Indonesia menjalankan Pilpres secara langsung untuk kedua kalinya. Hari pencontrengan Pilpres ini pun menjadi hari yang kutunggu, bukan saja karena ingin menyalurkan aspirasi melainkan juga hari itu sekaligus merupakan hari libur nasional. Sayangnya rencana libur yang telah kususun berantakan sebelum waktunya gara-gara keputusan atasan untuk tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Jadilah hari itu pagi-pagi benar aku berangkat ke TPS, antisipasi antrian panjang supaya tidak terlambat masuk kerja. Sayangnya, meskipun aku datang tepat waktu, tetap saja aku harus menunggu setengah jam untuk menggunakan hak pilihku yang hanya berlangsung kurang dari lima menit.
Meskipun KPU belum mengumumkan secara resmi pemenang Pilpres kedua ini, berdasarkan hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei telah menunjukkan kesamaan hasil akhir yang merujuk kemenangan telak salah satu capres. Mengingat pileg lalu, hasil quick count tidak berbeda jauh dengan hasil perhitungan manual KPU, maka hampir bisa dipastikan capres incumbent melanjutkan pemerintahannya untuk lima tahun ke depan. Rupanya anjuran untuk Pilpres sekali putaran berhasil juga yang berarti menghemat dana sekian triliun yang notabene bisa digunakan untuk kepentingan mendesak lainnya.
Sebuah kemajuan yang menguntungkan bagiku di tempat kerja membuatku lebih kerasan menghabiskan waktu delapan jam setiap harinya di sana. Sehari lalu, di antara aktivitas rutin membaca harian yang baru dua bulan ini berlangganan, aku menemukan sebuah artikel menarik mengenai jalannya pilpres di Indonesia. Tulisan berupa hasil wawancara dengan seorang dosen psikologi UI ini membedah jalannya pilpres dan menganalisa penyebab suksesnya pilpres satu putaran. Menurut beliau tidak ada tantangan dalam pilpres kali ini. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei sebelum dan sesudah pilpres yang tidak berbeda jauh. Artinya upaya tim sukses dalam berkampanye baik melalui media iklan, terjun ke lapangan dan penampilan dalam debat tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan memilih. Sejak awal masyarakat telah menetapkan pilihan, dan publikasi visi misi serta taburan janji hanya mempertegas pilihan mereka terhadap satu pasangan calon. Sebagian pemilih lebih menggunakan kriteria personal dalam menentukan pilihan. Hanya sekitar 20 % dari mereka yang mendedah visi misi calon sebelum memilih. Maklumlah menurut survey yang telah dilakukan persentase pemilih adalah ibu rumah tangga dan putra putri yang dianggap kurang mengerti ranah politik. Tak heran jika mereka memilih berdasarkan pribadi yang sesuai dengan kriteria pemimpin ideal.
Beliau menyatakan bahwa di Indonesia belum sepenuhnya bisa menilai calon pemimpin berdasarkan kinerja mereka. Walhasil dari muka-muka lama yang mencalonkan diri mereka lebih memilih pada pasangan calon yang dirasa paling bisa menciptakan kondisi yang nyaman.
Yah, apapun hasilnya ini adalah hasil pilihan rakyat. Sebaiknya pihak yang menang tidak merendahkan yang kalah, sebaliknya pihak yang kalah musti bersikap 'legawa'. Pada akhirnya sebuah tugas besar menanti pemerintahan yang baru untuk segera memulihkan situasi yang belakangan ini semakin memburuk. Tentunya rakyat menjatuhkan pilihan mereka dengan harapan pemerintah baru merealisasikan janji-janji mereka tidak hanya sekedar bagi-bagi kursi di pemerintahan.

Rabu, 08 Juli 2009

You're Not Alone


Kesepian menjadi musuh alami yang timbul dari diri sendiri. Kesuksesan, kepopuleran tak menjamin seseorang untuk tidak mengalami sepi meski hanya sekali. Kira-kira seperti itulah yang dirasakan oleh King of Pop menurut biografi yang dilansir dari berbagai media. Yah, setelah dua pekan kontroversial akhirnya sang legenda MJ diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya. Begitulah meski harus melawan kantuk dan penat, aku dengan setia mengikuti MJ Funeral yang digadang-gadang bakal melebihi prosesi pemakaman Lady Di. Benar juga, acara yang ditayangkan hampir oleh seluruh stasiun televisi swasta ini berlangsung begitu megah layaknya penghormatan terakhir bagi sang raja. Artis-artis ternama bergantian membawakan elegi dan menyanyikan lagu-lagu almarhum sebagai kenangan akan kisah sukses sang legendaris. Puluhan ribu penggemar dengan semangat mengelu-elukan nama idola mereka. Aku pun tak kuasa menahan tangis ketika melihat dan mendengar kata perpisahan dari putri tercinta MJ. "I love him so much", kalimat ini menyadarkan kembali bahwa MJ adalah seorang manusia pada umumnya.
Meskipun aku bukan fans fanatik seorang MJ, seperti sebagian pecinta musik di dunia pastilah mengenal setidaknya satu lagu yang dipopulerkan olehnya. Lebih dari sepuluh tahun lalu aku terpesona dengan keunikan lagu Black Or White. Lagu yang dibawakan setelah MJ menuai kontroversi dengan perubahan warna kulitnya itu menurutku sangat unik dan begitu mendalam di tengah isu rasis yang tetap ada hingga kini. Dimulai dari situlah aku mengenal seorang MJ sebagai penyanyi bertalenta yang selalu mencetak hits. Aku pun pada akhirnya mengenal dan menyukai hits-hitsnya yang kebanyakan bertema 'save the world'. Siapa yang tidak mengenal Heal The World yang menjadi lagu wajib di setiap acara berbau 'charity' ?
'You are not alone", sebuah lagu penyemangat nan manis pun tak luput dari perhatianku. Lirik demi lirik di lagu ini begitu menyentuh, mengobati sepi yang kadang kurasakan di saat-saat penuh beban. Menelusuri kisah hidup MJ, kiranya lagu ini mencerminkan keinginannya untuk mengobati kesepian yang acapkali dirasakan olehnya. Yah, seperti kisah nama besar lainnya yang berakhir dengan tragedi, demikian pula dengan akhir hidup MJ. Menutup mata di tengah semangat untuk 'come back' semakin menimbulkan kerinduan khususnya bagi fans setianya. Sungguh ironis melihat kebangkitan King of Pop di dunia entertainment justru berawal dari kematiannya. Bagaimanapun Michael Jakson adalah legenda. Meskipun raganya tiada, meskipun noda kehidupan mewarnai hidupnya, karyanya akan selalu dikenang dan tetap melekat di hati penggemar. Karena dia adalah pelopor bagi karya kharismatik nan legendaris.

Senin, 06 Juli 2009

Cari Jodoh

Belakangan ini banyak bermunculan lagu-lagu nyleneh di industri musik tanah air. Meskipun terkesan nyleneh baik dari segi syair maupun nada, musik jenis itu justru digemari pendengar. Sebut saja band nyleneh Kuburan dengan lagu Lupa-Lupa Ingatnya, Mbah Surip yang beken dengan Tak Gendongnya, dan masih banyak lagi grup band maupun penyanyi solo dengan lagu-lagu bertipe unik kalau tidak bisa dikatakan nyleneh.
Nah dari sekian banyak lagu nyleneh tersebut ada satu lagu yang dibawakan oleh band bernama Wali yang cukup menarik perhatian. Ada banyak alasan yang menjadikan band ini dikenal masyarakat dengan singlenya Cari Jodoh. Penggarapan video klip yang atraktif dibarengi dengan frekuensi pemutaran yang tergolong sering baik di radio maupun televisi menjadikan anak-anak pun hafal dengan lirik lagu tersebut. Sesuai dengan judulnya lagu ini menceritakan tentang seseorang yang sibuk mencari jodoh. Hal yang menggelitik dari lagu ini yaitu inti cerita yang pas dengan realita yang terjadi di masyarakat saat ini. Seseorang yang sudah merasa mapan baik secara fisik maupun batin pada akhirnya akan mulai mencari tujuan tingkat lanjut yaitu berkeluarga. Stigma yang melekat di masyarakat yang berkaitan dengan umur dan status pun menjadi satu alasan kuat bagi seseorang untuk menempuh hidup bersama dengan pasangan. Kegelisahan akan usia yang sudah memasuki waktu untuk berkeluarga diiringi dengan label yang cenderung negatif bagi mereka yang belum juga memiliki pasangan maupun status 'pernah menikah' mendorong seseorang untuk mendaftarkan diri pada even-even yang bertema cari jodoh.
Nah baru-baru ini ada sebuah acara televisi dengan konteks serupa yang merupakan saduran dari acara asing berjudul sama. Program yang tergolong reality show berjudul Take Me Out Indonesia ini berisi tentang sekumpulan wanita yang berkompetisi mencari pasangan. Acara yang terhitung telah tayang sebanyak tiga kali ini dengan setia kuikuti. Mengapa ? Ya acara ini mampu membuatku terbahak. Adapun penampilan nyentrik peserta pria yang acapkali membuatku mulas akibat kebanyakan tertawa. Kadang aku merasa heran mengapa pria-pria yang akan diperebutkan memilih berdandan di luar wajar yang justru mengakibatkan tak ada satupun wanita yang memilih mereka. Aku pun semakin terpingkal ketika melihat aksi emosional mereka yang gagal mendapat pasangan. Acara yang dipandu Chokky Sitohang ini pun berhasil menampilkan area kontak jodoh dalam versi yang lebih segar. Tak masalah apakah pasangan yang terbentuk bisa bertahan atau tidak. Pada intinya kecocokan dalam memilih pasangan memang tidak bisa ditentukan hanya dalam waktu sesaat. Dari acara ini kita dapat belajar bagaimana mengenal watak seseorang dalam waktu singkat yang menjadi dasar seorang wanita memilih pria atau sebaliknya.
Akhir-akhir ini aku merasa jenuh dihujani dengan pertanyaan yang sama. Maklum menginjak usia yang pas untuk membina sebuah rumah tangga, mau tak mau setiap orang yang kukenal pasti menanyakan hal yang sama. Anaknya berapa ? Kapan mau nikah ? Calonnya orang mana ? Adalah pertanyaan wajib dari mereka yang kukenal ketika bertemu. Aku nyaris merasa lelah untuk menjawab pertanyaan tersebut hingga saking jenuhnya aku pun memberikan jawaban ngawur ^^. Tak jarang aku melontarkan sederet alasan seputar hal tersebut. Sayangnya sedikit dari mereka yang alih-alih memahami akhirnya memberikan nasehat dan dorongan untuk segera. Waduh, kenapa sih mereka terus mengungkit-ungkit hal tersebut sementara aku sendiri masih santai dan merasa ini belum waktunya karena masih banyak hal-hal yang ingin kulakukan dan tujuan yang belum terlaksana. Demikian pula dengan hari ini. Berondongan olok-olok yang menjurus semakin membuatku jengah sekaligus terperangah saking bingungnya mau menjawab apa lagi. Walhasil aku pun hanya tersenyum kecut sembari berlalu diiringi gelak tawa ledekan teman. Yah, mau orang bilang apa aku percaya bahwa semua ada waktunya.