Sabtu, 11 Juli 2009

Satu Putaran

Akhirnya tiba juga saatnya Indonesia menjalankan Pilpres secara langsung untuk kedua kalinya. Hari pencontrengan Pilpres ini pun menjadi hari yang kutunggu, bukan saja karena ingin menyalurkan aspirasi melainkan juga hari itu sekaligus merupakan hari libur nasional. Sayangnya rencana libur yang telah kususun berantakan sebelum waktunya gara-gara keputusan atasan untuk tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Jadilah hari itu pagi-pagi benar aku berangkat ke TPS, antisipasi antrian panjang supaya tidak terlambat masuk kerja. Sayangnya, meskipun aku datang tepat waktu, tetap saja aku harus menunggu setengah jam untuk menggunakan hak pilihku yang hanya berlangsung kurang dari lima menit.
Meskipun KPU belum mengumumkan secara resmi pemenang Pilpres kedua ini, berdasarkan hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei telah menunjukkan kesamaan hasil akhir yang merujuk kemenangan telak salah satu capres. Mengingat pileg lalu, hasil quick count tidak berbeda jauh dengan hasil perhitungan manual KPU, maka hampir bisa dipastikan capres incumbent melanjutkan pemerintahannya untuk lima tahun ke depan. Rupanya anjuran untuk Pilpres sekali putaran berhasil juga yang berarti menghemat dana sekian triliun yang notabene bisa digunakan untuk kepentingan mendesak lainnya.
Sebuah kemajuan yang menguntungkan bagiku di tempat kerja membuatku lebih kerasan menghabiskan waktu delapan jam setiap harinya di sana. Sehari lalu, di antara aktivitas rutin membaca harian yang baru dua bulan ini berlangganan, aku menemukan sebuah artikel menarik mengenai jalannya pilpres di Indonesia. Tulisan berupa hasil wawancara dengan seorang dosen psikologi UI ini membedah jalannya pilpres dan menganalisa penyebab suksesnya pilpres satu putaran. Menurut beliau tidak ada tantangan dalam pilpres kali ini. Hal ini dibuktikan dengan hasil survei sebelum dan sesudah pilpres yang tidak berbeda jauh. Artinya upaya tim sukses dalam berkampanye baik melalui media iklan, terjun ke lapangan dan penampilan dalam debat tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan memilih. Sejak awal masyarakat telah menetapkan pilihan, dan publikasi visi misi serta taburan janji hanya mempertegas pilihan mereka terhadap satu pasangan calon. Sebagian pemilih lebih menggunakan kriteria personal dalam menentukan pilihan. Hanya sekitar 20 % dari mereka yang mendedah visi misi calon sebelum memilih. Maklumlah menurut survey yang telah dilakukan persentase pemilih adalah ibu rumah tangga dan putra putri yang dianggap kurang mengerti ranah politik. Tak heran jika mereka memilih berdasarkan pribadi yang sesuai dengan kriteria pemimpin ideal.
Beliau menyatakan bahwa di Indonesia belum sepenuhnya bisa menilai calon pemimpin berdasarkan kinerja mereka. Walhasil dari muka-muka lama yang mencalonkan diri mereka lebih memilih pada pasangan calon yang dirasa paling bisa menciptakan kondisi yang nyaman.
Yah, apapun hasilnya ini adalah hasil pilihan rakyat. Sebaiknya pihak yang menang tidak merendahkan yang kalah, sebaliknya pihak yang kalah musti bersikap 'legawa'. Pada akhirnya sebuah tugas besar menanti pemerintahan yang baru untuk segera memulihkan situasi yang belakangan ini semakin memburuk. Tentunya rakyat menjatuhkan pilihan mereka dengan harapan pemerintah baru merealisasikan janji-janji mereka tidak hanya sekedar bagi-bagi kursi di pemerintahan.

Tidak ada komentar: