Selasa, 14 Juli 2009

Back To School

Liburan sekolah akhirnya usai. Anak-anak sekolah dari berbagai tingkatan terlebih orang tua mereka sibuk mencari perlengkapan dan mendaftarkan putra-putri mereka di sekolah-sekolah terbaik. Program pemerintah yang mencanangkan sekolah gratis hingga tingkat SMP menjadi isu paling santer di dunia pendidikan. Orang tua yang mempunyai anak-anak usia SD-SMP pun bersuka cita dengan keputusan tersebut. Beban pendidikan akhirnya bisa berkurang dengan bentuk realisasi 20% anggaran pendidikan tersebut. Namun lagi-lagi indikasi terjadinya pelanggaran mengenai aturan gratis tersebut mulai tercium. Satu persatu laporan mengenai pelanggaran biaya pendidikan masuk ke tangan dinas. Mulai dari ditolaknya seorang anak di daerah Jatim karena tidak sanggup membayar uang masuk hingga sistem 'sogok' agar bisa masuk ke sekolah unggulan.
Tanpa bermaksud membela salah satu pihak sebagai seseorang yang pernah berkecimpung di dunia pendidikan kiranya cukup pada tempatnya jika aku mencoba membedah program sekolah gratis ini. Jika dipikir lebih jauh guna merealisasikan sekolah yang benar-benar gratis itu sangatlah sulit. Terlebih bagi sekolah swasta, masih jauh dari harapan untuk menggratiskan biaya pendidikan. Pemerintah memang mengucurkan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) namun jika dihitung secara rinci dana yang hanya sekian puluh ribu per kepala tersebut tidak cukup untuk biaya operasional bulanan sekolah. Meski dihitung secara hemat dan cermat BOS tida mencukupi untuk kebutuhan harian macam alat tulis, buku pelajaran, alat peraga biaya perawatan komputer, bahan-bahan laboratorium, honor guru tidak tetap dan biaya pelatihan baik untuk guru maupun siswa. Belum lagi pencairan dana BOS yang harus menunggu setiap tiga bulan sekali. Maka tak heran jika sekolah menarik pungutan yang acapkali disamarkan sebagai sumbangan ini itu. Tanpa berpikir negatif terlebih dulu, berdasarkan pengalamanku dulu sumbangan tersebut digunakan untuk menutup kekurangan biaya yang mau tidak mau harus dilakukan. Meskipun kadang terasa berat mengingat kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan, langkah tersebut tetap diambil tentu dengan pertimbangan dan memberi keringanan pada mereka yang benar-benar tidak mampu. Pada sekolah yang multi latar belakang ekonomi, masih bisa dilakukan sistem subsidi silang sehingga bisa meringankan beban ekonomi lemah. Namun bagi sekolah yang sebagian muridnya berasal dari menengah ke bawah, perangkat sekolah harus putar otak agar kegiatan belajar mengajar tetap berlangsung dan mampu menghasilkan siswa-siswa berprestasi. Kadang guru honorer pun harus menerima gaji di bawah standar dan tidak dibayarkan tepat pada waktunya.
Demikianlah situasi pendidikan di tanah air. Di satu pihak banyak sekolah yang sekarat karena kekurangan murid. Di lain pihak sekolah kebanjiran peminat hingga rela melakukan suap demi mendapatkan satu kursi di sekolah tersebut. Terlebih dengan dilakukannya UU BHP yang seolah melegalkan institusi pendidikan menarik sumbangan dengan dalih demi kelangsungan sekolah. Rasanya anggaran 20% tidak menjamin semua anak Indonesia bisa mengenyam bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Lihat saja kondisi sekarang, meskipun ada embel-embel sekolah gratis tetap saja mereka yang tidak mampu sulit untuk bisa menjadi siswa. Biaya pendidikan terutama di perguruan tinggi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari kurikulum yang selalu berganti yang berimbas pada bergantinya buku-buku materi pelajaran, hingga dana khusus yang tak sedikit jika ingin bersekolah di tempat bonafid dan bertaraf nasional hingga internasional. Bagaimana mungkin mutu pendidikan kita bisa lebih baik jika bibit-bibit unggul di daerah terhalang oleh biaya ketika ingin menimba ilmu. Agaknya pendidikan perlu dibenahi lagi bagi pemerintahan yang baru kelak. Bukan hanya sekedar gratis, namun memastikan bahwa semua anak bisa menuntaskan wajib belajar dengan layak dan memuaskan demi meningkatkan kualitas SDM kita.

Tidak ada komentar: