Selasa, 29 Juli 2008

B for Best Class




Seorang guru semestinya tidak pilah pilih murid, tetapi sebagai seorang pribadi yang sarat emosi adalah hal yang wajar jika punya satu atau beberapa murid favorit. Selama tiga tahun aku mengajar baru kali ini aku menemukan kelas idaman. Setelah kenyang menghadapi murid-murid dengan bermacam-macam tingkah yang membuat depresi, sekarang aku seakan mendapat jackpot. Kualitas sekolah tempatku kini berkarya memang jauh lebih unggul daripada sekolahku dulu. Tentu saja murid-muridnya pun berbeda. Bukan dalam hal kecerdasan tetapi dalam kedisiplinan dalam belajar. Meskipun ada sebagian kecil yang mengingatkanku pada mantan murid-muridku dulu, bisa dikatakan murid-murid baruku ini adalah murid idaman. Penampilan rapi, ramah dan sopan kepada orang yang lebih tua menambah nilai plus pada mereka yang memang pada dasarnya manis-manis. Sekali lagi guru juga manusia, di antara sekian kelas yang kumasuki tetap ada yang menjadi kelas favoritku. Favorit bukan berarti kelas itu dianakemaskan atau diberi perlakuan berbeda dari kelas lainnya. Kelas favorit adalah kelas dimana aku selalu semangat jika tiba saatnya untuk mentransfer ilmuku pada generasi berikutnya. Sebetulnya kelas ini tidak jauh berbeda dengan kelas lainnya. Kegaduhan yang menjadi ciri khas anak yang menginjak usia remaja juga mewarnai kelas ini. Aku nyaris berteriak jika berbicara, bersaing dengan gumaman hingga pekik nyaring dua puluh lima anak penghuni kelas ini. Namun ada yang berbeda dalam usahaku mengkondisikan kelas kali ini. Jika dulu aku hampir selalu meledak marah saat kelas bising, di kelas ini entah mengapa aku tidak pernah kehilangan kontrol. Aku selalu kembali tertawa melihat tingkah konyol beberapa anak di kelas ini. Keberadaan beberapa anak juga membuatku semakin betah berada di kelas.Ya, keajaiban kelas ini seolah tak ada habisnya. Sejak dulu aku selalu menyukai anak-anak yang pintar. Mereka selalu mengingatkanku pada masa-masa sekolahku dulu. Sebagai seorang guru aku selalu menuntut supaya murid-muridku rajin belajar sehingga bisa memahami apa yang sudah dipelajari di bangku sekolah. Aku selalu merasa bersalah dan kesal jika mereka tidak memperoleh nilai yang diharapkan. Tapi entah kenapa hal itu tidak terjadi di kelas ini. Meskipun sebagian besar dari penghuni kelas ini tidak begitu pintar, hal itu tidak membuatku merana. Celoteh yang seolah tak ada habisnya sepanjang pelajaran tak pernah menyulut emosiku. Aku bahkan turut tertawa dan bercanda dengan mereka hingga aku merasa jengah karena kebisingan ini mengganggu kelas lain. Gelak tawa dan canda ria ini hampir tidak terasa di kelas lain yang kumasuki. Di kelas tertentu aku bahkan merasa bosan dan cenderung tidak suka jika suasana kelas terlalu riuh. Kucoba menganalisa apa yang terjadi pada diriku. Aku pun bertanya kepada rekan lain berusaha mencari penyebab semua ini. Selidik demi selidik ternyata munculnya kelas favorit ini bukan berasal dari perasaan pilih kasihku semata. Aku menyadari bahwa di tengah kegaduhan sepanjang mereka belajar tidaklah seratus persen melenceng dari materi pelajaran. Murid-murid kelas ini selalu sadar kapan waktunya mereka bercanda dan kapan waktunya serius. Tak mengherankan jika hasil belajar kelas ini pun lebih tinggi daripada kelas lain meskipun rata-rata kecerdasan mereka seimbang dengan dengan kelas lainnya. Murid-murid di kelas ini membuat kelas selalu santai namun kondusif untuk belajar. Hampir tidak ada celetukan tak sopan yang muncul. Mereka betul-betul memahami perlunya menghormati orang yang lebih tinggi posisinya. Kelas ini menyajikan kenyamanan layaknya sebuah rumah yang hangat bagi penghuninya. Aroma persaudaraan terasa begitu kental di kelas ini. Kelas ini akan selalu membuatku merindukannya kelak, ketika tiba saatnya untuk mengucapkan 'Ja mata ne '. Best Class, tetaplah menjadi kelas favoritku dan semoga kalian dapat menempuh masa sekolah ini dengan baik dan mendapatkan hasil yang baik pula. Bukan hanya nilai yang maksimal tapi jadilah pribadi yang hangat, bijaksana dan sukses selalu.

Sabtu, 19 Juli 2008

Entertainment Untuk Anak


Sejak dimulainya ajang pencari bakat menyanyi Indonesian Idol, pihak RCTI memanfaatkan booming reality show ini dengan membuat show serupa dengan sasaran anak-anak usia 8 hingga 12 tahun. Show yang membidik peserta anak-anak ini bertajuk Idola Cilik. Idola Cilik seperti kontes-kontes serupa lainnya menampilkan sekelompok anak yang unjuk kebolehan dalam olah vokal. Penampilan peserta dinilai oleh komentator terpilih dan saling bersaing perolehan sms dari pemirsa. Idola Cilik 2008 sudah mencapai babak Grand Final yang menyisakan dua finalis yaitu Kiki dan Angel. Kiki dan Angel dinilai paling pantas untuk menjadi pemenang. Kiki mempunyai warna suara yang halus dan mampu membuat hati terenyuh. Angel, berbekal teknik yang bagus dan suara dengan power luar biasa mampu memikat penggemar. Idola Cilik menjadi angin segar di dunia hiburan saat ini ketika musik seolah hanya milik remaja dan dewasa. Sayangnya lagu-lagu yang dinyanyikan oleh para calon idola ini kurang pas untuk dibawakan oleh anak seusia mereka. Memang ada beberapa lagu yang bisa disesuaikan konteksnya seperti lagu Ku Cinta Kau Apa Adanya milik Once yang dipresentasikan sebagai cinta kepada ayah oleh Kiki. Tetapi sebagian besar lagu anak band yang dinyanyikan agak terlalu dipaksakan. Kemeriahan grand final sabtu 12 Juli lalu agak sedikit pudar jika mencermati lagu yang dibawakan dua finalis terakhir. Penampilan Kiki dengan lagu milik Padi dan You Raise Me Up bareng Delon cukup baik, konteks lagunya pun masih bisa diterima untuk dinyanyikan oleh anak seusia Kiki. Namun tidak demikian halnya dengan Angel. Lagu Sang Dewi yang dinyanyikan olehnya dengan penuh penghayatan kurang cocok untuk anak seusianya. Alasan di balik pemilihan lagu SAng Dewi ini memang masuk akal yaitu memiliki tingkat kesulitan tinggi, tapi bukankah masih banyak lagu lain yang memiliki kesuliatan serupa ? Lagu Kembang Perawan milik Gita Gutawa misalnya, atau lagu-lagu Billy Gilman yang cukup sulit dan benar-benar diperuntukkan untuk anak-anak dan remaja. Pemilihan lagu-lagu anak band maupun penyanyi senior lain oleh para idola cilik ini didukung dengan kurangnya lagu-lagu anak saat ini. Hampir tidak ada penyanyi cilik yang mengeluarkan single yang bisa menjadi hits seperti Joshua, Enno Lerian, Puput Melati, atau penyanyi cilik lain yang dulu populer. Setelah era Sherina, dunia musik Indonesia hanya mempunyai Gita Gutawa yang bisa dikategorikan penyanyi cilik kalau bukan remaja. Kurangnya musik anak-anak ditengarai dengan banyaknya murid-murid sekolah dasar bahkan taman kanak-kanak yang sangat fasih menyanyikan Racun Dunianya Changcuters daripada lagu Naik-naik ke Puncak Gunung. Dunia hiburan kita memang lebih terfokus untuk orang dewasa. Musik, berita, sinetron dan film jarang sekali menampilkan materi untuk anak. Untunglah, masih ada beberapa publik figur yang peduli dengan kebutuhan hiburan untuk anak-anak. Rumah produksi Alenia misalnya, setelah sukses dengan Denias dan Liburan Sekolah kini mulai meningkatkan produksi film yang ditujukan untuk pangsa pasar anak-anak dan pendidikan. Demikian juga dengan stasiun televisi, Trans 7 membuat terobosan baru dengan memproduksi Jalan Sesama yang diadaptasi dari Sesame Street. Berawal dari kisah Si Bolang, Trans 7 mulai melaju dengan Laptop Si Unyil dan yang paling terbaru adalah entertainment education Jalan Sesama. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, tidak bisa dinomorduakan begitu saja. Seperti orang dewasa, anak-anak pun butuh hiburan yang berkualitas. Musik, film, buku juga menjadi bagian dari dunia anak-anak.

Kamis, 17 Juli 2008

Bisnis di Balik Selubung


Menjelang pemilu 2009 banyak tokoh-tokoh politik mulai beraksi di layar kaca. Berbagai iklan yang berisi kegiatan amal, buah pikiran dan harapan tokoh-tokoh lama dan baru bergantian muncul di sela-sela acara televisi. Demikian pula dengan para cagub atau cabub yang sedang giat berkampanye agar mereka terpilih berlomba-lomba memaparkan visi, misi dan janji-janji manis. Setelah berulang kali tertipu dengan janji-janji yang dilontarkan para pimpinan di masa lalu, masyarakat kini cenderung apatis dengan segala yang berbau pemilu. Di tengah kondisi yang serba sulit saat ini, hampir sebagian besar elit politik memanfaatkan krisis keuangan yang tengah terjadi di masyarakat. Label gratis menjadi trade mark para calon pemimpin untuk menghimpun suara. Kesehatan dan pendidikan gratis menjadi iming-iming utama yang menjanjikan. Yah, di zaman apa-apa yang serba duit, gratis bahkan diskon berapapun besarnya selalu menjadi rebutan. Apakah kelak janji gratis tersebut dapat terwujud ? Menilik dunia pendidikan saat ini rencana sekolah gratis niscaya mustahil bisa dilakukan. Beberapa waktu lalu pemerintah giat mensosialikan adanya dana BAntuan Operasional sekolah (BOS) yang diharapkan dapat membantu masyarakat kurang mampu agar tetap bisa mengenyam pendidikan sembilan tahun. Pada kenyataannya, jarang sekali sekolah baik SD maupun SMP yang sama sekali tidak menarik sumbangan pendidikan. Bahkan di beberapa sekolah tertentu justru mewajibkan iuran bulanan yang jika digabung dengan dana BOS menjadi jumlah yang cukup fantastis mengingat jenjang, lokasi dan fasilitas sekolah tersebut. Di daerahku misalnya, aku tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Aku seringkali mendengar keluh kesah orang tua yang mempunyai anak-anak usia sekolah. Untuk masuk di bangku sekolah dasar saja, mereka harus menyiapkan dana sekitar satu juta rupiah untuk mengisi beberapa pilihan sumbangan sukarela, belum ditambah biaya seragam, spp, buku dan perlengkapan sekolah lainnya. Demikian pula untu bisa duduk di bangku SMP dan SMA, setiap anak harus mengeluarkan jutaan rupiah dalam sekali bayar. SMP dan SMA zaman sekarang mulai mengikuti sistem perkuliahan yaitu membayar spp tiap semester. Tak heran jika banyak orang tua yang pusing dan harus pontang-panting mencari rupiah demi sekolah anak-anak mereka. Sekolah menarik biaya yang cukup besar dengan alasan untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar atau untuk operasional sekolah yang tidak bisa tertutup jika hanya mengandalkan BOS saja. Sekolah memungut sumbangan adalah hal yang wajar. Tetapi apa yang terjadi sekarang kukira sudah kelewat batas. SPP yang dulu biasa dibayar tiap bulan sekarang harus dibayar kontan selama satu semester (enam bulan) ditambah dengan biaya lain-lain. Kalau dulu orang tua murid bisa sedikit bernapas lega dengan mencicil setiap bulan, sekarang mereka harus berusaha memperoleh sejumlah besar uang dalam waktu yang hanya beberapa hari saja. Setelah berhasil lolos tahap awal, orang tua masih belum bisa bersantai. Biaya sekolah untuk sehari-hari bahkan lebih berat lagi. Uang transpor dan jajan anak per hari, uang untuk membeli buku-buku pegangan tambahan, biaya untuk mengerjakan tugas sekolah, biaya memanggil guru privat dan masih banyak pengeluaran lainnya. Biaya-biaya tersebut jumlahnya semakin meningkat dengan label sekolah favorit tak peduli apakah sekolah itu milik pemerintah atau swasta. Sekolah pun berubah menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Banyaknya rupiah yang masuk tak sebanding dengan fasilitas yang bisa dimanfaatkan para siswa. Beberapa sekolah bahkan cenderung berhura-hura membuang dana saking bingungnya mau dikemanakan dan harus diapakan dana yang tersimpan di rekening sekolah. Ironis sekali, sekolah yang bertujuan mencerdaskan anak bangsa justru menjadi bumerang menyebabkan lemahnya mental dan kepribadian anak. KKN yang sedang gencar-gencarnya diberantas justru semakin meluas di balik tembok sekolah. Sungguh menyedihkan bagi anak-anak yang cerdas tapi tak mampu melanjutkan pendidikan di bangku formal karena tak ada biaya. Jangan heran jika anak-anak sekolah tak begitu memusingkan belajar. Asal ada uang, apapun beres.

Kembali Ke Masa Lalu



Hari Senin selalu menjadi hari penuh harapan. Senin adalah hari dimulainya petualangan baru untuk enam hari ke depan. Senin juga hari yang berat, setelah cukup bersantai di hari Minggu tubuh dan pikiran harus kembali ke aktivitas rutin. Biarpun demikian hari Senin selalu kumulai dengan semangat baru, khususnya Senin, 14 Juli yang lalu. Setelah bingung dan gundah karena belum punya tempat bernaung, akhirnya kutemukan juga secercah harapan meski hanya untuk sementara. Udara dingin nan mengigit di pagi hari tak mematahkan semangatku, dengan riang dan sedikit berdebar aku menapakkan langkah menuju tempat yang sudah lama tak kujamah. Sejak dulu aku sangat menyukai tempat ini. Tiga tahun lamanya aku menghabiskan masa remajaku di gedung tua megah bersama teman-teman sepermainanku dulu. Sepuluh tahun berlalu, sekolahku ternyata masih seperti dulu. Ruang-ruang kelas yang lapang, kantin yang kecil tapi bersih juga toilet yang selalu kusambangi tiap jam istirahat. Sebuah gedung baru segera menarik perhatianku. Betapa senangnya aku melihat gedung itu berisi buku-buku yang selama ini menjadi hobiku. Dengan agak malu aku memasuki ruangan di ujung halaman yang sekarang menjadi tempatku menghabiskan waktu di siang hari. Aku terkejut bercampur girang ketika disambut oleh beberapa muka lama yang selalu kuhormati. Wajah dan penampilan bapak dan ibu guruku tak jauh berbeda dari saat beliau-beliau ini memberi pelajaran padaku dulu. Senyum lebar menghiasi wajah-wajah yang sedikit menua tapi tetap menunjukkan tekad berjuang. "Selamat bergabung, Nak !", kalimat itu membuatku terharu saat mereka mengucapkannya dengan tulus. Melihat beliau para guru yang bersemangat memulai tahun ajaran baru, mau tak mau aku ikut tertular tekad berkarya mereka. Hari pertama aku masuk ke kelas, aku sungguh dibuat tertegun. Setelah tiga tahun aku berkutat menahan emosi di tengah murid-murid yang sulit untuk dibimbing, sekarang aku betul-betul dibuat takjub. Bagaimana tidak ? Anak-anak usia 12-15 tahun yang sedang masa puber dan biasanya sulit diatur, begitu mereka memasuki ruang kelas semua tingkah serampangan di luar sekolah berubah drastis. Dengan penuh hormat mereka menyapa bapak dan ibu guru, mendengarkan pelajaran dan nasehat dari orang yang lebih tua dan dengan senang hati bahkan berebut mengerjakan perintah guru. Saat ini aku merasa bangga bahwa aku alumni dari sekolah ini. Banyak orang tak memahami mengapa aku dulu menuntut ilmu di tempat yang tidak sesuai dengan keyakinanku. Tak sedikit pula yang mencemooh dan melecehkan sekolahku yang memang bukanlah sekolah favorit yang beranggotakan anak-anak teladan. Ketika kini aku kembali ke sekolah ini dengan posisi yang berbeda, aku mulai memahami alasan dulu aku merasa betah di sini. Disiplin adalah sumber dari semua keteraturan yang ada di sekolahku ini. Disiplin menyebabkan komitmen semua penghuni sekolah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Cinta kasih dalam persaudaraan merupakan akar dari keakraban yang terjalin di sekolahku. Walaupun di dalam kelas kami adalah guru dan murid, di luar kelas berubah menjadi orang tua kedua, teman, dan partner yang saling mengasihi. Tak heran jika suasana kelas sangat kondusif, lingkungan bersih dan rapi, sangat nyaman untuk menghabiskan enam jam di pagi hingga siang hari. Aku serasa bernostalgia ke masa lalu saat ini. Kenangan-kenangan indah dan yang menyedihkan kembali berkelebat dalam benakku. Murid yang baik, penurut meski sedikit nakal dan berisik itulah murid impianku selama ini. Tidak penting lagi bahwa mereka kurang pintar atau sedikit lambat dalam berpikir. Sudah banyak bukti terpapar bahwa dengan disiplin dan keuletan siapapun bisa berhasil. Alagkah bahagianya jika aku dapat terus berkarya di sini, berjuang bersama pendahuluku untuk mencerdaskan dan mengantarkan murid-murid di sini menuju masa depan mereka.

Sabtu, 12 Juli 2008

Mistis yang misterius


Kisah seputar selebritis sangatlah asyik untuk disimak. Berbagai cerita baik menyenangkan atau gosip-gosip miring seputar artis selalu menjadi bahan pembicaraan yang tak pernah usai. Seperti saat ini, berita gonjang-ganjing rumah tangga pedangdut Cristina santer dibicarakan. Retaknya pernikahan Cristina dengan anggota dewan yang sedang kesandung kasus korupsi ini memang sudah bukan hal baru lagi. Sejak awal pernikahan, hingga gugatan cerai yang berakhir dengan rujuk kembali dan sekarang Cristina kembali melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama. Kawin cerai di kalangan artis memang telah menjadi gosip usang, tetapi kisah perceraian Cristina dengan Al Amin menjadi menarik untuk disimak dengan adanya isu campur tangan dunia lain. Pengakuan saudara Al Amin di infotainment yang menyatakan bahwa ada peran mistis dengan kembali Cristina ke pelukan suaminya dahulu menambah hangat kisah sedih bulan ini tersebut. Istilah cinta ditolak dukun bertindak ternyata masih berlaku di era digital sekarang. Mungkin sebagian besar orang tidak percaya akan dunia mistis. Namun pada kenyataannya, mistis masih berperan besar dalam kehidupan sehari-hari entah di kalangan rakyat bawah maupun di jajaran publik figur. Berita artis yang melakukan ritual khusus demi kelanggengan kesuksesannya banyak bermunculan di media. Peran serta dunia mistis di ruang lingkup pekerjaan, percintaan, masyarakat maupun dunia usaha nampaknya mulai meluas. Baru-baru ini aku mendapat kisah menarik yang bila disimak sulit untuk mempercayainya. Ada seorang ibu yang sudah dua tahun ini merasakan sakit di punggungnya. Setelah berobat ke dokter, beliau dinyatakan menderita asam urat. Dengan penuh harap supaya sembuh ibu itu pun melakukan semua petunjuk dokter. Menghindari makanan tertentu, minum obat maupun ramuan tradisional sudah dilakoninya. Tetapi derita sakit punggung tidak kunjung reda, bahkan mulai menjalar hingga lengan dan kaki. Suatu ketika, ibu itu bertemu dengan seorang tetangga baru yang sedang duduk di depan rumah. Setelah ngobrol sebentar, tetangga itu menanyakan tentang sakitnya, dan meminta ibu itu menyediakan sebutir telur ayam. Dengan kebingungan, ibu itu memenuhi permintaaan aneh itu, dan dengan patuh melakukan apa yang diperintahkan tetangga baru itu. Telur yang telah dimantrai dengan doa itu, diusapkan ke sepanjang lengan sang ibu, kemudian si ibu disuruh untuk memecahkan telur itu. Masih dengan bingung dan heran, si ibu kemudian memecah telur dan menuang isinya ke dalam mangkuk. "Lihatlah !", kata si tetangga. Si ibu menunduk, mengarahkan matanya ke isi mangkuk, dan semakin heranlah ibi itu ketika di dalam mangkuk tidak hanya berisi telur tapi juga ada sebatang jarum dengan benang di kaitannya. Tetangga itu pun menjelaskan bahwa, apa yang terjadi itu bukan sulap, melainkan ada seseorang yang menaruh dendam pada si ibu dan berusaha membuat ibu itu menderita dengan bantuan orang pintar. Ibu itu semula tidak percaya, namun setelah melihat dengan mata kepala sendiri telur yang ternyata berisi jarum yang katanya semula tertanam di lengan kirinya, mau tak mau ia percaya. Apalagi setelah kejadian itu secara ajaib sakit "rematiknya" sembuh. Ya, kalau tidak menyaksikan atau mengalami sendiri setiap orang pasti tidak akan percaya. Aku pun demikian, hingga setelah cerita pengalaman ibu itu ternyata aku masih menemui cerita lain yang serupa. Aku terpana dengan adanya silet, paku, belatung, jarum dan benda lain yang mustahil ada dalam tubuh satu demi satu bermunculan setelah dilakukannya ritual tertentu. dan yang paling aneh, benda-benda tersebut tidak bisa dideteksi dengan X-ray. Tak heran jika orang yang terkena guna-guna menderita sakit berkepanjangan tanpa tahu penyebabnya secara medis. Menggunakan bantuan mistis untuk memperlancar usaha, menambah karisma mungkin masih dimaklumi olehku. Tapi, mengguna-gunai orang dengan alasan sesepele apapun sangatlah tidak masuk akal. Dendam, cemburu, sakit dan iri hati menurutku tidak cukup untuk dijadikan alasan agar seseorang menderita hingga ajal menjemput. Apakah manusia tidak mempunyai hati nurani hingga ia tega merusak hidup orang lain betapapun menyebalkannya orang itu ? Dan yang terpenting siapakah orang itu, hingga ia berhak menentukan sakit dan sehatnya atau hidup dan matinya orang lain ? Seseorang pernah berkata kepadaku, bahwa orang yang melakukan perbuatan jahat tersebut akan menerima hukumannya kelak di neraka jahanam dan itu sudah ada hukumnya dalam Al Quran dan Hadits. Pernyataan itu semakin membuatku semakin heran pada orang yang berani melanggarnya. Berdiskusi tentang alasan seseorang mengerjai orang lain lewat bantuan mistis seakan tak ada habisnya. Uang selalu menjadi salah satu penyebab timbulnya pikiran jahat. Di zaman serba susah ini, memang rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.

Haga un dia malo


Hoy es mi dia muy malo. Giro en a la tristeza. Yo me siento enojado a mi destino. Se que estoy equivocado y el pecado, pero ahora yo tan soy cansado lucho por mi vida en el futuro. A veces, yo trato de encontrar mis defectos. Si miro cualquiera que soy tan envidia. El exito los sigue, a veces vienen tan facil. Que tal mi ? Nacido en la familia pobre, tengo un deseo y el sueno grandes. Pero yo no lo puedo hacer para serverdadero. En mi edad, yo no encontre mas mi vida, las marcas mi desesperado. Dios por favor me hace creo en mi ser. Tengame, para que pueda levantarme para luchar otra vez. Mendigo a Usted deme un signo, me hace mas sabio. Quiza este no el tiempo para mi. Pero en el futuro yo deseo que todo mi sueno se realice. Yo no cuido cuan lejos debo esperando o el trabajo dedicato. Quiero sonreir otra vez, incluso si mi dia tan duramente.

Selasa, 08 Juli 2008

Lindungi Satwaku !


Baru-baru ini tak sengaja aku melihat liputan discovery channel di sebuah saluran tv swasta. Tayangan yang bergenre lingkungan seperti itu memang sangat menarik perhatianku. Tanpa menghabiskan waktu untuk membaca beberapa buku ilmiah, cukup dengan menonton tv sambil santai, aku memperoleh pengetahuan populer yang sangat membantuku dalam mengajar. Senin, 7 Juli 2008 sekitar pukul satu siang, aku menemukan liputan menarik tentang upaya penyelamatan populasi gajah Sumatera ( Elephas maximus sumatranensis) yang dilakukan sebuah organisasi dunia tertentu yang mempunyai markas cabang di Indonesia. Setelah melihat keseluruhan liputan tersebut, aku memperoleh fakta mengejutkan bahwa populasi Gajah Sumatera menurun drastis dari sekitar 1600 ekor di sebelas kantung menjadi sekitar 350 ekor di 15 kantung di tahun 2003. Berkurangnya populasi hewan yang dilindungi pemerintah ini disebabkan oleh beberapa faktor yang sebagian besar akibat ulah manusia. Hutan-hutan di daerah Riau sebagai habitat gajah selama ini telah rusak dengan dibukanya hutan menjadi ladang atau perkebunan, kebakaran hutan yang merajalela dan ilegal logging tak terkendali sehingga hutan menjadi gundul. Habitat yang rusak dan semakin berkurang ini memaksa gajah-gajah keluar dari hutan dan mencari makanan di perkebunan yang dekat dengan pemukiman. Andi, salah seorang konservator gajah menceritakan pengalamannya saat kecil ketika harus membantu orang tuanya dan penduduk sekitar memburu gajah-gajah perusak ladang. Entah berapa puluh gajah yang mati akibat diburu, diracun atau ditembak dengan senjata rakitan. Gading gajah yang komersil menjadi salah satu sebab utama perburuan gajah, sehingga jumlah gajah semakin menurun. Oknum-oknum tak bertanggung jawab hanya mengejar rupiah dengan membunuh gajah sehingga gading yang akan diambil tidak cacat. Konflik manusia dan gajah-gajah yang mengamuk karena habitatnya dirusak ini tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik semata. Pemerintah pun turun tangan dengan mengerahkan personil untuk menangkap gajah-gajah liar ini. Gajah-gajah yang berhasil ditangkap dimasukkan ke Pusat Pelatihan GAjah atau kebun binatang setempat. Sayangnya, pemerintah lalai dalam menyelesaikan masalah yang akan timbul berikutnya. Keterbatasan yang ada pusat pelatihan menyebabkan gajah-gajah yang tersisa mati satu demi satu. Organisasi dunia yang bergerak di lingkungan hidup pun berupaya untuk menyelamatkan gajah-gajah yang ada. Selama bertahun-tahun mereka mempersiapkan baik administrasi maupun kondisi gajah yang ada sehingga bisa dipindahkan ke penangkaran gajah di Bali. Sayangnya, usaha untuk menyelamtkan satwa yang kini tergolong langka ini tidak berjalan mulus. Birokrasi membuat segala-galanya menjadi terhambat. Dalam liputan tersebut diceritakan bahwa mereka harus menunggu bertahun-tahun untuk memperoleh izin memindahkan gajah dari Riau ke Bali. Tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah juga menghambat proses penyelamatan gajah ini. Bertahun-tahun menunggu, izin belum juga diperoleh, tim konservsi kembali ke Bali dengan kecewa. Dua tahun berikutnya mereka kembali ke Riau dan alangkah terkejutnya saat mendapati hutan yang dulu ada kini tinggal tunggul-tunggul mati. Ironisnya, dari sepuluh ekor gajah yang hendak mereka bawa ke Bali kini hanya tinggal lima ekor, ada yang mati karena fisik yang lemah dan ada yang hilang tanpa pernah ditemukan kembali. Akhirnya gajah-gajah ini pun setelah bertahun-tahun menunggu untuk diselamatkan berhasil dipindahkan ke Bali, tempat gajah-gajah ini bisa dirawat dengan baik, dan yang terpenting lepas dari ancaman perburuan.
Birokrasi, kata ini selalu menimbulkan ketidakberesan dimana-mana, membuat frustasi banyak orang. Melihat liputan tersebut, aku benar-benar menyayangkan sikap pemerintah yang selama ini menggembar-gemborkan penyelamatan satwa, tetapi pada kenyataannya justru berbalik. Mengapa upaya penyelamatan gajah tersebut harus dipersulit ? padahal hanya dipindah lokasi dan masih berada di dalam negeri ! Apakah pemerintah tidak peduli dengan nasib gajah-gajah yang mati mengenaskan ? Slogan dan cap hewan langka hanya menjadi bukti usaha semu pemerintah dalam melindungi asetnya. Tidak hanya gajah, orang utan yang juga semakin menurun jumlahnya hanya menjadi perhatian sesaat. Penyelidikan, penangkapan oknum pemburu satwa langka memang terus berlangsung, juga dengan pelepasan kembali satwa ke habitatnya, atau pembuatan daerah konservasi, tapi semua itu tanpa dibarengi dengan perencanaan jangka panjang untuk prospek hidup satwa ke depan semua akan sia-sia saja. Sungguh menyedihkan jika justru pihak-pihak dari luarlah yang bekerja keras untuk menjaga satwa liar agar tidak punah. Sementara kita sebagai pemilik satwa tersebut justru semakin kalap dengan merusak hutan-hutan habitat satwa-satwa liar selama ini, memburu dan menangkap satwa untuk diperjual-belikan tanpa memikirkan bahwa hewan pun mempunyai hak untuk hidup di negeri ini.

Ceramah vs KTSP, mana yang lebih ideal ?


Tinggal beberapa hari lagi libur sekolah akan usai. Kesibukan di awal semester mulai nampak. Tidak hanya anak-anak sekolah yang sibuk mencari sekolah baru, atau pun para orang tua yang ikut bingung mempersiapkan putra-putrinya menjelang dimulainya kegiatan belajar mengajar di sekolah, para guru pun turut pusing menyiapkan perangkat pembelajaran. Sesuai dengan instruksi dinas pendidikan, setiap sekolah harus menyerahkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan agar bisa mengawali aktivitas sekolah. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, para guru dibebaskan untuk mengatur kegiatan di sekolah asalkan sesuai dengan standar pendidikan yang dikeluarkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Mengulang kembali pengalaman di tahun terdahulu, para guru kembali dibuat bingung saat harus membuat kurikulum sesuai mata pelajaran masing-masing untuk tahun ajaran baru ini. Beberapa tahun ini dinas pendidikan seakan tidak tegas dalam menentukan sistem belajar mengajar yang harus dilaksanakan di setiap sekolah. Hingga tahun 2003 sekolah masih menggunakan kurikulum pendidikan 1994 sebagai acuan berlangsungnya belajar mengajar. Pemerintah yang telah mengevaluasi kurikulum tersebut kemudian memutuskan untuk mengganti dengan kurikulum baru yang disebut dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). KBK dinilai akan lebih mengena dalam mendidik para siswa mengingat sekarang Indonesia dalam persiapan menghadapi pasar bebas. KBK mengurangi metode ceramah yang selama ini dipraktekkan di kurikulum sebelumnya dan lebih menekankan pada aktivitas siswa. Guru diharapkan hanya menjadi fasilitator dan mediator saja. Siswa dituntut untuk lebih aktif dalam belajar, tidak hanya mengumbar teori tetapi menerapkan teori ke dalam kehidupan sehari-hari. Siswa tidak melulu dicekoki dengan ceramah guru tentang sebuah materi pelajaran tetapi menganalisis peristiwa di sekitarnya dan mengkaitkan dengan teori pengetahuan yang didapatkan dari buku atau sumber lain. Menghadapi perubahan ini guru dan sekolah tempat bernaung masing-masing serta merta harus memenuhi fasilitas sekolah demi terlaksananya KBK. Pada saat itu banyak sekolah yang belum bisa menerapkan sistem KBK namun dipaksa untuk menggunakan KBK. Contohnya di daerahku, diknas setempat mewajibkan agar dalam dua tahun yang akan datang semua sekolah menggunakan sistem KBK. Sontak dimana-mana terjadi kekisruhan. Sekolah favorit tentu saja dengan mudah melaksanakan instruksi tersebut, lain dengan sekolahku yang notabene sekolah pinggiran. Sekolah dengan murid terbatas tentu mempunyai dana terbatas pula, sehingga akhirnya sekolah dengan seadanya memakai KBK padahal sistem ini memerlukan banyak biaya tambahan untuk menambah alat peraga yang mutlak diperlukan dalam mengajar. Belum lagi dengan banyaknya guru yang belum mengerti benar tentang sistem KBK. Apalagi dengan guru-guru senior yang telah berpuluh tahun mengajar dengan cara mendongeng di kelas. Namun demikian meski masih banyak kekurangan KBK akhirnya dilaksanakan di tiap sekolah. Tapi belum lagi masalah ini tuntas terlaksana dan menghasilkan peningkatan mutu pendidikan yang signifikan, pemerintah mengeluarkan lagi sistem kurikulum baru. Menimbang bahwa KBK perlu diperbaharui, sehingga bisa dilaksanakan di setiap sekolah tanpa memandang mutu sekolah yang berlainan, pemerintah melalui dinas pendidikan memutuskan berlakunya KTSP (Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan). Bisa dibayangkan, bagaimana bingungnya pelaku pendidikan. Guru yang selama ini mengacu pada kurikulum pemerintah dipaksa untuk membuat kurikulum sendiri sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Sekolah juga tak luput dari kebingungan, sekolah diwajibkan membuat perangkat pembelajaran untuk disetorkan ke dinas terkait jika ingin terus berlanjut. Memang pemerintah mempermudah sekolah-sekolah yang belum mampu membuat sendiri KTSP dengan memberikan contoh yang sudah jadi. Namun, sesuai dengan budaya kita yang telah bergeser menjadi budaya malas, contoh tersebut justru disalah gunakan dengan langsung dicontek tanpa mengevaluasi isinya hingga sesuai dengan kualitas sekolah yang bersangkutan. Demikian pula dengan guru yang bersangkutan, lebih memilih jalan mudah dengan membuat bersama-sama lalu diterapkan di sekolah masing-masing dan hanya dilakukan sedikit perubahan saja. Aku sebagai guru di sekolah swasta dengan akreditasi B tentu saja sangat kesulitan dengan KTSP ini. Kami memang dibebaskan untuk menentukan standar minimal, namun tetap saja kami tidak bisa meninggalkan metode ceramah. Walau kurikulum sekarang menganjurkan agar proses belajar mengajar lebih menekankan pada aktivitas murid, hal itu tidak berlaku di sekolah dengan standar minim. Murid-murid di sekolah pinggiran tentu saja tidak bisa disejajarkan dengan murid sekolah favorit. Murid-murid pinggiran tidak bisa dilepas begitu saja dalam belajar, mereka belum bisa diajak untuk berdiskusi apalagi harus menemukan konsep sendiri dengan mengamati peristiwa di sekitarnya. Para guru di pinggiran masih menjadi pusat dalam kegiatan belajar mengajar. Keadaan ini diperparah dengan fasilitas sekolah yang minim dan dana terbatas baik dana sekolah maupun dana murid itu sendiri. Jangankan untuk membeli buku-buku penunjang, operasional pokok sekolah sehari-hari pun belum terpenuhi. Murid-murid di sekolah pinggiran yang biasanya merupakan sisa-sisa dari sekolah favorit tentu saja memiliki tingkat kecerdasan yang pas-pasan pula. Para guru harus putar otak mencari cara agar murid-muridnya memahami apa yang mereka pelajari pada hari itu. Bagaimana mungkin mereka menemukan dan memahami suatu materi, jika tidak aktif membaca buku, koran, atau menonton berita di televisi ? Yah, itulah tingkah sebagian murid sekarang, mereka lebih suka menghabiskan waktu di depan play station. Membaca buku apalagi buku pelajaran justru dianggap kuno dan tidak gaul. Jika sudah begini, diskusi ilmiah dalam kelas tidak akan berjalan sesuai rencana karena peserta diskusi tidak mempunyai bekal yang cukup untuk dibahas. Kalaupun diajak ke lingkungan untuk observasi, mereka tidak 'ngeh' akan tujuan analisa lingkungan sehingga standar kompetensi tidak tercapai. Tak pelak, guru pun harus kembali ke metode lama. Ceramah, mencatat dan memberi latihan pun kembali menjadi pilihan.

Minggu, 06 Juli 2008

Legenda Sang Batosai


Mempelajari sejarah dan kebudayaan negara yang dikenal sebagai negeri matahari terbit sangatlah mengasyikan. Kultur masyarakat, seni budaya, musik maupun kuliner Jepang begitu beragam dan memiliki keunikan tersendiri. Demikian pula dengan perjalanan historis Jepang sejak masa lampau hingga kini menjadi macan Asia. Jepang yang beberapa kali mengalami pergolakan dalam negeri hingga mencapai puncaknya pada tahun 1866 yang populer dengan sebutan Meiji Ishin (Restorasi Meiji). Restorasi Meiji merupakan imbas dari mulai terbukanya Jepang terhadap bangsa asing dengan kedatangan kapal-kapal dari negeri Barat. Kesuksesan Restorasi Meiji didukung oleh aliansi Sat-Cho yang beranggotakan lima klan dan yang paling menonjol adalah klan Satsuma pimpinan Saigo Takamori dan klan Chosu di bawah pimpinan Kido Takayoshi. Restorasi Meiji bertujuan untuk menumbangkan shogun Tokugawa dan mengembalikan kekuasaan kepada kaisar yang pada zaman Bakufu hanya berfungsi sebagai simbol pemersatu rakyat.
Sejarah Jepang mencatat banyaknya tokoh-tokoh restorasi yang dikenal sebagai ksatria Meiji seperti Shinsaku Takasugi, Kogoro Satsura, Arimoto Yamagata dan masih banyak lagi. Hiruk pikuk peralihan antara zaman Bakufu menjadi zaman Meiji mengilhami Nobuhiro Watsuki untuk menciptakan manga semi historis yang mengisahkan ksatria-ksatria Meiji di balik layar suksesnya restorasi. Watsuki sensei menciptakah tokoh rekaan Kenshin Himura yang bertugas memusnahkan para pendukung Bakufu sehingga ia dikenal dengan sebutan Battosai si pembantai. Pada kenyataannya Battosai yang berperan sebagai mesin pembunuh tidak tercatat secara rinci dalam sejarah. Dikisahkan, Kenshin di usia lima belas tahun tergerak hatinya untuk menolong rakyat yang tertindas oleh pemerintahan shogun. Ia pun bergabung dengan kelompok Chosu, berbekal Hitenmitsurugi sebuah aliran pedang kuno Kenshin dijadikan Battosai yang bergerak secara sembunyi-sembunyi. Sudah tak terhitung banyaknya kepala yang ia korbankan demi tegaknya restorasi Meiji. Semua dilakukannya dengan harapan di zaman baru nanti, tidak ada penindasan, dan rakyat hidup makmur tanpa ada perbedaan golongan. Sepuluh tahun berlalu sejak kekalahan Bakufu, tak seperti teman-teman seperjuangannya yang di era Meiji ini duduk di pemerintahan, Kenshin lebih memilih menjadi seorang pengembara. Kekecewaan terlanjur menoreh hatinya, di zaman baru ini rakyat tidak juga sejahtera dan kesengsaraan terus berlanjut. Kenshin yang sudah banyak mengucurkan darah di zaman bakufu ini memilih melindungi rakyat dengan ayunan pedang sakabatonya. Di tengah perjalanan dalam menebus dosa akibat perbuatannya di masa lalu Kenshin pun menemukan satu demi satu orang-orang yang kelak menjadi sahabat dan keluarganya. Dengan rengkuhan orang-orang yang mengasihinya Kenshin pun menemukan jawaban yang selama ini selalu menjadi beban hidupnya.Namun demikian hantu-hantu masa lalu terus membayangi hari-hari Kenshin di Tokyo. Satu demi satu nama-nama lama kembali muncul di hadapannya, membuka kembali luka lama hingga Kenshin pun memutuskan untuk kembali ke Kyoto, meninggalkan sahabat-sahabat yang dikasihinya. Tak rela Kenshin membuang hidupnya, sahabat yang telah menjadi keluarga pun menjemputnya kembali. Bersama-sama mereka membantu Kenshin menemukan jawaban atas pengembaraannya di awal tahun Meiji.
Kerja keras Watsuki sensei dalam menggabungkan sejarah dengan fiksi patut diacungi jempol. Ketelitiannya dalam menulis sejarah di manga ini membuat para pembacanya merasa bahwa Samurai X adalah kisah nyata. Dibantu oleh empat asistennya, Watsuki sensei berhasil membawa Samurai X (Rurouni Kenshin) menjadi manga populer sepanjang masa, tidak hanya karena artworknya yang indah tapi lebih dikarenakan oleh disain karakter dan tema cerita yang mampu menghipnotis pembaca hingga serasa kembali ke era peralihan. Manga yang dimulai di tahun 1994 ini pun hingga kini masih dicintai oleh para penggemar sang Battosai. Kisah Kenshin si pengembara selalu lekat di hati. Tak bisa disangkal mereka adalah salah satu tonggak berdirinya restorasi Meiji meski tidak tercatat dalam sejarah. Dosa di masa lalu tidak harus dibayar dengan mengorbankan nyawa, tempuhlah jalan sesuai keyakinan di zaman baru ini.

Sabtu, 05 Juli 2008

Doctors In Fantasia


Sejak aku kecil, aku selalu kagum dengan sosok seorang dokter. Jubah putih bersih, senyum ramah dan wajah yang memancarkan aura cerdas menumbuhkan rasa hormatku pada orang yang berprofesi sebagai dokter. Dokter yang berperan sebagai penyambung nyawa seseorang menjadi tumpuan harapan bagi setiap orang. Sudah merupakan kewajiban seorang dokter untuk menolong dan berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan pasiennya. Tak peduli orang yang menderita itu miskin atau kaya. Seorang dokter yang terikat sumpah saat mereka dilantik tidak akan berani menyalahgunakan pengetahuannya. Dunia kedokteran yang tampak elegan dan bisa dibilang termasuk kalangan elite sangat menarik untuk ditelusuri. Entah sudah berapa banyak film, serial dan cerita fiksi lainnya yang mengupas seluk beluk dunia medis. Tak mau ketinggalan para mangaka pun mengangkat tema dunia kedokteran sebagai latar belakang karya mereka. Ada beberapa manga terkenal yang mengembil latar belakang kehidupan seorang dokter sebagai inti cerita. Adalah KAzuki Yamamoto yang berhasil menelurkan sebuah manga berjudul God Hand Teru. Manga ini menceritakan tentang Teru yang bercita-cita menjadi dokter meneruskan jejak ayahnya yang meninggal dalam kecelakaan pesawat. Berkat usaha terakhir ayahnya Teru menjadi satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan itu. Teru dewasa pun akhirnya berhasil menjadi dokter. IA bekerja di sebuah rumah sakit ternama dan bergabung dengan tim medis yang dijuluki Valhala. Valhala dibentuk oleh kepala rumah sakit tersebut yang beranggotakan dokter-dokter berbakat dan bertujuan untuk menyembuhkan pasien tanpa pandang bulu. Teru yang keseharian sangat kikuk dan bahkan sedikit tolol akan berubah menjadi layaknya seorang dewa saat ia menghadapi pasien yang membutuhkan pertolongannya. Berbagai teknik dan ketrampilan dari para dokter ini membuatku terpesona. Berbagai penyakit maupun kecelakaan yang kupikir akan berakhir dengan kematian, dalam manga ini digambarkan selalu berhasil sembuh sempurna. Tentu saja tidak dengan keajaiban, namun berkat pengetahuan dan kerja sama tim medis yang menanganinya.
Team Medical Dragon, satu lagi manga yang mengambil tema dokter. Nagizaka Taro menceritakan tentang Asada Ryutaro, dokter jenius yang meninggalkan dunia kedokteran akibat kegagalannya. Dokter Asada yang akhirnya kembali berpraktek harus menghadapi intrik-intrik yang terjadi di rumah sakit tempatnya bekerja. Persaingan antar dokter, perebutan kekuasaan di rumah sakit mengakibatkan pasien hanya dijadikan sebagai kelinci percobaan dan menjadi ajang meraih prestasi.
Setelah membaca kedua manga tersebut, aku menyadari bahwa dunia kedokteran tak seperti apa yang kubayangkan selama ini. Profesi dokter yang identik dengan kebaikan pun ternyata diwarnai dengan penyimpangan-penyimpangan. Pasien yang nyata-nyata menderita dan menggantungkan harapannya pada pertolongan dokter, harus menelan kekecawaan dengan pelayanan dan perlakuan yang diberikan kepada mereka oleh para medis. Rumah sakit telah beralih fungsi menjadi pusat bisnis untuk memperkaya diri. Digambarkan bahwa rumah sakit besar dan ternama membatasi waktu konsultasi pasien dengan dokter. Petinggi rumah sakit mewajibkan dokter-dokternya untuk mendahulukan pasien dengan atribut tertentu dibandingkan pasien tak dikenal akibatnya banyak pasien harus meregang nyawa akibat penanganan yang terlambat. Sepertinya fenomena yang diceritakan para mangaka ini terjadi di dunia nyata. Beberapa kali aku menyaksikan liputan yang menayangkan kesusahan warga miskin untuk memperoleh jaminan kesehatan. Mal praktek dan kegagalan-kegagalan yang terjadi di dunia medis menyebabkan menurunnya kepercayaan pasien pada dokter. Banyaknya penyakit-penyakit baru menyebabkan kekhawatiran semakin meningkat, ditunjang dengan belum ditemukannya penangkal untuk jenis-jenis penyakit tertentu. Dokter-dokter karbitan merupakan masalah tersendiri di dunia medis. Di zaman ujung-ujungnya duit sekarang ini menyebabkan kualitas dokter sedikit menurun. Tak heran kalau banyak warga negara Indonesia lebih memilih berobat ke luar negeri sekedar untuk lebih yakin.
Andai seorang seperti dokter Teru ataupun dokter Asada benar-benar ada di dunia ini. Sepertinya kecemasanku akan berkurang dan fantasiku tentang seorang dokter benar-benar terwujud.

Jumat, 04 Juli 2008

DEATH NOTE : Ujian Kekuasaan


Meniru kanal- kanal televisi di luar negeri, stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia kini mulai memposisikan diri sebagai stasiun televisi khusus. Seperti Metro TV sebagai channel informasi, Indosiar menayangkan reality show, RCTI mulai memperbanyak tayangan sinetron dan kini Global TV mulai merintis menjadi stasiun khusus animasi dengan digelarnya Super Anime yang dimulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul sembilan dan sore hari mulai pukul setengah lima sampai pukul delapan malam. Serial animasi yang ditayangkan sebagian besar berasal dari negeri Sakura. One Piece, Naruto, Law of Ueki, Kiba, Samurai 7 dan yang terbaru yaitu serial animasi Death Note yang diangkat dari manga berjudul sama karya duo mangaka Tsugumi Ohba dan Takhesi Obata. Global TV tergolong jeli dengan memberanikan diri memperbanyak tayangan animasi yang notabene lebih dinikmati anak-anak dan remaja, mengingat mulai digemarinya komik-komik asal Jepang di Indonesia. Tidak seperti di negara yang terkenal dengan "sushi", di sini sebagian besar pembaca komik dan penonton animasi adalah anak-anak. Mencermati beberapa judul yang ditayangkan oleh Global TV tersebut, serial terakhir sangatlah tidak layak untuk dikonsumsi oleh oleh anak-anak di bawah umur. Death Note lebih cocok untuk dinikmati oleh orang dewasa sehingga komik maupun anime Death Note mendapat label D yang berarti Dewasa / 17 +.
Death Note menceritakan tentang Shikigami (dewa kematian) yang merasa bosan dengan pekerjaannya di dunia kematian menjatuhkan buku kematian (Death NOte) ke dunia manusia. Sesuai dengan namanya Death Note ini mempunyai kekuatan untuk mencabut nyawa manusia yang tertulis di dalamnya. Death Note ditemukan oleh siswa jenius putra kepala kepolisian setempat Yagami Raito/ Light. Light semula tidak percaya saat membaca petunjuk cara penggunaan yang tertera di buku tersebut. Suatu hari tanpa sengaja, Light iseng menulis nama seorang preman usil yang mengganggu seorang wanita, dan beberapa detik kemudian preman itu meninggal di depan matanya. Mulai saat itu Light mulai mempelajari Death Note dengan teliti. Ia pun berkomunikasi dengan Ryuk dewa kematian pemilik Death Note. Light yang merasa jenuh dengan kejahatan, bercita-cita memusnahkan para penjahat yang beroperasi di seluruh dunia. Dalam lima hari lebih dari 100 orang penjahat meninggal secara misterius. Polisi pun turun tangan, mencium bahwa ada ketidakberesan pada kematian penjahat ini. L, seorang anggota organisasi misterius dunia yang sering dimintai bantuan oleh berbagai pihak keamanan dunia merancang sebuah jebakan untuk menangkap identitas Light yang dikenal sebagai Kira (Killer). Light yang jenius pun merasa tertantang. Berbagai taktik dan rencana pun berlangsung, persaingan antara dua orang jenius untuk saling mengungkap identitas masing-masing bergulir seru dan menegangkan.
Death Note memang sebuah kisah fiksi, tapi duet Ohba dan Obata meramunnya dengan baik. Ketegangan demi ketegangan terjadi di setiap chapter. Pertarungan antar remaja 17 tahun ditulis dengan rapi dan selalu membuat pembaca terpesona dengan kecerdikan kedua bocah itu.
Duo sensei ini mencoba melukiskan bagaimana seorang manusia yang diberi kekuasaan harus menjalani ujian yang berat. Light seorang pemuda yang baik dan selalu menjadi nomor satu di Jepang pun tak luput dari godaan. Dengan Death Note di tangannya, ia berkuasa untuk menentukan hidup mati seseorang dengan hanya menuliskan nama sambil membayangkan wajahnya di dalam buku. Sayang, kejeniusannya justru menjadi bumerang bagi Light. Niat tulusnya untuk membersihkan dunia dari kejahatan berubah menjadi keinginannya untuk menjadi pemimpin dunia dengan nama Kira. Kejeniusannya pula yang membuatnya tak ingin kalah hingga ia pun dengan sadis mengorbankan orang-orang tak bersalah demi keegoisannya.
Ya, memang kekuasaan selalu menyenangkan tapi juga sarat dengan cobaan. Jika disalahgunakan bisa menjadi pisau bermata dua. Pada akhirnya, kebaikan selalu lebih unggul dari kejahatan. Itulah yang ingin disampaikan Ohba dan Obata sensei kepada para pembaca.
Death Note yang demikian gelap, penuh intrik keji meskipun tidak menggambarkan pembunuhan yang eksplisit tidak cocok untuk anak-anak. Orang dewasa yang membaca atau menonton animenya pun harus cermat memilah inti dari karya ini. Jadwal tayang pukul tujuh malam sangatlah tidak tepat. Sekali lagi, kartun bukanlah edisi khusus untuk anak-anak. Kita harus mencermati isinya. Jangan sampai terjadi lagi kekerasan di kalangan anak-anak akibat terpengaruh suatu tayangan televisi.

Kejar Ijazah


Sejak berlakunya UAN sebagai standar kelulusan siswa sekolah menengah dan sekolah dasar yang baru dimulai tahun ini, banyak sekali keluhan, kecemasan, dan tentangan dari kalangan sekolah baik siswa, guru maupun orang tua murid. Berawal dari banyaknya persentase siswa yang tidak lulus akibat nilai UAN di bawah batas kelulusan dan beberapa di antaranya bahkan tergolong siswa yang pandai, pemerintah melalui departemen terkait akhirnya mengambil solusi diadakannya ujian kesetaraan bagi mereka yang belum berhasil. Dengan jaminan bahwa pemegang ijazah dengan label Kejar Paket B maupun C berhak masuk di jenjang pendidikan lebih tinggi, para siswa gagal ini pun dapat bernafas lega. Saking leganya, jalan tengah yang beberapa tahun ini dilakukan oleh pemerintah malah menjadi senjata makan tuan.
Berdasarkan dari situasi yang aku alami, kebijakan ini menjadi titik lemah tujuan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Kembali ke permasalahan semakin banyaknya sekolah swasta yang gulung tikar akibat kekurangan murid, dengan adanya Kejar Paket ini banyak sekolah-sekolah yang menuai untung dengan menerima murid yang belum lulus. Tindakan ini memang tidak bisa dibenarkan, tapi kondisi sekolah memaksa mereka untuk menampung siswa-siswa baru yang seharusnya belum bisa meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, demi kelangsungan sekolah. Dengan asumsi bahwa bila mengikuti ujian kesetaraan pasti lulus, maka siswa-siswa karbitan ini dengan 'pe-de'-nya menjadi siswa baru di sekolah yang mau menerima mereka.
"Bila tidak lulus UAN, bisa ikut ujian kesetaraan pasti lulus !" itulah yang tertanam di benak para siswa khususnya murid-muridku. Ya, ujian paket hanya sekedar jalan untuk mencari ijazah. Tanpa perlu bersusah payah belajar, siswa yang tidak lulus ini memperoleh selembar ijazah yang dapat mereka gunakan untuk mendaftar sekolah maupun melamar pekerjaan. Akhirnya, banyak siswa sekali lagi khususnya muridku tidak lagi berkonsentrasi dalam belajar. Mereka datang ke sekolah sekedar setor muka, memenuhi absensi minimal tanpa mengikuti pelajaran yang berlangsung dengan sungguh-sungguh. Belum lagi dengan adanya sekolah yang menampung siswa tak lulus. "Tidak lulus juga bisa sekolah", kilah muridku jika aku mendorong mereka untuk belajar mempersiapkan diri menghadapi UAN penentu kelulusan. Aku bukannya anti dengan program kejar paket ini. Aku justru sangat mendukung program ini, karena dengan adanya program kesetaraan ini banyak siswa yang tidak mampu dapat mengenyam pendidikan. Hanya saja, program pemerintah tentang ujian kesetaraan sebagai jalan keluar bagi siswa tak lulus, bukannya ujian ulang menurutku sangat tidak efektif. Tidak seperti zaman dulu, semua siswa mempersiapkan diri sungguh-sungguh, mempelajari apa yang diberikan para guru sehingga nilai yang mencerminkan hasil belajar selama tiga tahun benar-benar menjadi hasil jerih payah yang bisa dibanggakan. Sekarang, keadaan sudah berbalik, banyak siswa yang tidak takut atau malu tidak lulus sekolah. Aku bahkan menjumpai muridku yang tertawa saat mengetahui bahwa ia tidak lulus ! Jika kondisi ini terus berlangsung, kukira bukannya kualitas meningkat justru semakin menurun. Belum lagi dengan kecurangan-kecurangan yang terjadi saat UAN yang dilakukan oknum sekolah demi menghasilkan persentase kelulusan yang tinggi. Bagaimana mungkin siswa yang tidak lulus ujian dengan nilai ujian jauh di bawah standar dapat lulus ujian kesetaraan yang mata pelajaran yang diujikan lebih banyak dan dengan nilai top ! Kalau siswa dengan nilai sempurna itu sedemikian pintarnya, bukankah seharusnya mereka mampu melewati UAN dengan baik ? TAk heran jika banyak pihak yang meragukan kualitas pemegang ijazah kejar paket.