Selasa, 08 Juli 2008

Lindungi Satwaku !


Baru-baru ini tak sengaja aku melihat liputan discovery channel di sebuah saluran tv swasta. Tayangan yang bergenre lingkungan seperti itu memang sangat menarik perhatianku. Tanpa menghabiskan waktu untuk membaca beberapa buku ilmiah, cukup dengan menonton tv sambil santai, aku memperoleh pengetahuan populer yang sangat membantuku dalam mengajar. Senin, 7 Juli 2008 sekitar pukul satu siang, aku menemukan liputan menarik tentang upaya penyelamatan populasi gajah Sumatera ( Elephas maximus sumatranensis) yang dilakukan sebuah organisasi dunia tertentu yang mempunyai markas cabang di Indonesia. Setelah melihat keseluruhan liputan tersebut, aku memperoleh fakta mengejutkan bahwa populasi Gajah Sumatera menurun drastis dari sekitar 1600 ekor di sebelas kantung menjadi sekitar 350 ekor di 15 kantung di tahun 2003. Berkurangnya populasi hewan yang dilindungi pemerintah ini disebabkan oleh beberapa faktor yang sebagian besar akibat ulah manusia. Hutan-hutan di daerah Riau sebagai habitat gajah selama ini telah rusak dengan dibukanya hutan menjadi ladang atau perkebunan, kebakaran hutan yang merajalela dan ilegal logging tak terkendali sehingga hutan menjadi gundul. Habitat yang rusak dan semakin berkurang ini memaksa gajah-gajah keluar dari hutan dan mencari makanan di perkebunan yang dekat dengan pemukiman. Andi, salah seorang konservator gajah menceritakan pengalamannya saat kecil ketika harus membantu orang tuanya dan penduduk sekitar memburu gajah-gajah perusak ladang. Entah berapa puluh gajah yang mati akibat diburu, diracun atau ditembak dengan senjata rakitan. Gading gajah yang komersil menjadi salah satu sebab utama perburuan gajah, sehingga jumlah gajah semakin menurun. Oknum-oknum tak bertanggung jawab hanya mengejar rupiah dengan membunuh gajah sehingga gading yang akan diambil tidak cacat. Konflik manusia dan gajah-gajah yang mengamuk karena habitatnya dirusak ini tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik semata. Pemerintah pun turun tangan dengan mengerahkan personil untuk menangkap gajah-gajah liar ini. Gajah-gajah yang berhasil ditangkap dimasukkan ke Pusat Pelatihan GAjah atau kebun binatang setempat. Sayangnya, pemerintah lalai dalam menyelesaikan masalah yang akan timbul berikutnya. Keterbatasan yang ada pusat pelatihan menyebabkan gajah-gajah yang tersisa mati satu demi satu. Organisasi dunia yang bergerak di lingkungan hidup pun berupaya untuk menyelamatkan gajah-gajah yang ada. Selama bertahun-tahun mereka mempersiapkan baik administrasi maupun kondisi gajah yang ada sehingga bisa dipindahkan ke penangkaran gajah di Bali. Sayangnya, usaha untuk menyelamtkan satwa yang kini tergolong langka ini tidak berjalan mulus. Birokrasi membuat segala-galanya menjadi terhambat. Dalam liputan tersebut diceritakan bahwa mereka harus menunggu bertahun-tahun untuk memperoleh izin memindahkan gajah dari Riau ke Bali. Tidak adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah juga menghambat proses penyelamatan gajah ini. Bertahun-tahun menunggu, izin belum juga diperoleh, tim konservsi kembali ke Bali dengan kecewa. Dua tahun berikutnya mereka kembali ke Riau dan alangkah terkejutnya saat mendapati hutan yang dulu ada kini tinggal tunggul-tunggul mati. Ironisnya, dari sepuluh ekor gajah yang hendak mereka bawa ke Bali kini hanya tinggal lima ekor, ada yang mati karena fisik yang lemah dan ada yang hilang tanpa pernah ditemukan kembali. Akhirnya gajah-gajah ini pun setelah bertahun-tahun menunggu untuk diselamatkan berhasil dipindahkan ke Bali, tempat gajah-gajah ini bisa dirawat dengan baik, dan yang terpenting lepas dari ancaman perburuan.
Birokrasi, kata ini selalu menimbulkan ketidakberesan dimana-mana, membuat frustasi banyak orang. Melihat liputan tersebut, aku benar-benar menyayangkan sikap pemerintah yang selama ini menggembar-gemborkan penyelamatan satwa, tetapi pada kenyataannya justru berbalik. Mengapa upaya penyelamatan gajah tersebut harus dipersulit ? padahal hanya dipindah lokasi dan masih berada di dalam negeri ! Apakah pemerintah tidak peduli dengan nasib gajah-gajah yang mati mengenaskan ? Slogan dan cap hewan langka hanya menjadi bukti usaha semu pemerintah dalam melindungi asetnya. Tidak hanya gajah, orang utan yang juga semakin menurun jumlahnya hanya menjadi perhatian sesaat. Penyelidikan, penangkapan oknum pemburu satwa langka memang terus berlangsung, juga dengan pelepasan kembali satwa ke habitatnya, atau pembuatan daerah konservasi, tapi semua itu tanpa dibarengi dengan perencanaan jangka panjang untuk prospek hidup satwa ke depan semua akan sia-sia saja. Sungguh menyedihkan jika justru pihak-pihak dari luarlah yang bekerja keras untuk menjaga satwa liar agar tidak punah. Sementara kita sebagai pemilik satwa tersebut justru semakin kalap dengan merusak hutan-hutan habitat satwa-satwa liar selama ini, memburu dan menangkap satwa untuk diperjual-belikan tanpa memikirkan bahwa hewan pun mempunyai hak untuk hidup di negeri ini.

Tidak ada komentar: