Selasa, 08 Juli 2008

Ceramah vs KTSP, mana yang lebih ideal ?


Tinggal beberapa hari lagi libur sekolah akan usai. Kesibukan di awal semester mulai nampak. Tidak hanya anak-anak sekolah yang sibuk mencari sekolah baru, atau pun para orang tua yang ikut bingung mempersiapkan putra-putrinya menjelang dimulainya kegiatan belajar mengajar di sekolah, para guru pun turut pusing menyiapkan perangkat pembelajaran. Sesuai dengan instruksi dinas pendidikan, setiap sekolah harus menyerahkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan agar bisa mengawali aktivitas sekolah. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, para guru dibebaskan untuk mengatur kegiatan di sekolah asalkan sesuai dengan standar pendidikan yang dikeluarkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Mengulang kembali pengalaman di tahun terdahulu, para guru kembali dibuat bingung saat harus membuat kurikulum sesuai mata pelajaran masing-masing untuk tahun ajaran baru ini. Beberapa tahun ini dinas pendidikan seakan tidak tegas dalam menentukan sistem belajar mengajar yang harus dilaksanakan di setiap sekolah. Hingga tahun 2003 sekolah masih menggunakan kurikulum pendidikan 1994 sebagai acuan berlangsungnya belajar mengajar. Pemerintah yang telah mengevaluasi kurikulum tersebut kemudian memutuskan untuk mengganti dengan kurikulum baru yang disebut dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). KBK dinilai akan lebih mengena dalam mendidik para siswa mengingat sekarang Indonesia dalam persiapan menghadapi pasar bebas. KBK mengurangi metode ceramah yang selama ini dipraktekkan di kurikulum sebelumnya dan lebih menekankan pada aktivitas siswa. Guru diharapkan hanya menjadi fasilitator dan mediator saja. Siswa dituntut untuk lebih aktif dalam belajar, tidak hanya mengumbar teori tetapi menerapkan teori ke dalam kehidupan sehari-hari. Siswa tidak melulu dicekoki dengan ceramah guru tentang sebuah materi pelajaran tetapi menganalisis peristiwa di sekitarnya dan mengkaitkan dengan teori pengetahuan yang didapatkan dari buku atau sumber lain. Menghadapi perubahan ini guru dan sekolah tempat bernaung masing-masing serta merta harus memenuhi fasilitas sekolah demi terlaksananya KBK. Pada saat itu banyak sekolah yang belum bisa menerapkan sistem KBK namun dipaksa untuk menggunakan KBK. Contohnya di daerahku, diknas setempat mewajibkan agar dalam dua tahun yang akan datang semua sekolah menggunakan sistem KBK. Sontak dimana-mana terjadi kekisruhan. Sekolah favorit tentu saja dengan mudah melaksanakan instruksi tersebut, lain dengan sekolahku yang notabene sekolah pinggiran. Sekolah dengan murid terbatas tentu mempunyai dana terbatas pula, sehingga akhirnya sekolah dengan seadanya memakai KBK padahal sistem ini memerlukan banyak biaya tambahan untuk menambah alat peraga yang mutlak diperlukan dalam mengajar. Belum lagi dengan banyaknya guru yang belum mengerti benar tentang sistem KBK. Apalagi dengan guru-guru senior yang telah berpuluh tahun mengajar dengan cara mendongeng di kelas. Namun demikian meski masih banyak kekurangan KBK akhirnya dilaksanakan di tiap sekolah. Tapi belum lagi masalah ini tuntas terlaksana dan menghasilkan peningkatan mutu pendidikan yang signifikan, pemerintah mengeluarkan lagi sistem kurikulum baru. Menimbang bahwa KBK perlu diperbaharui, sehingga bisa dilaksanakan di setiap sekolah tanpa memandang mutu sekolah yang berlainan, pemerintah melalui dinas pendidikan memutuskan berlakunya KTSP (Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan). Bisa dibayangkan, bagaimana bingungnya pelaku pendidikan. Guru yang selama ini mengacu pada kurikulum pemerintah dipaksa untuk membuat kurikulum sendiri sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Sekolah juga tak luput dari kebingungan, sekolah diwajibkan membuat perangkat pembelajaran untuk disetorkan ke dinas terkait jika ingin terus berlanjut. Memang pemerintah mempermudah sekolah-sekolah yang belum mampu membuat sendiri KTSP dengan memberikan contoh yang sudah jadi. Namun, sesuai dengan budaya kita yang telah bergeser menjadi budaya malas, contoh tersebut justru disalah gunakan dengan langsung dicontek tanpa mengevaluasi isinya hingga sesuai dengan kualitas sekolah yang bersangkutan. Demikian pula dengan guru yang bersangkutan, lebih memilih jalan mudah dengan membuat bersama-sama lalu diterapkan di sekolah masing-masing dan hanya dilakukan sedikit perubahan saja. Aku sebagai guru di sekolah swasta dengan akreditasi B tentu saja sangat kesulitan dengan KTSP ini. Kami memang dibebaskan untuk menentukan standar minimal, namun tetap saja kami tidak bisa meninggalkan metode ceramah. Walau kurikulum sekarang menganjurkan agar proses belajar mengajar lebih menekankan pada aktivitas murid, hal itu tidak berlaku di sekolah dengan standar minim. Murid-murid di sekolah pinggiran tentu saja tidak bisa disejajarkan dengan murid sekolah favorit. Murid-murid pinggiran tidak bisa dilepas begitu saja dalam belajar, mereka belum bisa diajak untuk berdiskusi apalagi harus menemukan konsep sendiri dengan mengamati peristiwa di sekitarnya. Para guru di pinggiran masih menjadi pusat dalam kegiatan belajar mengajar. Keadaan ini diperparah dengan fasilitas sekolah yang minim dan dana terbatas baik dana sekolah maupun dana murid itu sendiri. Jangankan untuk membeli buku-buku penunjang, operasional pokok sekolah sehari-hari pun belum terpenuhi. Murid-murid di sekolah pinggiran yang biasanya merupakan sisa-sisa dari sekolah favorit tentu saja memiliki tingkat kecerdasan yang pas-pasan pula. Para guru harus putar otak mencari cara agar murid-muridnya memahami apa yang mereka pelajari pada hari itu. Bagaimana mungkin mereka menemukan dan memahami suatu materi, jika tidak aktif membaca buku, koran, atau menonton berita di televisi ? Yah, itulah tingkah sebagian murid sekarang, mereka lebih suka menghabiskan waktu di depan play station. Membaca buku apalagi buku pelajaran justru dianggap kuno dan tidak gaul. Jika sudah begini, diskusi ilmiah dalam kelas tidak akan berjalan sesuai rencana karena peserta diskusi tidak mempunyai bekal yang cukup untuk dibahas. Kalaupun diajak ke lingkungan untuk observasi, mereka tidak 'ngeh' akan tujuan analisa lingkungan sehingga standar kompetensi tidak tercapai. Tak pelak, guru pun harus kembali ke metode lama. Ceramah, mencatat dan memberi latihan pun kembali menjadi pilihan.

Tidak ada komentar: