Senin, 29 Juni 2009

Time to 100


“This is a very emotional moment and for sure I will remember this 100th victory for the rest of my life. When I reached 70, 100 seemed a long way away but here I am and it has been great, great fun getting here. It is down to so many people, like Jeremy and my guys who have been with me for ten years and all of the team who always give 100% and always give me the best bike possible. Especially however I have to thank the friends who have been with me my whole life and my father Graziano, who won here in Assen 30 years ago when I was a baby, and my mother Stefania, because they have always supported me. It’s great to reach this moment here at Assen because it’s the ‘Cathedral’ of motorcycle racing and the most historic track we go to. Today was a perfect race – I got a great start and my bike was incredible which meant that my pace was very strong. In fact I think it was better for everyone’s hearts not to have another last-lap battle like in Barcelona! I had a good advantage from Lorenzo in some parts of the track and it was a great ride for me. Now I have 100 wins and I’m only the second rider to arrive at this number, but Agostini still has 22 more and for me he is still the greatest. 100 is a great result but the atmosphere in our team is wonderful and the motivation is still as high as ever – we want to win a few more races together yet!"

Sabato alias hari Sabtu dalam bahasa Italia menjadi hari bersejarah sekaligus menggembirakan bagi semua fans Valentino Rossi termasuk aku ^^. Setelah gagal melakukan perayaan gelar ke-100 di kampung halaman Mugello, akhirnya momen yang ditunggu -tunggu pun terjadi juga. Keberhasilan memenangi duel di race sebelumnya rupanya menjadi modal sekaligus pemacu semangat bagi The Doctor untuk mewujudkan gelar ke-100nya. Tahun ini sirkuit Assen menjadi panggung spesial The Doctor, hasil yang berbalik dari race musim lalu. Start dari pole position, start kurang sempurna (kebiasaan buruk Vale nih ^^) membuat Rossi tergeser dari posisi pertama. Namun dengan geberan sempurna motornya Rossi berhasil melewati rival-rivalnya dan mengambil alih posisi pertama hingga race berakhir. Penampilan Rossi makin sempurna ketika sedikit demi sedikit dia meninggalkan rival utamanya sehingga memperbesar jarak diantara mereka. Rossi akhirnya menaklukan sirkuit Assen dengan mencatat hattrick melalui pole position, fastest lap dan menjuarai seri ini.
Namanya juga Rossi, seperti yang sudah-sudah keeksentrikannya dalam merayakan hari bersejarah selalu menarik perhatian. Menjadi pembalap kedua yang mencapai kemenangan ke-100 sejak penampilan pertamanya di kelas 125 cc menjadi momen penting untuk diabadikan. Aku yang sudah tak sabar menanti kejutan dari The Doctor, sesaat bingung ketika melihatnya turun dari motor dan mendekati krunya yang membawa gulungan kain. Sempat mengira The Doctor kembali melakukan grafir pada helm seperti tahun lalu, aku pun terperangah dan tak lama kemudian tergelak ketika spanduk sepanjang 25 meter dibentangkan. "Wow keren", pikirku saat itu. Ya, rupanya persiapan untuk menyambut gelar ke-100 ini sudah dilakukan dengan matang. Spanduk yang direntangkan itu berisi foto-foto kemenangan Rossi dari awal ketika masih berusia 17 tahun hingga ke-99 dan ditutup dengan angka 100.
Itulah Rossi yang mencatatkan kemenangan ke-40 bersama Yamaha, adalah sosok yang sulit dicari tandingannya. Tidak saja karena mampu membuat balapan atraktif dengan skillnya yang luar biasa namun juga polahnya yang unik. Meskipun race di Assen ini jauh kurang menggigit dibanding duel maut di Cataluna lalu, fans The Doctor pastilah turut merayakan kemenangan pemilik nomor 46 ini. Catatan gemilang setelah keterpurukan di Mugello menjadikan penampilan The Doctor patut ditunggu di seri Laguna Seca minggu depan. Harapan menyaksikan ketangguhan Rossi seperti tahun lalu pun mencuat. Melihat hasil dari tujuh race yang telah digelar, bisa dikatakan persaingan untuk merebut gelar juara dunia 2009 semakin kompetitif. Uniknya kejar-kejaran angka justru terjadi di sesama tim Yamaha. Meskipun harus sport jantung setiap menonton balapan, mau tak mau aku mengakui lahirnya calon pewaris The Doctor di masa mendatang. Di tengah kompetisi ketat musim ini jika dilihat dari prestasi ketujuh belas rider, penggemar Moto-GP pun bakal dimanjakan dengan pertarungan atraktif di setiap serinya. Akhirnya it's time for 100. Saatnya untuk selangkah lebih dekat ke pemecahan rekor berikutnya. Bravo The Doctor.

Jumat, 26 Juni 2009

Debat Pertama

Ada yang menarik dari pilpres yang untuk kedua kalinya digelar di tanah air. Meniru format pilpres di Amerika, kali ini KPU mengadakan sebuah program yang sangat dinanti karena belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang perjalanan politik di Indonesia yaitu debat capres dan cawapres. Debat yang direncanakan berlangsung tiga putaran itu sudah sampai di putaran ke-2 untuk capres. Jika melihat dari kata debat yang digunakan sebagai judul acara, tentu pemirsa menantikan sebuah ajang adu argumen antar capres dan cawapres. Namanya saja debat, peserta diharapkan mampu membawa situasi menjadi lebih hangat kalau tidak bisa dikatakan panas. Namun yang terjadi justu sebaliknya, pada debat episode pertama debat justru tidak diwarnai dengan sebuah perdebatan yang alih-alih seru melainkan monoton dan membosankan. Format debat yang terlalu formal dan dibatasi dengan ketat menjadikan acara debat tak lebih dari sebuah ajang pemaparan visi misi masing-masing capres. Meskipun moderator berusaha mengajukan topik-topik aktual, tidak terjadi saling sanggah atas solusi yang diajukan masing-masing capres. Saling memuji dan mendukung pernyataan justru mengisi acara yang berlangsung sekitar dua jam tersebut. Tak urung kritikan terhadap debat yang digelar ini bermunculan. Silang pendapat mengenai jalannya debat yang sebagian besar menganggap debat kurang tepat sasaran yaitu untuk menguji kualitas maupun kapabilitas capres pun bermunculan di berbagai media maupun di khalayak umum.
Lain lagi dengan debat cawapres yang diadakan beberapa hari setelahnya. Meskipun format debat masih terasa kaku dan harus sesuai pakem, paling tidak mulai ada adu argumen antar cawapres. Dalam debat putaran pertama ini, mau tak mau pemirsa akan tertarik dengan sosok Wiranto yang dengan tutur katanya begitu tegas dan mantap dalam memaparkan visi misi dan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh moderator. Anti klimaks justru datang dari cawapres Prabowo yang diharapkan sevokal penampilannya dalam kampanye maraton di berbagai daerah. Cawapres dengan nomor urut 2 Boediono tampil biasa-biasa saja dan nampak kurang meyakinkan.
Berusaha untuk memperbaiki format debat agar lebih menarik, KPU membuat perubahan-perubahan dalam debat putaran kedua. Panggung yang diatur melingkar hingga lebih terkesan interaktif, dan waktu yang dipersingkat untuk pemaparan visi misi pun dilakukan. Hasilnya debat ke dua capres memang berlangsung lebih menarik. Saling sindir seperti yang terjadi di luar forum mulai muncul terutama dari kubu JK dan SBY. Walhasil debat kali ini pun seakan menjadi panggung dari mantan pasangan capres dan cawapres pemilu lalu itu. Poin plus dari kesuksesan debat kali ini terutama terletak pada sang moderator. Dengan gaya santai dan penguasaan akan topik menjadikan moderator mampu membawa ketiga capres lebih mencair dan sigap dalam menyampaikan ide-idenya. Nah, ini baru namanya debat.
KPU mungkin mencanangkan debat santun tanpa adu argumen panas yang saling menjatuhkan. Namun dengan batasan-batasan yang diterapkan KPU tersebut justru menjadikan debat monoton standar yang mengecewakan. Bukan berarti khalayak menginginkan adanya adu argumen yang saling menjatuhkan. Namun layaknya sebuah debat, khalayak ingin mengetahui lebih dalam bagaimana kepribadian dan kemampuan seorang yang bakal dipilihnya untuk memimpin negara selama lima tahun mendatang. Kemampuan seseorang dalam berpikir cepat memikirkan sebuah solusi atas sebuah permasalahan, bagaimana cara seseorang untuk mempertahankan argumennya dan menanggapi pernyataan orang lain itulah yang diharapkan akan muncul dalam sebuah debat. Jika format debat tidak berubah juga, maka debat lebih tepat jika dikatakan sebagai paparan visi misi layaknya kampanye di depan forum resmi. Bagaimanapun, debat capres cawapres ini merupakan langkah maju bagi ranah politik di Indonesia.

Rabu, 24 Juni 2009

Demam Dorama


Akhirnya tanpa pikir panjang lagi, aku memutuskan untuk mendapatkan sesuatu yang sudah kuinginkan sejak dulu. Gara-gara sms dari seorang teman, serta merta membuatku tergiur dan tak lama kemudian aku pun menguras kantong demi sesuatu yang meskipun bukan kebutuhan primer namun cukup signifikan bagiku. Walhasil tiga hari ini terhitung sejak hari Minggu kemarin, aku memuaskan diri dengan sederet anime kesayanganku. Lagi-lagi karena pengaruh sahabatku, tiga hari ini aku pun kekurangan waktu tidur. Bagaimana tidak jika setiap hari kuhabiskan dengan maraton dorama yang tentu saja hasil 'rampokan' ^^.
Dorama ? Ya, istilah ini mungkin agak asing bagi mereka yang bukan penggemar komik-komik Jepang. Aku mengenal istilah ini dari sebuah majalah yang khusus membahas seputar komik alias manga yang kini semakin digemari oleh khalayak. Jika di Indonesia, kita mengenal sinetron, maka dorama tak lain adalah padan kata dari sinetron yang diproduksi oleh negeri Sakura alias Jepang. Jika ditelisik dari sudut bahasa, kemungkinan istilah dorama berasal dari kata 'drama' yang disesuaikan dengan lidah orang-orang Jepang sana. Ya, dorama adalah sebuah kisah berseri macam sinetron yang akhir-akhir ini mulai marak lagi ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta kita. Bedanya jika sinetron-sinetron kita cenderung monoton dengan tema dan penggarapan yang begitu-begitu saja, dorama lebih beragam baik dari sisi cerita maupun latar belakang sehingga dorama lebih menarik. Tak heran jika beberapa tahun lalu pernah terjadi 'booming' dorama di televisi.
Dorama pun kini tak melulu hasil olahan Jepang, sinetron-sinetron buatan Korea, Taiwan maupun Hongkong pun acapkali disebut dengan istilah tersebut. Siapa yang tak kenal dengan kisah fenomenal Jang Geum dalam Jewel In The Palace ? Aku masih ingat ketika serial tersebut ditayangkan, orang-orang tua muda dengan setia mengikuti kelanjutan kisahnya. Indonesia pun pernah dihebohkan dengan serial Meteor Garden. Kisah yang diangkat dari komik Jepang berjudul Hana Yori Dango ini demikian sukses hingga melambungkan para pemerannya. Khalayak pun dibuat menangis haru ketika menyaksikan kegigihan Aya dalam One Liter of Tears. Itu barulah tiga dari sekian banyak judul dorama yang pastinya menyedot perhatian pemirsa televisi. Saking populernya dorama-dorama tersebut, menyebabkan insan sinetron pun tergiur untuk membuat kisah-kisah tersebut dalam versi Indonesia kalau tidak bisa dikatakan dengan gamblang sebagai penjiplakan ^^.
Mengapa dorama demikian diminati masyarakat ? Pendapat pribadiku menyatakan jika dorama lebih baik kualitasnya dari pada sinetron. Kisah dalam dorama demikian variatif, membuat pemirsa tak bosan dan terus larut dalam cerita baru yang segar dan menggigit. Dorama tidak melulu menyajikan figur teraniaya dengan gaya hedonis yang mencolok layaknya sinetron yang mendayu-dayu. Dorama menyajikan kisah-kisah yang masuk akal tanpa bumbu-bumbu dramatis berlebihan. Dalam dorama jarang sekali hitam putih antara protagonis dan antagonis dinyatakan dengan begitu gamblang. Demikian pula dengan para aktor dan aktrisnya, mereka memainkan karakter masing-masing dengan wajar, hingga tak jarang pemirsa jatuh iba pada tokoh antagonis sekalipun. Ya, sepanjang dorama-dorama yang telah kutonton, peran si jahat dalam sebuah dorama pastilah memiliki sebuah alasan yang menjadikan tokoh itu berperilaku layaknya seorang antagonis. Bandingkan dengan sinetron, pemeran antagonis entah demikian menjiwai atau sekedar over akting dengan mimik muka jahat berlebih yang dari awal cerita hingga akhir (dengan catatan sinetron itu dinyatakan tamat ^^) terus menganiaya tokoh utama yang biasanya digambarkan sebagai gadis cantik bernasib malang. Dorama menggambarkan latar belakang masing-masing karakter sesuai porsinya. Lain dengan sinetron yang mengutamakan gaya 'lux'. Jika tokoh Aya selalu naik sepeda ke sekolah, maka siswa-siswi setingkat SMP dalam sinetron Bidadari mengendarai mobil sendiri meskipun jelas-jelas melanggar aturan. Nah, terlihat perbedaannya bukan ?!
Belakangan ini marak dorama-dorama yang ceritanya berasal dari komik-komik terkenal alias live-action. Sukses dengan Hana Yori Dango yang telah dibuat lebih dari tiga versi termasuk versi Indonesia, dorama berbau manga pun menyusul untuk beredar. Sebut saja Hanazakari no Kimi Tachi e yang diambil dari komik For You In Full Blossom, The Rose dari manga For The Rose dan Nodame yang juga dari komik berjudul sama. Anehnya meskipun dorama tersebut merupakan versi hidup dari tokoh-tokoh rekaan, dorama tetap mengasyikan untuk ditonton. Perbedaan kecil dengan versi komik jarang sekali terasa mengganggu bahkan semua dianggap wajar sebagai wujud adaptasi menjadi bentuk tiga dimensi. Berbeda dengan insan sinetron kita yang mencoba mengambil langkah serupa. Dimulai dari membuat versi dorama hingga menyuguhkan sinetron yang diambil dari komik (sayangnya sedikit sekali penonton yang tahu ^^), justru menghasilkan sesuatu yang tidak bermutu. Salah satu hal krusial yakni seringnya produsen mengubah jalan cerita akibat rating tinggi hingga akhirnya penonton dibuat jenuh dengan kisah yang berputar-putar dan jauh dari kata 'the end'. Produsen kurang lihai dalam mengolah hingga versi yang dihasilkan cenderung kurang bagus dibanding dengan versi aslinya.
Menilik kualitas sinetron yang kurang bagus baik dari segi cerita, penjiwaan pemain terhadap sebuah karakter maupun dari segi pendidikan dan pesan yang ada, maka aku pun tak urung lebih menyukai dorama-dorama yang semakin membanjir. Berbekal koleksi baru hasil jerih payah pribadi, aku pun terhanyut dalam gelak tawa dan tangis salam sebuah dorama.

Senin, 15 Juni 2009

Perfect Day


Akhirnya satu pekerjaan selesai, meskipun masih khawatir menunggu hasil akhir. Minggu 14 Juni ini menjadi satu hari yang tak sabar kunantikan. Di hari ini, satu lagi sahabatku yang melepas masa lajangnya. Jauh hari aku bersama sahabat yang dulu tergabung dalam kelompok yang sama mempersiapkan segala hal untuk hari ini dengan seksama. Mulai dari bingkisan kenang-kenangan hingga kostum beserta aksesorisnya ^^. "Wah repot amat ya", demikian komentar kami berdua sambil cekikikan menertawakan kekonyolan kami berdua untuk menghabiskan waktu di hari Minggu ini. Sekitar pukul dua siang, kami pun berangkat menuju lokasi resepsi sesuai dengan yang tertera di kartu undangan yang tiba seminggu lalu. Seperti yang kuharapkan, dengan menghadiri pesta sakral sahabatku ini, aku tidak hanya unjuk muka memberi selamat, turut bahagia dengan mempelai berdua, namun bertemu dengan orang-orang yang dulu kukenal. Tak pelak reuni kecil pun terjadi di sela kegiatan mencoba berbagai hidangan yang ada. Gelak tawa mengiringi gurauan dan cerita yang sebagian berisi tukar kabar masing-masing. Maklum sekian lama tak bertemu, penampilan yang berubah selalu menjadi hambatan ingatan yang sudah agak kabur. Tak terasa dua jam sudah aku dan teman-teman berkumpul, menghabiskan waktu dengan obrolan ringan yang sesekali mengenang masa lalu.
Pulang dari gedung Sasana Harjuna, aku menyempatkan diri untuk mampir ke rumah sahabatku (Jie Jie). Nah, mumpung ada kesempatan aku pun 'merampok' novel-novel koleksinya yang belum pernah kubaca ^^. Lumayanlah untuk menyingkirkan jenuh akibat bacaan di rumah sudah kulalap habis.
Sesampainya di rumah, waktu menunjukkan pukul setengah lima petang. Dan tiba saatnya 'stand by' di depan televisi, apalagi kalau bukan untuk menyaksikan ajang balap motor paling bergengsi yang kutunggu-tunggu. Seperti biasa ajang Moto Gp diawali dengan race dari kelas 250 cc. Meskipun di kelas ini aku tidak mempunyai rider favorit, aku tetap antusias menyaksikannya. Maklum dari beberapa race yang lalu, kelas ini menjanjikan balapan yang seru dan mendebarkan. Sayang, usai satu pembalap yang menurutku paling atraktif di kelas ini harus keluar dari arena. Alhasil, balap kali ini terasa kurang menggigit. Race pun berlanjut menuju kelas 125 cc. Race yang lumayan membuatku tertawa dengan kejadian konyol yang dilakukan oleh salah seorang pembalap ^^.
Dan akhirnya balap seri Cataluna kelas 500 cc alias MotoGp pun dimulai. Tak sabar aku menantikan aksi menawan yang kutunggu-kutunggu di setiap penampilan seorang The Doctor. Start di posisi dua, The Doctor melesat membuntuti rekan setimnya. Kompetitor utama tahun lalu pun ikut memburu di belakangnya. Cuaca cerah yang amat mendukung balapan, rupanya membuat The Doctor 'on fire'. Setelah melewati empat putaran, Vale berhasil merebut posisi pertama sementara. Pertarungan menjadi semakin menarik karena tandem the Doctor yang menurutku bakal menjadi ahli warisnya kelak terus berjuang untuk menjadi yang pertama. Persaingan sesama tim Fiat Yamaha ini semakin seru dan menegangkan pada lap-lap terakhir. Susul menyusul penuh ketegangan yang menampilkan teknik tingkat tinggi dan diembeli dengan adu nekat membuatku gemetar tak terkendali. Teriakan kemenangan pun terlontar ketika detik-detik menegangkan di tikungan terakhir akhirnya berhasil membawa The Doctor menjuarai seri untuk ke-99 kalinya. Tak pelak lagi deretan kalimat-kalimat sanjungan mengenai race terhebat musim ini pun mengalir via sms. Akhirnya hari ini pun ditutup dengan kegemilangan penampilan The Doctor yang lama kunantikan. Setelah dua race yang berlalu dengan hasil mengecewakan, kali ini rupanya Vale membuktikan bahwa dia masih eksis di dunia balap. "Belum saatnya pensiun, Guf", demikian salah satu komentarku kepada seorang sahabat yang dulu pernah mengatakan mungkin sudah saatnya The Doctor lengser dari Moto GP. Demikianlah, hari Minggu ini menjadi satu hari menyenangkan yang telah lama kutunggu di sela-sela rutinitas yang membosankan.

Jumat, 12 Juni 2009

Berpisah Untuk Berjumpa Lagi


"MU menerima tawaran sebesar 80 juta pound dari Madrid untuk memboyong Cristiano Ronaldo". Kalimat yang tercantum di scroll teks televisi sontak membuatku terperangah. Kantuk yang semula mengundang untuk memejamkan mata barang sejenak seketika terusir, digantikan rasa tak percaya bercampur kesal. Seketika tanganku mengetikkan kata demi kata yang tak pelak membuat sahabat terkejut. Banjir umpatan pun mengalir via udara. Yah, siapa mengira klub asal Spanyol itu begitu royal menghamburkan uang setelah menghabiskan dana tak sedikit untuk memboyong Kaka ? Baru kemarin aku sebagai seorang Milanisti merasakan kekecewaan mendalam atas kepergian Kaka. Alasan finansial yang menyebabkan seorang pilar Milan mesti dilego mengingatkanku akan kisah serupa dari pesepakbola favoritku beberapa tahun lalu. Kegamanganku waktu itu membuatku bisa merasakan kesedihan sahabat penyandang gelar 'Signora Kaka'. Apakah kesetiaan kami harus berubah mengikuti kostum baru sang bintang pujaan ? Usai membaca curahan hati seorang signora Kaka, aku pun mengiyakan bahwa saat ketika menyaksikan Real Madrid berlaga maka ia akan melihat 10 pemain Madrid dan 1 pemain Milan.
Dengan kepergian Kaka yang notabene pilar utama Milan, mau tak mau aku merasa pesimis akan masa depan Rossoneri. Menyusul hengkangnya Ancelotti ke Chelsea, rumor seputar kepergian beberapa pemain kunci semakin membuatku miris. Ah, menyesal sekali kenapa waktu itu aku tidak menyaksikan secara utuh laga terakhir yang menyertakan pujaan trio nyonya Milanisti. Kesempatan bersua kembali dengan sosok favoritku tak bisa kuraih, membuatku terus menyesal karena harus menunggu lagi untuk melihatnya beraksi sebagai benteng klub berkostum merah hitam itu.
Belum tuntas kekecewaanku akan runtuhnya tim terfavorit musim ini, lagi-lagi aku dikejutkan dengan ulah klub raksasa Spanyol yang tahun ini sedang sepi gelar. Rupanya demi mengembalikan kejayaan Los Galacticos, mereka tak segan-segan mengucurkan dana yang membuat banyak pihak terperangah dan bertanya-tanya darimana sumber dana klub berkostum ungu tersebut. Tak tanggung-tanggung Madrid berhasil memboyong dua pesepakbola handal yang masing-masing berperan sebagai kunci di eks-klub mereka. Dan yang membuatku sedih bercampur kesal, dua-duanya berasal dari klub dimana aku memposisikan diri sebagai pendukung ! Meskipun aku bukanlah penggemar fanatik Tim Setan Merah, hengkangnya pemain bernomor punggung 7 itu tetap membuatku kecewa. Yah, uang memang berkuasa. "Money is talk ", demikian komentar seorang teman baruku yang sama-sama penggemar sepakbola. Pada akhirnya aku memang harus menerima sebuah keputusan meskipun keputusan itu begitu menyakitkan. Aku pun mengerti bahwa jalan hidup seseorang juga dipengaruhi oleh target yang belum tercapai. Tapi meskipun aku telah mengalami berkali-kali, sampai saat ini aku belum bisa menerima sepenuh hati jika di setiap pertemuan pastilah akan diakhiri dengan perpisahan. Bagaimana pun juga, kepergiaan sosok yang menjadi tujuanku bersusah payah menahan kantuk menjadi awal dari sebuah perjumpaan kembali. Walau aku tak akan menjadi seorang pendukung Madrid, aku akan menantikan duet antara favorit baruku dengan kawan lama dari Milan.

Selasa, 09 Juni 2009

Titik Jenuh

Tak terasa sudah empat kali aku mendapat amplop tanda penerimaan akan jerih payahku. Artinya empat bulan sudah aku menjalani kehidupan baruku di lingkungan yang baru. Empat bulan terhitung cukup lama bagi seseorang untuk melebur di suatu lingkungan. Namun tidak demikian denganku. Tiga puluh hari selama empat bulan memang terasa lewat dengan cepat. Kondisi yang bertolak belakang dengan hari-hari pertama aku berada di sana, saat itu delapan jam yang wajib kulalui terasa berjalan amat sangat lambat. Syukurlah pada akhirnya aku bisa melewati tahap 'anak baru' dengan cepat dan mampu berbaur dengan lingkungan dan orang-orang baru. Hanya saja, meskipun kini aku mulai lancar berinteraksi dengan penghuni lawas aku belum bisa sepenuh hati bergabung dengan mereka. Bukan karena rasa segan yang hingga kini masih melekat pada sebagian orang, namun lebih kepada masalah prinsip yang sulit bagiku untuk mengiyakan.
Baru kali ini aku benar-benar bisa berpikir dengan mendalam betapa rentannya keutuhan sebuah NKRI. Begitu beratnya pihak-pihak yang harus berjuang mempersatukan berbagai macam personal dengan sifat dan pribadi masing-masing dalam satu wadah untuk menggapai tujuan bersama. Semboyang Bhinneka Tunggal Ika yang sejak dulu ditanamkan sesungguhnya amat berat untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikianlah yang terjadi pada diriku saat ini. Meskipun dalam skala kecil, perbedaan prinsip yang mengarah ke hal berbau SARA nampak jelas di lingkungan baruku ini. Aku yang terbiasa dengan kata toleransi dalam berbagai hal prinsipal selalu dibuat gundah ketika harus mengikuti sikap dan pernyataan mereka yang lebih berkuasa. Semakin lama aku berkecimpung di tempat baruku ini, semakin jenuh pulalah diriku dengan kalimat-kalimat yang menurutku sangat rasis dan sepihak. Aku pun terombang-ambing di antara rasa betah dengan tidak kerasan. Yah, kuakui rekan-rekan baruku tergolong orang-orang 'lumayan', hal ini jelas terlihat dengan sikapku yang kini bisa mencair dengan mereka. Sayangnya, satu dua hal yang justru krusial itulah yang membuatku kian merasa jenuh dengan hari-hari yang harus kulalui sekarang ini.
Yah, memang dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Apalagi dengan aku yang terhitung makhluk asing di tempat asing pula. Namun apakah aku harus turut serta ketika diskriminasi berlangsung di sekitarku ? Bukanlah salah seseorang jika ia dilahirkan sebagai suku tertentu. Demikian pula dengan hubungan seseorang dengan Tuhannya, apa yang dilakukannnya merupakan hak pribadinya. Orang lain tak berhak menghakimi apalagi dengan menganggap dirinya paling benar. Memang seseorang mau berpikiran dan bersikap apa terhadap orang lain itu adalah haknya. Namun bagaimanapun juga kita hidup bermasyarakat yang saling membutuhkan dan untuk itu diperlukan interaksi yang saling timbal balik.
Saat ini aku sudah sampai di titik kejenuhan yang bisa dirasakan setiap orang. Hari-hari berlalu secara monoton layaknya kaset yang diputar berulang-ulang. Namun mau tidak mau aku harus bersyukur atas jalan yang diberikan padaku saat ini. Percaya atau tidak entah karena semakin bertambahnya usia akhir-akhir ini aku semakin gampang menitikkan air mata. Seperti hari ini, tanpa bisa ditahan air mataku meleleh melihat seorang tua renta tertatih-tatih mencari sepotong makanan sisa di tengah gunungan sampah. Aku pun tak kuasa menahan tangis melihat raut wajah seorang paruh baya pengayuh becak ketika membetulkan alat pencari makannya sementara dua orang anaknya berdiri di sampingnya dengan wajah lelah. Yah, ternyata masih banyak di luar sana yang bernasib kurang beruntung. Sungguh ironis menyaksikan gelar kemewahan yang kini banyak dilakukan di mana-mana.
Jika mengingat hal ini, aku pun wajib mensyukuri semua yang saat ini kuperoleh. Walaupun tidak mudah untuk menjalaninya, aku harus sabar menghadapi kerikil-kerikil tajam yang terasa sakit kala kuinjak walau tanpa sengaja. Meskipun berat untuk menerima aku harus siap untuk menjalaninya seorang diri. Pada akhirnya aku menyadari bahwa setiap orang pastilah mempunyai permasalahan masing-masing. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi hal itu dengan baik dan bijak. Harapanku akan tiba saatnya ketika aku bisa melewati setiap hari dengan sepenuh hati.

Kamis, 04 Juni 2009

Malang Nian

Lagi-lagi kebosanan mampir ketika aku menyimak pemberitaan di televisi entah itu berita serius ataupun infotainment. Sejak peristiwa dramatis kaburnya cinderella masa kini Manohara terkuak, media berlomba-lomba menayangkan kronologis kejadian tragis yang dialami mantan model tersebut. Kisah Manohara menjadi besar tidak hanya disebabkan karena faktor kekerasan oleh anggota kerajaan semata, namun mengarah pada hubungan antar dua negara bertetangga. Meskipun serumpun hubungan antara Indonesia-Malaysia terus mengalami pasang surut sejak zaman Bung Karno. Di tengah kesibukan menjelang pilpres kali ini, lagi-lagi muncul sengketa baru dengan negeri jiran itu. Dimulai dari bola panas yang digulirkan ibunda Manohara hingga kasus pelanggaran yang dilakukan angkatan laut Malaysia di perairan Ambalat. Gerakan pendukung dan pembela Manohara hingga grup antipati terhadap Malaysia pun bermunculan. Ah ternyata negara bertetangga pun mengalami masalah yang sama dengan pemukiman padat penduduk yang kerap kali terjadi bentrokan dengan berbagai latar belakang.
Tak lama kemudian wajah Manohara di media berganti dengan wajah sendu seorang ibu muda bernama Prita. Kali ini pemberitaan seputar Prita amat menarik perhatianku. Sebagai sesama pengguna IT, mau tak mau musibah yang menimpa Prita menjadi pelajaran untukku.
Prita menjadi incaran media dikarenakan oleh tuntutan 6 tahun penjara yang menimpanya. Berawal dari keluh kesah melalui surat elektronik mengenai pelayanan buruk yang diterimanya di sebuah rumah sakit swasta, Prita didakwa melakukan pencemaran nama baik ditambah dengan melanggar UU tentang IT yang membuatnya terancam sanksi lumayan berat. Beruntung kasus ini tercium media, sehingga blow up yang dilakukan media memberi dampak positif atas kasusnya. Tidak hanya rakyat kecil, Prita juga mendapat perhatian dari tokoh-tokoh negeri ini, meskipuntak pelak muncul tendensi khusus mengingat masa-masa menjelang pilpres.
Kembali ke masalah Prita, kejadian yang menimpa Prita mau tak mau menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Hanya sekedar menceritakan pengalaman yang benar-benar terjadi malah berujung masuk bui. Jika sudah begini, kemanakah hak kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat seorang warga berdiri ? Meskipun sudah menggembar-gemborkan demokrasi, kejadian yang menimpa Prita layaknya kembali ke zaman pembatasan pers dalam arti sempit mengemukakan pendapat. Hal ini mau tak mau berdampak negatif pada kreatifitas para blogger maupun rakyat umum dalam berperan sebagai kontrol sosial. Suatu hal di luar kewajaran jika hanya karena berpendapat berdasarkan fakta dengan maksud baik demi perbaikan suatu hal di masa mendatang seperti yang dilakukan Prita malah dibelokkan menjadi kasus pencemaran nama baik. Rupanya perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang untuk lebih memperjelas batas antara berpendapat dengan definisi pencemaran nama baik. Pantas saja jika berbagai pihak dengan serentak menyingsingkan lengan untuk memperjuangkan kebebasan Prita. Presiden pun menurunkan mandat untuk mengkaji ulang kasus ini dan berpesan untuk menggunakan nurani dalam memutuskan perkara Prita.
Bercermin pada kasus Prita, mau tak mau aku harus menelaah ulang dan berpikir dua kali dalam menuangkan unek-unek maupun buah pikiranku. Berdiri di posisi sama dengan Prita bisa apa aku dan mungkin yang lainnya jika harus berhadapan dengan hukum yang ternyata tidak seadil yang kukira. Belum lagi jika pihak yang merasa dirugikan lebih berkuasa dan segan untuk berdamai apalagi mengaku salah. Pepatah mengatakan mulutmu harimaumu, meskipun demikian apakah tepat jika berkeluh kesah kini mendapat ganjaran beberapa tahun di balik jeruji ? Di era reformasi ini masih saja terjadi penekanan terhadap pihak yang lemah. Yah mungkin Indonesia masih belum siap untuk reformasi yang justru di salahartikan sebagai kebebasan tanpa batas.