Selasa, 09 Juni 2009

Titik Jenuh

Tak terasa sudah empat kali aku mendapat amplop tanda penerimaan akan jerih payahku. Artinya empat bulan sudah aku menjalani kehidupan baruku di lingkungan yang baru. Empat bulan terhitung cukup lama bagi seseorang untuk melebur di suatu lingkungan. Namun tidak demikian denganku. Tiga puluh hari selama empat bulan memang terasa lewat dengan cepat. Kondisi yang bertolak belakang dengan hari-hari pertama aku berada di sana, saat itu delapan jam yang wajib kulalui terasa berjalan amat sangat lambat. Syukurlah pada akhirnya aku bisa melewati tahap 'anak baru' dengan cepat dan mampu berbaur dengan lingkungan dan orang-orang baru. Hanya saja, meskipun kini aku mulai lancar berinteraksi dengan penghuni lawas aku belum bisa sepenuh hati bergabung dengan mereka. Bukan karena rasa segan yang hingga kini masih melekat pada sebagian orang, namun lebih kepada masalah prinsip yang sulit bagiku untuk mengiyakan.
Baru kali ini aku benar-benar bisa berpikir dengan mendalam betapa rentannya keutuhan sebuah NKRI. Begitu beratnya pihak-pihak yang harus berjuang mempersatukan berbagai macam personal dengan sifat dan pribadi masing-masing dalam satu wadah untuk menggapai tujuan bersama. Semboyang Bhinneka Tunggal Ika yang sejak dulu ditanamkan sesungguhnya amat berat untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikianlah yang terjadi pada diriku saat ini. Meskipun dalam skala kecil, perbedaan prinsip yang mengarah ke hal berbau SARA nampak jelas di lingkungan baruku ini. Aku yang terbiasa dengan kata toleransi dalam berbagai hal prinsipal selalu dibuat gundah ketika harus mengikuti sikap dan pernyataan mereka yang lebih berkuasa. Semakin lama aku berkecimpung di tempat baruku ini, semakin jenuh pulalah diriku dengan kalimat-kalimat yang menurutku sangat rasis dan sepihak. Aku pun terombang-ambing di antara rasa betah dengan tidak kerasan. Yah, kuakui rekan-rekan baruku tergolong orang-orang 'lumayan', hal ini jelas terlihat dengan sikapku yang kini bisa mencair dengan mereka. Sayangnya, satu dua hal yang justru krusial itulah yang membuatku kian merasa jenuh dengan hari-hari yang harus kulalui sekarang ini.
Yah, memang dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Apalagi dengan aku yang terhitung makhluk asing di tempat asing pula. Namun apakah aku harus turut serta ketika diskriminasi berlangsung di sekitarku ? Bukanlah salah seseorang jika ia dilahirkan sebagai suku tertentu. Demikian pula dengan hubungan seseorang dengan Tuhannya, apa yang dilakukannnya merupakan hak pribadinya. Orang lain tak berhak menghakimi apalagi dengan menganggap dirinya paling benar. Memang seseorang mau berpikiran dan bersikap apa terhadap orang lain itu adalah haknya. Namun bagaimanapun juga kita hidup bermasyarakat yang saling membutuhkan dan untuk itu diperlukan interaksi yang saling timbal balik.
Saat ini aku sudah sampai di titik kejenuhan yang bisa dirasakan setiap orang. Hari-hari berlalu secara monoton layaknya kaset yang diputar berulang-ulang. Namun mau tidak mau aku harus bersyukur atas jalan yang diberikan padaku saat ini. Percaya atau tidak entah karena semakin bertambahnya usia akhir-akhir ini aku semakin gampang menitikkan air mata. Seperti hari ini, tanpa bisa ditahan air mataku meleleh melihat seorang tua renta tertatih-tatih mencari sepotong makanan sisa di tengah gunungan sampah. Aku pun tak kuasa menahan tangis melihat raut wajah seorang paruh baya pengayuh becak ketika membetulkan alat pencari makannya sementara dua orang anaknya berdiri di sampingnya dengan wajah lelah. Yah, ternyata masih banyak di luar sana yang bernasib kurang beruntung. Sungguh ironis menyaksikan gelar kemewahan yang kini banyak dilakukan di mana-mana.
Jika mengingat hal ini, aku pun wajib mensyukuri semua yang saat ini kuperoleh. Walaupun tidak mudah untuk menjalaninya, aku harus sabar menghadapi kerikil-kerikil tajam yang terasa sakit kala kuinjak walau tanpa sengaja. Meskipun berat untuk menerima aku harus siap untuk menjalaninya seorang diri. Pada akhirnya aku menyadari bahwa setiap orang pastilah mempunyai permasalahan masing-masing. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi hal itu dengan baik dan bijak. Harapanku akan tiba saatnya ketika aku bisa melewati setiap hari dengan sepenuh hati.

Tidak ada komentar: