Sabtu, 25 April 2009

Konsumen Teraniaya

Betapa malangnya konsumen Indonesia ! Jika menyimak berita-berita yang ada, beberapa waktu belakangan ini topik utama berkisar seputar bahan-bahan konsumtif yang merugikan masyarakat. Masih ingat dengan polemik plastik ? Pemberitaan tentang bahaya bahan plastik yang digunakan untuk tempat minuman dan makanan membuat konsumen merasa kecolongan dan khawatir. Terbongkarnya pemakaian bahan kimia ctm untuk produksi jamu tradisional, beredarnya daging sapi gelonggongan, ayam suntik maupun ayam tiren, pemakaian pewarna kain untuk makanan, penggunaan bahan pengawet formalin dan boraks pada makanan sehari-hari bertubi-tubi menghantam kesadaran konsumen agar lebih waspada dalam memilih bahan makanan. Belum usai rasa kaget yang dialami, konsumen kembali dihadapkan dengan berita miring seputar makanan. Para orangtua langsung panik ketika beredar pemberitaan tentang susu formula yang terkontaminasi bakteri Saccazaki. Meskipun badan POM segera mengklarifikasi berita tersebut, tetap saja kekhawatiran masih menghinggapi benak orang tua. Siapa sih yang ingin anak kesayangannya terkena meningitis gara-gara susu formula ? Tuntas masalah susu bayi, berlanjut ke berita tentang kandungan melamin pada susu dan produk olahan susu asal China. Lagi-lagi konsumen kebakaran jenggot dengan ditariknya beberapa merk produk luar negeri yang sering dikonsumsi itu. Kemalangan tidak berhenti sampai disitu, jajanan murah meriah di pasar-pasar tradisional tercemari dengan masuknya barang-barang kadaluarsa yang diolah kembali. Olahan makanan jadi pun tak luput dari kengerian, para pemburu berita berhasil mendapatkan fakta adanya pengolahan daging bekas yang dipungut dari tempat sampah menjadi makanan jadi yang dijual murah. Di luar produk makanan, konsumen khususnya perempuan juga dirugikan dengan kosmetika yang mengandung merkuri. Malang nian nasib perempuan yang ingin tampil cantik justru mengambil resiko karena kandungan bahan yang seharusnya tidak diperbolehkan dipakai dalam kosmetik. Beberapa minggu lalu konsumen pasar dikejutkan lagi dengan penemuan daging babi yang disamarkan menjadi dendeng sapi. Waduh, gawat nian dunia konsumer di negeri ini. Akibat faktor rupiah, para pelaku pasar mencoba mencari cara untuk menangguk untung sebesar-besarnya. Tak peduli jika tindakan dan perbuatannya merugikan bahkan membahayakan konsumen. Dan sayangnya pengawasan terhadap produk-produk tersebut kurang terkontrol. Badan yang berwenang hampir selalu terlambat dalam mengambil tindakan atas kecurangan-kecurangan tersebut. Tak pelak, konsumen menjadi pihak yang paling banyak dirugikan. Bukan hanya sekedar materi, tapi lebih pada resiko yang ditanggung konsumen akibat terlanjur mengkonsumsi produk-produk bermasalah tersebut. Berita heboh terbaru yang juga merugikan konsumen adalah pelarangan pemakaian phenylpropanolamin pada obat flu dan batuk oleh FDA (Badan Pengawasan Obat Amerika). Phenylpropanolamin digunakan sebagai pengobatan terhadap batuk, dan gejala-gejala flu, demam tinggi, alergi dan gangguan pada sistem pernapasan lainnya. Baru-baru ini beredar kabar bahwa penggunaan bahan ini sudah dilarang sebab bahan ini menurut penelitian dapat menyebabkan pendarahan otak khususnya pada wanita usia 18-49 tahun. Berhubung sekarang kisruh seputar PEmilu sedang hangat-hangatnya, telusur tentang PPA pun terhenti begitu saja. Berita tentang bahaya PPA dengan segera dijelaskan oleh BPOM selaku badan yang berwenang. BPOM menyatakan bahwa PPA telah digunakan selama bertahun-tahun dan aman sepanjang masih di bawah ambang batas yaitu 15 mg. BPOM meluruskan bahwa rumor yang beredar mengenai penarikan beberapa merk obat-obatan yang ditengarai mengandung PPA melebihi takaran itu tidak benar. Daftar obat-obatan yang diperiksa dinyatakan aman untuk digunakan.
Masyarakat sebagai konsumen tentu percaya dengan klarifikasi tersebut, apalagi penjelasan keluar dari institusi yang dijamin kevalidannya. Yang menjadi ganjalan, mengapa konsumen selalhu menjadi pihak yang paling dirugikan ? Mengapa konsumen selalu menjadi yang paling akhir untuk tahu akan kebenaran suatu hal ? Apakah pihak yang berwenang tidak peduli dengan keselamatan konsumen ? Ataukah mereka kewalahan menghadapi oknum-oknum yang terus menerus mencari cara baru mengeruk untung ? Dan mengapa oknum pembuat masalah itu tega membodohi dan menipu konsumen yang notabene adalah sesamanya ? Apakah mereka tidak pernah memposisikan diri menjadi konsumen ? Dengan kondisi yang demikian ini, langkah penting yang perlu dilakukan yakni waspada setiap saat. Siapa lagi kalau tidak diri sendiri yang memproteksi diri. Teliti betul sebelum memutuskan untuk mengkonsumsi sesuatu. Bagaimanapun mencegah lebih baik daripada mengobati.

Kamis, 23 April 2009

Banjir Komik

Pagi itu seperti biasanya, aku melenggang dengan santai menuju tempat rutinitas. Ketika sampai di pintu gerbang, aku merasa kaget bukan kepalang. Surprise yang membuatku bersemangat tersebut terpampang dalam bentuk sebuah spanduk bertuliskan "Super Book Fair 2009, Up Grade Your Book". Pameran ini menjadi yang kedua kalinya digelar di daerahku. Meskipun pernah kecewa dengan penyelenggaraan book fair pertama, penuh semangat aku bersama temanku sesama penggila buku, mengunjungi tempat pameran. Sekedar melihat-lihat stan, syukur-syukur menemukan sesuatu yang menarik untuk dikoleksi, plus aku tergiur dengan iming-iming bagi-bagi ribuan buku gratis ^^. Sesampainya disana, aku melihat antrean panjang pengunjung di sebuah loket. Heran dengan apa yang terjadi, aku bergegas masuk ke ruangan yang sama dengan dulu. "Oh, rupanya mereka sedang mengantri pembagian buku gratis ", tukasku kepada temanku setelah membaca sebuah pengumuman tentang cara memperoleh dan mengambil bonus buku tersebut. Tak lama kemudian mataku dengan segera tertumbuk pada sebuah stan di ujung ruangan. Ya, sebuah stan yang memajang tulisan buku murah 10.000-an, 5000-an, dsb. Wow, ini dia ! Stan semacam inilah yang selalu menjadi incaranku di setiap pameran. Begitu aku memasuki satu-satunya stan yang penuh sesak tersebut, serta merta aku menjerit kegirangan ! Tepat di bagian pojok ruangan, nampak gundukan komik lengkap dengan tulisan 3000-an tertera di selembar kertas yang tertempel di dinding. Tanpa buang waktu lagi aku segera menyerbu tumpukan ratusan komik tersebut. Tanpa malu-malu dan penuh semangat, satu demi satu komik-komik yang berserakan kuambil, dan kutata dengan rapi untuk mempermudah pencarianku. Untunglah, hari itu aku berbekal uang cukup. Tak disangka komik-komik yang ada begitu beragam dan masih dalam kategori baru. Tanpa butuh waktu lama, tumpukan komik yang akan kubeli pun meninggi. Hari itu aku benar-benar puas, selain mendapat beberapa seri koleksi komikku yang belum lengkap, aku juga memperoleh judul baru lengkap dengan harga murah ^^. Meskipun pulang dengan tas menggelembung, aku merasa belum puas juga. Entah mengapa keinginan untuk mengunjungi pameran itu lagi sebelum berakhir begitu membuncah. Dengan penuh tekad, meskipun lelah sepulang dari tempat kerja aku bergegas menuju tempat itu lagi. Wah, suasana malam begitu berbeda dengan siang hari. Gedung pameran nampak penuh dengan lalu-lalang orang yang asyik memilih-milih buku. Dan untuk kedua kalinya aku merasa 'surprise'. Ketika masuk ke stan yang satu itu, aku sempat kecil hati, tumpukan komik yang kemarin menggunung, menyusut menjadi sepertiganya. Pupus sudah harapanku untuk menambah koleksiku sekaligus melengkapi komikku yang hilang gara-gara dipinjam tak kembali. Tak sengaja aku membaca tulisan yang tertera di sebuah pintu. Mengikuti petunjuk pada tulisan itu, aku memasuki sebuah ruangan. Dan betapa kaget atau lebih tepatnya syok ^^ ketika di ruangan luas itu tergeletak timbunan komik-komik yang jauh lebih banyak dari sebelumnya. Setelah sejenak menata kembali benakku, tanpa ba bi bu lagi aku merambah ribuan komik-komik Jepang yang tersebar di seluruh ruangan. Untuk kedua kalinya, aku pulang dengan hati puas, girang dan bahagia meskipun isi kantung terkuras ^^.
Book Fair kali ini tergolong sukses untuk ukuran daerahku. Dibuktikan dengan jumlah pengunjung yang jauh lebih banyak dari Book Fair sebelumnya. Entah karena tergoda dengan iming-iming buku gratis atau karena keinginan untuk menambah daftar bacaan, yang jelas animo masyarakat tentang buku menunjukkan respon positif. Meskipun jumlah stan yang ada masih sedikit, setidaknya warga Kebumen mulai menunjukkan minat terhadap buku. Tak sedikit, orang tua yang membawa putra-putrinya, membiarkan mereka bebas memilih bacaan yang disukai sepanjang itu sesuai dengan usianya. Sikap gemar membaca rupanya semakin bertumbuh di masyarakat. Hal yang sangat bagus dan perlu untuk lebih digalakkan, karena dengan membaca wawasan akan semakin bertambah. Pikiran pun semakin terbuka dengan ide-ide baru, pengetahuan terkini dan jiwa akan semakin bertambah dewasa. Semua itu bisa diperoleh dengan membaca sebuah buku. Slogan buku adalah jendela dunia, memang benar adanya.

Sabtu, 18 April 2009

Brisingr


Akhirnya setelah dua tahun lebih menunggu kelanjutan trilogi fiksi yang kutunggu muncul juga. Sebetulnya seri terbaru novel fiksi ini sudah terbit di negara asalnya tahun lalu. Namanya juga novel dengan pengarang asing, butuh waktu cukup lama untuk bisa terbit dalam bahasa Indonesia. Berhubung sudah amat sangat penasaran dengan kelanjutan cerita yang memang sedang seru-serunya, mumpung ada rezeki aku pun dengan segera membeli novel tersebut walau kantongku langsung mengempis^^. Anehnya, begitu aku mendapatkan buku ini, tidak seperti buku-buku baru lainnya yang langsung kubaca, buku ini tergeletak begitu saja. Maklum jauh hari aku sudah mendapat bocoran cerita dari sahabat. Begitu penasarannya aku, sampai-sampai rela mendengar sedikit 'spoiler'. Sayangnya, dari bocoran tersebut ada satu hal yang membuatku sedikit kecewa. Bagaimana tidak kecewa jika sejak lama aku menantikan cerita final dari trilogi ini, ternyata di buku ketiga yang seharusnya buku terakhir, cerita belum usai ! Melompat ke halaman sekilas pengarang, tak dinyana trilogi berubah menjadi siklus alias akan berakhir di buku keempat karena kerumitan cerita.
Sejak serial Harry Potter usai di buku ketujuh, sedikit sekali buku-buku sejenis yang mampu menarik perhatianku dan membuatku ingin menambah koleksi pustaka pribadiku. Nah, buku ini adalah sedikit dari buku fiksi tersebut. Sebetulnya seri pertama buku trilogi Inheritance (Warisan) ini muncul sebelum kisah penyihir cilik Harry Potter tamat. Pertama kali aku membaca buku satu yang berjudul Eragon ini, aku merasa ide yang diusung oleh Christoper Paolini ini lumayan juga. Campuran antara Harry Potter dan Trilogi Lord of The Ring, demikian menurutku. Kepelikan cerita membuatku terkejut ketika mengetahui bahwa si pengarang menulis buku ini di usia 15 tahun.
Trilogi yang kini berganti siklus Inheritance ini bercerita tentang tokoh bernama Eragon, anak petani miskin di Carvahall. Entah nasib ataupun karena turunan, Eragon terjebak dalam peperangan melawan raja Alagesia. Eragon menjadi penunggang naga merdeka satu-satunya. Dengan Saphira, naga betina yang menetas untuknya, Eragon pun bekerja sama dengan kaum Varden, Elf dan kurcaci untuk menumbangkan Galbatorix, raja lalim yang menguasai Alaegesia.
Buku pertama menceritakan petualangan Eragon sebagai penunggang naga pemula menuju tempat persembunyian kaum Varden untuk mencari perlindungan. Buku kedua yang berjudul Eldest, lebih banyak bercerita mengenai pelajaran yang diperoleh Eragon di bawah bimbingan elf. Nah, buku ketiga bertitel Brisingr ini tentu menjanjikan petualangan seru, mengingat akhir buku kedua yang mengejutkan. membaca seri ketiga ini, mau tak mau aku merasa sedikit kecewa. Meskipun di buku ketiga ini mengungkapkan kenyataan baru dan fakta mengenai kekuatan sang raja yang tanpa batas, buku ini terlalu penuh dengan cerita sepele. Intrik politik para kurcaci nyaris membuatku bosan. Walhasil buku ketiga ini selesai kubaca setelah seminggu. Sungguh di luar kebiasaan bagiku yang hanya membutuhkan waktu semalam untuk membaca sebuah buku yang menarik dan seru.
Yah, bagaimanapun aku angkat topi untuk si pengarang. Di usianya yang begitu muda, dia mampu menghasilkan sebuah bestseller. Tentu bukan sesuatu yang mudah untuk mencapi kesuksesan tersebut. Yah, meskipun mengadopsi ide dari JRR Tolkien, Christoper mampu menyuguhkan jalinan cerita menarik yang seru untik dinikmati pembaca. Dengan gayanya, Chris membawa pembaca untuk ikut berjuang bersama Eragon di Alaegesia. Wah, jadi tak sabar aku menantikan episode terakhir perjalanan Eragon, Sang Penunggang Naga.

Sabtu, 11 April 2009

Belanda, Kawan Lama di Benua Eropa



Sudah lama aku berkeinginan untuk bisa menjelajahi dunia. Sebuah niat yang rasanya muskil terwujud jika menilik kondisi yang ada. Impian untuk melihat tempat-tempat eksotis di seluruh dunia ini tak lepas dari ketertarikanku akan seluk beluk budaya dan sejarah masa lalu yang demikian beragam. Ketika membaca sebuah artikel di blog sahabatku, serta merta semangatku tergugah. Artikel yang memuat informasi tentang sebuah kompetisi blog dengan hadiah utama 'summer course' di Belanda tersebut membuka peluang untuk mewujudkan impian terpendam.
Belanda, nama salah satu negara di benua Eropa ini demikian lekat di benak masyarakat Indonesia. Hingga kini masih ada orang asli Indonesia terutama mereka yang berusia lanjut menyebut orang asing berkulit putih, rambut pirang dan bermata biru dengan sebutan Landa (Belanda versi lidah Jawa). Istilah rancu tersebut sangatlah wajar jika menilik hubungan antara Indonesia dan Belanda sejak lebih dari tiga abad yang lalu. Setelah mendapat kemerdekaan dari Philip II pada 1648, Belanda yang kemudian menjadi Republik mencapai masa keemasan dengan memiliki beberapa koloni. Salah satu koloni ternama Belanda pada abad 17 tersebut adalah Hindia Belanda alias Indonesia.Meskipun dalam sejarah Belanda tercatat sebagai bangsa penjajah di Indonesia, sisi positif kedatangan Belanda di Indonesia harus diakui keberadaannya. Adalah humanis C Van Deventer yang menjadi awal kebangkitan nasional. Melalui tulisan-tulisannya, beliau menggugah pemerintah kolonial Belanda hingga memberlakukan Trias Politika (Politik Etis) yang salah satunya mencakup bidang pendidikan. Poin ketiga Politik Etis inilah yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh kebangkitan bangsa . Menilik hubungan historis tersebut, wajar jika di era globalisasi ini Belanda menjadi tujuan menimba ilmu sebagian pelajar Indonesia.
Indonesia dengan segudang permasalahan layaknya negara berkembang agaknya perlu belajar dari sejarah perjuangan Belanda yang kini menjadi negara terkemuka di benua Eropa dan dunia. Andaikata kita, Indonesia mau mencontoh cara negeri Belanda dalam mengatasi keganasan laut mungkin hilangnya 24 pulau kecil di Indonesia dapat dicegah. Ditinjau secara geografis, posisi Belanda tidak menguntungkan dengan kondisi permukaan tanahnya yang rata bahkan lebih rendah dari permukaan laut. Bagaimana mungkin Belanda dapat bertahan dari ancaman laut hingga berpuluh-puluh tahun ? Adalah Cornelis Lely yang berhasil menemukan cara untuk mempertahankan lahan dengan membangun 'dijk' (tanggul) yang membatasi laut dengan daratan. Belanda juga berhasil memperluas wilayah daratan dengan menambak kawasan laut membentuk 'polder' yang digunakan sebagai lahan pertanian dan pemukiman. Upaya reklamasi
www.internasinalsos.com
lahan inilah yang menjadikan Belanda terkenal dengan sebutan negara Kincir Angin. Lantas bagaimana dengan negeri kita ? Daratan justru semakin menyempit dengan tenggelamnya beberapa pulau yang ironisnya lebih diakibatkan oleh ulah manusia yaitu dengan penambangan pasir di luar kendali. Bencana tsunami, banjir rob, dan yang teranyar yaitu jebolnya tanggul Situ Gintung yang menelan lebih dari 100 jiwa mencerminkan buruknya pengelolaan lingkungan di Indonesia.
Di tengah situasi negara yang masih labil sekarang ini, ada benarnya jika
masyarakat sedikit banyak berharap akan munculnya figur pemimpin. Berharap sejarah akan terulang dengan hadirnya sosok-sosok berkarakter tokoh penting masa lalu yang mampu mengubah arah bangsa seperti Bung Hatta. Mengapa Bung Hatta ? Siapa yang tidak kenal Bung Hatta. Salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia yang juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia ini dalam biografinya tertulis sebagai alumni Handels Hoge School di Rotterdam. Dengan semakin banyaknya pelajar yang menempuh studi di
http://farm4.static.flickr.com/3011/2292027336_c234654396.jpg
Belanda mengikuti jejak beliau diharapkan di antara mereka akan muncul sosok Bung Hatta masa kini yang mampu memberikan kontribusinya kepada negara. Belanda selain terkenal sebagai negeri kincir juga populer sebagai pelopor ilmu pengetahuan. Sebut saja Anthony Van Leeweunhoek si penemu mikroskop, Christiaan Eijkman penemu vitamin B yang pernah tinggal di Indonesia, Didier Erasmus seorang sarjana terkenal, Huygens si penemu cincin Saturnus, Hugo de Groot yang disebut Bapak Hukum Internasional, mereka adalah sedikit dari putra-putra Belanda yang sukses di bidangnya masing-masing. Belanda menerapkan wajib belajar hingga tingkat menengah bagi warganya. Demikian pentingnya pendidikan sejak dini bagi Belanda menjadikan banyak cendekia bermunculan di negeri tempat Universitas Leiden ini. Bersyukur, kini negeri kita mulai menempatkan pendidikan di urutan atas program pemerintah. Andaikata anggaran pendidikan sebesar 20 % diterapkan sejak dulu dan yang paling penting anggaran tersebut benar-benar digunakan sebagaimana mestinya niscaya persentase anak putus sekolah bisa ditekan. Betapa miris dan nelangsanya ketika harus menyaksikan anak-anak dari keluarga kurang mampu mempunyai kewajiban utama lain di luar belajar. Ah, semoga dengan dilaksanakannya program sekolah gratis hingga bangku SMP ini, tidak ada lagi anak Indonesia yang bernasib seperti Lintang, seorang anak jenius asal Belitung yang harus merelakan bangku sekolah demi menjadi tulang punggung keluarga.
Negeri Belanda yang telah ada sebelum abad keenambelas ini tentu menyimpan sejarah berliku layaknya negara-negara tua lainnya. Sebuah sejarah yang melahirkan seniman-seniman terkemuka di dunia. Tentunya pecinta seni di dunia mengenal karya-karya Rembrandt van Ritj dengan lukisannya Night Watch yang kini dipajang di Rijksmuseum, Vincent van Gogh maupun Piet Mondriaan. Dengan gayanya tersendiri seniman-seniman Belanda mampu menangkap esensi budaya Belanda dalam sebuah lukisan. Penghargaan Belanda terhadap seni dan budaya warisan leluhur kiranya perlu ditiru oleh kita. Indonesia, tidak kalah dari negara lain dalam hal kekayaan budaya. Dengan beragam suku, tradisi dan adat istiadat masing-masing, Indonesia adalah sumber budaya yang tak ada habisnya untuk dipelajari. Sayangnya, masih ada masyarakat yang belum paham dengan arti penting budaya dan warisan leluhur. Bukannya melestarikan kebudayaan dalam negeri, oknum-oknum tertentu justru memanfaatkan warisan untuk kepentingan pribadi. Lihat saja skandal Museum Radya Pustaka, betapa teganya mereka menjual benda-benda yang jelas-jelas terdaftar sebagai cagar budaya ! Agaknya pemahaman akan pentingnya menjaga budaya nasional perlu digalakkan. Penanaman rasa cinta akan budaya dalam negeri perlu ditanamkan sejak dini. Suatu hal yang sangat penting untuk segera dilaksanakan mengingat telah terjadinya pergeseran budaya pada generasi muda Indonesia. Tanpa menghakimi siapapun, pada kenyataannya remaja-remaja Indonesia mulai menjalankan hidup ala 'kebarat-baratan'. Cobalah mengecek, berapa persen di antara anak muda sekarang yang mengenal dunia pewayangan ? Berapa banyak yang tertarik untuk mempelajari tari-tarian daerah ? Bahkan bahasa Jawa yang demikian indah dilantunkan mulai jarang digunakan sebagai bahasa sehari-hari di keluarga Jawa. Mestinya meskipun zaman telah berubah ke era digital, tidak seharusnya tradisi dan kepribadian leluhur dibiarkan hilang begitu saja.
Walaupun hubungan antara Indonesia dengan Belanda tidak selamanya manis, Belanda tetap menjadi tujuan pelajar dan pelancong asal Indonesia. Belanda tidak hanya terkenal dengan karena kincir belaka. Sebagai kota wisata, Belanda tidak kalah menarik dengan tempat-tempat eksotis lainnya di dunia. Belanda terkenal dengan keindahan bunga tulipnya, sampai-sampai mendiang ibu negara Tien Soeharto membawa pulang umbi bunga Tulip untuk

http://www.bigfoto.com/europe/netherlands/amsterdam/003-amsterdam.jpg
dikembangbiakan di Indonesia agar rakyat Indonesia bisa menikmati cerahnya warna-warni mahkota tulip tanpa harus ke Belanda. Ah rasanya, keinginan untuk menginjakkan kaki ke negeri Belanda semakin meluap saja. Tidak hanya sekedar menyusuri kanal-kanal yang melintasi kota Amsterdam, mencermati keagungan lukisan-lukisan Rembrandt, mencium wangi bunga Tulip, menggoyang lidah dengan lezatnya keju Edam melainkan menemukan makna sesunggunhya negeri Belanda. Dengan belajar dari Belanda, pandangan dan wawasan akan semakin terbuka. Jalan untuk merambah dunia pun semakin mudah untuk dilewati.




Kamis, 09 April 2009

Contreng

Akhirnya tibalah hari yang ditunggu khususnya para caleg yang sebulan ini telah bekerja keras untuk meraih simpati pemilih. Sejak semula, aku tidak berniat untuk tidak menggunakan hak pilihku, meskipun aku tidak yakin benar akan pilihanku alias asal nyontreng ^^. Menyimak informasi di televisi, bahwa pencontrengan dimulai dari pukul tujuh hingga dua belas, pagi ini aku berangkat sekitar pukul 8 dengan harapan tidak terlalu lama menunggu giliran. Namun, siapa sangka begitu tiba di TPS, panitia belum memulai proses pencontrengan ! Bahkan dari gerak-gerik dan pembicaraan di antara mereka mengindikasikan ketidaksiapan dan masih ada yang belum paham benar tata cara memilih. Melihat banyaknya calon pemilih yang sudah mengantri, mau tak mau aku berpikir mungkinkah proses ini akan belajar lancar dan selesai tepat pada waktunya ? Sepertinya Pemilu kali ini berjalan dengan segudang masalah. Berdasarkan pengamatan dari TPS setempat, Pemilu tidak bisa dikatakan sukses besar. Dari sekian orang DPT, yang menggunakan hak pilihnya hanya berkisar antara 60-70 %. Hasil pemilihan pun tidak begitu memuaskan, terhitung banyak surat suara yang dinyatakan tidak sah. Yah, hasil demikian memang wajar mengingat rumitnya tata cara mencontreng yang benar. Ketika menanti giliran, aku harus susah payah menahan tawa melihat kekikukan para pemilih terlebih mereka yang tergolong usia lanjut. Mungkin terdengar tidak sopan jika aku menertawakan ketidaktahuan orang, tapi mau tak mau aku harus tertawa meskipun itu tawa yang lahir dari kegeraman akan semrawutnya Pemilu. Surat suara yang besarnya melebihi ukuran lembaran koran menyebabkan kegaduhan tersendiri. Bilik suara kecil yang terbuat dari bahan logam menimbulkan bunyi berisik ketika bertubrukan dengan siku kedua tangan yang antusias membuka surat suara. Suara gaduh juga terdengar ketika pemilih berusaha memasukkan surat suara ke tempatnya. Berhubung lubang kotak sempit, mau tak mau tangan harus menekan kuat-kuat, walhasil bunyi ala drum dipukul pun terdengar. Aku demikian juga pemilih lain yang sedang menunggu giliran tergelak ketika melihat seorang nenek yang kewalahan melipat surat suara hingga panitia pun harus turun tangan memandu hingga proses pencelupan tinta. Lagi-lagi panitia dibuat kebingungan akibat ketidaktahuan pemilih yang keliru memasukkan surat suara ke kotak yang benar. Waduh, semestinya ada petugas tersendiri yang mengawasi pemasukan surat ke kotaknya. Antrian yang semakin panjang membuat panitia kewalahan, maklumlah prosesi pendaftaran tidak dilakukan secara sistematis. Aku pun harus protes gara-gara diserobot pemilih yang baru datang. Setelah lebih dari satu jam, akhirnya aku tuntas menggunakan hak pilihku. Lega karena sudah berakhir, aku pun pulang ke rumah, mengobrol dengan sesama pemilih dan tak lupa menyimak informasi terkini di televisi. Hasil Pemilu rupanya tidak meleset jauh dari perkiraanku. Banyak pemilih golput yang lebih mementingkan mudik daripada menunggu sehari untuk memilih, maupun golput karena tidak percaya lagi pada penguasa. Surat suara tidak sah maupun yang dinyatakan rusak hingga kemenangan sementara Partai Demokrat yang terdongkrak popularitasnya dengan program BLT terakhir. Yah, apapun hasilnya rakyat hanya bisa menunggu cara kerja pemerintahan yang baru. Mampukah mereka memperbaiki kondisi negeri yang morat-marit ? Akan ingatkan mereka dengan janji-janji selama masa kampanye ? Berpihakkah para wakil rakyat terhadap mereka yang diwakilinya ? Pertanyaan tersebut kiranya masih jauh untuk mendapatkan jawaban, mengingat Pemilu baru berlangsung pada putaran pertama.

Sabtu, 04 April 2009

Sekilas Kampanye

Jebolnya tanggul Situ Gintung yang menelan lebih dari seratus jiwa mengingatkan orang-orang berumur di daerah tempat tinggalku akan peristiwa serupa. Walaupun aku belum lahir, kengerian ketika bendungan waduk Sempor bobol membuatku merinding ketika mendengarkan kenangan pahit tersebut dari orangtuaku. Perbedaannya, jika bendungan Sempor karena kontruksi yang tidak sempurna, jebolnya Situ Gintung bisa dikatakan lebih dikarenakan faktor 'human error'. Lagi-lagi peristiwa naas yang menimpa warga Indonesia menjadi ajang 'ping-pong' pihak-pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab. Nah, berhubung sedang masa kampanye, tragedi ini pun tak luput dari ajang pemanfaatan kelompok tertentu untuk menjaring simpati. Dengan label bantuan, nama-nama parpol tak ketinggalan disertakan di posko-posko darurat. Yah, hitung-hitung kampanye di luar jadwal. Ngomong-ngomong tentang kampanye, di daerahku yang tergolong kecil pun tak luput dari kedatangan tokoh-tokoh terkenal untuk mempropagandakan visi dan misi partai masing-masing. Prabowo, Permadi, Megawati, Amin Rais sedikit dari sekian nama besar yang menyempatkan diri singgah di kotaku. Seperti yang pernah sekilas kutulis tentang kampanye, lagi-lagi kampanye parpol di kotaku berlangsung tanpa greget. Meskipun kampanye berasal dari parpol besar, gempita arak-arakan simpatisan tak semeriah Pemilu terakhir lalu. Usut-punya usut ada beberapa simpatisan yang tertarik ikut karena mendapat uang lelah, tertarik dengan hiburan musik dangdut dan tak ketinggalan kesenangan berkendaraan dengan bebas di jalanan tanpa takut ditilang. Alasan terakhir ini membuatku tersenyum sinis ketika menyaksikan iring-iringan kendaraan bermotor di jalan utama kotaku. Orang Indonesia memang belum dewasa, demikian pikirku. Bagaimana tidak, kemacetan yang terjadi akibat kampanye tidak menjadikan pemakai jalan menjadi lebih tertib. Ego dan kepentingan pribadi lebih dikedepankan, membuat keruwetan jalan semakin bertambah. Walhasil polisi yang bertugas pun kewalahan hingga tak kuat menahan emosi dan umpatan pun terlontar, jengkel dengan ketidakpatuhan pemakai jalan. Aku pun ikut gregetan ketika supir-supir kendaraan nekat menerobos masuk meskipun jalan sudah ditutup dengan penghalang. Baru kali ini aku merasa empati pada pak polisi yang kewalahan mengatur jalan di tengah derasnya hujan. Kampanye menurut hematku kini tidak begitu efektif untuk menjaring suara. Berbeda dengan waktu-waktu yang lalu, simpatisan suatu partai betul-betul mengakui dan menyetujui visi dan misi suatu parpol. Bandingkan dengan sekarang, dimana uang lebih banyak berbicara. Bisik-bisik yang kudengar prinsip terima rejeki tanpa janji harus ditepati banyak beredar di kalangan simpatisan ^^. Menurut pendapat pribadiku, dana yang dikucurkan untuk sebuah kampanye akbar lebih baik dialihkan untuk membantu korban-korban bencana yang marak terjadi di Indonesia. Bukankah mereka lebih membutuhkan uluran tangan secara langsung ? Bukan sekedar janji manis seperti yang dilontarkan Wapres kepada korban Situ Gintung. Mengapa janji manis ? Berkaca pada tragedi Lumpur Lapindo yang sampai sekarang masih menggantung penyelesaiannya. Demikian pula dengan korban gempa Jogja yang tak menerima sepeserpun bantuan pemerintah walau sudah dijanjikan (ini benar-benar terjadi pada salah seorang anggota keluargaku yang ikut tertimpa musibah). Jangan sampai korban Situ Gintung terlunta-lunta menantikan bantuan yang tak kunjung tiba untuk secepatnya menata kembali kehidupan mereka. Harapannya, dengan suksesnya Pemilu kali ini, pemerintah baru yang terbentuk dapat memperbaiki kondisi tanah air, mampu merombak pola masyarakat Indonesia menjadi lebih dewasa dalam berpikir, meneladani pada tokoh-tokoh terdahulu yang lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.

Rabu, 01 April 2009

Home Alone

Meskipun aku sudah menginjak usia dewasa, terhitung baru beberapa kali aku mengalami sendiri di rumah. Karena pada dasarnya aku tergolong penakut, pertama kali harus ditinggal sendiri di rumah nyaris semalam aku tidak tidur gara-gara ketakutan ^^. Akhirnya setelah beberapa kali harus jaga rumah sendirian rasa takut sedikit demi sedikit berganti menjadi rasa bebas. Demikian juga dengan beberapa hari ini, sekali lagi aku menjadi penghuni tunggal di rumah. Untuk mengenyahkan takut dan gelisah sendirian di malam hari, aku pun meminjam keping-keping cd di tempat persewaan film. Satu demi satu judul-judul film lumayan baru kutonton sembari beristirahat. Maklumlah, berbagai acara televisi di malam hari terhitung jarang yang bisa kunikmati. Entah karena seleraku yang diluar kebiasaan atau mutu pertelevisian tanah air yang menurun, yang jelas beberapa hari ini aku absen menonton televisi, lebih tertarik dengan dengan cerita apik dalam film. Dari beberapa judul yang kupilih, ada satu yang berkesan dan membuatku terhanyut ketika menonton film itu. Laskar Pelangi, demikian judul film yang membuatku menangis ketika menyimak jalan cerita anak-anak di Belitung. Ya heboh Laskar Pelangi memang sudah berlalu, namun baru kali ini aku sempat menonton versi layar lebarnya. Melihat perjuangan Bu Muslimah, membuatku teringat akan pengalamanku yang bisa dibilang cukup mirip dengan kisah nyata yang ditulis oleh Andrea Hirata ini. Tanpa berusaha memposisikan diri sebagai Bu Mus, aku bisa merasakan kegelisahan dan kekhawatiran beliau ketika menantikan kedatangan murid untuk memenuhi kuota minimal berlangsungnya sebuah sekolah. Aku teringat ketika dua minggu penuh, aku dan rekan-rekan guru berharap-harap cemas, bertanya-tanya akankah ada yang datang meskipun segala cara telah digunakan untuk mempromosikan sekolah kami. Air mataku menetes untuk kedua kalinya saat menyaksikan adegan Lintang harus berpisah dari teman-temannya karena keadaan. Lagi-lagi sebuah cerita mirip pernah kualami. Rasa miris Bu Mus dan teman-teman Lintang ketika melihat seorang jenius harus melepas impian dan cita-citanya karena tak ada biaya serupa dengan kepedihanku ketika tak sanggup membantu anak yang harus putus sekolah karena orang tuanya hanya sanggup membiayai hingga jenjang SMP. Pendidikan di Indonesia semakin bias saja. Meskipun sudah dicanangkan sekolah gratis, pada kenyataannya mereka yang tidak mampu tetap tidak bisa sekolah. Kepintaran tidak menjamin seseorang bisa mengenyam bangku pendidikan setinggi-tingginya. Di era dimana uang menjadi raja, asal punya uang orang bisa memilih tempat dan waktu yang tepat untuk memperoleh pengetahuan formal. Inilah yang menjadi nilai buruk dunia pendidikan di Indonesia. Uang bisa membeli pengetahuan. Lihatlah betapa banyaknya kasus-kasus ijazah palsu, jalur-jalur khusus pendidikan berbasic sumbangan, hasilnya kualitas kaum intelek berijazah perlu dipertanyakan kapabilitasnya. Perjuangan Lintang dan kawan-kawan di pulau terpencil menjadi patut untuk dicontoh anak-anak sekarang. Bercermin pada mereka yang biar kurang mampu namun tetap semangat untuk sekolah, memanfaatkan waktu di sekolah sebaik mungkin untuk belajar dan terus belajar.
Usai menyaksikan film yang lumayan mengharu biru, aku pun beralih ke genre lain. Sayangnya kali ini aku salah memilih judul. Thriller yang kukira biasa saja berubah menjadi menakutkan, spontan kumatikan player dan beralih ke televisi. He...he.. ternyata sifat penakutku masih kental. Yupss, sendiri memang mengasyikan, bebas melakukan apa saja tanpa ada yang mengomentari atau melarang. Sekali-kali enak juga merasakan menjadi si bandel Kevin dalam Home Alone.

One Night With Sasuke

"Berhubung aku ingin bertindak adil, ya pilih semua ", sebaris kalimat yang terlontar dari bibir sahabatku sontak membuatku tertawa. Ahh, betapa kangennya aku akan celotehan dan canda sahabatku yang satu ini. Memanfaatkan waktu liburan selama beberapa hari, sahabatku pulang ke asal sekaligus ikut berpartisipasi dalam acara penting keluarganya. Berhubung susah mengatur jadwal untuk berkunjung, walhasil aku sukses membujuk penggemar berat Sasuke ini menginap barang semalam di kediamanku. Namanya juga jarang-jarang ketemu, satu malam itu kuhabiskan dengan mengobrol mulai dari membahas komik dan novel-novel terbaru hingga gosip-gosip seputar teman-teman. Nah, kalimat pembuka di atas terucap ketika kami berbicara mengenai Pemilu. Meskipun sejak dulu aku paham dengan pandangannya mengenai situasi politik tanah air, berhubung sekarang berita seputar pemilu sedang hangat-hangatnya mau tak mau aku tergelitik mendengar pendapat Sasuke-kun ini. Khas Sasuke dan tentu tak jauh dari dugaanku jawaban atas pertanyaan pilih yang mana lebih mengarah ke 'golput'. Berbincang-bincang dengan sahabatku yang satu ini, menyegarkan kembali hari-hariku yang akhir-akhir ini penat dengan rutinitas menyesakkan. Jalan pikiran logis dan rasional hingga kemampuan untuk berdiskusi dan berkomunikasi seperti yang dimiliki Sasuke-kun kini nyaris tidak kutemukan pada lingkungan baruku. Sebuah kondisi yang cukup membuatku tertekan. Benar apa kata orang, tong kosong itu nyaring bunyinya, semakin tak tahu semakin keras kepala pula seseorang. Menghadapi sifat sok tahu memang menyebalkan. Itulah yang kini kuhadapi sehari-hari. Kejengkelanku semakin bertambah dengan sifat menggurui dan tak mau menerima pendapat orang lain. Meskipun kadang aku tertawa dalam hati mengingat omong kosong dan salah kaprah di balik penjelasan yang dibuat seolah itu benar, lama-lama tak tahan juga dengan kekeraskepalaan tak masuk akal itu. Makanya, jauh-jauh hari mendengar berita kepulangan Sasuke-kun, aku bersiap-siap mengatur waktu untuk bertemu meskipun sebentar. Ya, menghabiskan satu malam dengan sahabat lama memang menjadi hiburan tersendiri. Rasanya tak sabar menanti pertemuan berikutnya. Arigato, Sasuke !