Senin, 16 Januari 2017

NYAMPAH

Sudah lama sekali tidak nyampah di media ini. Terakhir nulis bukanya nyampah tapi mengerjakan tugas wajib biar lulus salah satu mata kuliah. Sebetulnya, banyak sekali sampah yang mau dibuang kesini, berhubung terbatasnya waktu akhirnya dipilih sampah yang paling bau saja yang tak lain adalah sampah keluarga. Berkeluarga bagi umat muslim itu menyempurnakan ibadah. Berhubung saya muslim (titik, tanpa embel-embel soal pro kontra kasus paling hot saai ini ^^), saya juga ingin menyempurnakan ibadah saya. Kata orang, menikah itu menambah masalah. Setelah tiga tahun berkeluarga, kata orang itu ada benarnya juga. Bagaimana tidak masalah ? Hidup yang dulu cuma untuk diri sendiri dan orang tua, sekarang harus berbagi dengan orang baru plus keluarga baru. Nah, keluarga baru ini lah yang paling menambah masalah. Mereka tidak secara langsung ikut andil dalam rumah tangga, namun justru paling banyak menambah masalah. Maklumlah, keluarga baru ini banyak yang betul-betul asing, tidak ada hubungan darah kecuali ikatan pernikahan. Jadi, tak heran jika gesekan-gesekan kecil sampai besar pasti terjadi. Memang, agama mengajarkan, tidak hanya menikahi suami/istri saja, tapi juga keluarganya. Tapi, lagi-lagi anggota keluarga yang inilah yang seringkali menjadi duri dalam sebuah pernikahan. Memang sih, saya nulis ini gegara baru saja terjadi konflik keluarga. Tapi, kalau mau diadakan survei, hasilnya bisa jadi kurang lebih sama
Kenapa sih, kok sampai baper banget (minjam istilahnya anak muda) ? Saya ini paham tidak paham resiko mengikatkan diri dengan seorang duda cerai. Memang semua itu kalau belum dijalani tidak akan tahu rasanya. Di awal pernikahan, saya sudah sering baper mendengar celotehan keluarga tentang si mantan. Berhubung yang saya dengar kebanyakan negatif, saya masih bisa tahan. Tapi lama-lama, celotehan itu menjadi ganjalan. Nggak cuma satu dua kali lho, keluarga suami memanggil saya dengan nama si mantan. Mau dibilang hiper sensitif ya terserah, pada intinya sebagai wanita mana tahan kalau sering salah dipanggil nama dengan nama si mantan. Apalagi yang manggil itu keluarga dekat (baca:adik), bukannya minta maaf telah menyakiti hati seorang wanita yang rapuh (ehemmm...), malah terus diulangi. Dan ketika saya dengan pedenya mengungkapkan emosi di media sosial, mereka (baca:istri sang adik) malah marah-marah dan menuding saya menghina suaminya. Olala, sudah tersakiti masih ditusuk jarum pula. Berhubung saya orangnya rendah hati, dengan segala kesantunan akhirnya saya menyudahi perkara dengan posisi saya yang minta maaf ! What's the hell ?!.
Hummph...mungkin kalau membaca tulisan ini, akan menganggap saya terlalu sensi, hanya karena salah sebut nama terus ribut-ribut. Memang sih, kalau dipikir kok hanya karena itu saya jadi 'ngamuk' kaya gunung Merapi meletus ? Sekali lagi, disini saya cuma nyampah, biar tidak kena penyakit hati kronis gara-gara memendam amarah. Inilah saya, seorang wanita super sensitif yang selalu baper jika dipanggil dengan nama si mantan, padahal saya sudah tiga tahun lebih menikah. Inilah saya, yang selalu baper kalau main ke rumah mertua dan melihat foto si mantan masih terpasang di dinding (foto keluarga lama). Inilah saya, yang dengan gegabah mengatakan 'goblok' pada si adek nakal yang katanya lupa karena jarang ketemu (hoho..sebegitu kecilkah otak manusia sehingga nama pun salah, padahal jelas orang yang berbeda, dengan si mantan juga dulu  jarang ketemu, kok masih diingat-ingat ?). Inilah saya, yang notabene 'kakak' justru diperlakukan sebaliknya dengan menyebut saya dengan kata "KAMU", "BISA BACA NGGAK?". Inilah saya, yang katanya menghina suaminya dan kemudian balik dilecehkan seperti tersebut di atas? Inilah saya, yang akhirnya mengalah walau tidak pernah terucap kata "saya maafkan" atas pernyataan maaf yang diikuti kata-kata tersebut di atas (berarti nggak niat minta maaf tuh, minta maaf kok ada tapinya....). Inilah saya yang terus terang belum bisa memaafkan mereka, bukan karena salah sebutnya namun karena pelecehan di balik permintaan maafnya. Memang, apalah saya ini, orang dari keluarga miskin, tidak punya jabatan, fisik yang bukan seorang top model, kampungan (karena dari kampung ngapak-ngapak) yang selalu menjadi bahan banyolan di tempat aku tinggal sekarang. Tapi, saya bangga dengan diri saya, dari keluarga miskin yang mampu berprestasi walau minim fasilitas, bangga dengan orang tua saya yang sukses mengantarkan anak-anaknya menempuh pendidikan tinggi walalu harus ngutang di bank buat modal usaha. Jadi, maafkan saya kalau saya justru memandang rendah kalian wahai keluarga baruku yang ngakunya kaum priyayi namun tidak bisa mengingat nama yang terdiri dari tiga huruf, yang balik menghina pada orang yang lebih tua, yang tidak mau disalahkan dan memberi nasehat pada orang kampung ini agar bertindak sopan (padahal kamupun tidak sopan nduk !). Maafkan saya, yang belum bisa menganggap kalian bagian dari keluarga saya, karena dari awal pun kamu tidak menganggap saya (Ingat hadiah pernikahan darimu ? Ingat isi amplopmu saat anakku sakit ?). Maafkan saya, yang selalu merasa iri dengan perlakuanmu yang jauh berbeda dengan saudariku yang lain. Sekali lagi maafkan saya, karena saya benar-benar tidak akan menganggapmu bagian dari keluarga saya, karena katamu menghormati suamiku, tapi tidak menghormatiku. Salam orang kampung !