Kamis, 07 November 2013

Satu Hari Dalam Hidupku

Surprise tak selalu berhasil dengan baik. Niat baik memberikan kejutan tanpa memperhatikan tingkat keseriusan sebuah momen, justru memberikan efek di luar harapan. Itulah yang terjadi pada satu hari dalam hidupku yang seharusnya menjadi momen penting bagiku menuju pribadi yang dewasa dan mandiri. Jauh hari sebelumnya hingga beberapa saat sebelum kepulanganku ke kampung halaman, berkali-kali aku meminta penjelasan akan rencana di hari Minggu. Dan jawaban yang kuterima selalu sama, "Hanya silaturahmi". Bermodal jawaban yang kudapat, aku pun santai saja tak melakukan persiapan khusus untuk menyambut tamu dari jauh. Demikian pula dengan sanak yang lain, hanya sekedar berkumpul, menyiapkan tempat dan jamuan sederhana. Sambil menghabiskan waktu tunggu mengingat perjalanan jauh yang harus ditempuh, aku asyik bercengkerama dengan sobat-sobat karibku hingga malam menjelang. Segala urusan menyambut tamu kuserahkan pada mereka yang lebih berpengalaman ^^. Demikianlah, setelah lama menunggu, rombongan pun tiba dan saat itulah surprise dimulai. Berondongan pertanyaan sama bertubi-tubi dilayangkan kepadaku. "katanya begini, katanya begitu ", segala pertanyaan yang tak sesuai dengan busana rapi rombongan, bingkisan terbalut kertas payung dan sebentuk lingkaran emas dalam wadah hijau. Aku pun tergagap-gagap menjawab pertanyaan yang meliputi maukah ? mantapkah ? kapankah ? dan seterusnya. Aku pun menyingkir ke dalam, berbaur dengan sobat-sobat kecil yang tak peduli dengan apa yang tengah berlangsung di ruang sebelah. Malu bukan kepalang aku, dalam hati memaki otak pembuat surprise dan bersumpah akan memarahinya habis-habisan ^^. Bagaimana tidak, berbekal jawaban sekedar berkenalan, aku pun tampil apa adanya. Berbusana jeans gombrong tanpa sentuhan riasan (yang penting sudah segar sehabis mandi ^^), aku harus menjawab pertanyaan resmi di even yang resmi namun aku jauh dari image resmi ! Kurang lebih 2 jam lamanya kedua pihak saling mengenal lebih jauh, sebelum akhirnya aku pun ikut di rombongan yang sama untuk kembali ke tempat yang kelak menjadi tempat tinggal permanenku. Lelah, lega, bingung, gugup bercampur jadi satu ketika runtutan peristiwa datang padaku. Syukur tak henti-hentinya kudengungkan atas jalan yang telah terbuka. Meskipun aku punya pe-er yaitu harus mengajar materi tentang "Surprise pada tempatnya" ^^.

Rabu, 09 Oktober 2013

Upah Minimum Hidup Layak

Huft setelah sekian lama, baru kali ini sempat membuka rumah tulisku. Itu pun sedikit dipaksakan, sekedar berganti suasana di tengah kejaran tenggat waktu seabrek kerjaan. Sebenarnya, banyak unek-unek atau sebatas celoteh ringan menyikapi berbagai kejadian baik skala lingkungan sekitar sampai nasional. Berhubung kesulitan membagi waktu, plus gangguan kesehatan akibat tubuh mencapai batas lelah, Beberapa waktu lalu, sebelum media online dihiasi berita seputar kecelakaan fenomenal putra musisi terkenal, ataupun update berita kasus suap hakim MK, aku setia mengikuti perkembangan demonstrasi buruh sekaligus komentar-komentar pembaca baik pro maupun kontra. Dulu, aku menyimpan simpati pada buruh dengan gaji minim walau memeras keringat sehari penuh. Bersinggungan langsung dengan kehidupan buruh, bahkan bertugas menghitung dan membayar gaji mereka, membuatku miris. Maklumlah upah minimun buruh di pedesaan hanya setaraf sedikit mendekati cukup untuk menghidupi keluarga. Ketika terjadi demonstrasi buruh menuntut upah minimum, aku setuju-setuju saja, mengingat nilai uang yang semakin melorot sehingga tak memungkinkan dengan gaji tetap untuk mencukupi kebutuhan. Sekali tuntutan terpenuhi ternyata berlanjut ke tuntutan-tuntutan berikutnya. Kenaikan UMR bagi buruh di ibukota yang baru saja disahkan, ternyata belum cukup bagi buruh dalam tanda kutip. Entah serikat ini benar-benar mewakili seluruh buruh di Indonesia atau tidak, rasanya mereka makin 'ngelunjak' dengan tuntutan yang kurang masuk akal. Kali lalu aku membaca berita online yang berisi daftar item yang digunakan sebagai dasar perhitungan tuntutan kenaikan UMR. Semakin jauh ke bawah, item-item yang tertera di daftar makin menggelikan. Membuatku berpikir apakah buruh sedemikian 'ceteknya' pemikiran mereka. Uang makan, kontrakan, transport, kesehatan, pensiun mungkin bisa dinalar bahkan tunjangan baju dan sepatu masih bisa diterima. Tapi bagaimana dengan uang kosmetik (lipstik, bedak, dsb) ? Uang buah-buahan ? Uang rekreasi ? Uang pulsa ? Apakah mereka tidak berpikir, di tengah terpuruknya situasi ekonomi, tuntutan mereka yang diluar kewajaran justru mencerminkan piciknya buruh di Indonesia. Tuntutan upah sedemikian tingginya justru membuat perusahaan berpikir untuk melakukan perampingan besar-besaran. Persaingan antar buruh semakin meruncing, bagi mereka yang tak mempunyai skills tambahan, bersiap-siap saja kena PHK. Jika alasan buruh berhak hidup layak seperti pegawai negeri, pikirkanlah lebih jauh. Pertanyaannya pegawai negeri mana yang sehari makan 3 x lengkap dengan minum susu dan buah pencuci mulut. Pegawai mana yang kontrakannya sebulan mencapai 750 ribu rupiah ? Mungkin mereka hanya melihat gaya hidup pegawai eselon tinggi dengan tunjangan ini itu. Tapi,tidakkah mereka berkaca pada pegawai rendahan terutama di daerah ? Berpuluh tahun mengabdi pun masih banyak yang belum mempunyai rumah sendiri. Baju dan sepatu baru hanya setahun sekali kalau tidak mendahulukan kepentingan anak. Membiayai sekolah anak-anak pun harus menggadaikan aset dulu dengan sistem potong gaji. Padahal modal  menjadi pegawai juga tidak murah, harus mengenyam pendidikan tinggi, bersaing dengan puluhan bahkan ratusan ribu pelamar, dan harus meniti karir dari bawah, syukur-syukur di hari tua sempat mengenyam posisi puncak. Nah, yang menjadi masalah, apakah demonstrasi itu murni dari buruh atau ditunggangi oknum yang ingin mencari keuntungan alias pengangguran berselubung pengurus ? Tak tahulah, hanya berharap kecemburuan antar profesi bisa dikurangi. Caranya bukan dengan menyamakan gaji, melainkan mempertimbangkan segala aspek yang masih beradadalam batas kewajaran

Rabu, 03 Juli 2013

Ketika Cerita dan Musik Tak Lagi Menarik

"Aktivitas manusia akan menghasilkan limbah atau lebih dikenal dengan istilah sampah (walaupun sampah lebih tepat untuk menyebut limbah padat)", demikian materi awal yang dua tahun ini selalu kusampaikan pada anak didikku. Belakangan ini aku tidak aktif menulis di media blog, hanya sekedar mengunggah status di media sosial, dan kuperhatikan status-statusku kian hari kian menggambarkan kegelisahan yang berkecamuk dalam diriku. Rupanya aktivitas sehari-hari tak hanya menyisakan sampah dalam wujud benda, melainkan juga muncul sampah abstrak yang berkaitan dengan pikiran dan perasaan. Aktivitas  bertubi-tubi tanpa jeda, kabar duka dan kabar suram yang berdatangan, semakin memforsir tenaga yang mengakibatkan menumpuknya sampah hati alias unek-unek. Sama seperti sampah dalam arti sebenarnya yang bila tidak dikelola dengan baik bisa mencemari lingkungan, sampah hati jika tak dikelola pun lama-lama mencemari pikiran, perasaan yang berdampak pada perkataan dan perbuatan. Hal ini telah kurasakan benar sejak dulu. Ketika sampah hati tak dikelola ataupun sekedar dibuang dengan melakukan 'curhat' baik bercerita pada teman ataupun sekedar menulis di blog pribadi, jenuh yang menumpuk membuatku gelisah tak menentu, akibatnya perangaiku berubah menjadi "dark angel". Ketus, mudah emosi, menganggap semua salah dan keinginan kuat untuk menarik diri dari lingkungan sosial, itulah yang terjadi padaku. Saking suntuknya, membaca buku hingga mendengarkan musik tak lagi menarik untukku, merebahkan tubuh dan menyerahkan diri pada kuasa mimpi mengisi hari-hariku. Lelah dengan keadaan ini, tanpa memikirkan lebih jauh isi kantong yang masih  harus bertahan sampai dua minggu lagi, di suatu sore yang cerah aku melarikan diri dari kungkungan tembok. Memacu kuda besiku menuju hiburan ku yang terakhir, tempat pemutaran film di pusat kota. Tak butuh waktu lama bagiku untuk hanyut dalam petualangan versi baru laki-laki tampan dari planet asing. Tak kurang dari 2 jam aku terlepas dari kungkungan jenuh, menyerahkan diri pada adegan demi adengan seru. Orang yang tak suka film, selalu mengejekku bodoh, karena mau saja dibohongi (termasuk preman udik yang satu itu ^^). Ah aku tak peduli, pada kenyataannya begitu keluar dari ruangan berlayar lebar, aku bisa tersenyum, di kepalaku masih terbayang visual effect canggih "Man of Steel" , mengingat-ingat kesamaan fisik dan postur para pemeran Clark Kent dewasa maupun remaja. Di bawah cahaya supermoon, aku kembali dengan sampah pikiran yang telah diolah sehingga tak begitu mengganggu.

Rabu, 29 Mei 2013

Kisi = Prediksi, Motivasi, Atau Solusi Degenerasi ?

Tak lama lagi mereka yang menyandang status pelajar akan menempuh ulangan umum / ulangan akhir semester/ulangan kenaikan kelas. Demikian pula  dengan mereka yang saat ini memperoleh jejalan materi dariku, sejak beberapa hari lalu hampir setiap kelas yang kumasuki ribut meminta kisi-kisi soal yang akan diujikan. Apa sih kisi-kisi itu ? Gampangnya kisi-kisi semacam rambu-rambu penulisan soal yang mencakup materi, indikator yang ingin dicapai dari soal tersebut. Jadi bisa ditebak yang terjadi ketika kisi-kisi tersebut sampai ke tangan siswa, secara otomatis gambaran soal yang akan diujikan bisa dikatakan telah bocor. Lagi-lagi situasi telah jauh berbeda dengan zamanku dulu, ketika aku masih menjadi siswa tak sekalipun aku dan teman-teman meminta kisi-kisi. Alih-alih meminta, mengenal istilah kisi-kisi pun tidak. Persiapan menghadapi ujian murni belajar seluruh materi yang telah dipelajari. Tak terbesit sekalipun membuat salinan catatan pada secarik kertas kecil yang nantinya dibuka kembali saat mengerjakan soal alias mencontek ^^. Ya, zaman dulu sekedar bertanya pada teman saja rasa takut ketahuan guru sedemikian hebatnya, apalagi secara khusus mempersiapkan peralatan mencontek, wah kalau bukan mereka yang bermental baja dalam hal 'mbeling' pastilah tak akan mengambil resiko kena 'black list' guru. Sekarang, situasi telah berbalik 180 derajat, menyalin jawaban teman merupakan hal umum. Tanpa takut-takut catatan yang masih dalam bentuk aslinya dibawa ke ruang ujian, tak peduli dengan pengawas kepala sekaligus badan berputar ke kanan kiri dan ke belakang, mulut sibuk bertanya dan membacakan jawaban. Kisi-kisi yang diberikan justru disalah gunakan untuk membuat catatan kecil sebagai media kecurangan dalam ujian. Memang tak semua melakukan hal seperti itu, akan tetapi sebagai akibat perbuatan beberapa orang tersebut mengubah pandangan siswa terhadap ujian. Dulu ujian adalah persoalan serius yang menyangkut masa depan, sekarang ujian tak lebih dari sekedar formalitas untuk mendapat nilai minimal. Siapakah yang patut disalahkan ? Jawabannya semua salah mulai dari sistem yang berlaku hingga personel yang terlibat di dalamnya. Bak KKN yang menggurita, kemerosotan kualitas pendidikan sudah mencapai tahap susah untuk ditanggulangi terutama dari segi moral, akhlak, karakter dan kepribadian siswa. Lalu bagaimana dengan masa depan generasi emas bangsa ? Berbagai upaya telah dilakukan dan yang teranyar akan diberlakukannya kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter siswa. Semoga pendidikan kembali ke asalnya mendidik dan membimbing generasi emas dalam kebaikan, kemajuan nusa, bangsa dan agama.

Jumat, 24 Mei 2013

Lihat dan Alami

Pertama kali aku masuk ke ruangan ini, optimisme untuk bisa memuaskan kegemaranku berkutat dengan tumpukan buku seketika runtuh. Alih-alih menemukan koleksi beragam mengingat banyaknya program keahlian yang ada, sederet rak di hadapanku berisi buku-buku usang  berdebu. Jangankan menemukan judul baru, sekedar mencari koleksi buku teks pelajaran wajib pun tak ada. Tak perlu bertanya dimana letak buku fiksi, karena memang tak ada. Kondisi ruangan yang sempit, dengan ruang baca terbatas dan cenderung gelap menambah lengkap alasan keengganan pengunjung untuk datang dan mencari informasi yang dibutuhkan. Kulihat data koleksi yang ada, dan seketika aku tersenyum penuh kemenangan. "Wah koleksi pribadiku lebih banyak dari ini", kataku dalam hati. Kuberanikan bertanya pada yang berwenang dan jawaban yang diperoleh sangatlah klise, sehingga tak perlulah kutuliskan disini. Dua tahun berlalu, ada sedikit kemajuan yang kulihat dengan bertambahnya penghuni rak yang masih kosong dan usang. Sederet judul buku dari berbagai bidang menambah koleksi yang berujung bertambahnya minat pengunjung. Sekali lagi kuberanikan bertanya, sedikit berkomentar antara senang dan sinis mendengar jawaban yang kuterima. "Oh, gara-gara nilai minus yang diperoleh akhirnya mau menyisihkan dana untuk menambah inventaris.", gumamku. Tak disangka, minatku akan buku membawaku mengemban tugas  mengelola tempat ini. Idealisme yang masih membara membuatku bersemangat merencanakan program pengembangan terutama peningkatan koleksi perpustakaan. Proposal demi proposal yang sebelumnya aku tak pernah membuat apalagi mengajukan kusiapkan dengan cermat agar tujuan tercapai. Dan akhirnya aku bernasib sama dengan yang sebelum-sebelumnya, idealisme runtuh dengan sendirinya, usulan dimentahkan dengan alasan klasik yang menurutku lebih bermuatan politik yang penuh dengan intrik. Jika kubaca lagi peraturan yang ada, sebetulnya alasan yang mementahkan usulanku itu sama sekali tak bisa diterima. Demikian pula dengan alasan pendidikan gratis karena sebetulnya tidak benar-benar gratis melainkan dibiayai pemerintah. Aku sendiri heran, bukankah perpustakaan merupakan pusat informasi sekaligus menjadi pusat sumber belajar ? Tapi mengapa perhatian yang seharusnya tak diberikan ? Setahun melaksanakan tugas, aku bisa memperoleh kesimpulan jika tempatku ini menjadi nomor yang paling belakang dalam prioritas.Tempatku selalu mendapat informasi paling akhir, bahkan terlewatkan. Alih-alih mendapat alokasi, kebutuhan primer sehari-hari pun sulit  terpenuhi. Pada akhirnya aku memberanikan diri menempuh cara ekstrim demi pengembangan tempat yang disebut sebagai pusat sumber belajar agar tak sekedar menjadi kalimat tanpa realisasi.

Senin, 29 April 2013

Komik # Child

"Wes gedhe kok jik seneng kartun, payah " komentarnya dengan menggelegar, membuat wajah-wajah yang semula sibuk dengan pekerjaan masing-masing berpaling menatapku. Ugh...sontak emosiku melonjak ( akhir-akhir ini aku memang cepat sekali tersinggung), dan kalimat bernada tinggi pun terlontar dariku. Komentar nyinyir tentang hobiku yang satu itu memang sering kudengar sejak aku beranjak dewasa. Biasanya komentar semacam itu muncul dari mereka yang asing dengan komik, kartun, gambar colek, manga atau apapun istilah untuk cerita bergambar yang mengisi sebagian besar rak bukuku. Aku yang enggan berdebat pun hanya tersenyum menanggapi, tak mau membuang energi menjelaskan hal yang tak mau mereka mengerti. Meskipun demikian, semakin lama kuterima komentar nyinyir tersebut rasa dongkol yang selalu kusimpan akhirnya meluap juga. Entah berapa kali aku menulis tentang dunia komik, menjelaskan perkembangan komik yang telah bergeser dari bacaan anak-anak menjadi bacaan universal sesuai dengan genre dan rating. Sayangnya, sebagian dari mereka yang awam dengan komik tak mau mengikuti perkembangan meskipun hanya sekedar tahu tanpa harus menjadikan membaca komik sebagai hobi. Tetap berpegang pada wawasan sempit dan pengetahuan yang cetek tersebut dijadikan senjata untuk berkomentar yang baik sengaja atau tidak telah menyinggung orang lain. Apesnya (^_^) sekarang ini aku berada di lingkungan yang personelnya tergolong awam dengan komik. Jangankan komik, sekedar toko buku lengkap pun tak ada di tempatku sekarang ini. Budaya membaca rupanya masih jauh dari kebiasaan sehari-hari mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Tak heran jika kolegaku masih menganggap bahwa komik adalah bacaan anak-anak, dan orang dewasa yang membaca komik dianggap tak wajar dan cenderung ditertawakan. Okelah kalau begitu, hanya saja aku berharap mereka bisa melihat situasi ketika berkomentar, mempelajari dulu sebelum menertawakan orang di depan umum. Aku sangat berterimakasih pada mereka yang melihat isi bacaanku dan mengangguk-angguk maklum meskipun mungkin dalam hati merasa aneh dengan hobiku ini namun tak sampai ikut-ikutan berkomentar nyinyir. Yups, aku mengakui sejak mulai bisa mengeja huruf, aku menjadikan membaca sebagai hobi. Dan aku menjatuhkan pilihan pada komik sebagai salah satu bacaan favoritku. Doraemon, adalah komik pertama yang kubaca ketika aku pertama kali mendaftar sebagai anggota taman bacaan Mutiara Hitam (ups kangen dengan MH, sayang sekarang sudah tutup tergilas dengan arus game online). Sebagai anak sekolah dasar, aku terpesona dengan berbagai benda yang keluar dari kantung ajaib Doraemon. Sebagai seorang anak yang membaca tanpa didampingi orang dewasa, saat itu aku hanya menikmati komik sebagai hiburan di sela-sela kesibukan belajar. Aku selalu larut dalam cerita komik yang kubaca yang waktu itu komik masih terbatas pada cerita anak-anak dan remaja. Terhanyut dan bermimpi menjadi balerina seperti Mari Chan, tergelak dan mendambakan bertemu dengan pangeran seperti Pansy, bercita-cita menjadi ahli Wushu seperti Kenji dan Chinmi si Kungfu Boy dari Kuil Dairin. Seiring dengan bertambahnya usiaku, komik pun mengalami perkembangan dalam plot, karakter dan teknik gambar. Saat ini komik (terutama komik Jepang) telah berkembang pesat dan telah diterima dunia sebagai bacaan dewasa. Aku belajar tentang sebuah penerimaan dan pemahaman akan penderitaan dalam Fruit Basket, mengerti makna persahabatan sejati dari Luffy Si Topi Jerami, Nakki dan geng anak badung yang terjut indah dalam Popcorn, mengerti bahwa anak-anak pun bisa bijaksana dalam konteksnya yang tercermin dalam diri Sana (Kodocha Child's Play), belajar berpikir secara filosofi dari karya-karya Akemi Yoshimura Sensei, menggali informasi dari detektif anak-anak Conan, Kindaichi, Qyu, mengenal dunia olahraga dari Harlem Beat, Prince of Tennis dan karya-karya Adachi Mitsuru, membaca sejarah lewat C.M.B, Rose of Versailles, Cesare, Eroica, Samurai X, belajar dunia kedokteran lewat Dr Koto, Godhand Teru, Wild Life, semakin mencintai musik dengan Nodame, Piano Hutan, Diva, menyayangi keluarga seperti Baby And I dan jika jenuh dengan rutinitas cukup membalik lembar demi lembar dan tertawa-tawa bersama Kobo Chan dan Kariage Kun ataupun ikut dalam petualangan seru Kyo, Beelzebub dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya dalam dunia fantasi yang penuh warna. Meskipun akhir-akhir ini judul yang kubaca semakin sedikit, kesukaanku akan komik tak jua berkurang. Aku hanya berharap jika mereka mau memahami, andaikan tidak pun tak perlulah untuk mentertawakan, menghakimi bahwa komik sama dengan anak kecil.

Sabtu, 27 April 2013

Single # Rich

"Halah jik bujang butuhe opo ", seringkali kudengar kalimat serupa dari orang yang berbeda. Seringkali juga aku hanya tersenyum menanggapi. Namun lama kelamaan, satu dua kata hingga kalimat meluncur dari bibirku sebagai sanggahan. Lagi-lagi faktor sawang sinawang mencuat pada problematika sehari-hari dalam ranah rupiah. Memang dengan kehidupanku sekarang banyak orang berasumsi bahwa bola kehidupanku bergulir dengan mulus. Sebagai seorang yang single, anak bungsu dengan gaji tetap tiap bulan membuat stigma 'hidup enak' melekat padaku. Meskipun pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah, alangkah lebih baiknya jika mau menggeser sudut pandang. Pada dasarnya tak ada seorang pun yang tak memiliki kebutuhan material dalam hidupnya. Demikian juga dengan aku, hal yang sama pada orang lain juga berlaku bagiku yakni semakin meningkat pendapatan semakin meningkat pula pengeluaran. Masih sendiri alias bujang tanpa tanggung jawab material terhadap keluarga, bukan berarti bahwa aku tak punya kebutuhan selain kebutuhan untuk menyenangkan diri sendiri. Aku sadar jika orang-orang itu tak mengetahui latar belakangku, tak mengetahui persoalan-persoalan yang harus kuhadapi, mereka hanya tahu bahwa aku seorang yang punya banyak waktu luang dengan pundi-pundi melembung sarat muatan (amin ^_^). Aku pun mengerti benar, tak perlulah aku membeberkan rincian bulananku hanya untuk meredam pendapat berlebihan itu. Maka dari itu aku hanya menjawab dengan senyum. Tetapi kesabaranku memang masih terbatas, kalimat yang terus berulang layaknya kaset rusak tersebut makin hari makin membuatku gerah. Aku merasa ironis mendengar berbagai opini yang berbalik dengan kenyataan sebenarnya. Begitulah akhir-akhir ini semakin sering aku melawan secara halus, mengurangi rasa dongkol yang terus bercokol ^_^.
Uang, betapa benda itu sekarang telah menjadi raja. Tak bisa dipungkiri jika orang akan menjadi galau tanpa uang. Maklumlah, zaman sekarang apa sih yang bisa didapatkan tanpa uang ? Kebutuhan primer, sekunder dan tersier bahkan buang hajat pun memerlukan uang. Air yang katanya dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pun saat ini harus mengeluarkan uang jika ingin memperoleh air yang sehat. Untuk memperoleh kedudukan, konon kabarnya memerlukan modal yang lumayan besar. Oh kalau begitu tak heran jika banyak yang tergoda untuk mengembalikan modal  (siapa sih yang mau rugi ?). Aku telah paham, bahwa semua telah berjalan sesuai kodratnya. Menginginkan kehidupan seperti orang lain memang wajar, hanya saja cobalah untuk melihat dari sudut yang lain, sadarilah bahwa setiap orang mempunyai beban masing-masing. Tak perlulah menjudge seseorang secara kasat mata.

* thanks to ibu Choirul yang dengan bijak memahami bahwa setiap orang mempunyai tanggung jawab tersendiri

Rabu, 24 April 2013

Sawang sinawang

"Sakniki sing duwe duit yo pegawe-pegawe niku, wong cilik kados kulo megap-megap !" Sembari mengipasi arang, bapak penjual bakso bakar itu 'curhat' dengan berapi-api. Kurang lebih sepuluh menit, dia berkeluh kesah akan kondisi keuangannya yang seret akibat sepi pembeli, menyalahkan pemerintah yang membiarkan korupsi merajalela, dan pada akhirnya timbul rasa iri dengan profesi pegawai pemerintah. Saat itu aku hanya tersenyum sesekali menanggapi komentarnya tentang harga bawang, kesulitan petani, sepinya pembeli hingga cuaca yang tak mendukung. Tak sekalipun pengakuan bahwa aku juga termasuk orang dengan profesi yang membuatnya cemburu dari segi penghasilan. Sebenarnya ingin sekali aku melontarkan pembelaan atau sekedar berbagi cerita soal kehidupan seorang pegawai rendahan macam aku ini. Namun dengan menilai sikap si bapak yang sedikit terbawa emosi membuatku mengurungkan niat. Bagaimanapun tak ada untungnya berbagi cerita alias membeberkan kesulitan yang kualami pada orang yang tak kukenal dekat. Alih-alih menyangkal opini si bapak, dalam hati aku mengucap syukur atas profesiku seorang. Betapa tidak, meskipun jumlah yang diterima membuatku harus cermat membagi agar cukup, paling tidak setiap bulannya aku tak perlu khawatir akan biaya hidup. "Sawang sinawang", istilah Jawa itu memang benar adanya. Dulu, aku pun pernah berada di posisi si bapak. Memandang dengan rasa iri dan 'kepengin' pada mereka yang terjamin 'pawetune' (penghasilan) plus berbagai tunjangan yang menambah pundi-pundi, belum lagi kemudahan untuk mengambil kredit ^^. Sementara aku hanya pekerja tak tetap yang setiap saat gelisah melihat tempatku mencari nafkah semakin sekarat. Membuang rasa malu dengan memeras tenaga di tempat yang tak sesuai dengan bidangku. Sementara profesi pegawai bisa memperoleh cuti dan libur, aku berada di posisi sama dengan si bapak penjual bakso bakar, libur sehari berarti rezeki berkurang sehari. Kini, ketika aku berada pada posisi yang membuat iri si bapak dan aku dulu, barulah kutahu bahwa sebenarnya sama saja. Yang membedakan hanyalah rasa syukur atas nikmat yang telah diterima. Sejauh mana kepiawaian seseorang mengatur apa yang telah diperoleh agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan bisa menyisihkan untuk yang berhak. Suatu hal jika dipandang dari sudut yang berbeda hasilnya bisa berbeda pula. Hanya saja memang dibutuhkan perhatian mereka yang berkuasa untuk mengatur keadilan dan kemakmuran, tak sekedar berorientasi pada soal balik modal ataupun kepentingan golongan.

Selasa, 23 April 2013

Gamang Dengan Arus

"Mengenyam pendidikan setingi-tingginya sudah menjadi cita-citaku sejak kecil. Meskipun terbentur faktor ekonomi, semangat untuk terus belajar tak pernah padam.", tulisku dulu sebagai kalimat pembuka pada selembar kertas kosong. Ahh...betapa rindunya aku akan masa-masa lalu ketika jiwa muda masih setia dengan mimpinya. Hingga mimpi itu pudar dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Saat ini lamat-lamat masih kuingat ketika kesempatan menambah gelar lebih tinggi terpental hanya dengan sebuah kalimat pendek, berlanjut dengan kesempatan yang harus kusia-siakan lagi hanya karena satu kata. Saat ini, semua kegetiran dan amarah waktu itu telah menguap, dan berganti menjadi sebuah pemahaman akan jalan yang harus kutempuh untuk sampai di detik ini. Gelora yang dulu meluap-luap akhirnya mereda dan kutemukan ketenangan setelah berdamai dengan kenyataan.Tentu keinginan untuk belajar masih ada hanya saja tak menggebu-nggebu melainkan fleksibel, menyesuaikan dengan kondisi.
Di saat rencana ke depan telah matang, sekali lagi faktor tak terduga muncul dan sukses mengacaukan rencana. Masih terekam dalam ingatan, ketika sebuah kesimpulan terbentuk di benakku setelah sekian lama mengamati situasi di sekitarku sekarang. Betapa makna huruf tambahan bergeser dari penghargaan atas ilmu yang diperoleh selama beberapa waktu menjadi hanya sekedar prestise untuk peningkatan karir belaka. Terkejut dan miris, berkecamuk dalam benakku yang masih idealis dalam menghargai ilmu ketika melihat berbagai cara murahan untuk memperoleh embel-embel gelar di belakang nama. Berbagai pikiran terlontar dari benakku dengan kenyataan seperti itu. Apakah ilmu sudah tak lagi berbobot ? Bagaimana dengan transfer ilmu ke generasi penerus jika proses memperoleh gelar tak sepadan antara ilmu, waktu dan ongkos ? Mengapa gelar menjadi satu kewajiban yang harus dipenuhi dengan berbagai cara ? Apakah kebanggaan akan keberhasilan menimba ilmu masih tetap ada, ketika tiga huruf melekat dengan lem berupa lembaran uang kertas ? Semua pertanyaan itu saat ini terus mengganjal, membuatku gamang untuk mengikuti arus di saat diri masih idealis. Namun entahlah ketika suatu saat nanti diri sudah lelah untuk melawan dan akhirnya aku pun mengikuti arus.

Selasa, 02 April 2013

Inilah Aku

Tak banyak bicara dan mendengarkan, prinsip itu selalu kuterapkan selama ini. Pada dasarnya karakter   tertutup dan tak mudah berinteraksi dengan orang lain menjadi penyebab cap pendiam melekat erat. Berawal dari ketenangan yang didapat dalam kesendirian, keengganan untuk bergabung dengan dunia luar semakin meningkat. Tentu kesadaran sebagai makhluk sosial itu ada, meskipun demikian berkumpul dengan orang lain dirasa lebih condong ke arah gangguan privasi. Alih-alih perhatian, keingintahuan justru menjurus ke sifat ikut campur dalam ranah pribadi yang terasa menganggu.  Dan itu semua membuat gerah dan akhirnya emosi pun meningkat. Menempatkan posisi sebagai 'underdog' sedikit demi sedikit membuatku mengerti karakter masing-masing personal. Kadang kegelian selalu muncul ketika pribadi-pribadi saling bersaing unjuk diri dalam sebuah pembicaraan. Entah disadari atau tidak atau bahkan memang demikian karakter aslinya, kehausan untuk tampil menjadi pusat perhatian muncul dalam bentuk pembicaraan dengan tema 'inilah aku'. Aku begini, aku begitu, dia begini, dia begitu, mereka begini, mereka begitu selalu menjadi bahan utama perbincangan dalam sebuah kumpul-kumpul formal maupun non formal. Jika demikian apa gunanya ikut terjun dalam interaksi ? Cukup banyak kurasa, meskipun belum semua kupahami alias lebih sering membuatku jengkel karena kenyamananku terusik. (Huftts...baru saja aku menulis demikian, kejadian yang mengusik ketenanganku kembali terusik >.<). Walau terkadang merasa terkucil, dan diremehkan, jika dipikir lebih lanjut semua untuk kebaikan. membuatku belajar bersabar, belajar membaca karakter orang lain sehingga bisa menempatkan diri di situasi apapun. Bukannya tak mau berbagi ilmu, melainkan memberi kesempatan orang lain untuk berkarya dan siap membantu jika diminta. Bagaimana kalau tidak ? Hmmm....biarkan saja, waktuku bisa kugunakan untuk yang lain sesuai jalurku daripada menawarkan diri yang belum tentu dihargai.

Sabtu, 02 Maret 2013

Secuil Pengalaman

"Ambil sampah di sekitarmu !!!!", seruku dengan nada tinggi, kedua tangan mengepal dengan erat. Perlahan kutarik nafas panjang, mengontrol amarah yang siap meluap. Indonesia menjadi negara yang terburuk pendidikannya ? Artikel yang kubaca di mesia online tersebut tak menyulut pembelaanku meski aku berkecimpung di dunia tersebut. Dua tahun terakhir ini, kuperhatikan memang kualitas pendidikan melorot drastis. Bukan soal ilmu yang dipelajari namun sikap dan mental anak-anak didik. Anak didik sekarang terlalu dimanja oleh sistem, target kurikulum, atau program tertentu yang notabene bermuatan politis. Bandingkanlah sikap dan perilaku anak didik sekarang yang jauh berbeda dengan perilaku orang tua, kakek nenek kita pada saat mengenyam pendidikan dasar dan menengah dulu. Belajar ketika mau ulangan apalagi belajar setiap hari makin jarang dilakukan. Tak ada ketakutan ketika tidak mengerjakan PR. Alih-alih malu, mereka justru tertawa keras ketika nilai di bawah standar terpampang di papan pengumuman. "Halah formalitas doang kok !", respon anak didik (ku) usai tak bisa mengerjakan soal-soal ulangan umum sembari berteriak mengajak teman yang masih berada dalam ruangan tes untuk keluar saja. Anggapan semua prosedur penilaian tersebut hanyalah formalitas itu berdampak pada perilaku negatif lainnya seperti datang terlambat yang menjadi agenda rutin tiap hari, membolos jam pelajaran terakhir, membolos seharian dengan menitipkan surat izin sakit palsu, bertingkah seenakya di tengah kegiatan pembelajaran, mencontek tanpa sungkan ketika sedang dilakukan penilaian, dan perilaku tak sesuai aturan umum sekolah lainnya. "Yang salah itu gurunya", komentar sinis demikian acapkali terlontar jika menyangkut kenakalan siswa. Memang ada benarnya, pasti banyak timbul pertanyaan seputar pola pendidikan seperti apa yang diterapkan sampai-sampai menghasilkan kenakalan ringan hingga berat seperti itu. Sebenarnya, di sisi pendidik pun timbul perasaan serba salah. Ketika akan mengambil tindakan keras di dalam batas kewajaran bagi anak yang lalai, sebuah ketakutan akan sorotan lembaga swadaya masyarakat maupun media yang memojokkan dengan memberi vonis bersalah pada si pendidik. Padahal tindakan berupa peringatan berlanjut hukuman itu tak lain untuk mendidik karakter anak agar tak melenceng dari norma yang ada. Akibatnya anak didik semakin menjadi ketika perbuatannya tak dihiraukan dan menganggap bahwa apa  yang mereka perbuat itu wajar. Standar pendidikan menuntut anak didik mendapat nilai baik dengan kriteria minimal yang telah ditetapkan. Sebuah sekolah dengan nilai standar yang tinggi menjadi tolak ukur kualitas sekolah tersebut di mata umum. Akibatnya pihak sekolah berlomba-lomba mencari muka dengan meningkatkan nilai standar tanpa memperhatikan kualitas anak didik sebenarnya. Ini yang menjadikan guru kehilangan antusias dalam memberi penilaian kepada anak didik. Memang jika kriteria kelulusan minimal dilaksanakan dengan benar, hal itu menghasilkan keluaran yang bermutu. Tapi pada kenyataannya justru berbalik, keluaran menjadi kurang bermutu tak sesuai dengan angka yang dituliskan dalam buku penilaian. Hal ini semakin diperkuat oleh anak didik yang salah dalam memahami nilai standar minimal. Sebagian dari mereka menganggap bahwa belajar atau tidak, rajin atau tidak, sudah mendapat nilai minimal dan itu sudah cukup bagi mereka. Nah, terjadi kesenjangan yang cukup lebar antara anak yang rajin dan pintar dengan anak yang malas dan kurang tanggap. Keberhasilan sekolah juga diukur dengan persentase anak lulus sekolah. Jika prinsip ini dibarengi dengan prosedur yang benar tentu kualitas pendidikan tak perlu diragukan lagi. Sayangnya stigma tersebut justru menimbulkan kecurangan dengan segala upaya meluluskan anak 100 %. Hasilnya rentang antara nilai sekolah dengan nilai murni ujian nasional menjadi terlalu mencolok, mengindikasikan adanya kecurangan entah di pihak mana. Iyalah, kemungkinan kecil seorang anak mendapat nilai 9 pada pelajaran matematika di sekolah, sedangkan nilai unasnya hanya mencapai angka 6. Hmmmm....jika hal seperti ini diteruskan bukan tidak mungkin mutu pendidikan menjadi anjlok sesuai artikel yang kubaca. Belum lagi program pendidikan gratis yang sarat muatan politis, memang program ini sangat membantu untuk mereka yang kurang mampu sehingga bisa mengenyam pendidikan sesuai haknya. Sayangnya, kondisi gratis memanjakan anak didik dam wali murid mereka. Gratis, tak  membuat mereka bersyukur dengan belajar sebaik-baiknya, namun gratis menjadikan mereka berbuat seenaknya. Bahkan untuk membeli lks pun enggan, hal yang ironis melihat yang enggan itu datang ke sekolah dengan kendaraan roda dua tipe berkelas. Ckckkckk....mau jadi apa ya negeri ini jika mental penerusnya seperti itu ? Sekali lagi, apa yang tertuang itu tak semuanya berlaku di setiap wilayah. Aku yakin masih banyak di luar sana yang benar-benar menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Buktinya tak sedikit anak didik yang menorehkan namanya di kancah internasional. Perilaku negatif yang terselip ini tentu memerlukan perhatian khusus agar tak meluas, dan dibina agar mutu pendidikan tak lagi menempati rangking bawah di mata dunia.

Rabu, 20 Februari 2013

"Lihatlah...mereka juga punya keluarga.", katanya di tengah gerimis hujan, perlahan-lahan menembus keruwetan jalan di tengah jam sibuk lalu lalang kendaraan bermotor di pusat kota Solo. Ada yang istimewa di kota batik ini yang belum pernah aku temukan di kota lain. Di setiap persimpangan jalan yang padat, ada sosok berseragam dengan peluit di mulut, dan kedua tangan bergerak-gerak mengatur lalu lintas. Keberadaan mereka sangat membantu terutama untukku yang hingga saat ini masih saja kesulitan alias tak  berani menembus lalu lalang kendaraan bermotor. Namun tak sedikit juga dari pengguna jalan yang memaki karena tak sabar menunggu antrian merayap menuju tujuan.
"Saya kalau sudah dimaki-maki, lebih baik saya berhenti. Biar mereka mengatur sendiri", kata bapak usia paruh baya yang merupakan salah satu dari sukarelawan pengatur arus lalu lintas di sela-sela waktu istirahatnya. Sukarelawan ? Ya benar sekali, alih-alih menerima gaji tetap bulanan mengingat tugasnya yang menguras tenaga dan emosi, bapak-bapak yang berseragam dengan rompi hijau muda layaknya polantas tersebut ternyata bekerja secara sukarela. Upah yang diterima mereka hanya dari pemberian pengguna jalan yang tidak tentu. "Jika sedang rejeki, ada mobil yang memberi Rp.50.000,-", kata bapak yang aku lupa menanyakan namanya itu lagi ^^. Betapa terenyuhnya aku mendengar cerita bapak itu. Pagi-pagi sekali mereka datang ke pos masing-masing, menempatkan diri di tengah padatnya kendaraan, menahan emosi jika dimaki oleh mereka yang tak mau diatur. Penghasilan tak menentu namun bisa mencukupi kebutuhan keluarga.
Pekerjaan yang sarat sukarela itu tentu saja lebih banyak menimbulkan empati dari masyarakat. Sukarelawan yang bergabung dalam satu paguyuban tersebut kerap mendapat bantuan dari berbagai ormas dan kelompok masyarakat. Aparat yang tugasnya telah digantikan mereka pun tak ketinggalan memberi perhatian. "Kami dibina langsung oleh polisi", kata si bapak sambil sesekali memberikan arahan pada juniornya yang sedang mengatur lalu lintas. Ternyata, mereka tidak hanya asal-asalan dalam bekerja, mereka telah diberi pendidikan informal oleh kepolisian tentang cara-cara mengatur lalu lintas yang baik dan benar. Hmmm....sore itu menjadi perbincangan menarik yang sedikit banyak membuka pikiranku yang masih dihantui kekhawatiran akan masa depan. "Mereka pun bisa, masa kita tak bisa ?", tanyanya dalam kalimat retoris disertai senyum tipisnya

Selasa, 22 Januari 2013

Siapa Bilang Jadi Guru Itu Gampang ?

Ketika duduk di sekolah dasar, saking berkesannya cara mendidik bapak ibu guru tak sedikit dari anak-anak bercita-cita mengikuti jejak mereka kala besar nanti. Sebuah profesi mulia yang kala itu tak banyak orang yang menginginkan pekerjaan tetap sebagai pendidik generasi muda tersebut. Bukan saja karena beban pekerjaan yang cukup berat, tapi juga minimnya penghasilan yang diperoleh. Namun demikian, belakangan ini terjadi fenomena luar biasa dengan melonjaknya animo masyarakat usia produktif untuk menjadi guru khususnya guru yang termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dikarenakan semakin diperhatikannya kesejahteraan guru oleh pemerintah, perguruan tinggi kependidikan makin banyak diburu oleh lulusan sekolah menengah atas. 
Sayangnya, pandangan sinis pada profesi guru juga semakin meningkat, tak sedikit komentar nyinyir yang muncul di koran, majalah ataupun berita negatif seputar profesi guru dan oknum guru yang kini semakin disorot. Jam kerja yang sedikit, libur panjang, gaji berlipat bagi yang sudah memegang sertifikat profesi menjadi bibit kecemburuan untuk profesi lainnya. Mungkin sebagian benar adanya, datang hanya waktu jam mengajar, gaji melimpah yang tak imbang dengan tugas menjadikan guru-guru tersebut kaya mendadak dan punya banyak waktu luang. 
Bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru, pemerintah memberlakukan Penilaian Kinerja Guru (PKG) dan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) sebagai tolak ukur keberhasilan guru dalam menjalankan profesinya. Sebuah program penilaian yang juga berfungsi sebagai rapor yang menentukan karir seorang guru tersebut menjadi kekhawatiran kalangan guru yang masih belum memahami betul tentang PKG-PKB. Memang dengan pemberlakuan PKG ini, seorang guru biasa paling tidak membutuhkan waktu empat tahun untuk bisa naik pangkat ke golongan berikutnya. Itupun harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bagi sebagian guru menjadi hal yang memberatkan. Pengembangan diri berupa diklat, workshop dan melakukan publikasi ilmiah maupun karya inovatif menjadi hal wajib bagi guru yang ingin naik pangkat. Keduanya merupakan hal yang selama ini masih jarang dilakukan oleh para guru biasa.
 Jadi mulai tahun ini jangan harap jadi guru itu gampang, hanya sekedar datang ke sekolah, mengajar, selesai trus pulang. Mengajar hanya salah satu dari tujuh tugas pokok guru. Selain itu guru juga harus selalu mengembangkan diri agar tak ketinggalan informasi, meningkatkan ketrampilan dan profesinalisme. Guru harus pintar membagi waktu untuk murid, diri sendiri dan juga keluarga. Jangan sampai satu dari tiga tersebut terbengkalai. Guru harus berinovasi dan berkarya bak peneliti dengan melakukan penelitian tindakan kelas, merancang media pembelajaran, aktif menelurkan karya ilmiah ataupun artikel pendidikan yang dimuat dalam media nasional, dan masih banyak lagi tuntutan yang harus dipenuhi disamping juga harus tertib dalam administrasi guru. 
Nah, masih berpendapat jadi guru itu gampang ? Silakan berkecimpung di dunia pendidikan terlebih dahulu sebelum berkomentar. Jangan mencoba menjadi guru jika hanya sekedar karena tak ada pilihan lain, ataupun menginginkan pekerjaan gampang tapi menghasilkan. Guru, tak hanya berurusan dengan murid di sekolah, namun terus berkutat dengan dunia pendidikan sepanjang hayat.



Selasa, 15 Januari 2013

Dunia Kecil

Sejak meledaknya tetralogi Laskar Pelangi yang notabene novel motivasi bagi anak-anak dan remaja, akhir-akhir ini marak bermunculan novel-novel bergenre serupa dari penulis-penulis anak negeri. Salah satunya adalah Dunia kecil : Mimpi Hidup di Mata Si Kecil karya Yoyon Indra Joni. Sekilas kubaca sinopsis yang tertera di cover belakang buku ini, dan kurasa cukup menjanjikan petualangan seru, hingga aku tak segan-segan merogoh kocek untuk menambahkan buku ini sebagai koleksi baruku. 
Sederhana, satu kata ini mewakili sekian banyak kesanku ketika selesai membaca buku ini. Berlawanan dengan cerita Laskar Pelangi yang demikian heroik melalui tokoh Lintang si jenius bernasib malang, tokoh-tokoh dalam novel hidup di dunia anak-anak sebagaimana wajarnya anak-anak menghabiskan masa kecilnya. Semua tokoh yang disebutkan dengan nama panggilan seperti Ijap, Isap, Igun dan masih banyak lagi itu menjalani hari-hari di sekolah dasar dengan kenakalan-kenakalan khas anak-anak di pelosok yang jauh dari hingar bingar modernisasi perkotaan. Perkelahian yang diawali saling mengejek, mengganti angka di rapor saking inginnya mendapat angka keramat 8, membuat gaduh kelas, dan kenakalan lain yang diganjar dengan harus mengulang di kelas yang sama nyaris dialami seluruh tokoh dalam novel ini.
Aku dibuat terkikik sepanjang waktu membaca bab-bab yang menceritakan keseharian anak-anak tersebut. Persaingan di kelas yang pada akhirnya membentuk ahli bahasa, ahli IPA, ahli musik, ahli IPS, ahli gambar ini meresahkan si tokoh utama yang terjebak di tengah-tengah akibat setelah sekian lama belum juga menemukan bakatnya. Tapi jangan mengira ahli-ahli disini bak Lintang yang dengan fasih membahas dalil-dalil fisika tingkat universitas, anak-anak disini menjadi ahli di  bidangnya sebatas pengetahuan wajar anak SD. Ahli bahasa misalnya, menjadi kaya kosakata lengkap dengan kata serapan akibat kegemaran mereka akan akronim sehingga dengan rajin membaca koran, majalah, buku untuk mencari akronim baru. Ahli musik mengetahui macam-macam lagu nasional lengkap dengan pencipta dan sejarah di baliknya karena berusaha untuk mendapat pujian dari guru kelas yang tiap hari menyuruh anak menyanyikan lagu nasional di depan kelas. Ahli IPS bermula dari kegemarannya menggambar peta sehingga berlanjut dengan mempelajari daerah-daerah yang digambarnya.
Tokoh-tokoh disini menjalani keseharian dengan wajar, berpegang pada norma agama dan adat istiadat, patuh pada bapak ibu guru dan orang tua di rumah. Keseharian yang demikian berbeda dengan kondisi anak-anak sekarang. Hampir serupa dengan Laskar Pelangi, nasib anak-anak di Dunia Kecil ini terbentur dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Meskipun terkendala biaya, tokoh-tokoh di dunia kecil ini bisa beradaptasi, dan menjalani hidup dengan ceria, dan bersemangat menimba ilmu. Tak ada kejadian yang laur biasa di novel ini. Hari-hari dijalani dengan wajar, bangun sebelum subuh, sekolah, bermain, membantu orang tua, belajar, dan istirahat demikian berulang hingga semua lulus sekolah dasar. Meskipun demikian banyak pelajaran yang bisa dipetik dari novel ini. Kesederhanaan berpikir anak-anak desa, kepolosan dan ketaatan akan nasehat orang tua dan guru demikian kental sehingga novel ini menyadarkan betapa pudarnya disiplin, semangat dan sopan santun saat ini. Sebuah novel yang bukan hanya sekedar bercerita tentang masa kecil, namun juga memberikan contoh perilaku yang terpuji dan perilaku yang tidak seharusnya dilakukan