Rabu, 24 April 2013

Sawang sinawang

"Sakniki sing duwe duit yo pegawe-pegawe niku, wong cilik kados kulo megap-megap !" Sembari mengipasi arang, bapak penjual bakso bakar itu 'curhat' dengan berapi-api. Kurang lebih sepuluh menit, dia berkeluh kesah akan kondisi keuangannya yang seret akibat sepi pembeli, menyalahkan pemerintah yang membiarkan korupsi merajalela, dan pada akhirnya timbul rasa iri dengan profesi pegawai pemerintah. Saat itu aku hanya tersenyum sesekali menanggapi komentarnya tentang harga bawang, kesulitan petani, sepinya pembeli hingga cuaca yang tak mendukung. Tak sekalipun pengakuan bahwa aku juga termasuk orang dengan profesi yang membuatnya cemburu dari segi penghasilan. Sebenarnya ingin sekali aku melontarkan pembelaan atau sekedar berbagi cerita soal kehidupan seorang pegawai rendahan macam aku ini. Namun dengan menilai sikap si bapak yang sedikit terbawa emosi membuatku mengurungkan niat. Bagaimanapun tak ada untungnya berbagi cerita alias membeberkan kesulitan yang kualami pada orang yang tak kukenal dekat. Alih-alih menyangkal opini si bapak, dalam hati aku mengucap syukur atas profesiku seorang. Betapa tidak, meskipun jumlah yang diterima membuatku harus cermat membagi agar cukup, paling tidak setiap bulannya aku tak perlu khawatir akan biaya hidup. "Sawang sinawang", istilah Jawa itu memang benar adanya. Dulu, aku pun pernah berada di posisi si bapak. Memandang dengan rasa iri dan 'kepengin' pada mereka yang terjamin 'pawetune' (penghasilan) plus berbagai tunjangan yang menambah pundi-pundi, belum lagi kemudahan untuk mengambil kredit ^^. Sementara aku hanya pekerja tak tetap yang setiap saat gelisah melihat tempatku mencari nafkah semakin sekarat. Membuang rasa malu dengan memeras tenaga di tempat yang tak sesuai dengan bidangku. Sementara profesi pegawai bisa memperoleh cuti dan libur, aku berada di posisi sama dengan si bapak penjual bakso bakar, libur sehari berarti rezeki berkurang sehari. Kini, ketika aku berada pada posisi yang membuat iri si bapak dan aku dulu, barulah kutahu bahwa sebenarnya sama saja. Yang membedakan hanyalah rasa syukur atas nikmat yang telah diterima. Sejauh mana kepiawaian seseorang mengatur apa yang telah diperoleh agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan bisa menyisihkan untuk yang berhak. Suatu hal jika dipandang dari sudut yang berbeda hasilnya bisa berbeda pula. Hanya saja memang dibutuhkan perhatian mereka yang berkuasa untuk mengatur keadilan dan kemakmuran, tak sekedar berorientasi pada soal balik modal ataupun kepentingan golongan.

Tidak ada komentar: