Kamis, 18 Maret 2010

Qualcuno nel mio sogno


"Mataku mencari-cari di kerumunan orang, tak lama kemudian pandanganku tertumbuk pada sesosok tinggi bermantel hitam dengan syal melilit di leher jenjangnya yang tengah bersandar pada sebuah pilar. Senyum tersungging di bibirku ketika melihatnya menunduk, mencermati angka-angka yang tertera di jam tangan Rolex dipergelangan tangan kirinya."

Kilasan kalimat yang pernah kutulis beberapa tahun lalu berkelebat di benakku. Dengan kalut aku membongkar isi lemari kecilku, mengeluarkan bermacam-macam benda yang tertata rapi dan tak tersentuh untuk sekian lama. Dengan cepat kubuka sebuah buku bergaris yang terselip di tumpukan berbagai majalah lama. Kubolak-balik halaman demi halaman, tapi apa yang kucari belum juga kutemukan. Tak lama aku mengalihkan area pencarianku, sempat bersorak ketika menemukan sebundel berkas lama yang kukenali adalah hasil karyaku dulu, namun lagi-lagi aku menelan kecewa ketika 'benda istimewa ' itu tak juga kutemukan.

"Di tengah serunya pertandingan, serta merta perhatianku teralih akan sosok gagah yang berdiri di tepi lapangan. Wajahnya yang tampan dengan hidung mancung bak patung Romawi dengan serius memperhatikan teman-temannya berlaga. Kedua belah tangannya bersidekap di depan dada semakin menambah keangkuhan figur berwibawa yang membuatku terpesona. Siapakah dia ?"

Ah betapa inginnya aku membaca kembali tujuh lembar kertas yang merupakan segenap perasaanku yang pada akhirnya menjadi sebuah jalinan cerita impianku itu. Tak seperti tahun sebelumnya, kali ini jauh-jauh hari aku telah mengingat akan tanggal istimewa di bulan Maret ini. Meskipun telah sekian lama aku tak menjumpainya, walaupun hingga kini tak ada kabar beritanya, kali ini aku tak melupakan paduan angka 1 dan 9 yang sejak dulu menjadi angka keramatku. Berkali-kali aku melewatkan kesempatan untuk melihatnya, berkali-kali pula aku merasakan sebuah penyesalan. Tahun demi tahun terlewati dengan cepat tanpa dia yang dulu begitu lekat di hatiku. Yah, sebagian besar memang karena kesalahanku yang begitu mudah berpaling ketika dia harus menghilang untuk beberapa lama. Adalah sifatku yang terlalu mudah merasa bosan sehingga dia tergantikan untuk sementara.

"Alessandro Nesta, pemuda kelahiran 21 tahun lalu di sebuah daerah di kota Roma yang menjadi salah satu pilar. Sosoknya yang demikian anggun, penampilannya yang kalem, raut wajahnya yang khas mediterania seolah memunculkan kembali Pangeran Romawi kuno yang ada dalam bayanganku "

Kali ini, seiring harapan untuk kembali melihatnya di tengah arena, jauh-jauh hari aku telah bersiap untuk menjadikan Venerdi, 19 Marzo menjadi hari yang spesial. Aku sadar jikalau usianya telah mendekati titik akhir karirnya. Tak berlebihan jika aku ingin sekali sekali lagi melihatnya dengan kostum Azzuri, ingin sekali aku larut dalam antusiasme penuh semangat mendukungnya berjuang dalam tim untuk mempertahankan gelar yang akan diperebutkan bulan Juni nanti. Di tengah rumor yang beredar, tak urung harapanku melambung, harap-harap cemas menantikan keputusannya.

Venerdi, kan kuingat selalu hari ini, hari ketika aku meniupkan sebuah harapan untuknya. 19, kan kuingat tanggal ini, tanggal ketika aku merindukannya. Angka yang selalu kukenang karena mengingatkanku akan "dia". Impian yang sekali lagi berkobar, membuatku merasa muda kembali, masa ketika gelak tawa, canda ceria mengalahkan kerisauan. Impian yang dipenuhi sosoknya setiap saat, dia yang memperoleh tempat khusus di hatiku, dia yang telah membuatku terpesona, dia yang membuat hidupku lebih berwarna, dia yang menguatkan aku untuk berkarya, dia yang telah berakar dalam diriku.

" Buon compleanno, carrissima ! desiderache lei sia liposteriore. La tengo sempre nel mio cuore"

Jumat, 12 Maret 2010

Forever Princess


"Teenlit ?!", sebagian teman pastinya tak percaya jika aku mau membaca bahkan membeli buku fiksi yang termasuk kategori remaja alias teenlit. Aku memang jarang membaca buku bergenre remaja ringan bahkan cenderung lebih menyukai buku-buku cerita anak-anak macam Mrs Witz, Malcolm In The Middle, Because of Winn Dixie atau buku anak-anak karangan Roald Dahl, Eva Ibbotson dan pengarang buku sejenis ternama lainnya. Tak heran ketika aku dengan setia mengikuti kisah Putri Mia yang dituangkan dalam bentuk buku harian, ada beberapa dari mereka yang mengenalku tak mempercayainya.
Pada kenyataannya sudah cukup lama aku mengoleksi buku-buku harian yang ditulis oleh Meg Cabot dari sudut pandang orang pertama ini. Ketika aku masih duduk di semester lima bangku kuliah, waktu itu aku iseng melihat-lihat toko buku baru yang terletak di tepi jalan utama menuju kampus biru (kangennya aku akan sebutan ini ^^). Berhubung aku lebih tertarik ke buku-buku fiksi, aku pun segera memilah sederet judul yang terpampang di rak. Ketika tak menemukan judul yang membuatku tertarik untuk membeli, akhirnya aku iseng mencomot sebuah buku berjudul Princess In The Spotlight (Menjadi Pusat Perhatian). Tanpa alasan khusus hanya karena merasa sungkan jika keluar tanpa membawa apa-apa, aku memilih buku itu hanya karena harga lumayan murah, dan menilik dari sinopsis yang tercetak di cover belakang buku tersebut yang kurasa cukup menarik dalam arti bisa memancing tawa sehingga cocok untuk bacaan ringan yang menghibur. Setibanya di kamar kos PD 79 (ruangan tempatku bergelung di dunia ku semasa kuliah ^^),tanpa menunggu lama aku segera membuka halaman pertama buku itu. Sebutan aneh untuk sebuah buku serta merta meloncat dari pikiranku ketika membaca lembar pertama cerita bangsawan New York tersebut. Baru kali itu aku menjumpai pengarang menulis kisah dalam bentuk buku harian yang ditulis oleh si tokoh utama. Bagaimanakah cara pengarang untuk membuat pembaca memahami jalan cerita jika ditulis dengan gaya buku harian yang pada umumnya hanya sepenggal pengalaman yang dituang dalam bentuk kata-kata ?, demikian batinku saat itu. Namun lambat laun tanpa kesulitan aku mulai mengikuti alur cerita yang ternyata aku langsung membaca buku keduanya ^^. Sejam kemudian aku pun tersenyum puas, tak sia-sia aku merogoh kocek yang tak terduga hanya karena iseng. Dan sejak saat itu aku pun gencar menanti kelanjutan kisah rekaan pengarang asal Amerika itu.
Meg Cabot membuat terobosan baru dalam bidang tulis menulis yang belum pernah kujumpai sebelumnya (berhubung buku ini yang baru pertama kali kubaca). Menulis dengan sudut pandang orang pertama bukanlah hal yang jarang dilakukan, namun ketika dituangkan dalam bentuk buku harian, itu menjadi sesuatu yang spesial untukku yang baru pertama kali ini menjumpai gaya menulis seperti itu. Meskipun berbentuk buku harian, Meg Cabot bisa menceritakan liku-liku kisah Putri Mia, anak di luar perkawinan yang mendadak harus memegang tanggung jawab sebagai Putri Mahkota negara monarki absolut kecil di benua Eropa. Ditulis dengan gaya bahasa remaja yang ringan, Meg mampu membuat pembaca memahami isi hati sang Putri, mengikuti kegiatan sehari-hari Mia dan interaksinya dengan orang tua, kerabat dan sahabat-sahabatnya. Meg pun acapkali memasukkan berbagai hal yang digemari remaja Amerika masa kini lengkap dengan komentar maupun pendapatnya yang dikeluarkan melalui tokoh Mia dan beberapa tokoh sentral lainnya. Dengan lihai Meg menuliskan karakter-karakter Mia dan orang-orang disekelilingnya yang dituangkan dalam buku harian milik Mia. Layaknya sebuah buku harian, serial tentang Putri Mia ini tak lepas dari coretan-coretan ala remaja yang mencatat jadwal sekolah, caci maki terhadap hal yang tidak disukai, maupun curahan hati si pemilik buku harian. Akan tetapi coretan-coretan tersebut justru menjadi pemanis yang melengkapi inti cerita yang sebenarnya amat ringan dan mudah dicerna namun cukup menghibur. Tak heran aku yang terlanjur mengoleksi satu bukunya, memutuskan untuk mengikuti serial ini sekaligus penasaran dengan akhir kisah terutama hubungan cintanya dengan senior yang juga menjadi tokoh fiktif kesukaanku.
Jika kuingat lagi, waktu aku membeli buku kedua serial Putri Mia ini, aku terpengaruh dengan janji bahwa kisah Putri Mia akan berakhir di buku ketiga. Aku yang tidak terlalu suka untuk menunggu-nunggu rampungnya sebuah kisah, berani memutuskan untuk membeli karena waktu itupun buku ketiga serial ini sudah terbit. Dan memang benar adanya bahwa kisah Mia dalam menggapai cintanya berakhir dengan sukses di buku ketiga. Betapa terkejutnya aku ketika beberapa bulan kemudian aku menemukan buku keempat serial Putri Mia terpampang di gerai buku swalayan Moro (swalayan tempatku dulu berbelanja kebutuhan bulanan ^^). Mau tak mau aku pun merogoh kocek untuk membeli buku itu. Maklum sudah menjadi sifatku untuk tidak berhenti di tengah jalan ketika mengumpulkan sesuatu. Aku tidak suka jika melihat buku-buku koleksiku tidak lengkap dalam artian kekurangan satu judul dari sekian seri. Jadilah aku dengan setia mengoleksi buku harian Putri Mia. Dan tahun ini (sudah berapa tahun sejak aku pertama membeli ya ?^^) akhirnya buku terakhir kisah Putri Mia pun muncul. Kuhitung dari awal, tak terasa sudah menginjak buku ke-10 ! Wow sebuah rekor untuk kisah ringan bergenre remaja yang mampu bertahan hingga sepuluh seri. Buku yang pernah diangkat ke layar lebar dengan judul sama dengan buku pertamanya ini akhirnya benar-benar mengisyaratkan akhir kisah Putri Mia. Bukan saja mengenai perubahan Genovia menjadi monarki demokratis yang berarti membebaskan Mia dari kewajibannya memimpin negara itu, namun juga menceritakan akhir kisah cinta Mia, keputusannya dalam menempuh pendidikan dan hubungannya dengan sahabat sejak kecilnya yang sempat merenggang. Membaca kisah yang berakhir bahagia tersebut, aku pun kembali merasakan lega berkepanjangan. Bukan hanya karena gembira dengan kebahagiaan Michael (tokoh favoritku) namun lebih kepada akhir beraliran 'happy end' pada serial ini. Dengan akhir yang membuatku tersenyum gembira, membuatku tak sia-sia mengoleksi serial ini yang ternyata kelebihan tujuh seri dari targetku sebenarnya ketika membeli buku kedua dulu. Akhir yang bahagia membuatku tak bosan untuk membaca dan membaca ulang serial ini. Lain dengan koleksiku yang berakhir tak seperti harapanku, kini terbengkalai begitu saja. Demikianlah meskipun hanya sebuah cerita ringan ala remaja, kisah milik Meg Cabot ini menjadi selingan di antara buku-buku yang membuatku harus berpikir lebih keras untuk memahami sebuah cerita.

Kamis, 11 Maret 2010

Tantangan Baru

Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam pagi. Seperti biasanya usai melaksanakan kewajiban terhadap Yang Maha Kuasa, aku kembali menghempaskan diri ke tempat tidur, menyalakan televisi menyimak berita terkini seputar tanah air diselingi dengan meneruskan membaca buku yang belum selesai kulahap. Volume headphone kupasang maksimal, memfokuskan indra pendengaranku dengan alunan musik oriental di pagi hari. Mendadak gedoran keras terdengar di pintu, mendengar suara yang samar-samar kukenal dengan segera aku pun bangkit dari posisi berbaring untukmembuka pintu. Tak dinyana kedatangan bos besar di sela kegiatan jalan paginya seolah menjatuhkan bom di sekelilingku.
Akhirnya tiba juga waktuku untuk berkemas, bersiap menjelajahi area baru di lokasi nun jauh di sana. Bingung, gelisah, khawatir tak tentu arah bercampur baur di kepalaku. Aku yang terbiasa hidup tenang mengikuti arus kini harus melawan gelombang. Bukan hanya tanggung jawab yang lebih besar menanti, namun lebih kepada ketidakpastian akan apa yang menjadi tugasku nanti. Meskipun sang bos sudah cukup jelas menyatakan posisiku, sedikit kekacauan di awal mulai terjadi. Demikianlah aku harus mulai dari nol, berusaha semaksimal dan sekuat kemampuan pikiranku saat ini untuk mempelajari hal yang baru. Mencoba untuk belajar mengambil langkah yang tepat, bekerja sama dengan rekan-rekan baru yang sama tidak pahamnya dengan diriku akan tugas yang menanti.
"Mampukah aku bertahan ?", pertanyaan ini tak bisa kuhilangkan dari benakku, membuatku kehilangan ketenangan yang sulit untuk dijauhkan meski aku dikelilingi penyejuk hatiku selama ini. Yah, usai meninjau lokasi seharian penuh, kegalauan semakin menjadi-jadi dalam diriku. Jika semula aku mengkhawatirkan kehidupan yang kelak terisolir dari peradaban modern, kini aku lebih memikirkan apa yang harus kumulai disana. Tanpa bantuan dari seseorang yang telah berpengalaman di bidangnya, hanya bersama segelintir rekan yang masih sama amatirnya, aku sama sekali belum mempunyai gambaran akan apa yang harus dilakukan. Setelah memeriksa kondisi tempat yang baru yang benar-benar masih kosong melompong, meskipun aku tahu secara garis besar pekerjaan baruku nantinya, tetap saja aku kebingungan bagaimana menjalankannya nanti. Pikiranku benar-benar kusut dengan rencana-rencana yang saling tumpang tindih. Mempelajari hal di luar kemampuanku, mengorganisir sesuatu yang masih abstrak, mencari akomodasi yang layak, menjawab berbagai pertanyaan yang aku sendiri tak tahu benar jawabnya hanyalah sedikit dari sekian banyak benang ruwet di pikiranku.
"Sabar Mba, jalani saja dulu, semoga sukses,.......... ", ya semua harus dilalui setahap demi setahap. Mengingatkanku akan nasihat bijak seorang Shigure, "Jika ada banyak cucian di sekitarmu jangan memikirkan kapan selesainya, cucilah sehelai demi sehelai dimulai dai yang ada didekatmu, dan lama-lama semua akan tercuci bersih". Hmmm, dengan dukungan kerabat dan sahabat aku mencoba untuk meneguhkan hati, memantapkan tekad untuk berbuat sebaik-baiknya menjawab tantangan baru. Entah berhasil atau tidak, aku mencoba untuk menabahkan hati yang selama ini terlalu lembek dan penuh dengan ketakutan untuk keluar dari cangkang yang nyaman. Semoga...........

Sabtu, 06 Maret 2010

Di Dalam Kisruh Di Luar Ricuh

Menyesuaikan diri dengan namanya yang bermakna satu abad kasus bailout Century yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan masih jauh dari titik terang. Gembar-gembor tuntutan untuk meminta pertanggungjawaban dari orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang ditanggung negara akibat pengucuran dana talangan terus menggema. Kerja senilai kurang lebih lima milyar yang dilakukan pansus Century pun telah dilaporkan dan diputuskan dalam sidang paripurna DPR dua hari lalu. Mengikuti sepak terjang pansus dalam menggunakan hak angketnya untuk menyelidiki kasus Century sangatlah menarik. Seperti sebelum-sebelumnya, kelakuan para anggota dewan yang terhormat dalam ruang sidang kompak benar dengan apa yang terjadi di luar gerbang senayan. Berawal dari keputusan sepihak ketua DPR sekaligus ketua sidang menutup rapat dengan alasan tidak ada agenda penting lagi yang harus dibahas, sekali lagi keributan di ruang sidang terulang dengan begitu jelas di layar kaca yang sedang siaran secara 'live'. Hujan interupsi berujung kaki entah milik siapa yang naik ke meja maupun podium, pelemparan botol air minum hingga nyaris terjadi adu fisik seakan menjadi acara rutin setiap sidang dewan yang membahas topik sensitif. Kumandang shalawat yang diperkeras pun tak mampu meredam emosi yang terlanjur memuncak akibat benturan kepentingan berbagai pihak. Tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di dalam ruangan, di luar massa dari berbagai kalangan baik pro dan kontra pun ikut menggila. Kontan aksi anarkis dalam skala kecil berlangsung dengan cepatnya, menjadikan petugas keamanan harus bekerja keras untuk membendung kerusakan lebih lanjut. Sementara pemerintah masih bersikap 'cuek' dengan hasil rekomendasi pansus yang pada akhir keputusannya memenangkan opsi c dengan cukup mutlak.
Ada apa dengan negeri ini ? Stabilitas nasional yang dulu demikian kokoh sehingga rakyat betul-betul merasakan kenyamanan dan keamanan kini berbalik drastis. Kelakuan wakil rakyat yang kurang beretika semakin sering dipertontonkan, demikian pula kelakuan siswa tertinggi yang dulu berjasa menelurkan sebuah reformasi kini tak lebih dari sekedar omong besar layaknya anak kecil yang harus dituruti kemauannya dan akan menjerit, meronta dan membuat kerusakan jika kondisi bertentangan dengan kehendaknya. Di tengah hiruk pikuk kasus Century yang tidak hanya merugikan negara namun juga para nasabah yang hingga kini belum jelas nasibnya, amatlah wajar jika rakyat menuntut untuk pengusutan tuntas dan menggiring pihak-pihak yang bertanggung jawab ke ranah hukum. Namun demikian, jika diperhatikan dengan seksama kasus ini seakan terlalu dipolitisir, masalah tidak terselesaikan justru semakin meruncing dengan 'perang saudara' di kalangan atas. Percuma saja segala penyelidikan berlarut-larut diselingi perang mulut antar anggota yang beberapa waktu lalu menjadi sorotan jika pada akhirnya hanya menghasilkan sebuah rekomendasi yaitu opsi c alias kebijakan bermasalah. Orang awam bahkan kasarnya seorang anak kecil pun bisa tahu bahwa kebijakan Century memang bermasalah. Tak perlu meminta persetujuan dewan yang justru menimbulkan goncangan politik yang berdampak negatif di berbagai bidang. Terlalu dangkal rasanya jika harus mengucurkan dana sekian milyar hanya untuk sekedar menunjuk satu dua nama orang-orang yang dianggap (sekali lagi dianggap) bertanggung jawab atas kebijakan bermasalah tersebut. Penemuan fakta yang pada akhirnya digunakan sebagai senjata untuk saling serang di ranh politik. Mengapa rakyat harus disuguhi dengan hal-hal demikian ? Rakyat tidak membutuhkan perebutan kekuasaan, masa bodoh dengan 'kawin cerai koalisi', membenci aksi-aksi anarkis egois yang merugikan. Rakyat hanya butuh jaminan keamanan dan kenyamanan dalam hidup. Rakyat memerlukan wakil-wakil yang murni memperjuangkan hak mereka, bukan sekedar pro rakyat di permukaan namun individualis di dalam.
Sungguh malang bagi mereka yang selama ini terus dipojokkan. Memang sebuah resiko bagi seorang petinggi dalam mengambil keputusan. Sebuah perjudian yang membawa keberuntungan berlimpah jika mendapatkan kartu yang tepat namun kalah habis-habisan jika salah mengambil langkah yang mungkin waktu itu dirasa paling tepat. Agaknya rakyat masih harus menunggu lebih lama lagi untuk melihat akhir kasus Century ini. Tidak hanya sekedar menyaksikan pertanggungjawaban petinggi waktu itu, namun harapan lebih ke arah siapa saja yang memperoleh keuntungan dengan kucuran dana talangan ini untuk dimintai pertanggungjawabannya. Cukup sudah waktu rakyat dicekoki dengan perang pernyataan di media. Cukup sudah demonstrasi tak berujung pangkal yang akhirnya hanya merusak mental dan fisik. Rakyat cukup lelah dengan berita-berita kerusuhan baik di dalam maupun di luar ruangan. Sebuah situasi yang jauh dari akal sehat bagi mereka yang dianggap sebagai orang yang berintelektual di atas rata-rata namun rupanya mempunyai taraf rendah dalam hal mengendalikan emosi dan berpikir jernih.

Senin, 01 Maret 2010

You're Beautiful

Ihdaeroh dolaseolgeomyeon sarajil geomyeon pieonaji anaseo
(If like this, I turned my back on Idisappeared It wouldn't come into bloom)

Sepenggal lirik Wind Flower yang merupakan original soundtrack dari sebuah drama kolosal nan mengharu biru tersebut membuka kembali kembali ingatanku yang sudah lama tersembunyi di antara kenangan lain yang mengisi pikiranku dan benakku selama ini. Aku yang memang mudah seklai terhanyut dalam sebuah kisah entah itu kenyataan atau rekaan, kali ini pun aku tak kuasa menahan tangis ketika menyaksikan adegan-adegan romantis, dtamatis dan tragis selama 62 episode drama yang sukses mengharu biru penonton tersebut. Kesedihan usai menyaksikan seluruh episode yang berakhir tragis tersebut membuatku tak bersemangat berhari-hari. Setiap kali aku mendengarkan lagu-lagu yang mendukung keindahan kisah tersebut, tiap kali pula mataku berkaca-kaca, teringat kegagalan akan dua orang untuk bersama meskipun jelas-jelas cinta terpancar dari keduanya.
Cinta, sebuah kata yang begitu disukai oleh banyak orang . Meskipun tak jarang yang berakhir pahit dan menimbulkan luka, tak sedikit orang yang mendambakan datangnya kata cinta pada dirinya. Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai rupanya menjadi salah satu kompponen penting di tengah perjuangan untuk menemukan hidup yang berkualitas. Cinta, itulah topik utama obrolanku belakangan ini dengan sahabat-sahabat baikku. Berbagai kisah yang dilatarbelakangi kata berawalan c tersebut tak pernah bosan untuk diperbincangkan. Aku dan sahabat-sahabatku berbagi rahasia terdalam yang ingin ditutupi dari keingintahuan orang lain. Dengan usia yang semakin bertambah, obrolan tentang masa depan dengan seseorang semakin sering diperbincangkan, saling meminta pendapat dan saling mengutarakan pikiran meskipun tak jarang sikap malu-malu muncul ketika membisikkan perasaan yang diri sendiri pun belum mengerti dengan jelas. Yang satu merasa galau dengan pertanyaan tentang apakah dia benar-benar 'falling in love', yang lain mencurahkan penyesalannya akan cinta yang akhirnya berlalu tanpa ada perjuangan untuk meraihnya, yang ini menceritakan kebahagiaan akan pilihannya, dan yang disana merasa lelah dengan keharusan untuk segera menemukan belahan jiwanya.
Lalu bagaimana denganku ? Tak berbeda jauh dengan mereka, aku pun menghadapai problema tersendiri dalam konteks cinta tersebut. Meskipun aku cenderung menutup rapat persoalan hati ini, pada akhirnya aku tak mampu lagi menyimpannya untuk diriku sendiri. Kegelisahan yang terus menerus membuatku ingin menumpahkan sedikit rahasia hatiku pada seseorang yang kupercayai, yang mau mendengarkanku dan mampu memberi sedikit kesegeran untuk menjernihkan pikiranku yang mulai menginjak daerah rawan. Dan lambat laun aku pun mulai membagi sepenggal masa lalu kepada seseorang meski tidak semuanya kubeberkan dengan gamblang.
Imoto chan, ingatkah kau ketika aku bercerita tentang mimpi-mimpiku ? Dimulai dengan ceritamu akan detak jantung yang meningkat tajam, aku yang pada awalnya tak sengaja bercerita akhirnya memuntahkan sebuah pengakuan yang selama ini tak ingin kupercayai. Aku sendiri tak mengerti apa yang terjadi pada diriku ini. Seolah tak menghiraukan kenyataan yang sudah terpampang untuk sekian lamanya, namun mengapa mimpi itu selalu datang ? Membuatku tak ingin terbangun untuk beberapa saat, menyebabkanku membuka mata di pagi hari, terkadang dengan seulas senyum di bibir dan tak jarang dengan air mata meleleh di sudut mata, menjadikanku kembali teringat pada perjalananku lebih dari sepuluh tahun lalu, mengembangkan kembali harapan yang seharusnya sudah lama mati.
Dan saat ini ketika telingaku dipenuhi dengan lantunan lirik yang menggiris hati, aku tak bisa mengendalikan air mata yang spontan mengalir keluar. Meskipun aku meyakinkan diri rasa sakit yang menusuk tersebut karena teringat kisah tragis dalam drama itu, jauh di dalam hati aku menyadari bahwa lirik-lirik lagu ini membawaku ke dalam masa lalu, membuatku teringat akan dia yang kini telah hilang, merasakan kembali penyesalan akan kebodohanku dulu dan sekarang. Kilasan kenangan yang mungkin tak berarti baginya , namun selalu kusimpan baik-baik bermunculan satu persatu. Dia yang membuatku mengalami manisnya 'love at first sight, dia yang begitu ramah dan baik padaku, dia yang dengan riangnya menyusuri indahnya pegunungan bersamaku, dia yang mengisi waktu bercerita denganku, dia yang demikian sering kupandangi dari jauh, dia yang perasaanku padanya selalu kusembunyikan di balik cerita tentang orang lain, dia yang tangannya kugenggam erat-erat selama sekian menit di malam itu, dia yang pada akhirnya kuabaikan karena keadaan, dia yang entah kapan berubah dan begitu jauh denganku, dia yang pada akhirnya hanya bisa kulihat di sebuah gambar, dia yang kini menjadi milik orang lain, dia yang aku tak pernah tahu apa yang dipikirkannya tentang diriku, dia yang selalu terlihat cantik di mataku, dia yang belum bisa tergantikan di hatiku dan dia yang selalu hadir di mimpiku hingga kini.
Begitu lekatnya kenangan tersebut membuatku benar-benar ingin untuk mengubah waktu. Ya, jika pada akhirnya harus begini lebih baik aku berbalik dan menghilang, tak membiarkan semuanya tumbuh dengan begitu indahnya, hanya untuk luruh ketika lelah untuk terus berbunga. Itulah mengapa aku selalu menyukai kisah-kisah romantis, tak kuasa menahan haru akan kesedihan ketika harus melepas seseorang pergi yang berakhir dengan kebahagiaan. Itulah mengapa aku berusaha menjauhi kisah-kisah sedih, dan kesal bukan main ketika melihat, mendengar atau membaca cerita tentang dua orang yang tidak bisa bersatu. Betapa inginnya aku untuk lepas dari bayang-bayangnya. Betapa besarnya aku membutuhkan bantuan dari seseorang untuk bisa keluar dari jerat ini. Betapa hausnya aku akan seseorang yang mau memukul kepalaku, menertawakan kebodohanku dan membuatku sadar akan keharusan melihat masa depan. Betapa aku ingin melepasnya dan bisa melihatnya dengan rasa sayang akan orang yang pernah mengisi memori indahku. Betapa aku berharap suatu hari menatap dan menyapanya tanpa ada sesuatu yang lebih dari pertemuan antar teman. Ingin sekali aku bisa mengucapkan "Even if you find another person that makes you smile, even the painfull farewell, I'm glad that it was you. My love that I can't reach, now I have to send you away."
Tapi.... saat ini....

Eoddeokajyo, eoddeokajyo geudaega ddeonaganeyo
(What should I do, what should I do, you're leaving )
Eoddeokajyo, eoddeokajyo nadulgo ddeonaganeyo
(What should I do, what should I do, you're leaving me)
Saranghaeyo, saranghaeyo, mongnoa bulleobojiman
(I love you, I love you, I cry out to you)
Geudaen deutji motaeyo gaseumeuroman woechigo isseuni
(But you can't hear me because I am only shouting in my heart)
Haruonjongil jiwobojiman ddo ddeoolla
(All day long I try to forget you, but I think of you again)
Haruonjongil ibyeolhajiman ddo dasi ddeoolla
(All day long I try to say goodbye, but I think of you)
(What should I do by Jang Geun Suk)