Senin, 29 April 2013

Komik # Child

"Wes gedhe kok jik seneng kartun, payah " komentarnya dengan menggelegar, membuat wajah-wajah yang semula sibuk dengan pekerjaan masing-masing berpaling menatapku. Ugh...sontak emosiku melonjak ( akhir-akhir ini aku memang cepat sekali tersinggung), dan kalimat bernada tinggi pun terlontar dariku. Komentar nyinyir tentang hobiku yang satu itu memang sering kudengar sejak aku beranjak dewasa. Biasanya komentar semacam itu muncul dari mereka yang asing dengan komik, kartun, gambar colek, manga atau apapun istilah untuk cerita bergambar yang mengisi sebagian besar rak bukuku. Aku yang enggan berdebat pun hanya tersenyum menanggapi, tak mau membuang energi menjelaskan hal yang tak mau mereka mengerti. Meskipun demikian, semakin lama kuterima komentar nyinyir tersebut rasa dongkol yang selalu kusimpan akhirnya meluap juga. Entah berapa kali aku menulis tentang dunia komik, menjelaskan perkembangan komik yang telah bergeser dari bacaan anak-anak menjadi bacaan universal sesuai dengan genre dan rating. Sayangnya, sebagian dari mereka yang awam dengan komik tak mau mengikuti perkembangan meskipun hanya sekedar tahu tanpa harus menjadikan membaca komik sebagai hobi. Tetap berpegang pada wawasan sempit dan pengetahuan yang cetek tersebut dijadikan senjata untuk berkomentar yang baik sengaja atau tidak telah menyinggung orang lain. Apesnya (^_^) sekarang ini aku berada di lingkungan yang personelnya tergolong awam dengan komik. Jangankan komik, sekedar toko buku lengkap pun tak ada di tempatku sekarang ini. Budaya membaca rupanya masih jauh dari kebiasaan sehari-hari mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Tak heran jika kolegaku masih menganggap bahwa komik adalah bacaan anak-anak, dan orang dewasa yang membaca komik dianggap tak wajar dan cenderung ditertawakan. Okelah kalau begitu, hanya saja aku berharap mereka bisa melihat situasi ketika berkomentar, mempelajari dulu sebelum menertawakan orang di depan umum. Aku sangat berterimakasih pada mereka yang melihat isi bacaanku dan mengangguk-angguk maklum meskipun mungkin dalam hati merasa aneh dengan hobiku ini namun tak sampai ikut-ikutan berkomentar nyinyir. Yups, aku mengakui sejak mulai bisa mengeja huruf, aku menjadikan membaca sebagai hobi. Dan aku menjatuhkan pilihan pada komik sebagai salah satu bacaan favoritku. Doraemon, adalah komik pertama yang kubaca ketika aku pertama kali mendaftar sebagai anggota taman bacaan Mutiara Hitam (ups kangen dengan MH, sayang sekarang sudah tutup tergilas dengan arus game online). Sebagai anak sekolah dasar, aku terpesona dengan berbagai benda yang keluar dari kantung ajaib Doraemon. Sebagai seorang anak yang membaca tanpa didampingi orang dewasa, saat itu aku hanya menikmati komik sebagai hiburan di sela-sela kesibukan belajar. Aku selalu larut dalam cerita komik yang kubaca yang waktu itu komik masih terbatas pada cerita anak-anak dan remaja. Terhanyut dan bermimpi menjadi balerina seperti Mari Chan, tergelak dan mendambakan bertemu dengan pangeran seperti Pansy, bercita-cita menjadi ahli Wushu seperti Kenji dan Chinmi si Kungfu Boy dari Kuil Dairin. Seiring dengan bertambahnya usiaku, komik pun mengalami perkembangan dalam plot, karakter dan teknik gambar. Saat ini komik (terutama komik Jepang) telah berkembang pesat dan telah diterima dunia sebagai bacaan dewasa. Aku belajar tentang sebuah penerimaan dan pemahaman akan penderitaan dalam Fruit Basket, mengerti makna persahabatan sejati dari Luffy Si Topi Jerami, Nakki dan geng anak badung yang terjut indah dalam Popcorn, mengerti bahwa anak-anak pun bisa bijaksana dalam konteksnya yang tercermin dalam diri Sana (Kodocha Child's Play), belajar berpikir secara filosofi dari karya-karya Akemi Yoshimura Sensei, menggali informasi dari detektif anak-anak Conan, Kindaichi, Qyu, mengenal dunia olahraga dari Harlem Beat, Prince of Tennis dan karya-karya Adachi Mitsuru, membaca sejarah lewat C.M.B, Rose of Versailles, Cesare, Eroica, Samurai X, belajar dunia kedokteran lewat Dr Koto, Godhand Teru, Wild Life, semakin mencintai musik dengan Nodame, Piano Hutan, Diva, menyayangi keluarga seperti Baby And I dan jika jenuh dengan rutinitas cukup membalik lembar demi lembar dan tertawa-tawa bersama Kobo Chan dan Kariage Kun ataupun ikut dalam petualangan seru Kyo, Beelzebub dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya dalam dunia fantasi yang penuh warna. Meskipun akhir-akhir ini judul yang kubaca semakin sedikit, kesukaanku akan komik tak jua berkurang. Aku hanya berharap jika mereka mau memahami, andaikan tidak pun tak perlulah untuk mentertawakan, menghakimi bahwa komik sama dengan anak kecil.

Sabtu, 27 April 2013

Single # Rich

"Halah jik bujang butuhe opo ", seringkali kudengar kalimat serupa dari orang yang berbeda. Seringkali juga aku hanya tersenyum menanggapi. Namun lama kelamaan, satu dua kata hingga kalimat meluncur dari bibirku sebagai sanggahan. Lagi-lagi faktor sawang sinawang mencuat pada problematika sehari-hari dalam ranah rupiah. Memang dengan kehidupanku sekarang banyak orang berasumsi bahwa bola kehidupanku bergulir dengan mulus. Sebagai seorang yang single, anak bungsu dengan gaji tetap tiap bulan membuat stigma 'hidup enak' melekat padaku. Meskipun pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah, alangkah lebih baiknya jika mau menggeser sudut pandang. Pada dasarnya tak ada seorang pun yang tak memiliki kebutuhan material dalam hidupnya. Demikian juga dengan aku, hal yang sama pada orang lain juga berlaku bagiku yakni semakin meningkat pendapatan semakin meningkat pula pengeluaran. Masih sendiri alias bujang tanpa tanggung jawab material terhadap keluarga, bukan berarti bahwa aku tak punya kebutuhan selain kebutuhan untuk menyenangkan diri sendiri. Aku sadar jika orang-orang itu tak mengetahui latar belakangku, tak mengetahui persoalan-persoalan yang harus kuhadapi, mereka hanya tahu bahwa aku seorang yang punya banyak waktu luang dengan pundi-pundi melembung sarat muatan (amin ^_^). Aku pun mengerti benar, tak perlulah aku membeberkan rincian bulananku hanya untuk meredam pendapat berlebihan itu. Maka dari itu aku hanya menjawab dengan senyum. Tetapi kesabaranku memang masih terbatas, kalimat yang terus berulang layaknya kaset rusak tersebut makin hari makin membuatku gerah. Aku merasa ironis mendengar berbagai opini yang berbalik dengan kenyataan sebenarnya. Begitulah akhir-akhir ini semakin sering aku melawan secara halus, mengurangi rasa dongkol yang terus bercokol ^_^.
Uang, betapa benda itu sekarang telah menjadi raja. Tak bisa dipungkiri jika orang akan menjadi galau tanpa uang. Maklumlah, zaman sekarang apa sih yang bisa didapatkan tanpa uang ? Kebutuhan primer, sekunder dan tersier bahkan buang hajat pun memerlukan uang. Air yang katanya dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pun saat ini harus mengeluarkan uang jika ingin memperoleh air yang sehat. Untuk memperoleh kedudukan, konon kabarnya memerlukan modal yang lumayan besar. Oh kalau begitu tak heran jika banyak yang tergoda untuk mengembalikan modal  (siapa sih yang mau rugi ?). Aku telah paham, bahwa semua telah berjalan sesuai kodratnya. Menginginkan kehidupan seperti orang lain memang wajar, hanya saja cobalah untuk melihat dari sudut yang lain, sadarilah bahwa setiap orang mempunyai beban masing-masing. Tak perlulah menjudge seseorang secara kasat mata.

* thanks to ibu Choirul yang dengan bijak memahami bahwa setiap orang mempunyai tanggung jawab tersendiri

Rabu, 24 April 2013

Sawang sinawang

"Sakniki sing duwe duit yo pegawe-pegawe niku, wong cilik kados kulo megap-megap !" Sembari mengipasi arang, bapak penjual bakso bakar itu 'curhat' dengan berapi-api. Kurang lebih sepuluh menit, dia berkeluh kesah akan kondisi keuangannya yang seret akibat sepi pembeli, menyalahkan pemerintah yang membiarkan korupsi merajalela, dan pada akhirnya timbul rasa iri dengan profesi pegawai pemerintah. Saat itu aku hanya tersenyum sesekali menanggapi komentarnya tentang harga bawang, kesulitan petani, sepinya pembeli hingga cuaca yang tak mendukung. Tak sekalipun pengakuan bahwa aku juga termasuk orang dengan profesi yang membuatnya cemburu dari segi penghasilan. Sebenarnya ingin sekali aku melontarkan pembelaan atau sekedar berbagi cerita soal kehidupan seorang pegawai rendahan macam aku ini. Namun dengan menilai sikap si bapak yang sedikit terbawa emosi membuatku mengurungkan niat. Bagaimanapun tak ada untungnya berbagi cerita alias membeberkan kesulitan yang kualami pada orang yang tak kukenal dekat. Alih-alih menyangkal opini si bapak, dalam hati aku mengucap syukur atas profesiku seorang. Betapa tidak, meskipun jumlah yang diterima membuatku harus cermat membagi agar cukup, paling tidak setiap bulannya aku tak perlu khawatir akan biaya hidup. "Sawang sinawang", istilah Jawa itu memang benar adanya. Dulu, aku pun pernah berada di posisi si bapak. Memandang dengan rasa iri dan 'kepengin' pada mereka yang terjamin 'pawetune' (penghasilan) plus berbagai tunjangan yang menambah pundi-pundi, belum lagi kemudahan untuk mengambil kredit ^^. Sementara aku hanya pekerja tak tetap yang setiap saat gelisah melihat tempatku mencari nafkah semakin sekarat. Membuang rasa malu dengan memeras tenaga di tempat yang tak sesuai dengan bidangku. Sementara profesi pegawai bisa memperoleh cuti dan libur, aku berada di posisi sama dengan si bapak penjual bakso bakar, libur sehari berarti rezeki berkurang sehari. Kini, ketika aku berada pada posisi yang membuat iri si bapak dan aku dulu, barulah kutahu bahwa sebenarnya sama saja. Yang membedakan hanyalah rasa syukur atas nikmat yang telah diterima. Sejauh mana kepiawaian seseorang mengatur apa yang telah diperoleh agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan bisa menyisihkan untuk yang berhak. Suatu hal jika dipandang dari sudut yang berbeda hasilnya bisa berbeda pula. Hanya saja memang dibutuhkan perhatian mereka yang berkuasa untuk mengatur keadilan dan kemakmuran, tak sekedar berorientasi pada soal balik modal ataupun kepentingan golongan.

Selasa, 23 April 2013

Gamang Dengan Arus

"Mengenyam pendidikan setingi-tingginya sudah menjadi cita-citaku sejak kecil. Meskipun terbentur faktor ekonomi, semangat untuk terus belajar tak pernah padam.", tulisku dulu sebagai kalimat pembuka pada selembar kertas kosong. Ahh...betapa rindunya aku akan masa-masa lalu ketika jiwa muda masih setia dengan mimpinya. Hingga mimpi itu pudar dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Saat ini lamat-lamat masih kuingat ketika kesempatan menambah gelar lebih tinggi terpental hanya dengan sebuah kalimat pendek, berlanjut dengan kesempatan yang harus kusia-siakan lagi hanya karena satu kata. Saat ini, semua kegetiran dan amarah waktu itu telah menguap, dan berganti menjadi sebuah pemahaman akan jalan yang harus kutempuh untuk sampai di detik ini. Gelora yang dulu meluap-luap akhirnya mereda dan kutemukan ketenangan setelah berdamai dengan kenyataan.Tentu keinginan untuk belajar masih ada hanya saja tak menggebu-nggebu melainkan fleksibel, menyesuaikan dengan kondisi.
Di saat rencana ke depan telah matang, sekali lagi faktor tak terduga muncul dan sukses mengacaukan rencana. Masih terekam dalam ingatan, ketika sebuah kesimpulan terbentuk di benakku setelah sekian lama mengamati situasi di sekitarku sekarang. Betapa makna huruf tambahan bergeser dari penghargaan atas ilmu yang diperoleh selama beberapa waktu menjadi hanya sekedar prestise untuk peningkatan karir belaka. Terkejut dan miris, berkecamuk dalam benakku yang masih idealis dalam menghargai ilmu ketika melihat berbagai cara murahan untuk memperoleh embel-embel gelar di belakang nama. Berbagai pikiran terlontar dari benakku dengan kenyataan seperti itu. Apakah ilmu sudah tak lagi berbobot ? Bagaimana dengan transfer ilmu ke generasi penerus jika proses memperoleh gelar tak sepadan antara ilmu, waktu dan ongkos ? Mengapa gelar menjadi satu kewajiban yang harus dipenuhi dengan berbagai cara ? Apakah kebanggaan akan keberhasilan menimba ilmu masih tetap ada, ketika tiga huruf melekat dengan lem berupa lembaran uang kertas ? Semua pertanyaan itu saat ini terus mengganjal, membuatku gamang untuk mengikuti arus di saat diri masih idealis. Namun entahlah ketika suatu saat nanti diri sudah lelah untuk melawan dan akhirnya aku pun mengikuti arus.

Selasa, 02 April 2013

Inilah Aku

Tak banyak bicara dan mendengarkan, prinsip itu selalu kuterapkan selama ini. Pada dasarnya karakter   tertutup dan tak mudah berinteraksi dengan orang lain menjadi penyebab cap pendiam melekat erat. Berawal dari ketenangan yang didapat dalam kesendirian, keengganan untuk bergabung dengan dunia luar semakin meningkat. Tentu kesadaran sebagai makhluk sosial itu ada, meskipun demikian berkumpul dengan orang lain dirasa lebih condong ke arah gangguan privasi. Alih-alih perhatian, keingintahuan justru menjurus ke sifat ikut campur dalam ranah pribadi yang terasa menganggu.  Dan itu semua membuat gerah dan akhirnya emosi pun meningkat. Menempatkan posisi sebagai 'underdog' sedikit demi sedikit membuatku mengerti karakter masing-masing personal. Kadang kegelian selalu muncul ketika pribadi-pribadi saling bersaing unjuk diri dalam sebuah pembicaraan. Entah disadari atau tidak atau bahkan memang demikian karakter aslinya, kehausan untuk tampil menjadi pusat perhatian muncul dalam bentuk pembicaraan dengan tema 'inilah aku'. Aku begini, aku begitu, dia begini, dia begitu, mereka begini, mereka begitu selalu menjadi bahan utama perbincangan dalam sebuah kumpul-kumpul formal maupun non formal. Jika demikian apa gunanya ikut terjun dalam interaksi ? Cukup banyak kurasa, meskipun belum semua kupahami alias lebih sering membuatku jengkel karena kenyamananku terusik. (Huftts...baru saja aku menulis demikian, kejadian yang mengusik ketenanganku kembali terusik >.<). Walau terkadang merasa terkucil, dan diremehkan, jika dipikir lebih lanjut semua untuk kebaikan. membuatku belajar bersabar, belajar membaca karakter orang lain sehingga bisa menempatkan diri di situasi apapun. Bukannya tak mau berbagi ilmu, melainkan memberi kesempatan orang lain untuk berkarya dan siap membantu jika diminta. Bagaimana kalau tidak ? Hmmm....biarkan saja, waktuku bisa kugunakan untuk yang lain sesuai jalurku daripada menawarkan diri yang belum tentu dihargai.