Selasa, 23 Desember 2014

Maju Mundur Kurikulum

Pro kontra pelaksanaan Kurikulum 13 terus berlanjut baik di tingkat pejabat, mantan pejabat, dewan terutama guru sebagai pelaksana di lapangan dan tak lupa orang tua murid yang turut terkena dampak terhadap perubahan kurikulum. Menurut pandangan saya sebagai guru, Kurikulum 13 bagus untuk diterapkan. Kurikulum 13 mengubah karakter anak dari pendengar menjadi pelaku aktif diimbangi dengan nilai-nilai religi. Generasi emas bangsa Indonesia akan terbentuk melalui Kurikulum 13. Meskipun demikian, saya tidak setuju Kurikulum 13 diterapkan saat ini di seluruh sekolah ? Nah lho, kok plin plan begini ya ? ^_^ Baiklah, akan saya paparkan alasan-alasan penolakan pelaksanaan Kurikulum 13 saat ini (sambil menghela nafas lega ketika membaca surat edaran Menteri Pendidikan ) berdasarkan opini pribadi dan pendapat dari rekan-rekan guru di lingkungan sekitar saya. Meskipun Kurikulum 13 mempunyai proyeksi baik, pelaksanaan Kurikulum 13 saat ini cenderung dipaksakan. Bisa dilihat dari belum semua guru mapel dan sama sekali tidak ada guru produktif (SMK) yang mendapat pelatihan Kurikulum 13. Buku-buku paket yang ada pun baru tersedia untuk sebagian mapel wajib A dan B. Itu pun datang terlambat (beruntung sekolah saya hanya terlambat satu bulan setelah semester dimulai), dengan kualitas cetak rendah (banyak buku cacat). Yang lebih memprihatinkan, materi yang tercantum pada buku paket menggunakan bahasa yang tidak sesuai kaidah, melenceng dari norma (contoh buku PJOK SMA/K kelas XI yang mencantumkan etiket pacaran !!!), dan membingungkan (siswa saya mengeluh jika mereka tak bisa memahami materi pada buku paket). Alasan ketiga Kurikulum 13 tidak cocok diterapkan di semua sekolah adalah soal sarpras. K13 menuntut penggunaan IT pada setiap pembelajaran (ironisnya mapel TIK dihapus dari peredaran !), sementara sarpras di sekolah saya belum memadai. Bisa dibayangkan hebohnya guru-guru di sekolah saya ketika berebut ruang belajar yang ada instalasi listrik dan LCD yang jumlahnya terbatas (kira-kira 1 : 4). Kehebohan semakin lengkap dengan koneksi internet yang lambat dan seringkali mati di akhir bulan ^_^. Jujur, sebagai guru K13 memudahkan dalam mengajar. Guru hanya berperan sebagai fasilitator, memancing siswa untuk bereksplorasi dan memunculkan ide, dan kreatifitas. Nah, oleh-oleh selama saya mengikuti PLPG guru sama sekali tidak boleh menerangkan (ceramah), guru hanya mengajukan pertanyaan dan memancing siswa. Bagaimana dengan siswa ? Pada prakteknya, di sekolah saya siswa bisa dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok "gembira" karena tidak harus mendengar ocehan guru tapi ketika di tes lisan dan tulisan memperolah predikat C- dan kelompok "lelah" karena harus ekstra belajar dan tekun mengerjakan tugas yang diganjar dengan nilai B-. Mari kita bayangkan sebentar bagaimana siswa bisa memahami teorema fisika dan matematika tanpa tambahan ceramah guru. Siswa saya duduk di tingkat menengah kejuruan yang berorientasi pada dunia kerja. Bekal pengetahuan diperoleh dengan cara 'suapan' dari guru sejak SD sekarang tiba-tiba harus makan sendiri. Layaknya anak kecil yang belajar makan, nasi berhamburan di sekitarnya, demikian pula dengan siswa saya nilai pengetahuan dijamin tidak memenuhi kriteria lulus. Ya siswa saya memang begitu, dengan latar belakang keluarga menengah ke bawah, sekolah gratis menjadi incaran. Biaya tambahan hanya untuk membeli seragam, dan katakan tidak untuk membeli buku penunjang. Sebagian besar siswa saya hanya berpegang pada buku paket yang dipinjamkan, mencari  tambahan materi lewat internet jika dan hanya jika diberi tugas oleh guru. Mau dengar komentar orang tua murid ? Ini komentar tetangga saya tentang K13, " Bu, apa sekarang guru tidak pernah mengajar ?" Haaa....deeehhhh....kembali lagi kurangnya sosialisasi K13 untuk semua yang berkepentingan. Ya itu sedikit alasan di lapangan (bukan alasan teknis macam evaluasi, de el el) mengapa ada yang menolak penerapan K13. Singkatnya adalah terlalu terburu-buru sehingga terkesan dipaksakan dan hanya sekedar proyek saja. K13 yang mengacu pada pendidikan negara maju lebih cocok diterapkan di sekolah eks RSBI dengan input siswa tinggi, SDM guru baik dan didukung fasilitas dan kekuatan finansial orang tua. Yang lebih penting adalah alangkah baiknya jika K13 diterapkan mulai dari kelas 1 SD, bukan mengubah secara mendadak karakter anak yang sudah terbentuk pada usia remaja. 
Akhir dari tulisan ini adalah tanggapan saya terhadap perdebatan di forum guru mengenai SDM guru dalam menghadapi K13. Sekian lama saya menyimak komentar terhadap status mengenai K13, saya semakin miris ketika mendapati forum guru terpecah antara guru PNS dan honorer. Banyak komentar miring tentang guru (terutama PNS) yang menolak K13 karena guru malas (penilaian di K13 rumit dan butuh kemampuan IT) belajar, tidak kreatif membuat metode pembelajaran,bla bla bla yang intinya mendiskreditkan guru. Hmmm...apakah mereka yang komentar ini tidak sadar bahwa mereka bisa hebat karena guru-guru senior ? Padahal mereka tidak menggunakan K13, tapi menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat. Setiap orang punya kelebihan masing-masing, jangan pernah menjudge guru malas hanya karena tidak bisa IT. Senior saya disini dengan kondisi penglihatan  berkurang masih mau belajar mengutak  atik laptop walau tidak mungkin bisa selihai guru muda jebolan tahun 90an. Daripada menghujat lebih baik saling bertukar keahlian, yang tua membagi pengalaman, yang muda membantu IT yang tua. Adil kan ? Kembali lagi pada K13, kurikulum bagus, tapi hendaknya pembuat kebijakan mau turun ke lapangan di pelosok bukan sekedar di daerah percontohan yang pastinya membuat laporan yang baik-baik. Tidak menggeneralisasi kondisi sekolah di seluruh penjuru bangsa. Itulah mengapa banyak yang menginginkan kembali ke KTSP, kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi satuan pendidikan masing-masing.

Selasa, 28 Januari 2014

Biasa Saja

"Bagaimana rasanya ?", akhir-akhir ini pertanyaan serupa sering mampir kepadaku. Bukan tanpa alasan sobat-sobatku menanyakan hal tersebut. Baik yang sudah berdua apalagi yang masih setia menjomblo kompak menanyakan perubahan yang terjadi pada diriku sejak hari Minggu, 29 Desember 2013 lalu. Ditanya tentang rasa, terus terang aku sendiri belum bisa menjawab secara gamblang. Pasalnya, hingga saat ini yang notabene tiga minggu berlalu sejak statusku berubah, rutinitas yang kujalani sehari-hari tak banyak berubah. Bangun pagi, berangkat ke kantor, pulang sore lalu istirahat hingga pagi kembali berulang, masih sama seperti aku yang dulu. Menyiapkan makan malam, ataupun jalan-jalan bertiga pun sudah biasa kulakukan. "Biasa saja, mungkin karena sudah terbiasa", jawabku yang diamini salah satu sahabatku yang juga mengalami hal serupa. Mungkin karena baru beberapa waktu dan belum benar-benar tinggal bersama, jadi perubahan status dari single menjadi ibu rumah tangga belum terasa nyata. Pola pikirku pun belum mengalami perubahan sebagaimana mestinya. Menyiapkan makan, seragam ataupun bersih-bersih rumah sudah biasa kujalani beberapa bulan belakangan ini. Menyandang  predikat 'bunda' pun baru sedikit mengubah aktivitas sehari-hari. Lagi-lagi karena beberapa bulan ini aku sudah terbiasa dengan semua itu.
Sebenarnya bukan perubahan aktivitas yang menggangguku, ketidaknyamanan akan status baru ini justru datang dari mereka yang tak berkepentingan.Tak dipungkiri, karakterku yang tertutup dan tak suka berinteraksi berlebihan dengan orang lain membuatku terganggu dengan celotehan nyinyir. Aku berprinsip, hidupku adalah urusanku. Apa yang kuperbuat, sudah melalui pertimbangan matang dan sepanjang tak merugikan orang lain, sah-sah saja untuk kulakukan. Pada kenyataannya, pikiran orang itu bermacam-macam. Keputusanku untuk menggelar pernikahan tertutup pun mengundang berbagai komentar mulai dari omongan 'bijak' sampai komentar miring penuh dugaan negatif. Walau emosi sering tersulut, aku berusaha untuk tetap diam. Sedikit senyum dan jawaban singkat menjadi senjataku untuk menanggapi komentar-komentar yang pada intinya sama. Doa yang tulus kuterima dengan penuh terima kasih, sebaliknya gurauan (atau suara hati sebenarnya) kuanggap angin lalu saja. Meskipun jengkel dan tersinggung selalu muncul tatkala mendengar tagihan makan-makan hingga tuduhan 'sudah isi'. Aku tahu, bahwa segala sesutau yang diam-diam itu pada akhirnya akan menimbulkan kegemparan. Hanya saja, pentingkah memohon doa restu orang-orang yang belum tentu tulus memberi restu dengan sebuah resepsi yang bagiku sebuah pemborosan ? Untukku, doa restu dari keluargalah yang utama, karena mereka yang benar-benar dekat dengangku dan mendukungku, dan pastinya mendoakan dengan tulus tanpa embel-embel "sumbangan". Berbeda dengan sebagian orang luar yang lebih dulu menodong 'syukuran' alih-alih mengucapkan selamat, disertai bisik-bisik negatif tentang hari bahagiaku yang tertutup. Pada akhirnya semua keputusanku dan pasanganku cukup tepat, dan terserah orang mau bilang apa. Yang penting, doa dari keluarga dan sahabat sejati menyertai perjalanan kami menempuh hidup yang baru.