Rabu, 09 Oktober 2013

Upah Minimum Hidup Layak

Huft setelah sekian lama, baru kali ini sempat membuka rumah tulisku. Itu pun sedikit dipaksakan, sekedar berganti suasana di tengah kejaran tenggat waktu seabrek kerjaan. Sebenarnya, banyak unek-unek atau sebatas celoteh ringan menyikapi berbagai kejadian baik skala lingkungan sekitar sampai nasional. Berhubung kesulitan membagi waktu, plus gangguan kesehatan akibat tubuh mencapai batas lelah, Beberapa waktu lalu, sebelum media online dihiasi berita seputar kecelakaan fenomenal putra musisi terkenal, ataupun update berita kasus suap hakim MK, aku setia mengikuti perkembangan demonstrasi buruh sekaligus komentar-komentar pembaca baik pro maupun kontra. Dulu, aku menyimpan simpati pada buruh dengan gaji minim walau memeras keringat sehari penuh. Bersinggungan langsung dengan kehidupan buruh, bahkan bertugas menghitung dan membayar gaji mereka, membuatku miris. Maklumlah upah minimun buruh di pedesaan hanya setaraf sedikit mendekati cukup untuk menghidupi keluarga. Ketika terjadi demonstrasi buruh menuntut upah minimum, aku setuju-setuju saja, mengingat nilai uang yang semakin melorot sehingga tak memungkinkan dengan gaji tetap untuk mencukupi kebutuhan. Sekali tuntutan terpenuhi ternyata berlanjut ke tuntutan-tuntutan berikutnya. Kenaikan UMR bagi buruh di ibukota yang baru saja disahkan, ternyata belum cukup bagi buruh dalam tanda kutip. Entah serikat ini benar-benar mewakili seluruh buruh di Indonesia atau tidak, rasanya mereka makin 'ngelunjak' dengan tuntutan yang kurang masuk akal. Kali lalu aku membaca berita online yang berisi daftar item yang digunakan sebagai dasar perhitungan tuntutan kenaikan UMR. Semakin jauh ke bawah, item-item yang tertera di daftar makin menggelikan. Membuatku berpikir apakah buruh sedemikian 'ceteknya' pemikiran mereka. Uang makan, kontrakan, transport, kesehatan, pensiun mungkin bisa dinalar bahkan tunjangan baju dan sepatu masih bisa diterima. Tapi bagaimana dengan uang kosmetik (lipstik, bedak, dsb) ? Uang buah-buahan ? Uang rekreasi ? Uang pulsa ? Apakah mereka tidak berpikir, di tengah terpuruknya situasi ekonomi, tuntutan mereka yang diluar kewajaran justru mencerminkan piciknya buruh di Indonesia. Tuntutan upah sedemikian tingginya justru membuat perusahaan berpikir untuk melakukan perampingan besar-besaran. Persaingan antar buruh semakin meruncing, bagi mereka yang tak mempunyai skills tambahan, bersiap-siap saja kena PHK. Jika alasan buruh berhak hidup layak seperti pegawai negeri, pikirkanlah lebih jauh. Pertanyaannya pegawai negeri mana yang sehari makan 3 x lengkap dengan minum susu dan buah pencuci mulut. Pegawai mana yang kontrakannya sebulan mencapai 750 ribu rupiah ? Mungkin mereka hanya melihat gaya hidup pegawai eselon tinggi dengan tunjangan ini itu. Tapi,tidakkah mereka berkaca pada pegawai rendahan terutama di daerah ? Berpuluh tahun mengabdi pun masih banyak yang belum mempunyai rumah sendiri. Baju dan sepatu baru hanya setahun sekali kalau tidak mendahulukan kepentingan anak. Membiayai sekolah anak-anak pun harus menggadaikan aset dulu dengan sistem potong gaji. Padahal modal  menjadi pegawai juga tidak murah, harus mengenyam pendidikan tinggi, bersaing dengan puluhan bahkan ratusan ribu pelamar, dan harus meniti karir dari bawah, syukur-syukur di hari tua sempat mengenyam posisi puncak. Nah, yang menjadi masalah, apakah demonstrasi itu murni dari buruh atau ditunggangi oknum yang ingin mencari keuntungan alias pengangguran berselubung pengurus ? Tak tahulah, hanya berharap kecemburuan antar profesi bisa dikurangi. Caranya bukan dengan menyamakan gaji, melainkan mempertimbangkan segala aspek yang masih beradadalam batas kewajaran

Tidak ada komentar: