Rabu, 01 April 2009

Home Alone

Meskipun aku sudah menginjak usia dewasa, terhitung baru beberapa kali aku mengalami sendiri di rumah. Karena pada dasarnya aku tergolong penakut, pertama kali harus ditinggal sendiri di rumah nyaris semalam aku tidak tidur gara-gara ketakutan ^^. Akhirnya setelah beberapa kali harus jaga rumah sendirian rasa takut sedikit demi sedikit berganti menjadi rasa bebas. Demikian juga dengan beberapa hari ini, sekali lagi aku menjadi penghuni tunggal di rumah. Untuk mengenyahkan takut dan gelisah sendirian di malam hari, aku pun meminjam keping-keping cd di tempat persewaan film. Satu demi satu judul-judul film lumayan baru kutonton sembari beristirahat. Maklumlah, berbagai acara televisi di malam hari terhitung jarang yang bisa kunikmati. Entah karena seleraku yang diluar kebiasaan atau mutu pertelevisian tanah air yang menurun, yang jelas beberapa hari ini aku absen menonton televisi, lebih tertarik dengan dengan cerita apik dalam film. Dari beberapa judul yang kupilih, ada satu yang berkesan dan membuatku terhanyut ketika menonton film itu. Laskar Pelangi, demikian judul film yang membuatku menangis ketika menyimak jalan cerita anak-anak di Belitung. Ya heboh Laskar Pelangi memang sudah berlalu, namun baru kali ini aku sempat menonton versi layar lebarnya. Melihat perjuangan Bu Muslimah, membuatku teringat akan pengalamanku yang bisa dibilang cukup mirip dengan kisah nyata yang ditulis oleh Andrea Hirata ini. Tanpa berusaha memposisikan diri sebagai Bu Mus, aku bisa merasakan kegelisahan dan kekhawatiran beliau ketika menantikan kedatangan murid untuk memenuhi kuota minimal berlangsungnya sebuah sekolah. Aku teringat ketika dua minggu penuh, aku dan rekan-rekan guru berharap-harap cemas, bertanya-tanya akankah ada yang datang meskipun segala cara telah digunakan untuk mempromosikan sekolah kami. Air mataku menetes untuk kedua kalinya saat menyaksikan adegan Lintang harus berpisah dari teman-temannya karena keadaan. Lagi-lagi sebuah cerita mirip pernah kualami. Rasa miris Bu Mus dan teman-teman Lintang ketika melihat seorang jenius harus melepas impian dan cita-citanya karena tak ada biaya serupa dengan kepedihanku ketika tak sanggup membantu anak yang harus putus sekolah karena orang tuanya hanya sanggup membiayai hingga jenjang SMP. Pendidikan di Indonesia semakin bias saja. Meskipun sudah dicanangkan sekolah gratis, pada kenyataannya mereka yang tidak mampu tetap tidak bisa sekolah. Kepintaran tidak menjamin seseorang bisa mengenyam bangku pendidikan setinggi-tingginya. Di era dimana uang menjadi raja, asal punya uang orang bisa memilih tempat dan waktu yang tepat untuk memperoleh pengetahuan formal. Inilah yang menjadi nilai buruk dunia pendidikan di Indonesia. Uang bisa membeli pengetahuan. Lihatlah betapa banyaknya kasus-kasus ijazah palsu, jalur-jalur khusus pendidikan berbasic sumbangan, hasilnya kualitas kaum intelek berijazah perlu dipertanyakan kapabilitasnya. Perjuangan Lintang dan kawan-kawan di pulau terpencil menjadi patut untuk dicontoh anak-anak sekarang. Bercermin pada mereka yang biar kurang mampu namun tetap semangat untuk sekolah, memanfaatkan waktu di sekolah sebaik mungkin untuk belajar dan terus belajar.
Usai menyaksikan film yang lumayan mengharu biru, aku pun beralih ke genre lain. Sayangnya kali ini aku salah memilih judul. Thriller yang kukira biasa saja berubah menjadi menakutkan, spontan kumatikan player dan beralih ke televisi. He...he.. ternyata sifat penakutku masih kental. Yupss, sendiri memang mengasyikan, bebas melakukan apa saja tanpa ada yang mengomentari atau melarang. Sekali-kali enak juga merasakan menjadi si bandel Kevin dalam Home Alone.

Tidak ada komentar: