Rabu, 02 Desember 2009

Sakit

"Kasarnya, saat ini sedang 'sakit' In ", demikian jawaban dari seseorang yang selalu kupanggil dengan Bapak baik dulu maupun sekarang. Begitulah pendapat si Bapak ternyata sama saja dengan pikiranku saat ini. Miris nian diri ini jika mencermati situasi dalam negeri tercinta saat ini. Pemerintah diguncang isu, rakyat pun ikut ricuh. Malu benar ketika melihat kerumunan orang berdesak-desakan hingga ada yang terluka demi mendapat bagian daging kurban. Mengapa sih mereka tidak bisa bersabar, mengantri dengan tertib hingga tiba gilirannya memperoleh jatah. Omong-omong tentang antri, budaya rasanya susah sekali untuk diterapkan. Berdasarkan pengalaman, berulang kali aku menjumpai situasi di luar kendali akibat orang-orang tidak mau disiplin dalam mengantre. Beberapa waktu lalu aku nyaris meledak ketika sekelompok orang berdesakan di pintu masuk menghalangi mereka yang mendapat giliran. Sebuah kondisi yang justru memperlambat pelayanan ! Apakah mereka tidak berpikir lebih baik duduk santai menghindar dari terik matahari, dan panas akibat berdesakan sementara menunggu nama mereka dipanggil melalui pengeras suara ? Apa untungnya dengan berkerumun di depan pintu padahal giliran masih lama tibanya ? Rupanya ketidaksabaran dalam menunggu giliran telah mendarah daging. Apalagi jika diembel-embeli dengan kata-kata gratis. Berbondong-bondong masyarakat untuk berebut jatah, saling dorong, saling sikut takpeduli ada anak-anak dan orang tua. Entah karena takut tidak kebagian jatah atau ada alasan lainnya. Sebegitu miskinkah rakyat negeri ini hingga rela meregang nyawa demi sesuap nasi gratis ? Kalimat bijak lebih baik memberi daripada meminta rupanya sudah lepas dari ingatan. Urusan perut menjadi nomor satu sehingga malu disingkirkan jauh-jauh. Alhasil jadilah situasi seperti sekarang ini. Di berbagai daerah terjadi ricuh akibat perebutan barang-barang gratis. Muncul pencuri kelas teri hingga koruptor nomor wahid yang dengan leluasa mengambil apa yang bukan haknya. Ketika hukum sedang diuji, ketika uang berbicara lagi-lagi mereka yang dibawah lah yang semakin terpuruk. Sungguh ironis melihat seorang nenek divonis penjara gara-gara tiga butir biji kakao, malang nian orang yang didakwa karena sebutir semangka sedangkan mereka yang membawa lari sekian milyar hingga triliun rupiah bebas melenggang dan hidup enak di negeri orang. Jika mereka berdalih bahwa hukum harus ditegakkan, bahwa meskipun hanya sebutir biji mencuri adalah mencuri lalu kemanakah hukum ketika 'tikus-tikus' besar tertangkap ? Dengan mudahnya atau bisa dibilang hukuman yang diterima tidak sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan. Mereka bilang si nenek dijadikan contoh hingga timbul efek jera, namun kemanakah slogan efek jera ketika pencuri uang rakyat terbukti bersalah ? Tak sedikitpun rasa malu atau bersalah terpampang di wajah-wajah mereka yang digiring ke bui di bawah sorotan kamera. Yang ada justru cengiran sinis, pembelaan diri bahwa mereka tak bersalah, difitnah atau berbagai dalih lainnya demi menjaga nama baik yang sudah cemar namun sudah tak berarti lagi. Sakit, negeri ini memang benar-benar sakit. Kapankah negeri ini akan sembuh ? Dan yang terpenting adakah obat yang mampu menyembuhkan negeri ini ?

Tidak ada komentar: