Rabu, 19 November 2008

Dan Petani pun Menjerit

Setelah musim kemarau yang cukup panjang, hujan yang dinanti-nanti akhirnya datang juga. Melimpahnya air menjadikan sumber-sumber air yang telah mengering menjadi terisi kembali. Di beberapa daerah bahkan mulai terjadi banjir akibat sistem pengelolaan aliran air yang buruk ditambah dengan hilangnya daerah resapan air. Sawah-sawah tadah hujan kembali memperoleh cukup air sehingga bisa ditanami dengan tanaman yang membutuhkan cukup air untuk tumbuh. Petani pun bersiap-siap untuk mulai menggarap lahan mereka. Mencangkul dan membajak sawah, mengembalikan kondisi tanah sehingga siap untuk ditanami, membeli bibit unggulan dengan harapan memperoleh hasil yang melimpah. Malangnya, kegembiraan menyambut datangnya musim penghujan yang berarti tiga bulan ke depan lumbung padi mereka akan terisi penuh harus terusik dengan langkanya pupuk, salah satu komponen penting yang menentukan berhasil tidaknya masa panen. Kehidupan petani sebagai ujung tombak produksi pangan di Indonesia yang masih berstatus negara agraris sekarang memang jauh berbeda dengan masa sebelum reformasi dulu. Petani sekarang sudah melewati masa keemasannya. Kerja keras dan biaya operasional dalam bercocok tanam tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh. Hasil panen memang menutup biaya yang dikeluarkan untuk bibit, pestisida dan pupuk, namun sisanya tidak mencukupi untuk biaya hidup karena sebagian harus digunakan untuk masa tanam berikutnya. Akhir-akhir ini, petani dipusingkan dengan masalah pupuk yang harganya semakin lama semakin meroket. Selain itu, pupuk sulit didapat di pasaran. Petani harus puas dengan jatah kupon untuk membeli sekarung pupuk di tempat yang telah ditentukan dengan menunjukkan identitas diri. Penjatahan pupuk ini membuat petani semakin resah, karena pupuk yang diperoleh tidak mencukupi untuk kebutuhan masa tanam. Kemanakah pupuk menghilang ? Menurut Gubernur Jawa Tengah, stok pupuk cukup banyak, sehingga petani tidak perlu khawatir. Pada kenyataannya, petani harus berebut untuk mendapatkan sekantong pupuk. Sang Gubernur pun dibuat kebingungan dengan fenomena ini. Mendengar keterangan demikian, banyak pihak mulai mencurigai adanya permainan pada pihak distributor sebagai pemegang kontrol peredaran pupuk. Keadaan ini sangat mendesak untuk ditindak lanjuti, sehingga Gubernur pun berjanji akan mengadakan penyelidikan dan menindak tegas bila terjadi kecurangan. Janji yang cukup menentramkan, jika petani tidak terdesak waktu untuk segera mulai bercocok tanam ^^. Mengapa kelangkaan pupuk sanggup membuat petani kalang kabut ? Menurut petani, bibit padi tidak akan tumbuh dengan baik jika tidak diberi suplai pupuk. Akibatnya kuantitas dan kualitas bulir-bulir padi yang dihasilkan tidak sebaik padi yang diberi pupuk anorganik tersebut. Upaya pemupukan dengan pupuk organik macam kompos dan kotoran binatang pun tidak membuahkan hasil yang signifikan. Rupanya, konsep kembali ke alam sudah tak bisa diterapkan lagi. Walhasil, petani menjadi tergantung dengan pupuk kimia meskipun mahal dan dari segi lingkungan lambat laun dapat menyebabkan kerusakan pada tanah. Apakah penyebab dari ketergantungan tanaman pada pupuk buatan ini ? Mungkinkah ini dikarenakan oleh pemakaian pupuk yang terus menerus dan berlebihan sehingga merusak kesuburan tanah ? Ataukah jenis bibit hasil rekayasa ilmuwan yang menuntut pemakaian pupuk kimia sebagai syarat untuk tumbuh subur ? Mengapa tidak ada himbauan untuk menggunakan pupuk alami alih-alih berebut pupuk buatan pabrik ? Pertanyaan demi pertanyaan seakan tak ada habisnya jika kita melihat nasib para petani kini. Mereka yang memeras keringat untuk mencukupi kebutuhan pangan, namun mereka pulalah yang terus menjerit akan ketidakadilan ini.

Tidak ada komentar: