Senin, 22 Desember 2008

Warisan Budaya


Dua hari terakhir, aku menghadiri resepsi pernikahan dua orang temanku. Tak kusangka, dua pasangan yang mengadakan resepsi di dua hari yang berbeda ini memiliki sebuah persamaan. Keduanya sama-sama menggunakan baju pengantin adat jawa model "basahan" ala keraton. Apakah baju kebesaran tersebut sedang menjadi tren saat ini ? Entah mengikuti tren atau tidak, penggunaan baju tersebut beserta tata caranya menjadi nilai plus tersendiri. Di zaman serba praktis sekarang, kukira jarang orang yang melakukan upacara pernikahan secara adat yang lengkap. Padahal, meskipun kelihatan ribet setiap tahap dalam upacara pernikahan secara adat menyiratkan pesan-pesan untuk kedua mempelai. Semuanya merupakan warisan budaya luhur yang perlu dilestarikan. Salut untuk kedua temanku yang berkenan mempertahankan adat Jawa di hari bahagia mereka.
Indonesia memiliki aset budaya yang luar biasa banyaknya. Berlatar belakang bermacam-macam suku, menjadikan Indonesia sumur budaya yang tak ada habisnya. Ahli-ahli sejarah budaya Indonesia pun bermunculan tidak hanya dari dalam namun juga luar negeri. Baru-baru ini, aku menyaksikan sebuah acara bertajuk Barometer. Program penelusuran milik SCTV ini mengupas tuntas peristiwa yang terjadi di Indonesia. Pada edisi terakhir di penghujung tahun 2008, Barometer membahas sebuah peristiwa memalukan yang mencoreng nama Indonesia. Pencurian dan pemalsuan sejumlah arca dari museum Radya Pustaka beberapa waktu lalu akhirnya terbongkar. Tentu saja hal ini menggegerkan banyak kalangan, apalagi ketika diketahui pencurian benda-benda purbakala ini dilakukan oleh orang dalam dan sudah terjadi berkali-kali. Kasus pencurian dan pemalsuan ini pun menyeret nama Hasyim, kolektor Indonesia yang dituduh sebagai penadah. Barometer berhasil menghadirkan sosok Hasyim untuk meminta keterangan dari pihaknya. Hasyim menyatakan kegeramannya atas pencemaran nama baiknya sebagai kolektor ternama. Dalam keterangannya, beliau menjelaskan bahwa arca-arca yang belakangan diketahui sebagai cagar budaya diperolehnya secara legal. Beliau pun menampik tuduhan bahwa ia tidak mendaftarkan koleksi miliknya sehingga ia terancam pelanggaran atas benda cagar budaya dengan denda sekitar sepuluh juta rupiah. Beliau dengan tegas mengatakan berani membeli beberapa arca dari Museum Radya Pustaka itu karena adanya dokumen-dokumen resmi yang salah satunya berasal dari keraton Surakarta ditambah jaminan dari seorang ahli budaya asia ternama asal Belanda. Namun demikian pihak keraton membantah telah mengeluarkan dokumen tersebut. Pihak keraton yang diwakili oleh GRAy Koesmurtiyah menyatakan bahwa dokumen tersebut palsu dengan menunjukkan bukti-bukti tertentu. Hasyim , adik dari capres Prabowo ini pun meradang, merasa dijadikan kambing hitam dalam peristiwa ini. Beliaupun merasa kecewa, niatnya untuk menyelamatkan warisan leluhur agar tidak keluar dari negeri ini justru menghantarkannya ke pengadilan. Donatur tetap Museum Radya Pustaka ini justru dituduh terlibat dalam pencurian dan pemalsuan benda purbakala milik museum ini. Sungguh ironis, mungkin itulah yang terbesit dalam benak pemirsa Barometer saat itu. Tanpa memihak antara kedua pihak yang berseberangan, poin penting dari peristiwa ini adalah pudarnya nasionalisme dari pelaku pencurian yang sekarang sudah tertangkap aparat. Yang menjadi pertanyaan bagaimana mungkin pelaku justru berlatar belakang pengetahuan budaya itu sendiri, apalagi menjadi salah satu pengurus museum tersebut. Bukankah semakin mengenal maka semakin dalam rasa sayang yang timbul ? Dimana kecintaan mereka akan warisan leluhur sehingga tega menjual benda-benda peninggalan yang terdaftar sebagai cagar budaya ? Kiranya uang berdiri di atas segalanya. Demi ratusan juta hingga milyaran rupiah, pelaku tanpa segan melego benda-benda tersebut padahal negara dan lembaga-lembaga masyarakat berusaha menjaga agar warisan leluhur tetap berada di tempat yang seharusnya. Sudah kewajiban kita semua untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya Indonesia, melindungi agar peninggalan purbakala tidak keluar dari rumahnya.
Sekedar informasi yang kudapat dari sebuah komik yang kubaca saat ini, kasus pencurian dan jual beli benda-benda bersejarah di black market acapkali terjadi. Benda-benda dari berbagai museum dicuri dan diperjualbelikan melalui black broker. Sayangnya, meskipun benda tersebut curian, pihak berwenang tidak bisa menyita untuk dikembalikan ke asal. Hal ini karena pihak pembeli adalah bonafide third party. Mereka berhak menuntut haknya atas pembelian benda-benda tersebut jika menyatakan tidak mengetahui bahwa itu adalah benda curian. Untuk mengantisipasi hal tersebut diberlakukan unidroit treaty yaitu perjanjian internasional dimana saat penerimaan barang, penerima wajib memeriksa apakah itu barang curian sehingga jika terbukti benda tersebut ilegal, maka bisa dikembalikan ke asalnya.
Menyikapi kondisi tersebut, kiranya perlu diadakan perombakan terhadap pengelolaan museum Radya Pustaka. Inventarisasi perlu dilakukan mengingat banyaknya benda-benda purbakala milik museum yang belum terdaftar secara jelas kepemilikannya. Pertikaian antara kedua belah pihak pun hendaknya diselesaikan dengan semestinya dengan tujuan yang yang sama yaitu menjaga agar warisan budaya tidak hilang dari tangan kita. Kesadaran akan pentingnya menjaga budaya agar tetap lestari perlu digalakkan di setiap kalangan. Warisan budaya adalah milik kita semua, kewajiban kitalah untuk menjaganya agar tidak pudar.

Tidak ada komentar: