Jumat, 01 Oktober 2010

Borobudur



Aku masih ingat sewaktu di bangku sekolah dasar dulu, tiap kali aku melakukan perjalanan menuju kota Semarang, ketika bis sampai di lokasi tertentu aku akan dibangunkan dari tidur lelapku akibat pusing kepala tiada henti loleh ibuku. Sembari menahan mual danpening, dengan antusias aku membuka mata lebar-lebar, menempelkan wajah di jendela bis yang buram, berusaha melihat dengan jelas apa yang tersaji di kejauhan. Dengan takjub aku mengamati tumpukan batu-batu tua yang menjulang, membentuk bangunan megah nan bersejarah dan sakral bagi umat budha yang diakui sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia "Candi Borobudur". Pemandangan puncak Borobudur yang dulu terlihat sekilas, tak lebih dari satu dua menit saja demikian membekas dalam ingatan. Keinginan untuk mengunjungi candi terbesar yang terletak di wilayah kabuaten Magelang tersebut terus tersimpan, menunggu saat yang tepat untuk mewujudkannya.
Dan akhirnya, keinginan untuk menapaki lorong demi lorong di setiap tingkat Borobudur pun tercapai juga. Masih dalam suasana hari raya, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan meskipun sedikit ogah-ogahan aku memenuhi kewajibanku untuk kembali bekerja. Hujan yang mengguyur sedari pagi semakin membuatku enggan untuk bertolak ke wilayah kabupaten sebelah. Namun keenggananku sedikit berkurang bahkan menjadi antusias dengan kehadiran seorang sahabat yang kini telah berubah 'status', siap menemaniku selama beberapa hari ke depan ^^. Perjalanan pun terasa menyenangkan, pemandangan yang yang sudah berulang kali kulihat terasa berbeda, udara dingin sehabis hujan terasa sejuk membuatku tak merasakan kepenatan yang sama seperti biasanya. Benar saja, ketika tiba di lokasi kerja dugaanku di awal libur pun terjadi. Meskipun sudah diumumkan dengan jelas, pada kenyataannya tak seorang pun yang hadir kembali untuk bekerja. Rupanya mereka masih sibuk dengan segla urusan di hari raya ! Bosan dengan kondisi yang tak ada kesibukan, aku pun membuat rencana mendadak untuk memenuhi keinginanku sejak lama, yang tak lain adalah mengunjungi candi Borobudur.
Sedikit cemas dengan cuaca yang telah memasuki musim penghujan, aku tentu saja berdua dengan teman setiaku memutuskan untuk berkendara menuju lokasi pariwisata yang terkenal itu. Jarak yang cukup dekat dari tempat kerja menjadi salah satu alasan penguat keputusanku untuk menghabiskan waktu sebelum mulai beraktivitas penuh. Tengah hari, sampailah aku di area candi Borobudur. Berhubung baru pertama kali, ritual rutinku pun terjadi lagi ^^. Berbekal petunjuk arah dan sedikit rasa sok tahu, aku pun akhirnya mengambil jalan memutar untuk menuju candi. Tawa renyah yang sempat terlepas sontak menjadi senyum masam ketika aku membeli tiket masuk candi. "Tak masuk di akal alias keterlaluan !", demikian pikirku. Bagaimana tidak terkejut jika aku harus mengeluarkan lembaran biru dan merah untuk membeli dua tiket masuk candi ! Gumam dan gerutu terutama dari mulutku terus mengikuti perjalanan kami sepanjang kurang lebih satu kilometer menuju candi. Yah, memang Brbudur adalah warisan budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan, aku pun tak sayang untuk ikut menyumbang biaya perawatan melalui tiket masuk, tapi tidak setuju dengan nominal yang demikian tinggi ! Bagaimana bisa menarik keinginan wisatawan lokal untuk ikut mengagumi dan menumbuhkan rasa memiliki jika untuk melihatnya saja mesti merogoh kocek lumayan besar ! Tak heran jika sekali berkunjung menjadi yang terakhir kalinya, jika kondisi seperti itu tetap dipertahankan.
Niat refreshing sembari mengagumi kemegahan peninggalan wangsa Syailendra itu pun menjadi terganggu. Terlebih dengan banyaknya pengunjung di hari itu, semakin membuatku tak jenak menikmati keindahan candi. Pelataran candi yang luas membuatku terengah-engah sebelum mulai menapakan kaki di tangga batu pertama candi. Untunglah cuaca yang mendung membuat udara cukup dingin, demikian segar ketika aku menarik nafas dalam, mengisi paru-paru dengan udara baru untuk membentuk energi. Segala kejengkelan pun sedikit terobati ketika aku mulai masuk ke area candi. Berbeda dengan pengunjung lain yang langsung menuju tingkat paling atas candi dimana deretan stupa berjajar rapi mengelilingi stupa utama, aku memutuskan untuk berjalan memutar, mengelilingi candi pada setiap lantainya. Dengan segera aku terpesona dengan relief yang terpahat di dinding batu candi. Meskipun tak mengerti sedikitpun kisah yang tertuang dalam relief, dengan seksama kuperhatikan ukiran berbentuk tokoh-tokoh yang ada dalam kisah kuno. Kutempelkan telapak tanganku, merasakan dinginnya batu tua itu. Dan tak ketinggalan mencari tempat yang lengang namun indah untuk mengabadikan keberadaanku di sana. Ya, Borobudur memang ajaib, tak bisa kubayangkan bagaimana sulitnya untuk membuat dan mendirikan candi yang demikian besar disertai dengan ornamen yang rumit. Sayang, tangan-tangan jail merusak kesakralan candi Budha itu. Tak terhitung kepala-kepala patung yang hilang, membuat figur candi rusak dengan banyaknya patung tanpa kepala. Kapankah kesadaran untuk ikut menjaga warisan budaya akan terpatri di benak setiap orang ? Tak bisakah setia orang menahan keinginan mereka untuk berbuat hal yang bisa merusak peninggalan sejarah ? Mampukah kita untuk ikut berpartisipasi meskipun sedikit dalam melestarikan benda bersejarah ?
Puas berjalan-jalan hingga sampai di puncak Borobudur, aku pun beristirahat sejenak menghempaskan diri di bangku buatan di pelataran candi. Sembari menikmati satu-satunya bekal yang kubawa, aku pun asyik mengamati sekeliling. Tersenyum melihat tingkah 'narsis' pengunjung dengan gayanya yang aneh namun memikat dan mengundang ceria. Dan terpaku pada sosok tinggi besar berkulit putih dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya ^^. Tak lama kemudian, awan gelap semakin menyebar, membuatku harus beranjak, bersiap untuk menempuh perjalanan pulang. Meskipun lelah, meskipun dongkol pada akhirnya aku sampai juga di Borobudur.


Tidak ada komentar: