Kamis, 19 Agustus 2010

Agustusan


"Ayo nonton upacara, Pigo tampil lho", ajak teman karibku sejak sekolah dasar dulu. Yah, meskipun kami sudah lebih dari sepuluh tahun meninggalkan sekolah, kecintaan akan almamater masih tetap ada. Jadilah kami setia mengikuti perkembangan sekoah kami dan sebisa mungkin tak ketinggalan menonton penampilan junior-junior kami. Dan hari itu, ketika kami lepas sejenak dari rutinitas, meskipun matahari demikian terik tak menyurutkan antusiasmeku dan teman-temanku menonton penampilan grup marching band sekolah kami dulu.
Ada yang berbeda dengan upacara kemerdekaan RI kali ini. Dikarenakan bertepatan dengan kegiatan puasa Ramadhan, upacara yang biasanya meriah dengan warna-warni seragam drumband dari sekian banyak sekolah, kali ini sekolah yang membawa armada drumband hanya tiga saja dan salah satunya adaah almamaterku. Lahan di sekeliling lapangan tempat upacara yang biasanya ramai dengan pedagang kaki lima kini berganti dengan deretan kendaraan roda dua baik bermotor ataupun tidak. Rupanya untuk mencegah kelelahan, pasukan peserta upacara yang biasanya datang ke lokasi dengan berbaris, kali ini mereka menggunakan kendaraan. Begitu upacara selesai, peserta pun bubar dengan cepat meninggalkan lapangan yang panas menyengat.
Tahun ini Indonesia memperingati 65 tahun kemerdekaannya. Jika dilihat ke belakang, adakah kemajuan yang telah dicapai dalam setahun ini ? Meskipun beberapa bulan belakangan ini aku sudah jarang mengikuti berita seputar tanah air, peristiwa dan kasus-kasus besar dan hangat masih santer kudengar lewat media online dan tulis. Peristiwa meledaknya tabung gas, penangkapan teroris, bencana alam, wacana redenominasi rupiah, terkuaknya skandal artis, kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi mewarnai pemberitaan media massa. Wah sepertinya kok nyaris tak ada berita baik di Indonesiaku ya ? Fenomena tersebut semakin memperbesar tanda tanya dibelakang kata sudahkan bangsa ini merdeka ? Berbicara seputar merdeka atau belum, baru-baru ini aku membaca sebuah tulisan menarik di sebuah harian. Seorang bapak mengungkapkan suara hatinya di kolom surat pembaca yang garis besarnya menggarisbawahi lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pada saat refrain tertulis "di sanalah aku berdiri,jadi pandu ibuku". Bapak tersebut merasa janggal dengan kata 'disanalah' tersebut. Jika waktu lagu ini dikumandangkan pertama kalinya, kata tersebut masih wajar karena saat itu Indonesia belum merdeka, sehingga menggunakan 'disanalah' yang bermakna betapa kuatnya keinginan untuk merdeka. Namun saat ini ketika Indonesia telah merdeka, dimanakah kita berada jika mengucapkan kata 'disanalah" ? Bukankah lebih tepat jika 'di sinilah" ? Tanpa bermaksud untuk menjawab pertanyaan nan menggelitik ini, aku sedikit berpikir secara sederhana. Indonesia memang sudah merdeka secara harafiah yaitu bebas dari penjajahan. Namun jika menelusur lebih luas makna merdeka, Indonesia masih jauh dari kata ini. Yah merdeka menurutku kini bukan lagi berbicara tentang pendudukan atas bangsa lain namun lebih kepada kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Lihatlah negara kita saat ini,sudahkah rakyat sejahtera ? Jika menyimak berita seputar kemiskinan, tentu belum menjadi jawaban yang tepat. Rakyat kecil semakin kesulitan untuk hidup, sementara banyak pula yang hidup berkelimpahan. Sebuah kesenjangan yang mencolok, tak heran jika angka kriminalitas semakin meningkat. Rasa aman masih jauh didapat dengan semakin merosotnya nilai moral masyarakat. Mereka tak lagi malu untuk berbuat curang, makar maupun asusila. Tak heran aktor sekaliber Pong Harjatmo nekat memanjat gedung kura-kura demi mencoretkan tiga kata Jujur, Adil dan Tegas. Ah, kapankah Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dalam arti rakyatnya makmur dan sejahtera ? Di bawah kepemimpinan yang jujur,adil dan tegas, diwakili oleh mereka yang benar-benar menjadi suara rakyat tak hanya omong kosong di awal namun menuntut di luar kewajaran ? Semoga kata 'merdeka' segera terlaksana sehingga rasa getir ketika menyanyikan 'di sanalah' tergantikan oleh kewajiban menjunjung keotentikan semata.

Selasa, 10 Agustus 2010

2nd Trip: Dieng


Seolah memanfaatkan waktu sebelum datangnya bulan Ramadhan, mencuri waktu di sela-sela kewajiban yang memusingkan nan menjemukan, akhir pekan lalu aku dan dua orang sahabat melakukan perjalanan ke utara, mengunjungi sahabat yang telah membangun keluarga. Udara dingin menyambut ketika sampai di daerah perbukitan wilayah kabupaten Wonosobo. Meskipun lelah di perjalanan yang tak lepas dari halangan kecil namun mengulur waktu, kegembiraan membuncah ketika bersua dengan 'kakak' yang tengah menggendong putra pertamanya. Akhirnya kesampaian juga untuk melihat langsung 'keponakan' kami yang sekarang sudah besar dan sehat.
Selagi berada di Wonosobo, kami pun memanfaatkan waktu untuk mengunjungi dataran tinggi Dieng, tempat wisata utama di wilayah ini. Terhitung untuk ketiga kalinya aku mengunjungi dataran tinggi Dieng. Namun demikian kunjungan terakhir ini begitu berkesan sekaligus memuaskan. Tempat wisata yang dulu begitu sepi dan gersang, sulitnya transportasi untuk mengunjugi tiga lokasi yang berjauhan, cuaca yang tak mendukung membuatku dulu tak bisa menikmati indahnya panorama alami Dieng. Telaga warna menjadi tempat kunjungan pertama kami. Berbarengan dengan rombongan turisan dan lokal, aku turut menikmati suasana hutan yang basah dan dingin itu. Meskipun sedikit kecewa dengan istiah warna yang ternyata hanya memunculkan satu warna hijau, secara keseluruhan waktu yang kuhabiskan di sekitar telaga ini demikian menyenangkan. Enggan rasanya meninggalkan aroma pepohonan berlumut dengan udara dingin nan menyegarkan. Perjalanan pun berlanjut ke lokasi kawah, daerah yang gersang dan berbau menyengat ini cukup menarik untuk dikunjungi. Menyaksikan gelegak air mendidih dengan bau belerang yang menguar semakin menambah terik cahaya matahari yang menyengat meskipun udara terasa dingin. Kawah yang dulu sepi kini ramai oleh pengunjung dan pedagang oleh-oleh yang menjajakan berbagai macam makanan khas Dieng. Deretan candi yang masih satu jalur di kawasan kawah Dieng menjadi sasaran berikutnya. Meskipun kalah spektakuler baik dari segi arsitektur maupun sejarah jika dibandingkan dengan candi-candi lain di Jawa Tengah, kumpulan candi Arjuna tersebut ditata secara apik oleh pengelola setepat sehingga menarik untuk dijadikan obyek fotografi amatir. Pohon-pohon cemara berjajar rapi, mengelilingi pelataran candi yang lumayan luas. Bunga terompet ukuran maksi berwarna kuning cerah semakin menambah keindahan jalan setapak menuju candi, membuatku seolah-olah berada di negara empat musim. Belum habis keinginan untuk bersantai, waktu pula yang mengharuskanku untuk kembali menuruni jalan berputar yang menyajikan pemandangan spektakuler. Demikianlah, saatnya untuk kembali ke rutinitas, dengan semangat baru yang siap untuk dihadapkan dengan satu dua masalah (mungkin si ^^). Pastinya aku akan menantikan persinggahanku ke tempat berikutnya.


Rabu, 04 Agustus 2010

Damainya Hatiku


"Numpang lahir doang", demikian jawaban setengah nyeleneh dariku ketika orang bertanya mengenai sesuatu yang aku tak tahu seputar daerah tempat tinggalku. Tak bisa disangkal meskipun sedikit memalukan, aku yang notabene anak lokal nyatanya hanya sedikit sekali mengetahui tentang wilayah Gombong dan sekitarnya. Tak heran orang-orang di sekitarku selalu menertawaiku ketika dengan jujur aku mengatakan belum pernah sekalipun mampir ke wisata pantai Suwuk yang berjarak kurang lebih setengah jam berkendaraan menuju arah selatan Gombong. Hal yang bisa terbilang tak wajar mengingat pantai Suwuk saat ini menjadi satu obyek wisata paling diminati di wilayah Gombong. Bukan hanya panorama khas pantai selatan, namun berbagai even besar seperti festival layang-layang dan juga lokasi strategis untuk mereka yang hobi memancing menjadikan pantai Suwuk semakin ramai dikunjungi tidak hanya di hari libur namun juga hari-hari biasa.
Akhirnya setelah berkali-kali gagal kesempatan untuk mengunjungi pantai Suwuk datang. Untuk pertama kalinya aku mendatangi pantai di balik obyek wisata Karang Bolong tersebut. Memanfaatkan waktu kosong di akhir minggu, aku dengan semangat meninggalkan rutinitas kerja lebih awal. Bersamaan dengan tergelincirnya matahari, aku dan sahabat kentalku menghabiskan satu jam menjelang malam di tepi pantai Suwuk. Meskipun fenomena 'sunset' tak bisa disaksikan di sini, kami dihadiahi pemandangan cukup spektakuler. Cahaya kuning berpendar di antara gundukan bukit hijau di sebelah barat muara pantai, tiupan angin kencang tak mengurangi asyiknya menikmati udara segar berbau asin khas lautan. Menghempaskan diri di atas bebatuan pemecah ombak yang tertata rapi, mendengarkan alunan musik instrumental nan menenangkan membuatku semakin hanyut akan indahnya suasana damai di tepi pantai. Tak puas-puasnya mata ini menikmati deburan ombak bergulung susul menyusul hingga terpecah di batas pantai dan kembali lagi ke tengah lautan. Jenuh dan ketidaknyamanan dalam suasana kerja sedikit berkurang, berkat celoteh ringan selama kurang lebih satu jam berpadu dengan keheningan penuh kedamaian ditemani denting piano yang memang salah satu jenis musik favoritku.
Ah begitu enggan aku beranjak dari sini. Namun waktu mengharuskan aku untuk pulang, meninggalkan pantai yang mulai gelap dan sunyi. Demikianlah  untuk menyegarkan diri tak perlu lah untuk jauh-jauh. Meskipun tak seberapa luas dan belum bisa dikatakan sebuah kota, tempat tinggalku ternyata menyimpan potensi wisata alam yang cukup menjanjikan. Pemandangan air di selatan dan utara Gombong mulai kini menjadi tempat idealku untuk memulihkan diri, memompa semangat untuk bisa kembali terjun ke dunia yang hingga kini belum bisa kulalui dengan nyaman. Thank's a lot for  my friend, keberadaanmu  semakin menyempurnakan kala yang tepat untuk memulihkan damai di hatiku.