Minggu, 22 Mei 2016

Sekedar Pembelaan 
     
      Beberapa waktu lalu, saya menonton acara tentang wajib tidaknya negeri ini menebus kesalahan masa lalu. Saya tidak akan mengomentari hal itu, bukan hanya karena itu topik yang rentan, juga karena saking geregetannya saya mendengar argumen-argumen mereka yang menyebut diri "pembela" hak asasi. Daripada berpendapat yang bukan kapasitas saya, terlebih saya pun tidak mengalaminya hingga berpotensi menambah rancu duduk permasalahan lebih baik saya cukupkan sampai disini saja^^. Lanjut soal menonton, masih juga di channel yang satu itu, saya mendengar, melihat, membaca berita yang membuat saya geregetan lagi ! Untuk yang satu ini, tangan saya gatal untuk menerjemahkan pikiran yang berputar di kepala saya, apalagi ketika membaca komentar-komentar di lapak harian online seputar kasus tersebut. Tidak ada akibat jika tak ada sebab, itu poin pertama yang saya tangkap ketika mempelajari kasus pidana seorang guru yang dilaporkan walimurid karena mencubit muridnya. 
        Akhir-akhir ini banyak kasus serupa yang diekspos di berbagai media hingga memunculkan adu argumen para kometator di media sosial. Saya sebagai seorang guru, tentu sangat menyayangkan tindakan walimurid tersebut yang langsung mempidanakan perlakuan guru terhadap anak didiknya. Saya tidak membenarkan kekerasan fisik yang berdampak fatal terhadap tubuh anak didik. Pemukulan di luar batas kewajaran memang sudah seharusnya diusut dan ditindak. YAng saya sayangkan, ketika cubitan, jeweran, cukur goceng, push up, dan sanksi serupa menjadi senjata untuk menjebloskan seorang guru ke penjara. Gampang saja, bagi mereka di luar pendidik untuk berkata guru itu harus sabar dalam mendidik, berilah hukuan yang mendidik, kenakalan itu biasa, bla bla bla... tanpa pernah terjun langsung menghadapi anak didik (terlebih usia puber dengan segudang kompleksifitas). Disini saya hanya mengatakan, guru ibarat orang tua anak di sekolah, saya (kalau tidak bisa mengatakan kami) tak pernah demikian membenci seorang anak didik. Perhatian saya sebagai seorang guru, tidak hanya dalam bentuk kelembutan dalam mengajar, namun ketegasan dalam meluruskan perilaku anak didik yang menyimpang (melanggar aturan tertulis maupun tidak tertulis). Mungkin mereka yang mencemooh tindakan tegas guru, tidak mengetahui betapa kami (saya) merasa khawatir, cemas akan masa depan anak didik kami jika mereka dibiarkan berperilaku tak beretika. Kami (saya) berusaha menjaga anak didik berada di koridor menuju sukses, tak hanya dari sisi keilmuan melainkan dari segi karakter yang santun.
              Sekolah hanya berperan di sepertiga bagian pendidikan seorang anak. Tidakkah mereka sadar, jika pendidikan yang utama adalah di rumah dan lingkungan sekitar mereka ? Betapa naifnya seseorang yang berkata, "sekolah seratus persen bertanggung jawab terhadap kesuksesan (pintar dan berkarakter), kalau tidak untuk apa sekolah ?" Tak sadarkah mereka, kami hanya menerima pribadi-pribadi yang terbentuk dari pola asuh di rumah ? Diakui atau tidak, kenyatannya (di sekolah saya) anak-anak yang bermasalah sebagian besar mempunyai latar belakang keluarga berantakan, entah itu karena ditinggal orang tua bekerja sehingga tak terpantau dan kurang perhatian di rumah, anak dari keluarga broken home, anak yang tumbuh di lingkungan keluarga arogan karena material ataupun kekuasaan, atau anak yang tumbuh di keluarga tak berpendidikan religi. Kami (saya) sebisa mungkin membimbing anak-anak dengan beragam latar belakang tersebut dengan satu tujuan, menjadikan mereka orang yang berhasil di masa depan, calon penerus negeri ini yang santun dan berbudi luhur (tak seperti kebanyakan sekarang yang cuma bisa berkoar-koar tanpa solusi, kritikus handal dengan tujuan menjatuhkan seseorang tanpa mau dikritik, dan tak menunjukkan kerja nyata). 
                Betapa sombongnya orang yang berkata, " Sekarang tidak diajarkan moral, etika atau pengajarnya tidak memiliki etika ?". Siapakah anda yang berani mengeluarkan statement seolah ahli pendidikan ? Betapa kami (saya) pontang-panting mengikuti kebijakan kurikulum pemerintah,  yang walaupun masih banyak kekurangan disana-sini namun bertujuan untuk menciptakan pribadi-probadi yang berkarakter ? Saya hanya ingin membalikkan situasi, cobalah anda (yang berpendapat negatif terhadap guru) untuk berperan sebagai guru. Sadarkah kalau anda adalah guru di rumah ? Pertanyannnya, "Apakah anda tak marah, tak ambil tindakan ketika anak anda berperilaku yang tak sesuai dengan keinginan anda ? Saya sendiri sebagai orang tua, tak memungkiri kalau dalam mendidik anak saya lebih  keras daripada seorang guru di sekolah. Tak peduli disebut galak, saya hanya ingin anak saya lebih baik dari saya, menjadi orang yang mandiri, bermental baja yang santun dan religius. Karena saya memahami bahwa tuntutan di masa depan jauh lebih berat daripada zaman saya dulu, tantangan, hambatan dan godaan jauh lebih banyak sesuai dengan perkembangan zaman.
           Dengan munculnya kasus-kasus serupa, tak heran para guru menjadi takut untuk bertindak ketika menemukan pelanggaran. Guru lebih memilih bermain aman, datang ke sekolah untuk mengajar tanpa mendidik. Ketika guru dibenturkan dengan hak asasi, tak lagi diberi kewenangan untuk mengatur anak didik, yang terjadi hanyalah potret negatif perilaku anak usia pendidikan yang tidak terkontrol. 
"Pendidikan berawal dari keluarga, tanpa timbal balik dan komunikasi dua arah pendidikan di sekolah tak akan mencapai hasil maksimal."

Tidak ada komentar: