Minggu, 15 Maret 2009

Indonesia Memilih

Mendengarkan obrolan seputar Pemilu yang sebentar lagi dilaksanakan menjadi selingan menarik di antara penatnya rutinitas. Apalagi ketika obrolan hiruk pikuk Pemilu 2009 keluar dari mulut-mulut orang kebanyakan. Dimulai dari rasa pesimis akan keberhasilan Pemilu dalam mengatasi masalah intern hingga opini berapi-api seseorang akan partai maupun tokoh tertentu. Menjelang hari H, semua program berita televisi membuat segmen khusus pemilu, bahkan program baru bertema pesta demokrasi digelar dengan berbagai gaya dan variasi. Tokoh-tokoh masyarakat yang berkepentingan dalam sebuah parpol untuk meraih suara dan calon-calon wakil rakyat dengan gencar mempromosikan diri beserta partainya agar lebih dikenal masyarakat. Ironisnya walaupun wajah-wajah terpampang di baliho, masih banyak calon pemilih yang belum tahu alih-alih kenal calon wakilnya di kursi legislatif. Jangankan memilih, cara mencontreng yang bisa dianggap sah pun masih belum paham betul. Wajar jika pemenang Pemilu sedikit berbau keberuntungan. Dari obrolan yang beberapa hari ini kusimak, tak sedikit warga yang pesimis, bingung hingga ragu-ragu mengenai partai apa dan siapa yang akan dipilihnya untuk mewakili suara mereka. Ditambah seruan untuk golput dari seorang Gus Dur, tak diragukan lagi persentase suara tidak sah semakin besar. Situasi yang semakin runyam dengan naiknya kebutuhan hidup menjadikan rakyat semakin sulit menentukan pilihan. Deretan tokoh-tokoh lama yang berambisi menjadi orang nomor satu di Indonesia tak memberikan secercah harapan untuk bisa lebih baik. Demikian dengan caleg-calegnya, siapa dan apa latar belakangnya pun hanya sedikit warga kebanyakan yang tahu. Yah, unjuk muka caleg di baliho dan sejenisnya tidak cukup meyakinkan orang untuk memilih. Visi dan misi yang selama ini menjadi andalan semakin berkurang fungsinya mengingat selama ini janji hanyalah kembang mulut. Setidaknya perlu berhadapan muka untuk menilai sifat, sikap dan tepat tidaknya langkah yang akan ditempuh jika berhasil duduk di kursi dewan. Walhasil, wajah keren, gelar seabrek dan adanya hubungan kekerabatan dengan figur tenar menjadi poin plus-plus bagi caleg-caleg tersebut. Jika ditelisik lebih kanjut, pelaksanaan Pemilu di Indonesia sangatlah rumit dan cukup menelan biaya. Indonesia pun menjadi negara yang mempunyai partai politik terbanyak. Jumlah parpol ini menjadi satu poin ruwet pelaksanaan Pemilu. Dimulai dari rumitnya kertas suara, hingga sengketa hasil Pemilu kelak. Jika dibandingkan Amerika yang hanya memiliki dua parpol, jumlah parpol yang bersaing di Indonesia tergolong luar biasa. Apakah hal ini karena undang-undang pembentukan parpol yang memudahkan orang medirikan partai ? Ataukah banyak orang yang berambisi memperbaiki negara dalam tanda kutip ? Yang jelas, jumlah dan nama parpol yang berubah-ubah, cara memilih yang beralih dari toblos menjadi contreng menyulitkan warga untuk menggunakan hak pilihnya dengan benar.

Tidak ada komentar: