Selasa, 25 Oktober 2011

Goodbye The Next Doctor

Setelah sekian lama absen mengikuti serunya ajang adu cepat memacu kuda besi di sirkuit lantaran situasiku yang tak memungkinkan alias bertepatan dengan jam tayang balapan motor tersebut aku sedang melakukan aksi balap versiku sendiri menempuh jarak yang lumayan membuat badan pegal, akhirnya di hari Minggu yang cerah aku bisa menyempatkan diri untuk menikmati salah satu acara televisi favoritku. Rebahan santai di depan televisi usai merampungkan tugas wajib perempuan di dapur ^^, aku pun dengan setengah serius mendengarkan ulasan awal dari komentator favoritku mengenai race yang akan berlangsung. Tak lama kemudian pertarungan yang kutunggu-tunggu pun dimulai. Masih dengan santai sambil bercakap-cakap dengan sesama penonton membahas aksi-aksi rider favoritku (siapa lagi kalau bukan VR46 ^^) tanpa disadari kami melewatkan putaran warm up hingga lap pertama dan selanjutnya. Aku yang masih asyik dengan bacaan rutin di tangan seketika mengalihkan perhatian ke layar kaca ketika mendegar seruan keras. Seketika aku ikut berseru menyaksikan adegan yang terpampang, mengkhawatirkan keselamatan penunggang motor dengan dominasi warna merah itu. Nafas yang sempat tertahan pun kembali berhembus melihat The Doctor hanya keluar lintasan. Namun kelegaan itu hanya sekejap dengan cepat berubah lagi menjadi kekhawatiran begitu melihat nomor motor yang tergeletak di tengah lintasan, dan sosok yang tersungkur tak bergerak, disusul dengan dikibarkannya bendera merah pertanda balapan dihentikan untuk sementara. Dan adegan pun berganti menjadi wajah-wajah rider yang nampak cemas, seraut wajah ayu yang menangis dan gerak cekatan kru yang menyiapkan motor pengganti. Siaran pun langsung kembali ke studio yang dengan segera membahas insiden tersebut. Mengingatkanku akan insiden serupa yang menimpa rider muda asal Jepang Shoya Tomizawa. Dan aku pun mengamini komentar Mateo yang berharap balapan tidak dibatalkan karena itu menunjukkan bahwa pembalap yang terluka baik-baik saja. Aku pun gembira ketika diumumkan bahwa balapan akan dimulai kembali setengah jam kemudian waktu setempat. "Ah, rider kribo selamat", demikian pikirku saat itu. Tayangan pun kembali dengan siaran langsung dari sirkuit Sepang, merekam situasi di paddock. Menit demi menit berlalu, aku masih dengan sabar menanti balapan dimulai kembali. Tak lama kemudian mataku terpaku pada kalimat berjalan di bagian bawah layar. Kuartikan dalam hati kalimat yang tertera, dan aku pun kecewa sekaligus cemas. Sontak aku teringat pernyataan Mateo beberapa saat lalu. Dengan dibatalkannya race, acara pun berakhir. Tak puas aku mengakses internet untuk mencari berita terkini tentang insiden Sepang. Tapi tak satupun berita di situs-situs mengabarkan kondisi terakhir rider yang sedang mendapat pertolongan medis.
Menjelang petang hari, aku pun sejenak melupakan insiden tersebut. Perhatianku sepenuhnya teralihkan pada kasus-kasus berbasic matematika dari seri terbaru komik QED. Lamat-lamat kudengar suara apik pembawa berita sore membacakan peristiwa-peristiwa aktual di tanah air dan mancanegara. Dan lagi-lagi aku tersentak dan berseru keras tak percaya mendengar pernyataan bahwa pembalap Marco Simoncelli akhirnya meninggal dunia. Simoncelli rider asal Italia  dengan ciri khas rambut kribonya menghembuskan nafas terakhirnya setelah mendapat pertolongan medis akibat luka parah di kepala, leher dan dada dampak dari tergilas motor milik Edward dan Rossi. Sayang koneksi internet tak memungkinkan untuk browsing mencari berita di situs-situs valid. Meskipun masih menyangkal, keesokan hari dengan maraknya berita tentang insiden Sepang yang menjadi headline  di media membuatku menitikkan air mata.
Marco Simoncelli, aku mengetahui keberadaannya semenjak menjadi kandidat juara di kelas 250 cc beberapa tahun lalu. Melihat gayanya menunggangi kuda besi mengingatkanku akan The Doctor. Cara balapnya yang sedikit liar dan nekat membuat balapan makin seru, hal sama yang membuatku menggandrungi Rossi. dan mengingat faktor usia mereka berdua, aku pun 'menggadang-gadang' telah muncul pengganti Rossi kelak. Meskipun beberapa menganggap (baca  mencela) Simoncelli terlalu liar dengan gaya balapnya yang berbahaya, aku justru semakin menggemari penampilannya di sirkuit. Ketika perfoma The Doctor menurun dengan segala permasalahan teknis dan non teknis motor barunya, Simoncelli menjadi tokoh utama yang menjadikan balapan menggairahkan dengan aksinya yang memaksa duel seru di lintasan. Meskipun harus berulang kali tergelincir, dia tak mengubah gayanya dan selalu membuat penonton menahan nafas penuh ketegangan menanti pemenang. Sayang, takdir berkata lain. Di tengah perjalanannya menuju puncak keemasan, Simoncelli harus berhenti sampai di sini. Tak ada lagi kenekatan di lintasan, tak terlihat lagi rambut kribonya yang terlihat berat, tak terdengar lagi komentar-komentarnya, dan pastinya tak ada lagi sosok potensial penerus The Doctor.

Tidak ada komentar: