Rabu, 10 September 2008

Malaysia Meradang


Indonesia dan negeri jiran Malaysia sejak dulu saling menyatakan bahwa kedua negara adalah negara sahabat dengan berbagai alasan seperti serumpun maupun letak geografis yang bersebelahan. Ironisnya sejak era Bung Karno hingga era SBY sekarang berbagai macam konflik menodai persahabatan antara dua negara. Mulai dari perebutan daerah kekuasaan hingga kasus pembajakan produk budaya. Kasus Ambalat, batik, reog ponorogo dan lagu rasa sayange sempat memanas hingga mencuatkan kembali yel-yel Ganyang Malaysia yang dipopulerkan oleh Presiden Soekarno saat mencanangkan gerakan Dwikora. Baru-baru ini Indonesia dan Malaysia kembali berpolemik seputar dunia musik. Persatuan Karyawan Industri Musik Malaysia (Karyawan) menuntut kepada Menteri Tenaga, Air dan Komunikasi Malaysia Shaziman Abu Manshor untuk membuat peraturan pembatasan pemutaran lagu-lagu Indonesia di radio setempat. Karyawan menuntut kuota 90% untuk lagu Malaysia dan 10 % sisanya untuk lagu Indonesia. Pelaku industri rekaman Malaysia memang sudah lama memprotes radio-radio lokal yang lebih banyak memutar lagu-lagu milik anak negeri. Sebetulnya kondisi demikian sangatlah wajar mengingat pemutaran lagu bergantung pada permintaan pendengar. Hal ini berarti masyarakat Malaysia memiliki animo yang tinggi terhadap musik Indonesia. Dalam dua tahun terakhir ini Malaysia memang dibanjiri dengan arus musik tanah air hingga mencapai kuaota 80 %. Kondisi demikian menyebabkan seretnya perkembangan musik asli Malaysia yang otomatis menurunkan penjualan album artis-artis yang bersangkutan. Dunia musik Indonesia memang sedang mengalami kemajuan yang sangat pesat, ditandai dengan munculnya band-band baru, penyanyi solo baru, dan tentu saja pencipta lagu-lagu hits yang mengusung berbagai warna musik. Kreatifitas insan musik Indonesia semakin berkembang menjadikan musik Indonesia lebih dinamis hingga diterima tidak hanya di kalangan dalam negeri saja melainkan diterima oleh pangsa pasar luar dalam hal ini yaitu negeri jiran Malaysia. Wacana pembatasan terhadap lagu-lagu Indonesia ini tentu saja banyak menimbulkan pro dan kontra. Bens Leo, pengamat musik Indonesia sangat menyayangkan adanya pembatasan ini. Menurutnya adalah hal yang wajar jika musik Indonesia menguasai Malaysia mengingat jumlah penduduk Indonesia yang jauh lebih banyak yang otomatis mempunyai seniman-seniman musik yang lebih banyak pula. Demikian pula para artis musik yang merasa perihatin dengan pembatasan ini. Jika diberlakukan, pembatasan ini akan berpengaruh terhadap penjualan album dan tentu jadwal manggung mereka di Malaysia. KOntra pembatasan ini rupanya tidak hanya muncul dari masyarakat Indonesia saja melainkan muncul dari masyarakat Malaysia sendiri. Dalam satu cuplikan wawancara di stasiun tv swasta, seorang penggemar musik Indonesia asal Malaysia juga menyayangkan pembatasan ini. Meskipun demikian di era digital sekarang aturan pemutaran tidak begitu menghalangi beredarnya musik asing di dalam negeri. Berdasarkan pengalaman sesuatu yang dibatasi atau dilarang justru semakin menambah keinginan seseorang. Seharusnya pembatasan musik Indonesia tidak perlu dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Apalagi menjelang berlakunya pasar bebas yang berarti pihak asing bebas berkompetisi dengan pihak lokal. Pembatasan justru mengundang pikiran picik bahwa musik Malaysia takut bersaing dengan musik Indonesia. Pembenahan justru harus dilakukan oleh musik Malaysia itu sendiri. Seniman-seniman yang berkutat di bidang musik harus menemukan terobosan baru demi kembalinya kecintaan publik akan musik Malaysia.

Tidak ada komentar: