Kamis, 19 Juni 2008

Dulu STPDN, sekarang STIP, besok..?


Carut marut dunia pendidikan di Indonesia sepertinya sudah tak terkendali. Institusi pendidikan yang seyogyanya merupakan wahana menimba ilmu berubah menjadi ajang adu jotos. Tak hanya di kota-kota besar yang anak-anak berseragam sudah mengenal dugem, di pinggiran pun banyak terjadi tawuran antar sekolah dan biasanya dipincut oleh permasalahan yang sepele. Kekerasan di antara guru dan murid pun mulai banyak tercium oleh media.
Mata publik saat ini sedang mengarah ke sebuah institusi pencetak pelaut-pelaut handal. Sebuah rekaman video amatir menayangkan ritual tahunan yang dilakukan antara senior dan junior di sekolah tersebut. Sayangnya ritual yang biasanya bertujuan mengakrabkan antar siswa ini justru menjadi medan tinju sepihak ! Jelas sekali adegan-adegan junior yang pasrah ditampar, dipukul oleh senior-seniornya dengan membabi buta. Ironisnya, suara yang terdengar justru suara tawa riang dan ocehan tak jelas namun bernada gembira. Video berdurasi ini menjadi bukti fisik yang mendukung kecurigaan kematian seorang taruna akibat pukulan di tubuhnya. Tak ayal orang tua sang taruna pun maju ke muka publik mengungkapkan tabir kelam yang menimpa putranya.
"Kami menyekolahkan anak kami di situ karena STIP adalah sekolah yang baik dan menjanjikan masa depan cerah. Andai kami tahu, kami tidak akan menyekolahkan anak kami di situ.", demikian sekelumit perbincangan dengan ibunda korban di salah satu tv swasta. Siapa orang tua yang tak merasa kecewa dan getir jika anak yang merupakan harapan masa depannya harus dianaiaya di sekolah hanya karena adanya ritual tahunan yang berubah menjadi ajang balas dendam senior kepada junior.
Di komunitas kampus, dulu ada istilah OSPEK yang merupakan masa orientasi atau pengenalan dunia kampus bagi mahasiswa baru. Masa orientasi ini memang diperlukan mengingat perbedaan krusial antara sistem perkuliahan dengan masa sekolah menengah yang mereka alami sebelumnya. Yang disayangkan, masa orientasi ini acapkali berubah menjadi ritual balas dendam. Panitia yang biasanya beranggotakan mahasiswa senior menerapkan apa yang dulu mereka peroleh dan tidak menghapus kemungkinan juniornya mendapat "bunga". Mengingat banyaknya korban yang berjatuhan selama masa ospek ini membuat beberapa perguruan tinggi menghapus program OSPEK dan mengganti dengan program pengenalan kampus dengan format yang sehat dan mendidik.
Langkah yang ditempuh oleh beberapa perguruan tinggi ini rupanya tidak diikuti oleh institusi khusus seperti STPDN yang sekarang menjadi IPDN dan yang teranyar STIP.
Anehnya, sewaktu berita ini beredar luas para pejabat berwenang seakan mencuci tangan. Ada yang mengatakan bahwa apa yang terekam di video itu bukanlah siswa STIP. Pernyataan terakhir mengatakan bahwa ritual itu terjadi di luar sekolah. Kekerasan baik yang terjadi di dalam maupun di luar sekolah, sudah tentu menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua dan sekolah. Apalagi pada institusi pendidikan yang mewajibkan siswanya menghuni asrama, di luar gedung sekolah pun para taruna tetap menyandang nama STIP. Bukankah sebuah sekolah disamping mengajarkan ilmu juga menanamkan budi pekerti, tingkah laku atau akhlak yang baik ? Jadi sangatlah tidak mungkin alasan yang diajukan pejabat berwenang di atas.
Masyarakat yang sudah trauma dengan peristiwa STPDN dulu, sekarang menjadi makin antipati dengan terkuaknya kasus STIP ini. Lihatlah, komentar-komentar melalui sms yang hadir di scroll teks tayangan yang terkait berita tersebut. Banyak juga yang mengirim komentar pedas ke berbagai pihak. Sudah sewajarnya pemerintah memperhatikan suara rakyat ini. Semua orang berusaha mengenyam pendidikan di sekolah ternama, dan tak jarang harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit dengan harapan memperoleh masa depan yang cerah. Mengapa institusi yang bertujuan mencetak pelaut handal harus memperoleh "mata kuliah" kekebalan tubuh tanpa memperoleh pelajaran mempertahankan diri ? Apa dan dimana yang salah, inilah yang menjadi PR kita semua. Pemerintah wajib merevisi sistem pendidikan kita, tenaga pendidik lebih fokus pada anak didiknya, demikian pula dengan para siswa, cukup sampai di sini ajang pembalasan dendam., jika tidak mata rantai ini tidak akan berakhir dan Gultom baru akan bermunculan. Bukankah kita tidak menginginkan hal buruk terjadi ? Bukan hanya korban yang menderita pelaku pun menerima balasan yang setimpal. Kesenangan sesaat harus diganjar dengan masa depan yang suram karena ternoda.
Apakah dunia pendidikan kita akan berubah ?

Tidak ada komentar: