Sabtu, 21 Juni 2008

Efektifitas Sertifikasi


Akhir-akhir ini hampir seluruh tenaga pendidik mulai dari tingkat SD hingga SMA kelimpungan membuat portofolio yang merupakan syarat mutlak pelaksanaan sertifikasi. Sertifikasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru. Diharapkan, dengan semakin baik kualitas guru kegiatan belajar mengajar semakin bermutu dan menghasilkan anak-anak didik yang berkualitas.
Sertifikasi dilakukan dengan penilaian uji kompetensi melalui perhitungan profesionalitas pengalaman guru dan melalui penilaian portofolio. Guru dinyatakan lolos sertifikasi bila mencapai nilai minimal 850, jika tidak memenuhi maka guru diwajibkan mengikuti diklat.
Demikian pula yang terjadi padaku dan rekan-rekan guru di tempat aku mengabdi. Beberapa hari ini kami sibuk membuat kelengkapan dokumen yang akan disertakan dalam portofolio. Kami benar-benar dibuat kalang kabut. Bukan hanya karena pengumuman dari dinas pendidikan yang datang terlambat terutama karena sekolah kami tidak begitu tertib dalam administrasi.
Ketika membaca komponen dan penilaian dalam portofolio aku merasa pasti tidak lulus dalam kesempatan pertama. Dilihat dari aspek manapun, aku yang baru tiga tahun mengajar belum mempunyai cukup pengalaman yang meraup poin tinggi dalam penilaian. Sekolah tempat aku bernaung juga bukanlah sekolah yang aktif dalam berbagai kegiatan belajar mengajar.
Aku semakin pesimis ketika membaca syarat lebih lanjut bagi peserta sertifikasi.
Yang menjadi pertanyaanku adalah seberapa efektif sertifikasi ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan ? HAsil pengamatanku menemukan adanya ketidakadilan dalam komponen penilaian sertifikasi ini. Bisa disimpulkan semakin lama masa mengajar maka semakin besar pula kesempatan untuk lolos sertifikasi. Lalu bagaimana dengan guru yang baru beberapa tahun mengajar atau guru yang baru lulus dari perguruan tinggi ? Apakah mereka harus menunggu beberapa tahun lagi untuk memperoleh tanda sertifikasi ? Belum tentu mereka yang sudah berpuluh tahun mengajar lebih pintar mendidik daripada guru-guru baru. Komponen-komponen dalam portofolio juga bisa dengan mudah diakali sehingga peserta mendapat portofolio. HAl ini telah dibuktikan dengan ditemukannya kecurangan dalam dokumen portofolio. Yah, namanya juga usaha ! Mengapa peserta sertifikasi mati-matian bahkan dengan nekat melakukan kecurangan ? Tak lain dan tak bukan karena alasan "duit". Ya, guru yang lulus sertifikasi akan mendapat tunjangan sebesar tunjangan pokok setiap bulannya. Siapa yang tergiur dengan pendapatan dua kali lipat hanya dengan satu kali bekerja keras ? Memang guru sebagai tulang punggung dunia pendidikan untuk menyiapkan generasi muda penerus bangsa perlu dihargai pengabdiannya. Tapi, di tengah keuangan negara yang sedang 'nombok' gara-gara harga minyak dunia yang naik turun ini apakah pemerintah sanggup mengatasi pembengkakan anggaran untuk tunjangan sertifikasi ?
Seyogyanya pelaksanaan sertifikasi tidak perlu dengan iming-iming yang belum tentu terealisasi. Tidak hanya akan menimbulkan kecemburuan tapi juga menimbulkan kecurangan-kecurangan yang dapat menurunkan martabat tenaga pendidik. Sertifikasi memang perlu, tapi lebih baik jika peningkatan mutu dilakukan secara berkala dan bertahap sehingga kualitas akan tetap terjaga. Siapa yang berani menjamin setelah lulus sertifikasi, guru akan lebih semangat dalam mengajar ? Bisa jadi mereka-mereka malah 'onkang-ongkang' dengan kucuran dana segar tiap bulannya. Mungkin perlu diadakan evaluasi berkala untuk memantau keberhasilan sertifikasi.

Tidak ada komentar: