Sabtu, 16 Mei 2009

Deklarasi

Akhirnya, setelah sekian lama berita seputar ketua KPK non aktif Antasari Azhar lengser dari posisi 'headline'. Gembar-gembor tentang motif maupun pembelaan tersangka Antasari kalah saing dengan hiruk pikuk dan kemeriahan deklarasi capres dan cawapres yang telah lama ditunggu.
Demikianlah, hari Jumat lalu berlokasi di gedung Sabuga Paris van Java alias Bandung, capres yang diusung oleh Partai pemenang Pemilu 2009 yakni bapak SBY mendeklarasikan secara resmi pasangan capres sekaligus mengumumkan nama cawapres yang selama ini dikantungi beliau. Tentu semua tahu, bahwasanya beberapa hari ini dunia politik dibuat gempar dengan rumor yang ternyata benar adanya mengenai nama yang digandeng oleh SBY untuk bekerja sama dalam memimpin negara dengan catatan menang dalam Pilpres Juli mendatang. Munculnya nama Boediono sebagai bakal cawapres beberapa waktu lalu mengakibatkan badai di kalangan elit politik. Keberanian SBY dengan memilih nama ini mempertaruhkan dukungan parpol yang telah menyatakan siap berkoalisi dengan Partai Demokrat. Partai macam PKS, PAN, dan PPP merasa kecolongan dengan gagalnya tokoh partai mereka dalam mendampingi SBY. Walhasil ancaman untuk mengundurkan dari koalisi pun terlontar disertai dengan berbagai alasan. Menilik berbagai komentar mengenai pengajuan nama Boediono sebagai cawapres mencerminkan betapa pelaku politik di Indonesia masih belum dewasa, rasional dan logis. Tingkah laku yang bisa disetarakan dengan 'ngambek' ala bocah yang permintaannya tak dipenuhi pun satu demi satu terpeta pada beberapa tokoh ternama. Berbagai alasan macam Boediono bukan politisi yang tak berkapasitas memimpin sebuah negara, tidak mewakili golongan muslim nasionalis hingga tidak memenuhi unsur Jawa dan non Jawa memang nampak meyakinkan dan bijak. Meskipun demikian bukankah keputusan telah diberikan secara mutlak kepada SBY ? Lantas mengapa mereka harus memuntahkan ketidakcocokannya dengan cara yang demikian ekstrim sebelum meminta penjelasan dari yang bersangkutan ? Apakah rakyat Indonesia demikian piciknya hingga harus mempermasalahkan faktor kesukuan dan religi sementara semboyan kita adalah Bhineka Tunggal Ika ? Demonstrasi menolak nama Boediono yang dilakukan oleh massa pun terasa menggelikan. Bukankah Pemilu berasaskan LUBER yang berarti jika tidak cocok tidak perlu untuk memilih nama tersebut ? Mengapa harus repot-repot berunjuk rasa yang tidak ada ujung pangkalnya ?
Demikianlah meskipun mendapat tentangan dari sana-sini SBY tetep 'kekeh' pada pilihannya yang memang diambil berdasarkan berbagai pertimbangan matang. Acara deklarasi SBY pun berjalan meriah, simpel dan sangat mengesankan kesiapan SBY-Boediono dalam mencalonkan diri sebagai pasangan capres dan cawapres.
LAntas bagaimana dengan pasangan capres-cawapres lainnya ? Jika menelaah pemberitaan seputar pilpres ini, menunjukkan ada kecenderungan 'sharing power' alias bagi-bagi kekuasaan. Ya, para elit politik demikian sibuk melobi sana-sini, membentuk koalisi di dewan, membuat kesepakatan bersama yang bertajuk demi kepentingan rakyat dan negara. Agaknya para politisi sibuk mengokohkan posisi di pemerintahan yang akan terbentuk nanti. Sayangnya, sementara mereka sibuk menggalang persatuan di tingkat atas, nyaris tidak ada yang memperhatikan situasi yang terjadi di masyarakat. Ya, seperti gonjang-ganjing di tingkat atas, kondisi perekonomian rakyat ikut terguncang dengan merangkaknya beberapa harga kebutuhan pokok. Mengingat ekonomi merupakan sektor vital bagi rakyat, kiranya pemerintahan yang terbentuk nantinya tidak hanya sekedar ajang bagi-bagi kekuasaan semata melainkan benar-benar menjalankan pemerintahan demokratif yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Tidak ada komentar: