Kamis, 14 Mei 2009

Usai

Akhirnya selesai juga kewajibanku membimbing mereka yang berada di akhir jenjang, siap melangkah ke tingkatan yang lebih tinggi lagi. Memang di setiap pertemuan selalu ada perpisahan, namun untuk ke sekian kalinya aku merasa berat melepas keakraban yang sudah terjalin sekian lama. Bagaimanapun dengan setulus hati aku berdoa akan keberhasilan mereka.
Omong-omong soal dunia pendidikan yang hingga kini masih kugeluti walau dengan porsi jauh berbeda dengan dulu, kuperhatikan kualitas anak didik sekarang sedikit merosot. Tentu penilaianku ini tidak merepresentasikan keseluruhan anak didik. Hanya saja, hasil pengamatanku selama lebih dari tiga tahun ini menunjukkan gejala kemerosotan kualitas hasil pendidikan pada peserta didik. Kemerosotan tersebut dari kacamataku lebih berada pada sisi mental dan kepribadian. Rasa hormat terhadap guru kurasakan semakin berkurang dari tahun ke tahun. Contoh nyatanya anak didik menggunakan bahasa pergaulan ketika sedang berbicara dengan guru ketika berada di lingkungan formal. Padahal dalam tata bahasa Jawa, jelas ditekankan penggunaan tingkat bahasa sesuai dengan usia lawan bicara. Anak didik tak segan-segan melawan perintah guru yang jelas-jelas berhubungan dengan hak dan kewajiban mereka sebagai guru dan murid. Belum lagi berbagai kasak-kusuk yang di luar jangkauan pendengaran guru. Yah, contoh-contoh tersebut memang tak bisa dipandang dari satu sisi saja. Ada kemungkinan faktor negatif dari guru itu sendiri yang memicu sikap kurang hormat tersebut. Kemerosotan yang paling kurasakan selama ini adalah kurangnya sikap juang anak didik. Di zaman modern yang serba instan ini mendorong keinginan anak didik untuk memperoleh segala sesuatu dengan mudah. Aku sendiri hingga kini masih kesulitan menemukan terapi yang pas untuk memunculkan semangat belajar anak didik. Dari yang kulihat dan kuperhatikan, sebagian dari mereka cenderung malas untuk belajar lebih-lebih pada materi sulit yang semestinya membutuhkan waktu ekstra untuk memahami. Seperti yang kualami baru-baru ini, anak-anak didikku demikian susah untuk belajar. Berbagai macam alasan mereka keluarkan demi menghindari sebaris soal-soal hitungan ^^. Ya, mereka maunya meraih nilai bagus tanpa perlu bersusah payah alias belajar tekun rutin tiap hari. Aku samapi bosan mengajukan saran yang sama tanpa tindak lanjut, bosan mengulang penjelasan yang dengan cepat akan dilupakan.
Itulah cermin dunia pendidikan di Indonesia. Sistem mungkin tidak salah hanya belum bisa diterapkan pada dunia pendidikan yang masih dalam tahap belajar. Pemakaian UAN sebagai tolak ukur kelulusan justru menjadi bumerang bagi pendidikan. UAN yang dulu menjadi ajang evaluasi belajar berubah menjadi momok bagi anak didik dan personal yang berkecimpung di dalamnya. Walhasil, berbagai kecurangan demi memenuhi standar kelulusan minimal pun ditempuh, tidak hanya demi masa depan anak didik namun lebih ke nama baik sekolah. Kenaikan nilai minimal setiap tahunnya seolah dipaksakan demi mengejar target, tanpa memikirkan kualitas jebolan pendidikan itu sendiri. Pendidikan lama kelamaan terorientasi pada ilmu pengetahuan tanpa diiringi pendewasaan mental. Lihatlah hasilnya, banyak orang-orang terpelajar yang belum dewasa dalam bertindak. Kisruh dalam berbagai bidang nyaris terjadi setiap hari di tanah air tercinta ini. Tidak hanya di kalangan bawah namun merambah hingga kaum elit yang notabene tokoh panutan. Tak heran jika sekolah-sekolah berbasis religi menjadi pilihan utama mengingat rentannya mental dan moral akibat tuntutan zaman. Hmm...semoga kebijakan 20 % anggaran pendidikan digunakan untuk meningkatkan kembali kualitas pendidikan Indonesia. Bukan hanya dari segi sains semata melainkan pemupukan moral dan mental anak didik agar kelak mereka mampu menjadi tiang penyangga kekukuhan negara.

Tidak ada komentar: