Selasa, 19 Mei 2009

Reality Yang Yak Realistis

Akhir-akhir ini tayangan bertajuk reality show mulai marak kembali di dunia pertelevisian Indonesia. Upss Salah, Curhat Bersama Anjasmara, Tak Ada Yang Abadi, Jejaka Petir, Lunas, Bedah Rumah dan Tukar Nasib, Minta Tolong, CLBK adalah sebagian dari judul reality show yang sebagian besar diproduksi oleh PH yang sama. Pemirsa pun dibuat terhibur dengan berbagai suguhan yang diklaim tanpa rekayasa tersebut. Jika dilihat dari idenya, acara-acara tersebut bisa dibilang kreatif dan menghibur. Sayangnya jika diperhatikan secara seksama, tak sedikit dari program-program tersebut terbilang tidak realistis alias terkesan dibuat-buat. Lihatlah tayangan CLBK, pada suatu episode dikisahkan seorang cowok yang ingin mengetahui alasan pacarnya memutuskan dirinya. Di akhir cerita terungkap alasan sebenarnya si cewek meminta putus. Kesan dibuat-buat muncul ketika si cewek dengan isak tangis dan gaya bahasa di luar kewajaran bahasa percakapan menjelaskan penyebab berakhirnya kisah cinta mereka. Dari kacamataku, semua tingkah dan ucapan terasa janggal dan mustahil terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Entah karena si pelaku sadar mereka masuk tv atau ada skenario tersendiri dalam upaya membuat acara lebih menarik. Demikian pula dengan kisah-kisah di acara Tukar Nasib. Meskipun asyik juga menyaksikan kekikukan para pelaku yang saling bertukar nasib dalam menjalani peran mereka masing-masing, ada adegan-adegan tertentu yang mengisyaratkan sebuah rekayasa. Contohnya, episode tukar nasib antara tukang bakso dengan seorang pengusaha. Pada episode tersebut, ditayangkan penderitaan yang dialami pengusaha yang beralih fungsi menjadi tukang bakso. Nah di sinilah ketidakwajaran terjadi. Jika dipikir secara logis, rasanya tak mungkin ada pembeli yang marah-marah, enggan membayar bahkan membuang bakso yang dibelinya tepat di hadapan penjual dengan alasan tidak enak. Kebiasaan yang terjadi di masyarakat jika membeli sesuatu yang tidak pas dengan selera, ujung-ujungnya hanya menggerutu di belakang dan tidak akan mengulangi transaksi untuk kedua kalinya. Ketidakwajaran lain terjadi di episode tukang pos yang bertukar dengan tukang odong-odong. Si tukang pos dadakan terlihat kebingungan ketika seorang yang kurang waras mengambil surat-suratnya dan mengajak bermain-main. Berdasarkan pengamatanku yang namanya orang 'kurang waras' memang ada yang suka iseng, namun jarang sekali dari mereka yang menggoda orang lain apalagi sampai bermain-main cukup lama. 'Orang gila' biasanya hanya peduli pada diri sendiri. Terkadang memfokuskan diri pada sesuatu yang menarik perhatiannya, namun tidak sebegitu atraktif hingga harus berkejaran berebut surat dengan tukang pos.
Ketidakrealistisan tersebut kiranya bisa dimaklumi jika tujuan utama dari tayangan-tayangan tersebut hanya sekedar untuk hiburan bagi pemirsa. Yang lebih memiriskan hati adalah ada beberapa relaity show yang tidak sesuai dengan jam tayangnya. Ketidaksesuaian ini bersumber pada isi dari tayangan tersebut. Sebut saja Curhat bersama Anjasmara yang dijadwalkan tayang pada pukul 4.30 sore. Acara tersebut benar-benar tidak cocok untuk hiburan sore hari mengingat sepanjang acara penuh dengan tingkah laku dan kata-kata tidak sopan dan cenderung kasar. Bagaimana jika anak-anak yang notabene mesin peniru luar biasa melihat tayangan tersebut ? Sungguh tidak senonoh tingkah orang-orang dewasa di acara tersebut, demikian pula dengan segala ucapan yang terlontar meskipun sudah kena sensor tetap saja masih bisa dicerna oleh pemirsa. Yang menjadi pertanyaan, mengapa para pelaku acara tersebut dengan sukarela tampil ? Padahal bisa dikatakan mereka membuka aib pribadi di depan umum yang disaksikan jutaan pemirsa di seluruh Indonesia. Belum lagi tingkah memalukan yang secara tidak sadar mengungkapkan watak dan kepribadian sesungguhnya dari pelaku. Apakah rasa malu sudah demikian pudar pada pribadi mereka hingga tak segan mengumbar caci maki tak patut ? Atau ada alasan lain di balik kesukarelaan dan tingkah di luar adab yang dilakukan ? Sekali lagi pertanyaan yang muncul adalah benarkah reality show benar-benar tanpa rekayasa ? Namun yang lebih penting lagi, hendaknya pihak yang berwenang lebih ketat dalam meloloskan sebuah acara televisi. Bukankah masih banyak kreatifitas bermutu lain yang mengedepankan pendidikan dan moral ? Agaknya pemirsa membutuhkan filter pribadi untuk menyortir tayangan televisi mana yang berkualitas mengingat maraknya tayangan 'ecek-ecek' dan membodohi pemirsa.

Tidak ada komentar: