Jumat, 01 Agustus 2008

Alhamdulillah


"Dilarang mandi di laut" Kata-kata yang selalu terpampang di setiap pantai selatan pulau Jawa ini memang bukan main-main. Apalagi gelombang di laut jawa sedang berada dalam taraf membahayakan. Pada kenyataannya banyak wisatawan pantai yang tak mengindahkan larangan ini. Bukan ke laut namanya jika tidak basah terkena air asin. Memanfaatkan waktu liburan, aku beserta keponakan-keponakan kecilku bertualang ke pantai Ayah yang terletak di desa Ayah, Kebumen. Bertujuan untuk memuaskan keinginan bocah-bocah gunung yang ingin melihat laut, dengan riang gembira kami yang lebih tua mengawal kelima kanak-kanak ini bermain pasir di pantai. Mengambil posisi agak jauh dari tepi air, tiga bocah di bawah sepuluh tahun ini bersama-sama membangun sebuah istana pasir. Tiba-tiba alunan ombak kecil datang dari laut lepas. Bermaksud memberi peringatan ibu mereka bergegas menghampirinya. Tak dinyana dalam hitungan detik ombak menerjang dengan kekuatan lumayan dasyat. Tanpa ampun ombak menyeret dua keponakan laki-lakiku ke tengah laut. Mengikuti naluri seorang ibu, saudara tertuaku pun mengejar keduanya, berusaha menarik mereka ke tepian. Sontak doa-doa mengalir deras dalam batinku. Disaat diri tak kuasa menolong karena sedang menghadapi perjuangan yang tak kalah mematikannya, hanya Allah SWT-lah tempatku memohon perlindungan. Rasa takut dan putus asa berbaur dengan keteguhan hati saat melihat ketiga kerabatku berguling-guling, berusaha berdiri namum selalu terhempas ke dasar laut, seakan laut tak rela mereka kembali pulang. Beruntung masih ada orang-orang yang baik hati memberikan pertolongan. Tanpa pikir panjang seorang bapak yang kebetulan juga sedang menikmati keindahan pantai bergegas terjun ke laut. Beberapa menit penuh ketegangan akhirnya terlampui dengan selamat. Aku yang juga sukses melewati hantaman ombak sembari menggendong anak usia dua tahun bergegas menuju kerumunan di sisi pantai yang lain. Suara-suara gemetar saling bersautan berebut cerita dan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah, mereka masih diberi selamat oleh Allah SWT. Meski handphone rusak berat, nyawa ketiganya selamat dan lebih beruntung lagi tas yang berisi dompet, uang dan surat-surat berharga terdampar di pasir, tak jauh dari tempat kami berdiri. Masih diliputi ketakutan dan sedikit syok, kami kembali ke mobil, sebisa mungkin membersihkan dan memberikan pertolongan pertama untuk ketiga anak yang berlumur pasir dan gemetar kedinginan dengan mata terbelalak penuh teror. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang, tak ingin trauma berkepanjangan menaungi mereka. Lokasi wisata pun berganti ke tempat yang lebih aman dan sesuai dengan anak-anak seusia mereka. Pengalaman ini sangatlah berharga untuk dijadikan contoh bagi semua pecinta laut. Selalu waspada terhadap datangnya ombak meski kelihatan tak seberapa kekuatannya adalah peraturan pertama jika ingin selamat. Bahkah nelayan pun tak bisa memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di laut lepas. Ngomong-ngomong tentang nelayan, ada sekelumit cerita tak sedap yang sempat mampir ke benakku. Dimana mereka saat kami membutuhkan pertolongan ? Padahal tukang perahu sekaligus nelayan ini berdiri tak jauh dari lokasi tempat ketiga anak itu tenggelam. Bahkan turis-turis domestik yang berkerumun memberikan pertolongan atau sekedar menonton menyatakan bahwa mereka yang pertama kali melihat kejadian ini. Para penduduk lokal itu baru turun tangan setelah ketiganya dipastikan selamat tanpa cedera yang berarti. Pertanyaan ini sangat menggelitik pikiranku. Setelah mengobrol panjang lebar dengan beberapa orang, jawaban pertanyaan ini muncul begitu saja. Legenda sang ratu penguasa pantai selatan yang hingga kini masih dipercayai terutama oleh penduduk di sepanjang pesisir selatan pulau Jawa menjadi alasan tersendiri. Menurut penduduk setempat pantai-pantai selatan selalu meminta "korban" dalam jangka waktu tertentu. Tak terkecuali dengan pantai yang juga akrab disebut dengan pantai Logending ini. "Sudah lama tak ada orang hilang di laut", begitu kata seorang ibu penjual minuman yang sangat baik hati menolong kami. Menurut mitos yang beredar, jika laut ingin membawa seseorang bersamanya, menolong merupakan hal yang tabu. Nyawa si penolonglah yang menjadi taruhannya alih-alih si korban. Mendengar cerita ini, aku merasa merinding teringat satu pantangan yang katanya tidak boleh dilanggar jika sedang berada di laut selatan dan kebetulan saat itu aku mengacuhkannya. Bukannya disengaja, tapi aku betul-betul tidak ingat akan peraturan tak tertulis ini. Untunglah atribut serba merahku tidak membawa petaka seperti mitos selama ini. Percaya atau tidak, banyak pelajaran berharga yang bisa kupetik dari kejadian ini. Mungkin untuk sementara waktu ini aku belum berani untuk bermain-main di laut. Mahir berenang menjadi obsesiku sekarang. Aku juga harus lebih menempa keteguhan hati di waktu-waktu yang akan datang. Kemampuan untuk bergerak dengan cepat dan penuh perhitungan juga menjadi PR-ku di masa mendatang. Sekali lagi kuucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah, tak lupa beribu terima kasih pada mereka yang telah menolong kami dengan iklas.

Tidak ada komentar: