Selasa, 19 Agustus 2008

Ketika Cinta Bertasbih


Habiburrahman El Shirazy menggebrak dunia novel Indonesia dengan karya-karyanya yang fenomenal. Aku pertama kali mengenal Kang Abik, melalui novel larisnya yang bertajuk Ayat-Ayat Cinta. Setelah menonton versi film dengan judul sama, aku penasaran dengan cerita aslinya. Apalagi mendengar berbagai komentar yang membandingkan antara film dengan novel, segera aku menelaah buku yang menjadi best seller tersebut. Selesai menyimak kalimat demi kalimat hingga akhir cerita, aku pun paham mengapa nama Kang Abik melambung dengan pesat. Kang Abik membuat terobosan baru di tengah novel-novel bertema cinta ala remaja. Meskipun bertema cinta Kang Abik mampu memasukkan unsur-unsur religi dengan halus, memadukan fiksi dengan dakwah Islam yang mudah diterima. Kang Abik sangat piawai memberikan teladan-teladan Nabi Muhammad SAW melalui tokoh-tokoh nan religius dalam novel ini. Pembaca pun larut dalam cerita Fahri, Aisya dan Maria seiring dengan munculnya introspeksi akan akhlak masing-masing. Jebolan Al Azhar ini mampu menggambarkan seluk beluk Mesir hingga pembaca seolah-olah terdampar di gurun Mesir yang panas namun menyejukkan hati. Beliau juga mampu menjelaskan hal-hal yang selama ini menjadi dilema dalam masyarakat, aturan-aturan berdasarkan ayat-ayat Allah SWT tanpa berkesan menggurui. Kesuksesan novel ini membuat para produser tertarik untuk merepresentasikan dalam bentuk visual. Mengikuti novelnya, film yang digarap sutradara Hanung Bramantyo ini pun mendulang rupiah dengan menjadi box office di berbagai kota di Indonesia. Sebagai film adaptasi, memang tidak mungkin keseluruhan novel dapat diterjemahkan lewat gerak dan laku. Sayangnya penggarapan film ini sedikit melenceng dari garis besar novel aslinya. Hal kecil yang mungkin bertujuan untuk menarik perhatian pemirsa yang lebih menyukai kisah bahagia ini membuatku sangat kecewa. Tuntas booming Ayat-Ayat Cinta, Kang Abik kembali membuat kejutan dengan novel keduanya yang akan dijadikan film layar lebar. Dwilogi Ketika Cinta Bertasbih mengisahkan perjuangan Khairul Azzam di negeri orang untuk mempertahankan hidup keluarganya di tanah air. Azzam harus menerima jalan hidupnya sebagai pekerja keras hingga menelantarkan kuliahnya di Al Azhar. Perjuangan Azzam masih berlanjut ketika kembali ke tanah air. Buku kedua menceritakan liku-liku Azzam untuk mencari seorang pendamping hidup yang salihah. Dibandingkan Ayat-Ayat Cinta, novel ini sedikit mengalami kemunduran cerita. Kompleksitas permasalahan di Ayat-ayat Cinta tidak muncul pada Ketika Cinta Bertasbih. Demikian pula materi dakwah yang sedikit berkurang di novel ini meskipun merupakan dwilogi yang otomatis memiliki lebih banyak ruang untuk menyiarkan Islam. Meskipun demikian Kang Abik berani memunculkan tokoh yang jauh berbeda dengan Fahri yang mendekati manusia sempurna. Pada novel ini Kang Abik menggambarkan tokoh Azzam yang seperti manusia biasa lainnya bisa terjebak dalam gelora cinta. Demikian pula dengan tokoh-tokoh lain yang digambarkan lebih manusiawi dengan sifat dan perilaku yang kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Di luar kekurangan dan kelebihan dari novel-novelnya, Kang Abik adalah salah satu dari sedikit pegarang yang mampu menginspirasi pembaca melalui karyanya. Beliau juga mempelopori sistem riset yang menjadikan novel-novelnya semakin berbobot berdasarkan literatur yang sahih. Sukses terus Kang Abik, rangkullah generasi muda untuk kembali dalam Islam

Tidak ada komentar: